"Dia menyebalkan, sungguh," keluh gadis itu padaku beberapa hari yang lalu.
"Lantas mengapa kamu masih berada di dekatnya?" tanyaku heran.
Gadis itu mengusap belakang lehernya. Sejujurnya, ia juga bingung. Maka, ia menjawabku dengan ragu, "Karena kami teman?"
Gadis itu bingung. Ia tidak dekat dengan siapapun di kelas barunya. Sahabat-sahabatnya tidak lagi berada di kelas yang sama dengannya. Ia bingung; entah harus berbincang dengan siapa dan bagaimana. Setidaknya, itu yang ia pikirkan sebelum laki-laki itu duduk di sebelahnya.
Laki-laki itu terlihat sedikit menyebalkan, sedikit angkuh. Tidak masalah, selama lelak itu bisa diajak bicara, gadis itu tidak masalah. Perlahan, gadis itu mengawali percakapan dengan pertanyaan. Pertanyaan tentang pelajaran.
"Itu maksudnya apa, ya?"
Sebuah pertanyaan yang sebenarnya tak perlu dipertanyakan. Gadis itu sudah tahu, ia sudah belajar di malam sebelumnya. Lelaki di sebelahnya menoleh, lantas menjelaskan dengan suara pelan agar tidak menganggu penjelasan guru di depan. Tangannya terampil dalam menorehkan goresan tinta sambil menjelaskan yang tertulis di papan tulis depan. Gadis itu berterima kasih.
Itu adalah hari pertama.
Hari kedua dan seterusnya, gadis itu masih duduk di samping si lelaki. Sedikit menjahilinya. Sedikit menganggunya. Sedikit usil. Hingga tanpa sadar mereka sudah berteman begitu dekat. Saling mengejek. Tertawa bersama. Saling berbagi kisah yang membuat perasaan gundah. Lelaki itu menyukai sahabat si Gadis, itu adalah pernyataan yang dilontarkan si lelaki setelah 3 bulan berteman dengan si Gadis.
Gadis itu mengernyitkan dahi. Bertanya, "Serius?" dan dijawab dengan anggukan. Gadis itu menghela napas. Tersenyum prihatin. "Semangat, ya, aku yakin pasti susah," ucap si Gadis.
Bagaimana tidak? Sahabatnya satu itu memang anggun, cantik, baik hati, rajin, dan cerdas. Namun, sahabatnya telah menjatuhkan hatinya pada seorang cerdas nan baik hati dari kota kelahiran ibunya selama lebih dari 6 tahun.
Setiap kali lelaki itu memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan sahabat gadis itu, akhirnya pasti selalu diceritakan pada si gadis. Ia berpapasan, lelaki itu akan cerita. Sahabat gadis itu tersenyum padanya, lelaki itu akan cerita. Bahkan ketika ia tahu akan ditolak, lelaki itu tetap menceritakannya. Hingga pada bulan ke-6 setelah awal mereka berteman, lelaki itu berhenti membicarakan tentang sahabat si gadis.
Sebenarnya, gadis itu heran, tapi ya sudahlah, itu urusan keduanya. Seharusnya, gadis itu menggali lebih dalam. Atau setidaknya, ia lebih peka sedikit. Salah, gadis itu peka, ia tahu, tapi ia memilih untuk diam, bungkam, dan menolaknya sebelum hal tersebut terkonfirmasi. Denial, singkatnya. Pasalnya, di suatu hari yang cerah; tanpa mendung, tanpa hujan, lelaki itu melakukan sesuatu yang tidak terduga.
"Ayo lomba bareng," ajak lelaki itu.
Gadis itu menimbang, bimbang. Ia takut akan menyusahkan. Ia tidak sepintar itu. Ia tidak ingin menghalangi temannya untuk meraih juara. Sungguh, ia tidak ingin. Setelah pembicaraan dan debat yang sedikit alot, gadis itu secara mutlak memutuskan bahwa ia menolak. Itu keputusan yang masuk akal, tapi tidak bagi lelaki itu.
Ia kesal. Ia marah. Kecewa. Entahlah, gadis itu pun tak mengerti. Apa yang salah? Gadis itu hanya bisa menggelengkan kepalanya pasrah. Rasa-rasanya ia seperti menghadapi seorang perempuan yang baru saja PMS. Sulit ditebak dan sulit dimengerti.
"Jadi yang perempuan itu siapa sih? Kenapa kamu yang marah?" tanya gadis itu dengan sangat bingung.
"Aku tuh mengajakmu karena aku suka padamu!" aku si lelaki kesal.
"Ya, tidak usah pakai marah-marah," protes si gadis itu.
Pertengkaran itu tidak berlangsung lama. Namun, dampaknya berlangsung cukup lama. 1 minggu, si gadis mendiamkan lelaki itu. Menghindarinya. Membuang muka kala bersitatap dengan sang lelaki. 1 bulan, hubungan mereka tak kunjung membaik. Tidak lagi duduk bersama. Tidak lagi berbincang dengan seru. Pun dengan candaan yang biasa terlontar.
Lelaki itu menyebalkan, tetapi gadis itu dapat bertahan meladeni seegala egonya sebelum akhirnya pernyataan si lelaki membuat jarak pada keduanya demi mendapatkan ketenangan untuk memikirkan ulang segala yang terjadi selama beberapa bulan ke belakang.
"Kalian masih berteman?"
"Masih. Mengapa tidak? Toh, ia sudah menemukan orang yang ingin menemani di sampingnya," begitu jawab gadis itu.
6 bulan tanpa interaksi berarti, kedua kini kembali menjadi teman dekat.
"Wahai Tuan Menyebalkan"
[END]
08.05.24
ns 18.68.41.177da2