
#5
Mama Marah?
2901Please respect copyright.PENANAbMtzDHJ6pB
Pukul 2 siang. Aku masih di dalam kamar. Mengerjakan project dari klienku, meskipun kurang fokus. Kepergok mama sedang onani tadi pagi, masih menghantuiku. Apalagi aku ketahuan sambil mencium CD-nya. Aduh gila, menantu macam apa aku ini?
Tak berselang lama…
Tok… tok… tok… terdengar suara pintu kamar diketuk.
“Radit…” suara mama dari balik pintu.
Aduh! Aku malah tambah panik mendengar itu. Pasti mama bakal marah ini.
Aku diam, tak menjawab panggilan mama. Aku masih berpikir, sebelum menemui mama. Aku harus menyiapkan berbagai alasan agar mama tidak marah dan tidak melapor ke istriku.
Tok… tok… tok… “Radit!” suara mama terdengar lagi dari luar.
Aku masih diam. Tak menjawab.
Lalu tak terdengar lagi suara ketukan pintu dan suara mama. Mungkin mama mengira aku sedang tertidur, karena tak membuka pintu dan menjawab panggilannya.
Beberapa menit kemudian, setelah aku menyiapkan alasan, barulah aku siap untuk keluar kamar dan menemui mama. Karena jika tidak sekarang, kapan lagi, keburu istriku datang, malah tidak karuan nanti.
Dengan jantung dag dig dug aku membuka pintu kamar.
Ceklek… Kepalaku keluar duluan, melihat ke arah keluar kamar.
“Radit…” suara mama seperti langsung menyambutku.
Aduh, mama memang sepertinya menungguku keluar dari tadi. Siap-siap aku bakal disidang sepertinya.
Mama sedang duduk di ruang santai yang memang pas ada di depan kamarku.
“Mama sudah masak, kamu belum makan siang kan. Itu segera makan,” ucap mama.
Aku menoleh ke arahnya. Mama menatapku.
“I… ya ma,” jawabku.
“Mama sudah makan duluan tadi, tadi mau ngajak makan bareng, kayaknya kamu tidur. Kuketuk pintumu, kamu gak dengar kayaknya,” kata mama.
“Iya ma,” hanya itu jawaban dari mulutku. Aku masih bingung. Jadi seperti salah tingkah terus, gara-gara tadi pagi.
Aku pun ke meja makan. Kusantap masakan mama. Masakan yang seharusnya enak di lidahku, kali ini seakan hambar. Gara-gara hatiku belum plong. Tapi sejauh ini mama kok tidak bahas soal tadi pagi. Aku menunggu mama yang memulainya.
Sampai habis makanan di piringku, mama tidak beranjak dari kursi ruang santai. Kami sama-sama diam. Suasana di apartemenku jadi hening.
Akhirnya selesai makan, kembali kuberanikan diri. Aku menuju ke ruang santai untuk menemui mama.
“Sudah makannya? Sudah kenyang? Makan seadanya ya. Tadi di kulkas mama lihat cuma ada itu saja. Nanti malam kita bisa belanja ke supermarket untuk beli bahan-bahan yang akan dimasak besok,” kata mama.
Mama malah bahas soal makan dulu.
“Iya ma, sudah kenyang.”
“Ma, boleh duduk sini aku?”
“Loh, ini kan tempatmu, malah izin ke mama mau duduk. Mama kan yang numpang di sini.”
Aku pun duduk di hadapan mama. Kulihat mama pakai daster, bawahnya sampai di lutut. Mama memang suka pakai daster di rumah. Kali ini warnanya biru muda.
“Ma… aku… mau ngomong…” dengan suara yang berat, akhirnya kata itu bisa keluar dari mulutku. Kata untuk membuka persoalan tadi pagi.
“Ngomong aja Dit, langsung,” ucap mama, sambil melihat ponselnya.
“Soal tadi pagi ma… maaf ya. Mama marah?” kataku.
Mama lalu menoleh ke arahku. Ia taruh ponselnya. Matanya menatap mataku.
“Oh, soal itu. Kamu ngapain sih Dit tadi pagi, kok sampai berbuat seperti itu?” tanya mama.
“Mama juga minta maaf, mama gak tahu kalau kamu ada di luar situ.” Malah mama yang minta maaf ke aku.
“Loh, aku yang salah ma, kok mama minta maaf juga,” ucapku.
“Sekali lagi mama jangan marah ya, mama jangan cerita ke Agnes ya soal tadi pagi,” pintaku.
Mama diam. Namun matanya masih terus menatapku. Seakan ia menunggu kata-kataku selanjutnya.
“Aku melakukan hal itu, gara-gara beberapa hari ini sudah tidak ML dengan Agnes ma. Tadi malam saja dia nolak kuajak berhubungan. Sedangkan aku sudah tidak tahan. Itulah satu-satunya cara untuk menuntaskan hasratku. Maaf ya ma,” kataku.
“Kalau begitu kamu tidak salah Dit. Maafin anak mama ya, jika dia belum jadi istri yang terbaik untuk kamu,” kata mama.
“Oh gak ma, dia sudah jadi istri yang baik. Aku aja yang tidak bisa mengerti dia. Agnes sudah capek, tetap kupaksa. Sebaiknya aku bisa mengerti dia,” kataku.
Aku kaget respon mama, malah tidak marah soal tadi pagi. Mama seakan mengerti permasalahanku.
“Agnes juga salah. Seharusnya dia tetap bisa menjalani semua kewajibanya sebagai istri. Memang dia seperti papanya,” ucap mama.
“Maksudnya ma?”
“Papanya suka bekerja, jadi tidak terlalu memikirkan soal hubungan suami istri,” kata mama. Aku jadi tidak, mama jadi cerita juga soal masalah ranjangnya.
“Tapi papa kan memang sudah tua ma, jadi wajar kan.”
“Dari dulu, sebelum tua juga begitu. Fokus kerja terus, dalam sebulan bisa dihitung kita berhubungan berapa kali. Apalagi sekarang sudah sama-sama tua,” ujar mama.
Dalam hatiku, apa benar papa begitu? Apa benar dia sibuk kerja jadi menyampingkan soal ML. Apa papa main perempuan di luar? sehingga kurang bergairah ke mama. Tapi kayaknya tidak mungkin. Kayaknya papa adalah pria yang baik dan bertanggungjawab. Tidak mungkin dia menghianati mama.
“Tapi mama kuat-kuat aja ya tidak berhubungan lama, seperti Agnes? Eh, maaf ma, jadi tanya ini,” kataku.
“Kalau perempuan kuat aja, karena fokusnya bukan soal itu saja. Ngurus anak, ngurus rumah, banyak yang diurus, jadi ya bukan soal itu aja pokoknya.
“Oh iya ya,” hanya itu jawaban dari mulutku. Aku jadi bingung mau merespon apa lagi.
Aku dan mama jadi ngobrol soal yang intens. Soal yang seharusnya sama-sama kami rahasiakan. Tidak seharusnya mertua dan menantu bicara soal ini.
“Oh ya, kamu kenapa tadi melakukan itu di depan kamar mandi? Lupa ya jika ada mama di rumah ini?” tanyanya.
Mamang mama benar-benar mertua yang baik, di positif thinking ke aku.
“Eh iya ma, besok-besok tidak di situ lagi,” kataku, malah jadi bohong ke dia. Aku belum menyampaikan alasanku sebenarnya kenapa onani di depan kamar mandi.
“Terus… soal CD mama tadi, maaf ya ma,” kataku.
“Eh iya, kamu ngapain sih nyium CD mama?” Mama baru sadar dan bukannya marah. Kini dia jadi penasaran.
“Awalnya kukira milik Agnes ma. Ternyata punya mama, tapi nanggung, terus aja kupegang. Agar aku bisa bayangin lagi berhubungan sama Agnes,” aku berbohong lagi.
“Aduh kamu ini Dit gimana, mama kan jadi malu. CD yang sudah mama pakai lagi, bau pasti kan?”
“Enggak ma, wangi malah, mama perawatan banget ya, sampai masih nempel wanginya di CD,” tiba-tiba saja aku berani memuji mama soal itu.
“Masak sih? Ia Dit, meskipun papamu jarang mintah jatah, tetap mama rawat bagian yang ini. Agar sewaktu-waktu papa minta jatah, dia tidak kecewa,” ucap mama, jujur.
“Nanti jangan sampai salah ambil CD mama lagi. Mama malu,” lanjutnya.
“Mama malu juga tadi jadi telanjang di depanmu,” ucapnya.
“I… ya ma… Maaf ya ma. Please jangan cerita soal ini ke Agnes ma. Bisa marah dia.”
“Tidak mungkin lah, mama cerita hal yang memalukan itu.”
“Terimakasih ma, mama tidak marah kan?” tanyaku.
“Tidak, ngapain mama marah. Mama tahu kenapa kamu sampai begini. Ini salah Agnes,” kata mama.
“Udah ma, jangan salahin Agnes. Salahin aku aja.”
“Ya sudah, jangan dibahas lagi soal tadi pagi,” ujar mama.
Seketika aku pun lega. Aku tak menyangka mama bisa memaklumiku.
Rasa canggungku pun seakan sudah hilang. Kepala dan hatiku jadi terasa plong.
Aku dan mama lanjut bahas lainnya. ***
2901Please respect copyright.PENANAaqnKuRmUFM