Hiruk pikuk club malam tampaknya tidak begitu menarik malam ini, bagi Axel, pria dengan kemeja hitam, dengan lengan kemeja yang digulung sampai ke siku. Minuman keras yang ia teguk pun, tidak mampu membuatnya cukup lega atas masalah yang dihadapinya. Harusnya ia tidak pergi ke sini, melainkan mengunjungi beberapa relasi bisnis atau keluarga untuk menolongnya.
Langkahnya yang tergesa-gesa dalam mengambil keputusan membuatnya mengalami kerugian besar. Ia terlalu muda untuk menangani ini semua. Kini ia menyadari bahwa, terlalu percaya diri itu tidak baik. Hans, sahabatnya yang membawanya ke sini menepuk pundak Axel. Pria itu duduk di sebelah Axel setelah pergi entah ke mana selama setengah jam.
“Kau dari mana, heh?” Axel melayangkan tatapan kesal. Saat ini ia butuh solusi, bukan ditinggalkan begitu saja di tengah gemerlap club ini.
“Mencari solusi!”balas Hans dengan nada tak bersalah. Padahal ia sudah meninggalkan Axel cukup lama. Itu adalah salah satu bentuk pelanggaran atas janji yang ia buat untuk terus menemani Axel.
Axel tertawa lirih. Solusi apa yang didapat di tempat seperti ini. Ini adalah tempat untuk bersenang-senang saja.”So...?”
“Tidak ada.” Hans terkekeh.
Axel mendengkus.”Kau cuma pura-pura bilang akan kasih solusi. Padahal, kau sendiri cuma mau minta ditemani ke sini,kan? Supaya ada alasan untuk istrimu.” Axel cukup kecewa jika hal itu benar. Mungkin saja ia akan marah pada Hans setelah ini.
Hans tersenyum.“Bukan itu...”
“Bertaubatlah, kasihan istri dan anakmu.” Axel meneguk gelas terakhirnya.”Ayolah, kita pulang!”
“Nanti!” Hans mencegah Axel.
“Apaan dah!” Axel menepis tangan Hans. Ia turun dari kursi dengan sedikit sempoyongan. Waktunya di sini terasa sia-sia.
Hans cepat-cepat menahan tubuh Axel agar tidak tumbang.”Kau mabuk!”
“Aku nggak mabuk, cuma pusing mikirin masalah ini!” Axel berjalan pelan.
Langkah Hans dan Axel terhenti, begitu ada dua orang wanita menghadangnya. Dua-duanya cantik.
Hans tersenyum lembut,”maaf, kami harus lewat.”
“Mau ke mana? Kenapa terburu-buru?” Wanita bergaun merah menatap Hans dan Axel tajam.
“Temanku mabuk, jadi, aku harus antar pulang.” Hans tertawa kecil. Sebenarnya, ia tahu siapa dua wanita yang ada di hadapannya sekarang. Wanita bergaun hitam, namanya Citra, istri dari Pengusaha kaya raya. Lalu, wanita bergaun merah itu adalah sahabatnya, bernama Olla. Melihat begitu besar kekuasaan suami Citra, tentu Hans tidak akan bermain-main dengan wanita itu, meskipun, ia terlihat sangat cantik dan seksi.
“Permisi!”kata Axel datar, kemudian berjalan melewatkan Citra dan Olla begitu saja.
Citra mengikuti bayangan Hans dan Axel pergi. Keningnya berkerut karena ia merasa diabaikan.”Siapa mereka?”
Olla melambaikan tangannya.”Orang nggak penting, abaikan. Ayo...”
Citra mengikuti Olla dengan sesuatu yang mengganggu di otaknya. Ia duduk di tempat yang sudah direservasi Olla. Kedua wanita itu mulai minum, melepaskan segala kepenatan hidup yang sedang terjadi. Olla adalah istri kedua dari seorang Pengusaha tambang. Suaminya itu hanya akan mengunjunginya beberapa kali. Ia kerap kesepian.
Sejurus dengan itu, Citra juga merasakan hal yang sama. Namun, Citra bukanlah istri kedua. Ia baru saja menikah dengan pria bernama Nicholas setahun lalu. Suaminya adalah pria yang sempurna di mata wanita lain. Kaya raya, tampan, punya banyak properti, setiap hari ia memberikan bunga mawar di tempat tidur Citra, sebagai sapaan suami tercinta pada sang istri. Setiap hari pula, Nicholas mengunggahnya ke media sosial. Hal itu membuat citranya sebagai suami semakin baik. Banyak Wanita yang ingin ada di posisi Wanita itu.
Sebagai wanita pada umumnya, Citra pasti bahagia tiada terkira. Hidupnya sempurna. Pernikahan yang terjadi karena perjodohan paksa itu, ternyata begitu indah. Banyak yang mengatakan kalau Citra sangat beruntung dijodohkan dengan Nicholas. Ke mana pun mereka pergi, menghadiri acara-acara penting, Nicholas kerap menggenggam tangannya mesra. Perlakuan manis, seperti menarik kursi, membukakan pintu mobil, atau mengusap sisa makanan yang menempel di bibir, selalu ia tunjukkan di depan umum. Namun, semua itu hanyalah pencitraan semata.
Nyatanya, Nicholas tidak menyukai wanita. Ia sudah memiliki kekasih, dan itu ia beri tahu pada Citra saat malam pertama pernikahan mereka. Alhasil, Citra melewati malam pertama tanpa melakukan hubungan suami istri. Ini adalah mimpi terburuk dalam hidupmnya. Namun apa daya, pernikahan mereka sudah terlaksana dengan meriah dan megah. Keluarga dua belah pihak juga sangat bahagia atas pernikahan mereka. Beginilah kehidupan, tak selamanya berjalan sesuai dengan keinginan. Hidup manusia memang tidak ada yang sempurna.
Olla menyenggol lengan Citra.”Ngelamun!”
Citra tersenyum tipis.”Iya...”
“Masih mikirin Nicho?”Sebagai sahabat, Olla tahu betul perihal rumah tangga Citra. Mereka selalu berbagi cerita karena mereka tak mungkin menceritakannya pada orang lain.
Citra menopang dagunya.“Ya, nggak habis pikir...kenapa dia nggak mau menceraikan aku aja. Dia bisa hidup bebas dengan pacarnya itu.”
“Dia memikirkan hubungan keluarga kalian, Citra. Lagi pula...dia selalu bersikap baik,kan? Uang bulananmu saja begitu banyak.” Olla mencoba menenangkan. Ia tahu bagaimana rasanya ada di pihak yang tidak dianggap. Bedanya, Citra melihat suaminya setiap hari dan orang tua pasangannya meretui pernikahan itu. Sementara ia mengalami hal sebaliknya.
“Orangtuaku sudah mulai bertanya soal kehamilan...mertua juga.” Citra menelan ludahnya kelu.
Olla tertawa terbahak-bahak.”Bagaimana mau hamil, kalau sampai detik ini saja kau masih perawan.” Wanita itu kembali tertawa.
Citra memijit pelipisnya.“Apa Nicholas tidak tahu, kalau aku juga mau merasakan yang namanya bercinta. Jika dia tidak mau melakukannya denganku, harusnya dia melepasku saja. Dengan begitu, aku bisa cari laki-laki lain. Setahun berlalu, dan terasa sia-sia.”
Olla menatap Citra serius.”Kau sudah sering diskusi dengan Nicholas bukan?”
“Soal apa?”tanay Citra.
“Mengenai hubungan kalian. Apa dia melarangmu punya hubungan dengan pria lain?”
Citra menggeleng.”Nggak. Nicholas sangat baik, Olla, bagaimana aku bisa mengkhianatinya sebagai suami?”
“Tapi, dia mengkhianatimu, Citra...bukan dengan wanita, tapi, pria. Apa kamu itu berharap sama Nicho?” Olla memainkan alisnya,”apa mungkin dia akan mencintaimu sementara dia itu~ah susah kujelaskan.”
Citra tertawa lirih.”Ah...iya. Mungkin, aku pernah berharap, Olla...tapi, rasanya tidak mungkin.” Mata Citra menerawang ke lampu yang berganti-ganti warna.
“Nicho tidak melarangmu memiliki hubungan dengan pria lain,kan?”
“Nggak, justru dia menyarankan agar aku cari pria lain. Tapi, dia meminta agar hubungan pernikahan ini tetap bertahan. Nicho nggak mau, hubungan antara keluarga menjadi rusak. Dia berjanji akan memberikan yang terbaik untukku. Dia juga bersedia membelikan apa pun yang aku mau. Dia sudah minta maaf, kalau dia tidak bisa jatuh cinta padaku. Dia menikah denganku...karena orangtuanya. Sekaligus...menepis rumor yang tidak baik tentangnya.” Citra menghela napas berat, kemudian meneguk segelas minumannya.
“Kalau begitu, carilah pria. Tapi, kau harus beri tahu Nicho juga. Jika suatu saat kau ketahuan dengan pria lain, atau Nicho dengan pria itu...kalian bisa kompak menutupinya.” Olla menatap lurus ke depan. Suara musik yang keras sama sekali tidak mengusik curhatan mereka.
Citra mengambil ponsel dari tasnya. Kemudian melihat jam menunjukkan pukul dua dini hari. Ia mencoba mengirim pesan pada Nicholas.
“Apa aku boleh berhubungan dengan pria lain?”Citra berkata dalam hatinya.
Citra menimang ponselnya. Tidak ada jawaban. Mungkin Nicho sudah tidur. Lima menit kemudian, Nicho membalas pesannya.
“Tentu saja. Carilah pria yang baik dan bisa menjaga rahasia kita.”
“Ada apa?” Olla melongok ke arah Citra yang tertunduk di ponselnya. Citra memperlihatkan pesannya dengan Nicho.
Olla mengusap lengan Citra.”Lihatlah, dia mengizinkanmu. Apa aku perlu mencarikannya?”
Citra mengangkat kedua bahunya. Ia kembali mengisi gelas minuman, kemudian meneguknya sampai habis.
Sekitar pukul empat pagi, Citra tiba di rumah mewah milik Nicholas. Ia berjalan sempoyongan menuju kamarnya. Ia dan Nicholas berada di satu kamar. Pria itu tidak merasa keberatan, hanya saja, mereka memiliki dua kasur di dalamnya. Citra melihat Nicho sedang pulas. Di atas meja, tampak beberapa kertas berserakan, dan laptop terlihat menyala. Mungkin, Nicho baru saja selesai bekerja. Dia adalah pekerja keras. Namun, sayangnya, kerja kerasnya itu bukan untuk Citra. Citra menuju tempat tidur kecil di sudut ruangan, kemudian terhempas dengan pakaian yang masih menempel. Ia langsung tertidur pulas.
Mendengar suara benda terjatuh, mata Nicho terbuka. Ia melihat ke arah belakangnya. Istrinya itu baru saja pulang. Ia bangkit, kemudian menyelimuti Citra. Tidak mencintai Citra, bukan berarti ia tidak mau bersikap baik pada wanita itu. Setidaknya, Citra cukup membantunya dalam kurun setahun ini. Wanita itu adalah teman bersandiwara yang baik.
Pukul sepuluh, Nicho melanjutkan pekerjaannya di balkon, sembari menikmati secangkir kopi. Meskupun ini hari minggu, ia tidak bisa melepaskan pekerjaannya. Dari atas, ia melihat sebuah mobil memasuki pelataran rumahnya. Ia terperanjat, membawa laptopnya ke dalam kamar. Ia cepat-cepat menghampiri Citra.
“Citra...Citra!”
Citra membuka matanya berat.”Ada apa? Sudah siang ya?”
“Iya.” Nicho tersenyum, sangat manis dan memikat.
Citra menggeliat, kemudian bangkit dengan malas. “Apa ada acara yang harus kita hadiri siang ini?”tanyanya sembari menguap
“Nggak ada.” Nicho menatap Citra dengan intens.
Citra mengusap wajahnya dengan kasar. Raut wajahnya terlihat frustrasi.
“Kamu nggak apa-apa?” Nicholas menatap Citra khawatir.
Citra menggeleng, memegang pelipisnya. “Aku kebanyakan minum semalam. Ini juga masih pusing.” Citra berjalan menuju toilet.
“Oh, astaga...kamu harus minum obat. Mama sama Papa ada di depan,”kata Nicho ketika mereka melintasi walk in closet.
“Apa?” Citra terperanjat. Ia menandangi wajahnya di cermin, menciumi rambutnya. Ia harus segera mandi, tapi, ia takut sakit.
“Ah, kamu lakukan apa saja supaya kamu terlihat nggak baru pulang dari club. Aku temui Mama dan Papa duluan. Kamu menyusul secepatnya.”
“Baiklah.” Citra mulai panik. Ia masuk ke dalam toilet, menyalakan air hangat dan mandi.
Nicho memang sangat pengertian. Ia menemui mertuanya di ruang keluarga. Menyapanya dengan hangat.”Ma, Pa...kok nggak bilang mau ke sini? Tahu gitu, Nicho jemput.”
“Ah, kamu ini, jangan begitu. Kamu terlalu baik.”
“Silakan duduk, Ma, Pa.”
“Mana Citra?” Mama Citra menanyakan keberadaan anak perempuannya.
Nicho melihat ke atas.”Ah, lagi di toilet, Ma...sebentar lagi menyusul. Sakit perut katanya.”
Sementara itu, di kamar, Citra kalang kabut. Memoles wajah seadanya saja, agar tidak terlihat begitu pucat dan lelah. Ia pun mengeringkan rambut dengan cepat. Ia segera menemui kedua orangtuanya.
“Ma, Pa...”
“Kalian sibuk nggak?”tanya Papa.
Citra dan Nicho bertukar pandang. Mereka tidak punya jawaban yang disepakati untuk ini.
“Kalau Citra, nggak terlalu, Pa. Memangnya kenapa, Pa?”
“Oh, Papa mau minta temani Nicho lihat rumah yang dijual di blok sebelah. Kelihatannya bagus untuk properti.”
“Ya udah, Pa, Nicho temani.” Nicho tersenyum senang. Di dalam hati, Citra cukup mengagumi Nicho yang bisa bersikap sesuai dengan situasi.
“Mama di sini aja, ya, sama Citra.” Mama Citra berkata dengan mata berbinar. Citra deg-degan, ia sudah bisa menebak Sang Mama pasti akan menanyakan perihal kehamilannya.
“Ya udah kalau gitu. Ayo, Nicho?”
“Aku pergi dulu,ya.” Nicho mengusap puncak kepala Citra dengan lembut.
“Iya, hati-hati.” Citra tersenyum tipis.
“Kamu belum hamil juga?” Pertanyaan spontan itu membuat Citra terkejut. Ia tidak menyangka kalau langsung mendapatkan pertanyaan ini setelah mobil Nicho baru saja keluar dari pintu. Mungkin saja Nicho masih bisa mendengarnya. Tetapi, memangnya pria itu akan peduli? Tentu tidak.
“Belum, Ma.” Citra meringis.
Wanita tua itu terlihat resah.”Kenapa, Citra, ayo kita periksa ke dokter kandungan. Siapa tahu ada masalah. Kalau kita bisa tahu dengan cepat, kita bisa mengatasinya juga dengan cepat.”
“Ma, memangnya harus segera?” Citra bicara hati-hati sekali. Tentu saja ia tidak bisa hamil, sampai sekarang ia masih tersegel dengan baik.
“Citra, suamimu itu sempurna. Pokoknya idaman semua wanita. Jika kamu nggak segera memberikan keturunan, bisa-bisa perempuan lain datang. Kamu dianggap perempuan yang nggak bisa hamil.” Mata tajam Mama Citra jelas terlihat sebagai bentuk kekhawatirannya pada rumah tangga sang anak. Apa lagi, jaman sekarang, banyak sekali istilah perebut suami orang yang diistilahkan dengan Pelakor. Ia tidak akan rela,menantunya yang maha sempurna itu jatuh ke tangan wanita lain.
“Jangan didoakan begitu, Ma.” Citra merengut.
“Kamu nggak tahu, sih, kejamnya kehidupan sekarang. Kamu harus hati-hati.” Wanita paruh baya itu terlihat cemas.
Citra mengangguk lembut, tidak ingin menyakiti hati Mamanya.”Iya, Ma. Citra akan berusaha. Nanti, Citra ajak Mas Nicho ke dokter kandungan untuk program ya.”
“Kalian tidak ada masalah,kan?”tanya sang Mama dengan penuh tanda tanya.
Citra terperanjat.“Kenapa Mama bertanya seperti itu? Kami bahkan belum melakukan pemeriksaan. Terlalu dini untuk ke dokter kandungan. Kami nikmati dulu masa berdua ini.”
Mama Citra memegang kedua tangan Citra dengan begitu serius.”Jangan sakiti Nicho, dia sangat baik. Kamu harus memberikan yang terbaik untuknya.”
Citra mematung beberapa saat. Mamanya lebih khawatir pada Nicho. Andai Mama tahu, bahwa selama ini, anak kandungnya,lah, yang tersakiti oleh keadaan. Namun, semua tidak bisa Citra utarakan.”Iya, Ma.”
Pikiran Citra berkecamuk. Ia diam saja selama menunggu Papa dan Suaminya kembali. Setelah selesai dengan urusan rumah, Nicho mengajak Mertua dan istrinya makan di luar.
“Nicho, sesekali suruh istrimu memasak. Kalau makan di luar terus, kasihan kamu... pengeluarannya besar terus setiap bulan.” Mama Citra berkata dengan nada sindiran. Ia berharap, anaknya bisa sadar dan mau mengerjakan semua kewajibannya sebagai istri pada umumnya.
Nicho tersenyum penuh arti.”Nicho nggak mau Citra capek, Ma. Lagi pula...Nicho bekerja keras untuk keluarga.”
“Oh, kamu ini manis sekali. Beruntung sekali Citra mendapatkan kamu.”
“Nicho yang beruntung mendapatkan Citra, Ma.” Balasan dari sang menantu membuat mertuanya semakin kagum dibuatnya. Tentu mereka semakin yakin, anak perempuan mereka akan hidup bahagia. Pilihan mereka memang tidak pernah salah.
Nicho melirik istrinya yang terlihat tidak senang. Nicho paham, berpura-pura itu memang tidak enak. Setelah ini, ia akan memberikan apa pun yang Citra inginkan sebagai balasan. Begitu sampai di rumah, Citra langsung masuk ke kamar, mengurung diri.
Nicho masuk, menatap istrinya yang cemberut. “Mama bilang apa?”
“Apanya?”
“Pasti ada sesuatu yang bikin kamu cemberut begitu,kan?” tebak Nicho. Pria itu melepas jam tangannya.
“Mama menanyakan kehamilan dan menyuruhku cek kandungan.” Citra menjawab dengan sedikit ketus. Bagaimana pun ia kesal jika dirongrong pertanyaan seperti itu. Ia kesal karena tidak bisa menjelaskan keadaan yang sebenarnya.
Gerakan Nicho terhenti sesaat, ia berdehem. “Terus.. kamu bilang apa?”
“Seperti biasa, ya. Aku dan Nicho akan pergi ke dokter kandungan.”
Nicho menarik napas berat.”Aku akan cari cara untuk itu. Kita akan segera punya anak.”
“Kamu mau nidurin aku gitu?”kata Citra asal.
“Tidak mungkin, Citra...” Nicho tersenyum geli.
“Sampai kapan kita terus begini?” Citra mulai kesal. Apa lagi, senyuman Nicho barusan. Mengejek sekali.
Pria itu melangkah memasuki walk in closet sembari berkata,”selamanya. Aku nggak akan menceraikankan kamu.” Nicho mengambil jaketnya di lemari.
“Why?”tatap Citra kesal.
“Kita sudah pernah bahas. Jawabannya masib sama. Aku harus pergi. Uang bulananmu sudah kutransfer. Hubungi aku kalau masih kurang.” Nicho pergi begitu saja. Citra tahu, kalau Nicho pergi menemui kekasihnya, mungkin, tidak akan pulang, atau pulang ketika sudah pagi.
Citra terduduk lemas. Ini bukan masalah uang, tapi, ia ingin merasakan getaran asamara. Ia ingin bahagia. Air mata Citra menetes. Kekesalan yang tidak beralasan ini membuat dirinya semakin menangis. Siapa yang harus disalahkan? Nicho yang tidak normal? Tapi, dia memperlakukan istrinya dengan sangat baik. Mamanya yang terus memberinya tekanan? Tentu orangtuanya tidak bisa disalahkan, mereka tidak tahu apa-apa. Ini kesalahannya sendiri,pikir Citra. Bukankah dirinya harus bahagia? Sebagai istri sah Nicholas, ia punya uang dan kekuasaan. Nikmati saja.
Citra berganti pakaian. Ia ingin minum kopi di salah satu coffe shop ternama di kota ini. Saat memesan, ia melihat pria di depannya begitu lama sekali memeriksa kantong dan saku di seluruh pakaiannya. Akhirnya ia mendengar kalau uang pria itu kurang untuk membayar kopi pesanannya.
“Pakai ini saja!” Citra menyerahkan sejumlah uang untuk membayar minuman pria itu. Lagi pula tagihannya juga hanya sedikit.
Pria itu tersenyum malu.”Terima kasih. Maaf...ini memalukan.”
“Nggak apa-apa, kadang-kadang, kita lupa berapa jumlah uang yang kita bawa.” Citra tersenyum, kemudian memesan kopi untuknya sendiri.
Axel menatap Citra dari ujung kaki hingga kepala. Wajah wanita di hadapannya seakan tidak asing baginya. Citra menoleh dan tersentum. “Namaku Citra.”
“Axel!”balas Axel memperkenalkan diri.
“Bagaimana kalau kita minum bersama?” tawar Citra.
“Baiklah kalau begitu.” Axel tersipu malu. Baru kali ini ia ditraktir oleh wanita. Harusnya ia mengecek jumlah uangnya dulu sebelum memesan. Memalukan sekali.
“Ayo.” Citra memberi kode pada Axel, memilih tempat duduk yang masih kosong.
“Terima kasih atas bantuannya. Aku akan menggantinya besok.” Axel menyesap kopinya.
“Tidak perlu, sebagai gantinya...temani saja aku ngopi di sini sampai malam.” Citra terkekeh.
“Baiklah...dengan senang hati.”
Sepanjang obrolan, Axel berusaha mengingat-ingat wajah Citra. Baru-baru ini, ia sepertinya pernah bertemu.
“Kenapa melihatku seperti itu?” Lirikan mata Citra sungguh menggoda. Hati Axel bergetar hebat.
Axel membuang pandangan untuk menghilangkan rasa gugupnya. Lalu, menatap Citra kembali. “Sepertinya kita pernah bertemu...”
Citra mengulum senyuman.”Kita bertemu di club, semalam.” Wanita itu mengingat wajah Axel, sempat tersimpan di memorinya. Semalam, ia sempat memikirkan pria yang terlihat begitu seksi. Meskipun sedang memakai kemeja, Citra merasa yakin, Axel memiliki tubuh dan stamina yang bagus. Mungkin ini akibat ia tidak pernah disentuh oleh suami sendiri.
Apakah Nicho cukup menarik? Tentu saja. Tapi, membayangkan pria itu selalu bersama dengan pria, rasanya Citra tidak ingin membayangkannya lagi. Tapi, setahun dalam satu kamar bersama pria, membuat miliknya terus berkedut. Ia ingin merasakan pelepasan. Itu tidak salah bukan, pemikiran Wanita yang sudah menikah bisa berubah menjadi hal-hal berbau arena dewasa.
Axel membuka kembali memorinya. Semalam, ketika ia setengah mabuk, bertemu dengan dua wanita seksi.”Ah, iya...aku setengah mabuk.” Pria itu mengakuinya sembari tertawa.
“Aku ingin mengajakmu ngobrol, sayangnya... temanmu itu cepat-cepat bawa kamu pergi.”
“Dan kita bertemu lagi di sini.” Axel rasa ini adalah hari keberuntungannya. Ia tidak bermaksud jahat pada Citra, ia hanya ingin ada seseorang yang bisa membantunya keluar dari masalah ini.
Citra mengangguk.”Apa setelah ini...kamu ada kegiatan?”
“Tidak ada.”
Citra memperhatikan penampilan Axel dengan saksama.“Mau ke club lagi?”
Axel terdiam beberapa saat. Membawa wanita ke tempat mahal seperti itu, rasanya tidak tepat saat ini. Kondisi keuangannya sedang kacau.
“Aku yang akan bayar semuanya. Kamu... hanya perlu menemaniku,”ucap Citra serius, meskipun ia tahu Axel terlihat ragu dan itu disebabkan karena keuangannya.
Tubuh Axel menegang seketika. Wanita cantik dan seksi seperti Citra mengajak, bahkan akan mentraktirnya. Ini kejadian langka. Tapi, tidak ada salahnya Axel menerima tawaran Citra. Mungkin saja, Citra adalah orang yang memiliki kekuasaan, hingga ia bisa meminta bantuan untuk membangun Perusahaannya kembali.”Ba-baik...”
Citra tersenyum,”ayo kita pergi. Kita makan dulu, terus kita ke club.”
“Kamu mau pergi dengan pakaian seperti itu?” Axel terlihat ragu karena Citra memakai jeans dan kemeja yang cukup tertutup.
Citra tertawa kecil.”Aku lupa...di mana tempat tinggalmu? Aku bisa ganti di sana,kan?”
“Hmmm...sebenarnya aku sudah nggak punya tempat tinggal. Maksudku, mulai besok. Makanya... aku takut kembali ke apartemenku karena...aku belum bayar sewanya.” Axel tidak tahu lagi harus bagaimana. Tidak mungkin ia berbohong demi sebuah gengsi. Ini bukan waktunya untuk menjaga image. Ia sudah benar-benar di ambang kehancuran.
“Oh, ya...apa terjadi sesuatu yang buruk sama kamu?” Citra tampak menunjukkan empatinya.
“Ah, iya, karena kecerobohanku, perusahaanku bangkrut. Kira-kira seperti itulah.” Axel sangat malu menceritakan kisah hidupnya yang memalukan ini.
Citra mengangguk-angguk.”Baik, kalau gitu kita ke butik saja. Sepertinya kamu juga harus ganti pakaian.”
“Oke.” Axel harus mengenyahkan segala keresahan di dalam pikiran. Saatnya untuk bersenang-senang.
Citra membawanya makan malam di sebuah restoran mewah. Hal ini semakin menguatkan dugaan Axel tentang latar belakang Citra. Setelah itu, mereka mampir ke sebuah butik. Wanita itu memilih gaun jenis tube top dress bewarna silver dengan glitter memenuhi permukaannya. Rambutnya yang bergelombang dibiarkan terurai. Lipstik merah yang ia pakai membuatnya semakin terlihat memesona. Axel sendiri harus menelan ludah saat menatap wanita itu.
“Bagaimana denganmu? Sudah ada pilihan?” Citra menyadarkan lamunan Axel.
“Ah, aku.. yang mana saja.” Axel mulai sukar berkonsentrasi.
“Aku pilihkan saja.” Citra mengelilingi butik. Kemudian mengambil kemeja bewarna biru muda. Tanpa banyak bertanya, Axel langsung memakai apa pun yang diserahkan Citra padanya. Puas dengan penampilan Axel, Citra langsung mengajaknya ke Klub.
“Aku baru pertama kali masuk ke sini.” Axel tahu, ini adalah klub termahal di Kota ini. Yang datang hanyalah berasal dari kalangan khusus.
Citra tersenyum, ini juga pertama kalinya ia mengunjungi tempat yang biasa dikunjungi oleh suaminya. Tapi, semoga saja mereka tidak bertemu. “Sebenarnya, pergi ke tempat seperti ini bukan gaya hidupku. Tapi, kadang kala...aku butuh suasana begini untuk melegakan perasaan.” Olla yang memperkenalkan Citra pada dunia malam. Dua wanita yang selalu kesepian, mencari arti kehidupan.
Axel mengangguk setuju.”Ya, sama seperti kamu. Kemarin, aku merasa...hidupku akan benar-benar berakhir. Saat aku harus kehilangan segalanya. Bukannya bangkit, aku malah pergi mabuk.” Axel menertawakan kebodohannya.
“Apa kamu sudah berkeluarga?”
“Belum,”jawab Axel jujur.”Akan sangat sulit, berumah tangga dalam kondisi seperti ini. Tidak akan ada wanita yang akan menerima juga.”
Citra meneguk minumannya. Lalu, sekilas, ia melihat Nicho memasuki ruangan VVIP. Citra berdiri, memastikan bahwa itu adalah suaminya. Dalam hitungan detik, Citra mematung, melihat Nicho dan seorang pria yang tidak ingin Citra ketahui namanya. Mereka begitu mesra. Itu terlihat menjijikkan, tapi, Citra tidak berhak mencampuri urusan pria itu. Apa yang kauharapkan dari pria menjijikkan itu, Citra? Apa kau harus melihat hubungan mereka secara langsung, baru kau percaya? Hati Citra berteriak.
Tiba-tiba saja Citra merasakan pelukan erat di pinggangnya. Axel memeluknya dari belakang, dengan dagu yang disimpan di pundaknya. Senyuman terukir di bibir Citra. Ia menikmati pelukan itu cukup lama. Sekujur tubuhnya bergetar. Ia membalikkan badan, menatap manik cokelat Axel dalam remang-remang club malam. Axel mendekap Citra semakin erat, memberikan kecupan-kecupan lembut di pipi dan berakhir pada bibir merahnya.
Tubuh Citra bergetar, gairahnya terbakar. Citra membalas ciuman Axel dengan begitu bergairah. Axel menarik Citra untuk duduk kembali dan memagut mesra. Citra semakin cepat meneguk gelas demi gelas minumannya. Keduanya terbawa suasana. Citra memutuskan untuk mengakhiri malam.
Hotel bintang lima itu menjadi tujuan terakhir Citra dan Axel. Udara begitu dingin, keduanya sudah setengah sadar. Usai mendapatkan kunci kamar, keduanya berpelukan mesra di dalam lift. Sesekali mereka berciuman, saling menyentuh dan memuja. Sampai di kamar, Citra mendorong tubuh Axel ke tempat tidur, seakan-akan ia adalah wanita yang sungguh ahli dalam hal ini. Ia menurunkan celana Axel, mengusap-usap tonjolan di dalamnya. Tanpa sungkan, ia mengulum benda keras tersebut.
Axel menegang, ia mengangkat tubuh Citra ke tempat tidur. Menurunkan gaun seksi yang membuat miliknya mengeras di dalam klub. Axel mengenyahkan semuanya dari tubuh Citra, mencium leher dan memberikan gigitan kecil di sana. Wanita itu mengerang nikmat, malam ini ia terasa begitu lepas.
Puncak dada bewarna gelap itu kini menjadi sasaran Axel. Ia melahap semuanya. Tubuh Citra melengkung, meminta Axel melakukan lebih dari ini. Pria itu membuka paha Citra. Melihat sesuatu di balik rambut-rambut halus yang menutupinya. Miliknya semakin mengeras, meronta ingin memasukinya.
Axel menyentuh pusat diri Citra yang kini terasa begitu lembap. Wanita itu semakin bergairah dan mendesah. Axel bersiap memenuhi diri Citra. Axel menekan miliknya, sedikit sulit, namun, atas kesadarannya yang sudah melayang ia terus melesak ke dalam. Citra hanya mendesah, kesadarannya juga sudah melayang bersama mimpi-mimpi indahnya.
Malam ini, Citra dan Axel menyatu. Keduanya mendesah begitu liar. Hunjaman-hunjaman keras dari Axel begitu nikmat dirasakan oleh Citra. Apa yang selama ini ia khayalkan sekarang menjadi kenyataan. Keduanya tenggelam dalam gairah malam, lalu Citra merasakan kehangatan di dalam dirinya. Lega dan bahagia. Wajah Citra bercahaya, setelah merasakan pelepasan, lalu terpejam kelelahan.
Axel terbangun sembari memegang kepalanya. Ia melihat ke sekelilingnya. Pakaian berserakan di lantai, lalu, ia melihat Citra masih tergulung selimut di sebelahnya. Ia tersenyum, beberapa detik kemudian ia terperanjat saat menyibak selimut. Ada bercak darah di sprei. Ia menganga, sungguh sulit percaya kalau wanita itu masih virgin. Semalam, ia dan Citra sudah tidak sadarkan diri saat melakukannya.
“Citra...” Axel membangunkan Citra.”Citra, bangun, Citra...”
Wanita itu menggumam, membuka mata.”Hai...”
“Ha-hai. Sudah jam dua belas. Kita harus chek out.”
Citra terkekeh.”Nggak apa-apa, kamu tinggal di sini aja dulu, sampai aku hubungi lagi.”
“Kenapa begitu?”
“Aku masih ada keperluan sama kamu.” Citra bangkit,kemudian memunguti pakaiannya.”Aku harus pulang, Axel...kamu di sini saja.”
“Apa yang kulakukan di sini, Citra?” Axel menggaruk kepalanya.
Citra menoleh.”Menungguku!”
“Citra!” Axel menghentikan langkah wanita itu yang sudah hendak ke dalam toilet.
“Ya?” Citra menghentikan Langkah dan menoleh ke belakang,
“Kamu virgin?”tanya Axel ragu. Ia merasakan hal yang sangat berbeda semalam. Selain itu ia juga melihat sedikit noda darah,
Citra mengangguk lembut,”ya. Terima kasih sudah menembusnya.” Setelah itu ia masuk ke toilet.
Axel mematung di tempatnya. Debaran jantungnya begitu cepat usai mendengarkan ucapan Citra. Wanita itu terlihat santai usai melepas keperawanannya. Apakah setelah ini, ia akan dimintai tanggung jawab, atau justru diminta untuk menikahi Citra atas perbuatannya ini. Perasaan Axel tiba-tiba saja merasa tidak nyaman.
Masih dalam kekagetannya, ponsel Axel berbunyi. Pria itu melihat pesan dari Hans yang sedang mencari keberadaannya. Ia tidak membalas, sebab masih kaget atas kejadian ini. Sepuluh menit kemudian, Citra muncul. Ia bersiap-siap untuk pulang.
“Kamu pesan makanan di hotel ini aja, ya. Masukkan ke dalam tagihanku.” Citra mengeringkan rambutnya.
“Kamu mau ke mana?” Axel dilanda kebingungan. Posisinya ia seperti Wanita dan Citra sebagai lelaki.
“Aku harus pulang. Suamiku menunggu.”Citra menajwab dengan santai.
“Apa!” Ini kesekian kalinya Axel kaget atas ucapan Citra. Wanita itu sudah bersuami tetapi masih perawan. Apa saat ini ia sedang dipermainkan atau bagaimana. Ia mulai pusing tujuh keliling.
“Nanti aku jelaskan. Aku pulang dulu. Kita ketemu lagi malam nanti.”Citra terlihat buru-buru. Ia segera pergi, meninggalkan sejuta pertanyaan di benak Axel.
“Apa ini!” Axel memegang kepalanya frustrasi. Masih dalam kebingungannya, Axel menghubungi Hans. Mereka membuat janji sembari makan siang.
Citra masuk ke dalam rumah. Ia langsung masuk ke kamar. Di sana, ia melihat Nicho sedang merapikan beberapa barang dari laci meja kerjanya.
“Kamu nggak pulang semalam?”tanya Nicho langsung. Sudah Citra katakan, Nicho adalah lelaki yang perhatian.
“Iya,”jawab Citra.
“Jangan terlalu sering, bisa-bisa dilihat orang yang kita kenal.”
“Baiklah.” Citra tidak bisa membantah selain menikmati sandiwara ini.
“Aku harus ke luar kota, satu minggu.”
“Kerja?”
“Sekalian liburan.” Nicho menjawab dengan santai. Keputusan Citra untuk mencari kebahagiaan lain tidak salah. Liburan? Mungkin Nicho akan liburan bersama kekasihnya.
Citra menghela napas panjang.”Oke, lah.” Ia melangkah ke nakas, meneguk air mineral yang tersedia di atasnya.
“Kemarin kamu bersama seorang pria?”
Gerakan Citra berhenti, ia melihat Nicho melalui ekor matanya. Ia mengangguk saja.
“Hati-hati,ya. Di sana banyak orang yang kenal kita.”
“Baiklah, aku akan berhati-hati mulai sekarang.” Citra tidak peduli dengan Nicho yang kerap mengingatkannya untuk berhati-hati. Sementara pria itu sendiri terlihat bermesraan dengan seorang pria secara terang-terangan.
“Uangmu masih ada?”
Citra tersenyum penuh arti.”Masih ada. Tapi, aku nggak akan menolak kalau kamu mau transfer lagi.”
Nicho tertawa,”ya sudah, nanti ya...aku siap-siap dulu.”
“Perlu aku bantu?” Citra menawarkan bantuan.
“Hmmm...kayaknya sudah selesai semua. Kamu sudah makan siang?”
“Belum, aku baru bangun.” Citra tertawa kecil.
“Kamu terlihat bahagia, syukurlah.” Nicho tersenyum lega.
Citra mengangguk saja, rasanya tidak ada yang bisa ia ungkapkan isi hatinya secara gamblang di hadapan Nicho.
“Ganti baju, kita pergi makan siang.”
“Sekarang?” Citra terbelalak
“Iya dong. Jam tiga aku harus berangkat. Aku tunggu di bawah, ya?” Nicho mengedipkan sebelah matanya.
“Astaga!” Citra menggeleng-gelengkan kepalanya. Tapi, ia memang sedang lapar. Makan bersama Nicho, tentu ia bebas memesan apa pun. Citra bergegas mengganti pakaian, merapikan riasan wajah dan segera menemui suaminya itu.
Keduanya tampak serasi memasuki sebuah tempat makan yang menjadi favorit Citra. Wanita itu memeluk lengan Nicho sembari mengumbar senyuman pada siapa saja yang menyambut kedatangan mereka. Beberapa kali mereka mengunjungi rumah makan lesehan ini, ketika Citra meminta. Tempat makan itu terlihat sederhana untuk orang seperti Nicho. Tapi, pria itu memang begitu manis, memperlakukan Citra dengan sebaik-baiknya meskipun tidak cinta. Mereka disambut begitu hangat di sana. Apa lagi, semua orang tahu siapa Nicholas sebenarnya. Tentu mereka akan memberikan pelayanan terbaik.
Axel menyemburkan minuman yang sudah hampir ia telan. Hans langsung bergidik, jijik atas ulah temannya.
“Malu-maluin!”
Axel mengusap wajah dan tangannya dengan tisu “I-itu!”tangannya yang kering menunjuk ke arah Nicho dan Citra.
Hans menoleh ke arah itu, ia terkejut.”Nicho sama istrinya.”
“Apa? Itu suaminya?” Axel kaget setengah mati. Citra, wanita yang ia renggut keperawanannya memiliki suami sesempurna itu. Satu kali lihat saja, Axel langsung tahu kalau Nicho adalah pria kaya raya.
Hans mengangkat kedua alisnya,“Iya, kenapa? Mereka serasi, kan? Satunya tampan, satunya cantik.”
Axel terbelalak. Biji matanya hampir ekluar karena ia tak percaya dengan ucapan Hans.“Kau yakin itu suaminya?”
“Kau ini kenapa, hah? Mau nyari masalah sama dia?” Hans mengambil ponsel, membuka salah satu media sosial milik Nicho. Hans menunjukkan foto pernikahan Nicho dan Citra, beserta momen kemesraan keduanya. Tangan Axel bergetar.
“Jangan bilang kau naksir Citra?” Hans melirik sinis. “Hati-hati....”
“Bu-bukan itu.”
“Lalu?”
“Aku tidur dengannya semalam.”
Hans tertawa terbahak-bahak. Sahabatnya itu pasti sedang berhalusinasi karena sudah bangkrut.”Kurasa kau berhalusinasi, Axel. Aku tahu, Citra itu tipe wanita idaman, tapi, jangan begitu. Dia sudah bersuami. Nicho bukanlah orang sembarangan di Kota ini. Bisa-bisa nyawamu melayang kalau ketahuan.”
“Ah, kau ini. Terserah,lah...kau pikir aku dapat uang dari mana menyewa hotel semahal itu? Bahkan, nanti, katanya dia akan datang lagi ke hotel.” Axel terlihat kesal karena Hans tidak mempercayainya. Tetapi, jika situasinya seperti ini, ucapannya memang terdengar seperti omong kosong.
Hans menggeleng geli.”Aku anggak kau lagi ngelucu.”
“Ya lihat aja nanti.” Axel melahap makan siangnya.
Hans menepuk sahabatnya dengan kasihan. Mungkin sudah begitu buntu pikirannya sampai berhalusinasi seperti itu.“Ke mana saja kau semalam? Bukannya menyelesaikan masalahmu, malah menghilang.”
“Sudah kubilang, aku bersama Citra. Menghabiskan malam bersama.” Axel menatap Hans sebal.
Hans mengernyit.”Aku nggak bisa percaya gitu aja.”
“Ya udah, aku nggak punya jawaban lain.” Axel melanjutkan makannya. Ia tidak melirik atau berusaha memberi tahu keberadaannya saat ini pada Citra. Ia tidak ingin mencari masalah, jika wanita itu memang sudah bersuami.
“Citra, habis ini, sopir yang antar kamu pulang,ya? Biar aku naik taksi aja langsung ke Bandara,”kata Nicho usai melihat gawainya.
“Kamu aja yang diantar sopir. Aku bisa naik taksi, kan, dekat...” Citra beralasan, padahal, saat ini ia melihat Axel yang berada tidak jauh darinya. Tapi, Citra tidak mengerti, kenapa ia harus menyembunyikan apa yang akan ia lakukan. Padahal, Nicho tidak akan peduli atau sampai marah.
“Beneran nggak apa-apa?” Nicho meyakinkan.
Citra mengangguk.”Iya. Have fun,ya.”
“Hubungi aku kalau butuh apa pun.”
Citra membalasnya dengan senyuman. Ia menghabiskan makan siangnya dengan cepat. Kemudian, Nicho membayar makanan dan pamit pergi ke Bandara bersama sopir. Setelah Nicho pergi, Citra menghampiri Hans dan Axel.
“Hai!” Citra tersenyum.
Hans menganga tidak percaya. Tidak mungkin Citra menghampiri orang yang tidak dikenal. Sekarang, ia berpikir kalau wanita itu bermain di belakang Hans.
“H-hai...” Hans terlihat bingung.
“Silakan duduk, Citra,”kata Axel dengan tenang. Ia melayangkan tatapan mengejek pada Hans yang tadi sempat menertawakannya.
Citra duduk dengan tenang.“Thanks, untung ketemu di sini. Aku mau menemui kamu di Hotel. Kan, udah kubilang, makan aja di Hotel.”
Hans menatap Citra dan Axel bergantian, sekarang ia mulai percaya bahwa di antara keduanya sudah terjadi sesuatu. Tapi, saat ini, ia memilih diam.
“Aku tunggu di hotel saja,ya, Axel. Aku mau bicara penting.”
“Kenapa nggak di sini aja?”kata Axel.
“Di sini tempat umum. Nggak enak kalau dilihat orang. Jadi, aku pergi dulu ke Hotel naik taksi, terus... kamu sama temen kamu ini bisa menyusul setelah selesai makan.” Citra harus ingat dengan pesan Nicho agar dirinya berhati-hati saat di tempat umum.
“Baiklah.” Axel mengerti.
“Aku duluan.” Citra meninggalkan tempat itu dengan segera.
“Kalian beneran kenal?” Hans melongo.
“Sudah kubilang, kau nggak percaya.” Axel mendecih. Keduanya menyelesaikan makan siang mereka. Hans ikut Axel ke Hotel untuk memastikan Axel tidak berkaitan terlalu jauh dengan Citra. Mereka masuk ke dalam kamar di mana semalam Citra dan Axel tidur bersama.
Begitu masuk, mereka dikejutkan dengan kehadiran Olla. Wanita itu akan menjadi saksi perjanjian antara Axel dan Olla.
“Silakan duduk.”
Hans duduk dengan tegang, tapi, Axel terlihat santai. Pria itu memang tidak tahu betul siapa suami Citra. Berbeda dengan Hans yang justru lebih khawatir dibandingkan Axel sendiri.
“Ada apa, Citra?”
“Baik, kita langsung saja. Kalian berdua jadi saksi!”kata Citra sembari menatap Olla dan Hans.
“Aku ingin, kamu menjadi simpananku,” katanya pada Axel.
“Apa?” Hans dan Axel sama-sama berteriak.
“Apa maksudmu simpanan?” Axel menganga. “Bukankah suamimu itu sangat baik padamu.”
“Kamu mau nggak?” Citra seakan tidak peduli dengan pertanyaan Axel.
“Ya...aku harus tahu alasannya kenapa, kan? Aku juga takut kalau tiba-tiba suamimu datang dan marah padaku.”
“Suamiku tahu perihal ini. Suamiku tahu hubungan kita.”
Ucapan Citra tidak sepenuhnya bisa dicerna oleh Hans maupun Axel. Citra menatap Axel dan Hans dengan serius.”Aku dan Nicho menikah, tapi, tidak saling mencintai. Kami hidup bersama, tapi, tidak melakukan hubungan suami istri sebagaimana mestinya. Jadi, aku minta...kamu menjadi laki-laki yang bisa memuaskan aku di ranjang.”
Axel berkedip berkali-kali. Pantas saja, Citra masih perawan padahal sudah menikah. Inilah jawabannya.
“Apa keuntungan yang Axel dapat jika dia menjadi simpananmu? Kamu tahu,kan, kalau risikonya begitu besar?” Sekarang Hans angkat bicara. Ia butuh sebuah jaminan agar sahabatnya hidup tenang.
“Suamiku nggak akan marah atau protes. Aku akan jamin itu. Biaya hidup Axel, biar aku yang tanggung.”
“Jangan! Jangan gitu,”tolak Axel.
“Heh, kenapa kaumenolak. Kau butuh penyambung hidup!”seru Hans. Lalu, ia menatap Citra,”Perusahaannya sedang bangkrut, apa kamu bisa membantunya bangkit kembali?”
Citra mengangguk,”bisa. Katakan saja, apa maumu. Tapi, kau juga harus menuruti apa mauku.”
“Baik, jika kamu bisa membangkitkan Perusahaanku lagi. Aku setuju,”kata Axel tanpa ragu-ragu lagi.
Citra mengangguk-angguk.”Selama menjadi simpananku, kamu tinggal di apartemenku. Ingat, kalian harus menjaga rahasia ini. Kalau ternyata, kalian berdua melanggar, suamiku yang akan bertindak.”
“Baik.”
“Kau sanggup?”tanya Hans pada Axel. Pria itu belum memiliki banyak pengalaman di ranjang, memangnya bisa memuaskan hasrat Citra.
“Itu urusanku!” Axel menaikkan kedua alisnya dan tertawa.
“Baiklah, terima kasih, Hans dan Olla sudah menjadi saksi.”
Olla mengangguk,”dengan senang hati, Citra, semoga semua berjalan lancar ya. Aku harus pergi.”
Citra dan Olla berpelukan sebelum berpisah, kemudian, wanita itu pamit. Hans pun ikut pamit. Tinggallah Citra dan Axel berdua di dalam kamar.
“Maaf, aku baru tahu kalau kau sudah bersuami.”
“Bukan masalah.” Citra tersenyum, kemudian menutup pintu kamar. Ia melepaskan pakaiannya, menyisakan pakaian dalam. Wanita itu naik ke atas kasur. Sementara Axel tertegun, menelan ludahnya menyaksikan pemandangan siang ini.
“Kenapa diam saja? Sini, duduk di sebelahku!” perintah Citra.
Axel mengangguk, perlahan, ia naik ke atas tempat tidur. Duduk bersandar di sebelah Citra. Ekor matanya bergerak, mencuri pandang ke gundukan kenyal yang mencuat. Citra menyalakan televisi.
“Apa yang aku lakukan selama menjadi simpananmu?”
“Memuaskanku, menemaniku, ada kapan saja saat aku mau,”jawab Citra.
“Bagaimana jika aku menginginkanmu?”tanya Axel mulau berani. Itu bisa saja terjadi, seperti saat ini yang tiba-tiba saja menginginkan tubuh Citra.
“Kamu harus tanya dulu padaku, jika aku bersedia, tentu aja nggak akan ada masalah.”
“Baik. Lalu, apa lagi yang harus kulakukan?”
Citra menatap Axel.”Menjaga rahasia hubungan ini. Menjadi orang asing ketika aku dan suami bersama atau ketika kira tidak sengaja bertemu di luar janji.”
“Bagaimana dengan keuntungan yang aku dapatkan?”
Citra mengambil tangan Axel, menggenggamnya dengan lembut.”Aku sudah tahu apa yang kauinginkan. Akan kulakukan besok.”
“Terima kasih.” Axel tersenyum senang.
Citra memerhatikan setiap lekukan wajah Axel. Pria yang tampan dan seksi, mampu membangkitkan gairahnya dalam pertemuan pertama. Ketampanan Axel bisa disejajarkan dengan Nicholas. Mungkin, karena itu jugalah, Citra tertarik.
Citra menghadap ke Axel, menatap wajah pria itu lekat-lekat. Mendekatkan wajahnya, melumat bibir Axel dengan lembut. Axel membalas ciuman Citra. Kali ini, mereka memulainya dengan kesadaran penuh. Ada sedikit rasa canggung, tapi, Axel harus membiasakan diri. Satu tangannya mencoba memberanikan diri menyentuh buah dada Citra. Mengusap-usap pelan, lalu kedua tangannya melingkar di tubuh wanita itu. Axel membuka kaitan bra. Mengenyahkan penutup daging lembut dan putih itu dengan asal. Ciuman mereka terlepas. Bibir seksi Axel mendarat di leher Citra, memberikan kecupan bertubi-tubi di sana. Citra menggelinjang, meremas rambut Axel. Bibir Axel bergerak pada bagian yang sejak tadi membangunkan gairahnya.
Puncak dada bewarna kecoklatan itu kini basah oleh lumatan-lumatan Axel. Kini, Citra dibaringkan dengan keadaan sudah lemah. Axel kembali menyerang puncak dada Citra, memberikan gigitan-gigitan kecil dan bercak kemerahan di sekitarnya.
Suara desahan Citra menggema. Axel mengecup perutnya. Sekarang, Axel tengah menurunkan celana dalamnya. Kedua pahanya dibuka lebar-lebar, wajah Axel tenggelam di sana. Citra terbelalak,ingin mencegah,tetapi, lidah Axel sudah menelusuri bagian intimnya.
“Axel!” Citra tidak bisa menahankankan rasa nikmatnya. Desahan-desahan nikmat kini keluar dari bibir merahnya. Ia mencoba menghentikan pria itu karena tidak tahan lagi.
Axel berhenti, sekarang, ia membuka semua pakaiannya. Wajah Citra terasa panas melihat milik Axel terlihat tegang. Ia tidak ingat bagaimana semalam benda itu memasukinya. Katanya, di hubungan pertama kali, akan merasakan sakit yang luar biasa. Tapi, masa itu sudah ia lalui dengan tidak sadar. Semoga saja, kali ini tidak sakit lagi.
Axel memasuki Citra. Ia merasakan miliknya seakan dihimpit benda yang sangat rapat. Namun, ia ingat tugasnya di sini adalah untuk memuaskan. Tidak boleh ada ejakulasi dini. Pria itu menghunjam beberapa kali dengan pelan, lalu bergerak cepat, kemudian berhenti untuk mencumbu Citra.
Tubuh Citra terasa begitu rileks. Sentuhan demi sentuhan Axel mampu membuatnya merasakan ketenangan. Axel kembali menghunjam, kali ini dengan keras dan cepat. Keduanya pun mendesah bersamaan saat mencapai puncak kenikmatan. Citra mengatur napas, tidak salah ia memilih Axel.
Esok harinya, Citra membawa Axel ke apartemen. Di sinilah, nantinya percintaan demi percintaan akan tercipta di antara mereka. Lebih bagus jika nantinya Citra bisa hamil. Nicho justru akan senang, sebab, mereka tidak akan dikejar dengan pertanyaan itu. Nicho juga tidak perlu menghamili Citra, dan tentunya itu tidak akan pernah terjadi.
Usai mengurus apartemen, dua hari kemudian, Citra mengurus Perusahaan Axel, tentunya ia meminta sedikit bantuan dari Nicho. Hubungan ini benar-benar aneh, tapi, keduanya terlihat bahagia dengan kehidupan masing-masing. Nicho dengan kekasihnya, sementara Citra dengan pria simpanannya.
“Terima kasih sudah membantu. Aku nggak tahu harus bagaimana berterima kasih.”Axel merasa sedang menang undian. Ia benar-benar beruntung bertemu dengan Citra.
Citra mengusap dada Axel.”Cukup laksanakan tugasmu dengan baik!”
Axel tertawa kecil, ia membukakan pintu mobil untuk Citra.”Akan kuberikan yang terbaik.”
Mobil melaju kembali ke apartemen. Keduanya duduk berdampingan dengan hening.
“Besok, aku sudah mulai bekerja,ya?”kata Axel meminta izin pada Wanita itu.
Citra melirik,”bukankah lebih enak kalau kamu menunggu uangku saja?”
“Tidak bisa begitu. Aku juga harus bekerja keras. Boleh,kan?”
“Iya, boleh. Asalkan kamu tidak melupakan tugasmu saja.” Citra terpaksa menuruti keinginan Axel. Ia tidak bisa terlalu mengekang lelaki itu. Setiap manusia memiliki kegiatannya sendiri.
Axel memberikan kecupan di pipi Citra.”Baik, sayang....”
Senyuman Citra mengembang, ia membiarkan Axel menggenggam tangannya sekarang. Ia merasa nyaman bersama lelaki itu. Kini, ia menyandarkan kepala di lengan Axel. Hubungan ini berjalan baik. Nicho bahagia dengan kekasihnya, begitu juga dengan Citra.
“Hari ini kamu pulang?”
Citra mengecek ponselnya, membaca pesan Nicho yang minta agar Citra sudah ada di rumah saat sore hari. Katanya, kedua orangtua Nicho akan datang menengok anak dan menantunya. “Masih beberapa jam lagi. Aku bisa istirahat di Apartemen dulu.”
“Baiklah, sayang.” Kecupan lembut mendarat di kening Citra. Perasaan keduanya menghangat. Benih-benig cinta mulai tumbuh di antara mereka.
Begitu sampai di apartemen, Axel mengganti pakaiannya. Ia pergi ke dapur, membuka lemari pendingin mengecek isinya.
“Kamu ngapain?”
“Aku mau masak mi instan, mau nggak?”
Citra tertawa kecil, sejak tinggal bersama Nicho, tentu saja ia tidak pernah makan yang namanya mi instan. Pria itu tidak akan membiarkan makanan jenis itu ada di rumahnya.”Boleh, kalau nggak keberatan.”
“Oke, tunggu,ya.”
Sembari menunggu Axel memasak, Citra mandi, memakai lingerie hitam transparan. Ia lebih nyaman memakainya ketika ada di rumah. Sekaligus, jika tiba-tiba ia menginginkan milik Axel, ia bisa langsung menggoda lelaki itu.
Kaki jenjang Citra melangkah ke dapur. Ia duduk di kursi, di hadapan Axel yang sudah selesai. Gerakan Axel melambat melihat wanita itu begitu menggairahkan. Ia tidak habis pikir, kenapa suami Citra tidak tertarik. Axel bahkan tidak ingat kalau Nicho tidak bisa mencintai wanita.
“Silakan dimakan.”
Citra mengangguk, menghabiskan satu mangkuk mi instan. Perutnya terisi penuh. Ia meneguk sebotol air mineral, kemudian pergi ke sofa. Duduk, dengan satu kaki yang ditumpukan ke paha lainnya. Axel menyusul wanita itu, duduk di sebelahnya.
“Kapan kita ketemu lagi jika kamu pulang?”
Citra berpikir sejenak, ia harus menyesuaikand engan jadwalnya. BISa saja orang tuanya sewaktu-waktu datang ke rumah.“Mungkin, beberapa hari lagi. Aku akan menghubungimu.”
“Bagaimana kalau aku merindukanmu?”tanya Axel yang kini mulai berani menggoda Citra. Wanita itu kini memenuhi otaknya.
Citra tertawa sembari menyelami setiap sudut mata Axel. Pria itu terlihat tulus.”Apa kamu merindukanku, kalau aku tidak ada?”
Axel meraih tangan Citra, menggenggam serta mengecupnya.”Tentu saja, sayang, aku... sepertinya sudah jatuh cinta padamu!”
“Cinta?” Mata Citra berkaca-kaca.
“Iya, aku...jatuh cinta padamu. Maukah kamu jadi kekasihku?”
Citra tertawa lirih, ia tidak bisa percaya dengan apa yang sedang terjadi. Axel tidak perlu mengatakan cinta, karena mereka akan terus bersama.”Kamu nggak perlu menyatakan cinta, Axel, hubungan kita akan tetap begini.”
“Tapi, aku serius.”
“Aku sulit percaya...,tapi, rasanya akan sulit, Axel.”Citra menarik tangannya perlahan. Ia membutuhkan Axel sebagai teman tidur saja. Selebihnya tidak perlu dibicarakan, karena entah kenapa ia masih menghargai Nicho.
Axel mengangguk mengerti.”Ya sudah kalau begitu. Maafkan aku sudah memaksa,ya. Harusnya aku tidak bisa seperti ini.”
“Jangan sedih, kita kan tetap bisa menjalani hubungan seperti ini.” Citra memegang pipi Axel.
Pria itu mengangguk, meraih tangan Citra, mengecupnya lembut. Ia mengangkat tubuh Citra ke pangkuannya. Memeluk dan mencumbu. Percikan gairah itu membara seketika. Citra mulai gelisah ketika Axel mengusap kedua buah dadanya. Ia membalikkan badan, memeluk leher Axel dan melumat bibirnya.
Aksi Citra yang terkesan sangat seksi di mata Axel. Pria itu semakin bersemangat, meremas bokong, dan kedua tangannya menelusup ke dalam lingerie. Punggung halus Citra diusap-usap, membakar gairah menjadi lebih besar lagi.
Pelan-pelan, Axel menggendong Citra ke kamar. Melepaskan semua pakaian mereka, kemudian mencumbu setiap inchi tubuh Citra. Axel membalikkan tubuh Citra, mengusap dan mengecup punggung wanita itu. Perasaan Citra melayang hingga langit ke tujuh.
Axel menarik bokong Citra, sedikit menungging, kemudian ia berusaha memasukinya dengan posisi itu. Kedua tangan Citra meremas sprei. Dirinya terasa begitu penuh dan sesak oleh milik Axel. Namun, hal seperti ini yang ia dambakan sejak dulu dari suaminya. Ah, mengapa ia harus mengingat Nicho di kondisi seperti ini. Tidak ada yang bisa diharapkan dari pria itu. Kedua lurut Citra terasa lemas sebab Axel menghunjamnya berkali-kali dengan keras. Axel memberikan jeda, membaringkan Citra.
Namun, jeda yang diberikan Axel tidak sepenuhnya benar. Citra mendorong Axel pelan agar berbaring. Pria itu menurut saja. Citra naik ke atas tubuh Axel, menyatukan diri mereka. Kedua tangan mereka menyatu, saling menggenggam. Pinggul Citra bergerak memutar. Ia tidak begitu paham dengan gaya ini, tapi, ia ingin mencoba. Kelembutan gerakan Citra membuatnya justru semakin bergairah. Ada sesuatu yang ingin meledak di dalam dirinya, tapi, tertahan. Kedua tangannya meremas puncak dada Citra, sembari menahan untuk bercinta lebih lama lagi.
339Please respect copyright.PENANAb9BaTpICBt
Bersambung...