[ North Belobog – Belobog Island, Eridu Regency ]
Pada suatu siang yang terik sekali, ada seorang gadis kecil mengayuh sepedanya cukup cepat. Tampaknya dia sedang buru-buru pergi ke suatu tempat. Di atas kepalanya mengenakan topi jerami penangkal sinar matahari yang menutupi sebagian rambutnya yang berkuncir dua ekor kuda—short twintails. Rambutnya itu berwarna pirang—kuning cerah—selaras dengan warna kedua matanya yang memiliki bentuk bulat. Dia berbadan mungil dengan mengenakan baju tanpa lengan berwarna kuning dengan motif polkadot putih dan celana pendek putih polos. Meskipun badannya tergolong mungil, namun dia cukup kuat mengayuh sepedanya cepat-cepat. Malahan makin lama makin cepat saja.
Gluduk-gluduk~
Dan kedengaranlah suara guruh nan jauh di sana. Padahal saat itu, langit masih tampak sangat cerah bahkan sangat terik, membuat si gadis tersebut merasa kepanasan. Apalagi dia sedang mengayuh sepedanya kuat-kuat.
“Duh, kenapa harus mendung dulu sih di sebelah sana?? Mana deket rumah pula …. Padahal jaraknya masih lumayan jauh, huh ….”
Keluh gadis kecil yang bersuara cempreng itu sambil kedua matanya memandang ke arah timur. Terlihat sekali kalau di sebelah sana, langit sudah berubah menjadi lebih gelap. Sangat kontras dengan langit dari arah lain yang kelihatan masih cerah. Mau tidak mau, dia harus mengorbankan semua tenaganya untuk mengayuh sepeda agar lebih cepat sampai di tempat tujuan. Akan tetapi jalanan di depan sana mulai menurun, gadis kecil itu kurang fokus memperhatikan jalanan. Dia mulai panik lalu mendadak menarik kedua tuas rem sepeda sambil berteriak.
“HWAAA!!!”
Gubrak!!
Sepedanya menabrak tong sampah yang ada di sebelah toko kelontong. Cukup keras tabrakannya hingga membuat si pembeli dan penjaga kasir kaget saat mendengarnya. Mereka berdua seketika keluar melihat situasi.
“Astaga! Sini, biar aku bantu.”
Ucap si pembeli yang merupakan seorang perempuan. Lalu dia mengulurkan tangannya untuk menolong gadis kecil itu. Perempuan yang memiliki rambut panjang berwarna abu-abu dan bermata kuning tersebut membantu si gadis kecil menyingkirkan beberapa kantong sampah kecil yang menghalangi dan membersihkan kotoran pada wajah dan pakaian dari gadis kecil itu. Kemudian perempuan berambut abu-abu tersebut memeriksa cepat apakah ada luka pada wajah, tangan dan kaki dari gadis kecil itu atau tidak. Dilihatnya dengan seksama, untungnya tidak ada gores sama sekali. Hanya ada sedikit memar kecil pada kakinya. Tetapi kalau dilihat-lihat lagi, gadis kecil itu tampak masih shock.
“Syukurlah tidak ada luka lecet. Apa kamu sanggup berdiri, adik kecil?”
Gadis kecil itu hanya mengangguk pelan.
“Baiklah. Akan aku bantu.”
Setelah dibantu berdiri, datanglah seorang ibu-ibu, yaitu si penjaga kasir tadi, datang menghampiri mereka berdua sambil membawa tisu basah dan tisu kering.
“Maaf sekali, aku gak punya perlengkapan P3K di tokoku. Aku hanya bisa membawakan ini saja. Apa dia terluka?” tanya ibu tersebut kepada perempuan berambut abu-abu.
“Untungnya tidak ada. Tapi terima kasih buat tisu ini, Bu. Aku akan pakai buat bersihin sedikit kotoran pada wajahnya.”
Si perempuan rambut abu-abu itu mengambil secarik tisu basah dan tisu kering. Ia mulai membersihkan wajah gadis kecil itu dengan perlahan. Sesudah wajahnya dibersihkan, ia beralih membersihkan kedua tangan dan kedua kakinya.
“Yah, meskipun dia enggak terluka, tapi sangat disayangkan buat celananya. Mungkin sampai rumah nanti, bisa minta tolong ibumu untuk memolesnya sedikit dengan sabun anti noda agar benar-benar bersih,” ucap si ibu penjaga kasir.
“Gapapa… aku bisa membersihkannya sendiri, kok.”
Meski dia berkata begitu, namun dari ekspresi wajahnya, sebenarnya dia cukup sedih melihat celananya yang putih itu menjadi kotor.
“Asalkan kamu tidak apa-apa, kalau untuk pakaian bisa diurus nanti. Tapi apa sekarang kepalamu pusing?” tanya ibu itu kembali.
“Enggak, kok …. Tenang saja, Ibu.”
“Syukurlah …. Tapi saranku, kamu tetap harus periksakan tubuhmu ke klinik terdekat. Siapa tau dia dapat memeriksamu dengan lebih pasti.”
“Itu tidak perlu. Aku sudah baik-baik aja.”
Kemudian gadis kecil itu mengarahkan diri untuk mengambil sepedanya yang jatuh. Namun perempuan rambut abu-abu tersebut membantunya.
“Apa perlu aku antar kamu sampai ke rumah??” Khawatir perempuan rambut abu-abu.
“Enggak perlu.” Gadis itu menjawabnya sambil menggelengkan kepalanya. “Aku bisa sendiri, kok. Sekali lagi, aku ucapkan terima kasih banyak, Kakak rambut abu-abu dan Ibu penjaga toko ….”
“Ah iya, aku Stelle. Jadi, panggil aja aku Kak Stelle.”
Perempuan rambut abu-abu tersenyum dengan tulusnya.
“Wah, kalo aku Hook …. Sekali lagi, makasih banyak ya, Kakak besar Stelle ….”
“Hehe … enggak perlu pakai ‘Kakak besar’ segala …. Terlalu berlebihan, hehehe ….”
“B—Baiklah …. Kalo gitu, aku pulang dulu, Kakak Stelle.”
“Tetap hati-hati di jalan ya, adik Hook ….”
“Ah, jangan pakai ‘adik’, aku ini juga udah dewasa ….”
“Oh, m—maaf ….” Stelle sambil menggaruk rambutnya.
Dengan begitu, si ibu penjaga kasir—atau penjaga toko—dan perempuan yang bernama Stelle saling melambaikan tangan. Gadis kecil berambut pirang itu mulai kembali mengayuh sepedanya. Kali itu dia mengayuhnya lebih hati-hati.
“Kayaknya … aku pernah ngelihat gadis itu di suatu tempat, deh …. Tapi entah kapan dan di mana aku lupa …,” ucap si ibu tersebut.
“Udah lama?” tanya Stelle.
“Ooh … sepertinya minggu kemarin sewaktu aku pergi sore hari buat antar barang pesanan ke klinik yang bangunannya warna putih itu. Tapi cuma sekilas aja, sih. Soalnya sehabis aku melihatnya, dia langsung kabur ke dalam.”
“Oh, begitu, yah?”
“Apa mungkin … dia anak dari salah satu perawat atau bahkan dokter di sana, ya?”
“Mungkin saja.”
“Tapi dokter yang ada di klinik sana, rambutnya enggak pirang, deh.”
“Yah, bisa aja suami atau istrinya keturunan bule.”
“Hmm … bisa jadi.”
Gluduk-gluduk~
Langit kembali bergemuruh. Meskipun perjalanan Hook masih cukup jauh, namun ia tetap konsisten mengayuh sepedanya tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. Pandangannya tetap fokus ke arah depan, berkonsentrasi pula untuk melihat ke kanan-ke kiri saat berada di persimpangan jalan.
Tik-tik-tik
Rintik-rintik hujan mulai turun. Langit yang tadinya cerah, kini menjadi sangat gelap dan cuaca berubah menjadi berangin dan sedikit dingin. Hook yang hanya memakai baju tanpa lengan dan celana pendek mulai merasakan hawa dingin. Ia pun melihat ke arah langit dan memperhatikan titik-titik air hujan yang sudah mulai membasahi kedua tangannya.
“Waduh, udah mau hujan!”
Wushhh~
“Brrr …! Anginnya juga udah mulai dingin. Huh, kenapa bisa ya yang tadinya panas banget, sekarang jadi dingin gini? Apa karena efek pemanasan global kali, ya? Huff … tapi untungnya aku gak lagi kepanasan, sih. Tapi … kalo kaya gini, bisa dibilang untung apa rugi, yah??”
Karena dirasa dirinya sedang terdesak, Hook mau tidak mau mengayuh sepedanya sedikit lebih cepat. Lagipula di jalanan tersebut, sudah tak ada lagi tanjakan maupun turunan. Hook bisa lebih aman untuk mengendarai sepedanya hingga sampai ke tempat tujuan. Lagipula rintikkan air hujannya mulai makin kerasa.
Ciiitt~
Hook mengerem pada sepedanya dan berhenti tepat di bawah kanopi tempat parkir sepeda di samping rumah. Begitu dia memarkirkan sepedanya …
Bresss!!
Hujan deras pun seketika turun.
“Fiuh … untung aja aku udah sampai! Bisa tepat begini, ya? Keren-keren …!”
Hook bangga dengan dirinya sendiri. Setelah itu, ia langsung masuk ke dalam rumah lewat pintu samping yang tembus ke area dapur. Dan kebetulan, di sana ada seorang wanita yang sedang berdiri di depan kompor. Wanita tersebut berambut panjang berwarna biru agak ke abu-abuan. Perawakannya sepintas tampak cukup tinggi. Ketika Hook masuk, pandangannya seketika teralihkan pada wanita itu.
“Kak Natasha … aku sudah pulang…!”
Meriah sekali nada bicaranya.
“Wah, cepat sekali pulangnya, Hook? Apa kamu udah puas main sama teman-temanmu?”
Wanita yang bernama Natasha itu, memiliki bentuk mata yang sedikit sendu berwarna pink. Justru dari bentuk matanya itu, sepertinya dia adalah seorang wanita penyayang anak-anak.
“Aku enggak main sama mereka-mereka, tau! Kami semua melakukan sebuah penelitian soal cara memasak sup ikan dan kari sapi.”
“Belajar memasak? Wah, boleh juga kamu …. Apa itu ide darimu sama anak-anak di sana?”
“Bukan ideku juga, sih … tapi salah satu ide dari mereka. Aku cuma membantu mencatatkan takaran tiap-tiap resepnya.”
“Wah, bisa juga ya ternyata kamu.”
Natasha sejak obrolan tadi sudah senyum-senyum terus.
“Sudah kubilang aku kan bukan anak-anak lagi!”
“Tapi di mataku, kamu tetaplah anak kecilku, Hook.”
“Uh! Ya sudah, terserah Kak Natasha aja ….” “Ah! Pancinya udah menguap!”
“Oh ya, benar juga!”
Natasha langsung mematikan kompor dan membuka penutup panci. Uap panas seketika keluar dan ketika dilihatnya …
“Hmm … untung aja warnanya sudah pas ….”
Kemudian, Natasha mengambil hidangan yang ada di dalamnya lalu menyajikannya ke atas meja. Hook yang melihatnya menjadi sangat penasaran dengan benda ‘bulat-bulat’ yang tersaji di atas sebuah piring.
“Wooow!! Camilan apa ini, Kak Natasha??”
Mata Hook seketika berbinar-binar sembari kedua tangannya memegangi pinggiran meja.
“Kamu enggak tau ini?”
“M—Mana kutau …? Kan kita gak pernah makan beginian …!”
“Apa betul …? Kita pernah makan kok sewaktu di restoran Zhongguo bulan lalu. Tapi mungkin kamu sudah enggak ingat, soalnya bentuknya sedikit berbeda.”
“Terus … ini namanya apa??”
“Namanya mantau isi daging sapi. Yang membuat beda dengan mantau di restoran Zhongguo adalah dari bentuk luarnya dan ketebalan kulitnya. Kalau versi yang aku buat ini kulitnya lebih tebal dan polosan aja. Enggak ada garis-garis ukiran seperti milik restoran Zhongguo yang ada di kota seberang sana.”
“Ooh … begitu, yah??” “Apa aku boleh makan satu sekarang, Kak Natasha?!”
Mulut Hook sudah mulai berliur tebal.
“Nanti dong kalau sudah agak dingin. Ini masih panas banget, loh. Nanti lidahmu bisa melepuh.” “Makanya sembari nunggu, akan aku antarkan ke ruang tengah. Buat kamu, panggil anak-anak yang lain ya, oke?”
“Hook siap laksanakan, Kak Natasha!”
Natasha pun tersenyum lebar melihat tingkah laku Hook yang masih kekanak-kanakan itu. Padahal usianya sudah bukan lagi seperti anak-anak SD atau bahkan SMP. Namun memang begitulah sifat Hook yang selalu tampak polos, ceria dan apa adanya.
Sesudah diantarkan mantau itu ke ruang tengah, Hook sembari memanggil anak-anak yang lain yang berada di dalam kamar mereka. Hook dengan cepat membuka pintu kamar masing-masing tanpa mengetok lebih dulu.
“Semuanya! Kakak Natasha lagi bikin kue mantau, loh! Ayo turun semuanya!”
Begitulah yang dikatakan Hook pada setiap kamar yang ia datangi. Kalimatnya sama semua. Hook membuat heboh penghuni 5 kamar yang ada di lantai 2 itu. Masing-masing kamar dihuni oleh 3-4 anak. Kamarnya dipisah, laki-laki dan perempuan. Untuk jumlah anak laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Tapi jumlahnya tak terlalu beda jauh. Di bawah, Natasha sudah menyiapkan juga minuman berupa teh panas yang disediakan di dalam 3 teko keramik.
Tak perlu menunggu terlalu lama, semua anak yang dari lantai 2 pada turun ramai-ramai hingga suara hentakan kaki mereka sama seperti suara guruh yang ada di luar sana. Hal itu membuat Hook memberikan peringatan kepada mereka semua agar tidak berlari cepat-cepat. Seketika mereka semua menuruti peringatan Hook. Sepertinya dia kecil-kecil tapi ‘ratu’ dari kesemuanya.
“Waahh …! Ini beneran Kakak Natasha yang bikin …?”
Ucap salah satu anak perempuan yang memandang kue mantau tersebut dengan terkesima.
“Iya, Daniela. Kakak Natasha yang bikin.”
“Jadi ini toh yang namanya mantau??”
Ucap salah satu anak laki-laki yang masih penasaran dengan kue buatan Natasha itu.
“Iya, ini kue mantau, Ezra. Bentuknya emang sedikit beda, tapi rasanya Kakak jamin tetap sama enaknya, kok. Tidak kalah sama restoran Zhongguo dari kota seberang.”
“Waahh …! Makin ngiler aja, nih …!”
Seorang anak perempuan lain sangat tergugah dengan kue mantau yang masih kelihatan berasap itu.
“Ellena, tahan dulu. Kita berdoa dulu, ya?”
Natasha langsung menegurnya lembut.
“Oh oke, Kakak Natasha.”
***
Seusai semuanya menghabiskan kue mantau buatan Natasha, anak-anak kembali melakukan aktifitasnya seperti biasa. Ada yang menyapu, ada yang mengepel, ada yang membereskan tempat tidurnya, ada yang mencuci di area cucian, ada juga yang membantu Natasha mencuci peralatan makan tadi. Semuanya saling bekerja sama dan tak ada satupun yang tak bekerja. Bahkan ada yang membereskan beberapa tanaman di halaman belakang rumah sambil pakai jas hujan plastik. Rajin sekali mereka. Namun Natasha memperingatkan kalau untuk tanaman di luar sana tidak perlu terlalu dirapikan. Karena sebenarnya itu bukanlah tugas utama dari mereka. Jadi, memang Natasha lah yang ingin membereskannya sendiri—dikarenakan sebagian besar tanaman yang ada di belakang rumah adalah tanaman obat. Sehingga Natasha tidak mau kalau tanamannya sampai kenapa-napa. Semua tanaman obat memang tidak bisa dirawat dengan sembarangan. Harus ada pengalaman khusus untuk merawatnya. Untung saja, mereka-mereka menuruti anjuran Natasha melalui Daniela, salah satu anak kepercayaan Natasha selain daripada Hook.
Drrrt~
Tiba-tiba ponsel Natasha berdering di atas meja ruang tengah. Ia meminta tolong Elisa untuk mengambilkannya. Begitu dipegang oleh Natasha, ia langsung melihat siapa yang menelponnya. Tetapi di situ tak terpampang nama dari si penelpon, dan hal tersebut sudah biasa bagi Natasha. Ia seketika menerima panggilan tersebut tanpa pikir panjang.
“Halo, klinik dr. Natasha di sini. Ada yang bisa saya bantu?”
“Ah, selamat siang, dr. Natasha…. Anu, begini… sepertinya saya ada gejala peradangan di tenggorokan, tapi rasanya sakit hanya di sebelah saja. Apa perlu diperiksa atau cukup diminumi vitamin dan obat generik saja?”
“Baiklah. Bapak bisa menuju ke klinik untuk langsung saya periksa.”
“Baik, terima kasih banyak, dr. Natasha.”
“Ya, sama-sama.”
Panggilan pun usai.
“Mau ada pasien yang datang, ya?”
“Iya. Kamu bisa bantu seperti biasanya kan, Hook?”
“Siap, laksanakan!”
Hook sembari memberi hormat kepada Natasha. Tanda kalau dia sangat siap untuk membantunya.
“Terima kasih banyak, Hook.”
“Tak perlu berkata begitu, Kak Natasha. Ini kan sudah menjadi tanggung jawab Hook juga!”
Natasha pun tersenyum manis kepadanya.
“Baiklah.”
Kemudian Natasha memanggil salah satu anak perempuan yang sepertinya kalau diamati secara wajah, dialah yang paling dewasa menurut Natasha. Dari perawakannya saja, dia paling tinggi dari anak-anak lainnya. Tapi tetap saja masih lebih tinggian dr. Natasha.
“Elizabeth.”
“Baik, dr. Natasha.”
Hanya dengan memanggil namanya sekali saja, si perempuan yang bernama Elizabeth tersebut langsung mengerti maksud dari dr. Natasha. Elizabeth mengikutinya dari belakang lalu masuk ke dalam sebuah ruangan yang cukup luas. Di samping daun pintu, tertulis ‘Klinik dr. Natasha’, yang berarti bahwa ruangan tersebut adalah ruang kerja atau ruang praktek dari dr. Natasha.
Di dalam, tepatnya di ruang ganti, dr. Natasha langsung mengenakan jas putih miliknya dengan pin logam bertuliskan ‘dr. Natasha - spesialis penyakit dalam’ sebelah kiri. Sedangkan di bagian dada kanan, terdapat pin lucu berbentuk kepala beruang coklat—teddy bear. Di bagian ujung kerah jas sebelah kiri, terdapat pin bentuk tabung reaksi cembung yang isinya berwarna hijau neon. Dr. Natasha pun mengenakan stetoskop dengan kabel yang berwarna hijau neon. Dan yang paling unik dari kesemuanya adalah … pada ujung jas miliknya, sebelah kanan terpasang sebuah ‘boneka’ teddy bear coklat badan besar. Sedangkan di sebelah kirinya terdapat 2 buah tabung reaksi panjang dan pendek—yang terbuat dari kain boneka—yang isinya berwarna hijau neon.
‘Apa tidak keberatan itu jasnya?’ Pertanyaan semacam itu cukup sering ditanyakan sama pasiennya. Dr. Natasha hanya menjawab, ‘selama aku pakai ya tidak.’
“Selamat datang di klinik dr. Natasha. Bisa bantu isi formulir dulu di sini.”
Hook menyambut tamu pasien yang datang lewat pintu utama sambil menyerahkan formulir data diri. Setelah semuanya terisi lengkap, Hook memberikan cap klinik. Setelah itu, formulir diserahkan kepada pasien lalu diantarkan oleh seorang anak lain menuju ke ruang pemeriksaan.
“Silakan Bapak langsung masuk saja.”
“Oh, baik.”
Pintu pun digeser dan masuklah bapak tersebut ke ruang klinik. Seketika juga di hadapannya, disambut dengan ramah oleh dr. Natasha.
“Bapak yang tadi menelpon, ya?”
“Betul, dokter.”
“Baik, silakan duduk dulu.”
Dr. Natasha memeriksa cepat formulir yang sudah diisi lengkap tersebut. Nama pasiennya adalah Yanzhou. Beliau berusia 50 tahun lebih, bekerja sebagai wiraswasta pengelola toko peralatan nelayan dan pemilik toko pancing. Riwayatnya adalah penyakit paru-paru yang tidak begitu parah. Sakit yang dia keluhkan adalah tenggorokannya terasa gatal sebelah saja yang dia pikir hal tersebut sangatlah aneh.
Sesudah itu, dr. Natasha meminta pasien untuk membaringkan diri di atas ranjang periksa. Dr. Natasha memeriksa dengan seksama menggunakan stetoskopnya yang berwarna hijau itu.
“Tidak ada gejala yang serius di dalamnya.”
“Oh, benarkah? Aku pikir gatalku ini karena ada bakteri atau virus, begitu.”
“Mungkin hanya bakteri saja. Hal ini sudah biasa terjadi di kalangan orang-orang yang tinggal di pesisir pantai dan berprofesi sebagai nelayan. Sengatan matahari membuat udara di sekitar menjadi panas, sehingga perlu lebih banyak hidrasi. Tapi kalau sering minum-minuman manis, justru membuat tenggorokan semakin lebih kering dan menyebabkan gatal. Memang pada awalnya seolah-olah tenggorokan kembali segar. Tetapi jika lama-kelamaan sering minum manis, ya jadinya tenggorokan gatal-gatal.”
“Tapi ini hanya gatal sebelah saja, bagaimana?”
“Tenang saja, itu juga hal yang biasa.”
Dengan begitu, pasien kembali ke tempat duduk untuk diberikan resep ringan. Bukan resep sebenarnya, melainkan saran saja. Dr. Natasha juga tidak memberikannya obat generik maupun obat herbal. Ia cukup menulis daftar minuman apa saja yang perlu dibeli untuk mengatasi rasa gatal pada tenggorokan si pasien. Seperti minuman penyegar tenggorokan yang mengandung serai, jeruk nipis, cengkeh, madu dan mint. Serta diberi daftar merk minuman penyegar tubuh seperti minuman isotonik yang aman bagi sistem pencernaan jika diminum setiap hari. Satu lagi, dr. Natasha juga menyarankan untuk tidak memakan dan meminum yang mengandung tinggi garam, karena dapat membuat tenggorokan semakin menjadi gatal atau bisa saja sembuh lebih lama.
“Terima kasih banyak ya, dr. Natasha. Berkat dirimu, aku bisa lebih tenang.”
“Hehe … yang penting jangan terlalu banyak khawatir, Tuan Yanzhou. Setiap permasalahan dalam hidup, harus dihadapi dengan setenang mungkin. Jika sudah tenang, pasti akan ada jalan keluarnya.”
“Haha … perkataanmu sama persis dengan kakakmu, dr. Viache.”
“Oh? Tuan kenal dengan kakakku?”
“Iya. Dulu, saya pernah bekerja di Ibukota Eridu dan setiap kali saya sakit, saya selalu memilih dr. Viache. Dialah dokter andalan saya. Namun karena saya ada kendala di keluarga, makanya saya keluar dari pekerjaan dan pindah ke pulau ini untuk kembali kepada keluarga saya.”
“Ooh … begitu ternyata ….”
“Dr. Viache sangat bisa diandalkan di sana. Dan kebetulan, dia mengatakan kalau dia memiliki seorang adik perempuan yang juga seorang dokter. Saya menanyakan namanya, dan ternyata adalah dirimu, dr. Natasha. Oleh sebab itu, saya langsung mencari Anda di kota ini.”
“Dengan senang hati saya bisa bertemu dengan Tuan.”
“Saya berdoa, semoga karirmu sebagai dokter lancar terus, juga untuk kakakmu yang ada di sana, di Ibukota Eridu.”
“Oh, hehehe … kalau boleh jujur … sebenarnya kakak saya sudah tidak lagi berkarir menjadi dokter.”
“Loh, kenapa?”
“Dia memutuskan untuk memilih menjadi wirausaha saja. Karena dia sangat kelelahan ketika menjadi dokter. Sekarang dia membuka usaha sebagai supplier alat kesehatan ke rumah sakit kecil dan beberapa klinik langganan.”
“Oh, jadi begitu rupanya?”
“Iya.”
“Kalau begitu, apapun yang dilakukan kakakmu, harapan saya tetap bisa menjadi seorang usahawan yang terbaik dan mampu menolong sesamanya.”
“Terima kasih, Tuan Yanzhou.”
“Seharusnya saya yang berterima kasih kembali padamu, dokter.”
Setelah perbincangan itu, Tuan Yanzhou kembali ke mobilnya yang terparkir di halaman depan. Ternyata beliau tidaklah sendirian. Di dalam mobil, ternyata sudah ada seorang anak perempuan yang sedari tadi menunggu di kursi pengemudi. Mungkin dia adalah putri dari Tuan Yanzhou. Dr. Natasha sempat melihat sekilas perempuan tersebut saat Tuan Yanzhou membuka pintu. Rambutnya berwarna abu-abu muda, panjang terurai, memakai jepit rambut pada poninya. Kemudian mobil itu berjalan pergi meninggalkan tempat klinik dr. Natasha.
“Kakak Natasha ….”
Hook muncul dari belakang Natasha sambil membawa sesuatu di tangannya.
“Ada apa, Hook?”
“Apa ini punya Kakak?”
Natasha melihat sebuah dompet kecil berwarna coklat tua dengan aksen berwarna emas. Dompet tersebut seperti model dompet kuno dari budaya Zhongguo.
“Tentu saja tidak. Pastinya dompet ini milik Tuan Yanzhou.”
Natasha sembari menerima dompet itu dari tangan Hook. Dompet itu tidaklah kosong. Cukup berisi namun tidak terlalu berat.
“Pasien yang diperiksa tadi?”
“Betul sekali, Hook.”
“Terus, gimana ini? Apa mau dipaketkan aja?”
“Hmm ….”
Natasha sempat berpikir sejenak. Lalu terlintas di pikirannya, ia punya ide yang bagus untuk mengatasi masalah kecil itu.
“Gimana kalau dirimu saja yang mengantarnya?”
“Eh? Aku??”
“Kamu habis ini enggak lagi ngapa-ngapain, kan?”
“Umm … enggak ada, sih ….”
“Oke, kalau begitu, antarkan ke rumahnya, ya? Akan aku buatkan surat juga untuk Tuan Yanzhou.”
“Ehh … ya udah kalo gitu ….”
“Lagipula cuacanya sudah membaik. Hujannya juga sudah reda.” Natasha sambil menatap ke arah jendela kaca yang tembus ke halaman rumah.
Meskipun tanggapan Hook sedikit agak ragu, tetapi ia tetap mau menerima tawaran Natasha. Dengan begitu, Natasha menulis sebuah surat yang sekaligus pada amplopnya tertulis alamat dari Tuan Yanzhou. Rupanya tidak begitu jauh dari tempat klinik dr. Natasha. Jalannya hanya lurus dan lurus saja.
“Kakak Natasha, aku berangkat dulu, ya!”
“Hati-hati di jalan, Hook ….”
Balas Natasha dengan senyum lembutnya. Hook seketika juga berangkat menggunakan sepedanya yang sama seperti sebelumnya. Ia meletakkan surat beserta dompet itu ke dalam keranjang sepeda di depan. Sembari Hook pergi, Natasha memanggil Elizabeth kembali.
“Elizabeth kemarilah.”
“Ada apa, dr. Natasha?”
“Kita bikin minuman penyegar badan, yuk. Kamu masih simpan resepnya, kan?”
“Ahh … minuman itu, ya? Iya, iya, saya masih menyimpannya di ponsel.”
“Kalau begitu, lihat lagi dan mari kita racik minuman itu untuk kita semua.”
“Baiklah, dr. Natasha!”
***
Pulau Belobog sendiri mempunyai 4 sub distrik. Yaitu Belobog Utara, Belobog Selatan, Tanjung Belobog atau Belobog Barat, dan Teluk Belobog atau Belobog Timur. Lokasi klinik dr. Natasha termasuk sub distrik Belobog Utara, yang mana distrik ini lebih banyak medical center, pusat administrasi Pulau Belobog dan paling banyak kantor pos pengiriman barang dan surat. Belobog Selatan lebih banyak pusat perbengkelan dan onderdil kapal, begitu pula dengan pabriknya. Untuk Teluk Belobog atau Belobog Timur, adalah daerah transit antara Pulau Belobog dengan pulau utama yang masuk ke dalam wilayah Ibukota Eridu, atau sebutan resminya adalah Eridu Bay—distrik bagian Ibukota Eridu sebelah barat. Dikarenakan sebagai daerah transit, maka Teluk Belobog terkenal dengan tempat wisatanya. Ada banyak sekali hotel, restoran, jajanan pinggir jalan, dan pusat perbelanjaan hasil lokal. Namun tidak hanya Teluk Belobog saja yang dijadikan pusat wisata. Tanjung Belobog yang berada di sebelah barat, juga merupakan pusat wisata bagi Pulau Belobog, karena ada jalur lurus yang langsung ‘membelah’ pulau antara timur dengan barat. Jalan tersebut juga sebagai akses utama untuk perdagangan, sehingga membuat perjalanan menjadi lebih cepat. Lagipula jalur tersebut merupakan jalur distribusi dari kedua belah wilayah, Pulau Belobog dengan Ibukota Eridu, begitu pula sebaliknya. Meskipun jumlah penduduknya lebih sedikit dibandingkan Belobog Utara dan Selatan, namun Teluk Belobog dan Tanjung Belobog sudah pasti paling banyak wisatawannya. Sepertinya pihak pemerintah Pulau Belobog sudah mengatur sedemikian rupa agar penduduk lokal memadati untuk bertempat tinggal di sebelah utara dan selatan, sedangkan untuk sebelah timur dan barat dipadati oleh para pelancong.
Namun ada satu bangunan yang sangat megah berwarna merah yang hanya ada di Teluk Belobog, yang membuat para turis tak bisa melewatkan untuk berfoto ria di sana. Karena bagi mereka, ciri khas Pulau Belobog adalah bangunan megah tersebut. Kalau belum berfoto di sana, belum bisa dikatakan sudah mampir ke Pulau Belobog. Bangunan tersebut dinamakan House of Red Palace. Yang artinya, Rumah Istana Merah.
Rumah tersebut milik dari keluarga besar yang bernama keluarga Yan. Mereka telah menjadi donatur atas jasa mereka untuk mempercantik spot-spot wisata, membantu memelihara sumber daya alam, serta memberdayakan sumber daya manusia di Pulau Belobog. Sampai sekarang pun, keturunan keluarga Yan masih tinggal di dalam singgasananya.
Keluarga Yan adalah satu-satunya keluarga konglomerat—dan terhormat—yang ada di Pulau Belobog. Mereka sudah dikenal oleh hampir semua penduduk Pulau Belobog. Mereka dikenal sebagai keluarga yang suka berbagi dan menolong sesamanya dan tidak pernah sombong. Padahal sebetulnya, keluarga Yan bukanlah penduduk asli Pulau Belobog. Nenek moyang keluarga mereka berasal dari luar negeri, yaitu dari negeri tetangga di sebelah barat. Di dalam istananya, tidak hanya ditinggali oleh satu keluarga saja, melainkan ada 3 kepala keluarga tinggal dalam satu atap. Saking besarnya tempat tinggal, maka anak tertua keluarga Yan mengizinkan para adiknya dan juga keluarganya untuk tinggal bersama-sama.
Keluarga tersohor se-Belobog ini sangat terlihat jelas dimulai dari bangunan tempat tinggalnya yang sangat megah. Maka dari itu, tempat tinggalnya bisa sekalian dijadikan objek wisata. Namun tentu saja, tidak semua wisatawan bisa masuk dengan bebas. Harus ada ketentuan-ketentuan khusus yang harus dipatuhi oleh para wisatawan—selain membayar ongkos berwisata tentunya. Harus ada surat izin, surat ini dan itu dan semuanya tidaklah murah, karena para wisatawan tidak membayar langsung melalui salah satu pengurus rumah keluarga Yan, melainkan harus membayar lewat pihak ketiga. Untuk prosesnya membutuhkan waktu lebih dari 2 hari kerja. Jadi sudah dapat dipastikan, sebelum masuk ke dalam singgah sana keluarga Yan, pastikan Anda sudah mendaftar dan membayar kepada pihak tur kalau ingin masuk lebih dalam ke tempat tinggal mereka. Tapi kalau Anda langsung datang di tempat, Anda hanya diperbolehkan untuk masuk—untuk foto-foto tentu saja—sebatas garis pembatas, yaitu pada halaman rumahnya saja. Itupun hanya setengahnya saja dan hanya halaman rumah bagian depan saja, tidak bisa full dari depan sampai halaman bagian belakang secara keseluruhan. Cukup bagian halaman depan dan hanya setengahnya saja yang boleh diakses oleh wisatawan umum.
[ Belobog Bay, Belobog Island, Eridu Region ]
“Wooogh … besar sekali!!”
Hook telah tiba di depan gerbang utama dari bangunan yang sekaligus dijadikan objek wisata tersebut adalah rumah tinggal dari Yanzhou. Saking terkesimanya, Hook masih belum yakin kalau alamat yang diberikan oleh Natasha benar adanya.
“Eh, tapi apa betul alamatnya ini??”
Karena masih agak ragu, Hook mencoba mencari tulisan keterangan bahwa bangunan tersebut memang benar milik Yanzhou. Ketika ia menoleh ke sana kemari, dihampirilah seorang penjaga gerbang yang berpakaian serba hitam.
“Selamat siang, adik. Apakah ada yang bisa saya bantu?”
“Ah, paman penjaga … mungkin aku bisa bertanya, apakah ini betul tempat tinggal milik Paman Yanzhou? Kalau berdasarkan alamatnya, memang di sini tempatnya.”
“Coba, saya lihat dulu.”
Penjaga tersebut melihat tulisan alamat yang ada pada kop surat dengan seksama.
“Iya, betul. Alamatnya memang benar di sini. Tetapi bangunan ini tidak hanya semata milik Tuan Yanzhou saja, melainkan milik keseluruhan dari keluarga Yan. Dan kebetulan tempat ini memang dijadikan sebagai objek wisata. Akan tetapi, adik ada perlu apa dengan Tuan Yanzhou?”
“Anu … ini …”
Hook mengeluarkan dompet kecil milik Yanzhou dari tas kecilnya.
“Aku mau mengembalikan dompet ini kepada Paman Yanzhou, karena ketinggalan di klinik dr. Natasha.”
“Oh, klinik dr. Natasha yang berada di Belobog Utara itu, ya?”
“Iya.”
“Baik, saya terima ini nanti akan saya sampaikan langsung kepada Tuan Yanzhou.”
“Um, baiklah ….”
“Kalau boleh tau, namamu siapa?”
“Namaku Hook.”
“Baiklah, akan aku sampaikan kepada Tuan Yanzhou.”
Penjaga tersebut menerima dompet kecil beserta surat dari tangan Hook. Kemudian masuk ke dalam sebuah ruang kecil yang ada di samping gerbang—ruang penjaga. Orang tersebut menelpon seseorang, bisa dilihat lewat kaca di depannya. Namun Hook masih belum beranjak dari situ. Ia masih terkagum-kagum memandangi bangunan yang besar nan megah itu. Warnanya identik dengan merah, perak dan emas. Benar-benar seperti bangunan kuil kerajaan zaman dahulu kala.
“Bangunan semegah ini, kira-kira bangunnya butuh berapa lama ya??”
Setelah beberapa saat, si penjaga menghampiri Hook kembali.
“Adik Hook, kata Tuan Yanzhou, kamu dipersilakan untuk masuk.”
Hook tersendat sejenak.
“Wa--Wah! B—Benarkah?!”
“Iya, benar.”
“M—Masuk ke dalam rumah gede itu?!” Hook sambil menunjuk ke arah bangunan megah tersebut.
“Iya, betul sekali. Katanya Tuan Yanzhou mengenali adik Hook. Maka dari itu, beliau mau menjamu kamu.”
“…”
Hook kembali terdiam. Tetapi terdiamnya itu seperti memikirkan sebuah keputusan yang sulit.
“Ada apa, adik Hook?” tanya penjaga tersebut penasaran.
“Umm … anu … sepertinya aku harus bertanya dulu sama Kak Natasha. Dibolehin atau enggak. Soalnya hari ini cuaca lagi tidak menentu. Hujan bisa turun tiba-tiba.”
“Oh begitu, ya? Baiklah … kalau begitu, coba kamu tanyakan dulu sama beliau. Mungkin dia bisa membantu.”
“Baik.”
Akan tetapi Hook lupa kalau di saat itu, ia lupa membawa ponselnya. Atau lebih tepatnya, Hook memang tidak sengaja membawa ponsel karena pikirnya akan sebentar saja.
“Oh iya! Hook lupa kalo enggak bawa ponsel ….”
Penjaga tersebut hanya menyengir saja.
“Kalau begitu … sepertinya aku enggak bisa masuk ke dalam, paman penjaga …. Aku harus kembali. Kalo enggak, Kak Natasha akan khawatir dan mencariku. Jadi … maafkan aku, paman penjaga!”
Hook sambil mengatupkan kedua tangannya dan memohon dengan badan sedikit menunduk.
“Ah, tidak apa-apa, adik Hook. Nanti bisa saya sampaikan kepada Tuan Yanzhou. Tenang saja, adik Hook untuk bisa kembali ke rumah dengan selamat adalah prioritas yang utama.”
“T—Terima kasih banyak…! Baiklah … kalau begitu, Hook pulang dulu, paman penjaga.”
“Baik. Hati-hatilah di jalan.”
“Iya!”
Dengan begitu berpisahlah Hook dengan si penjaga gerbang dari singgahsana keluarga Tuan Yanzhou. Hook mengayuh sepedanya menyusuri jalan yang sama saat ia datang. Sembari mengayuh dengan santai, Hook memandang sekelilingnya yang tampak pemandangan luas. Langit biru, beberapa awan putih yang tampak lembut, garis pantai putih yang menawan mata, serta pohon-pohon palem yang menjulang tinggi di sepanjang perjalanan.
“Kapan-kapan, aku mau ajak teman-temanku dan Kak Natasha buat liburan ke sini, ah! Hook, udah lama banget enggak ke daerah sini …. Terakhir kali, Hook usia berapa, ya …?”
Sesampai di depan klinik milik Natasha yang sekaligus sebagai rumah asuh Rivet—Rivet Orphanage, Hook segera memarkirkan sepedanya dan masuk ke dalam lewat pintu samping. Ketika masuk, Hook langsung disambut hangat oleh Natasha beserta anak-anak yang lain. Semua menyambutnya dengan meriah.
“Wahh … meriah sekali!!” Hook terkagum sangat.
“Hore!! Kakak Hook sudah pulang!!”
“Aku kira Kakak Hook tersesat lagi ….”
Celoteh dua anak kecil yang secara usia tampak lebih muda.
“Emangnya aku pergi selama itu, ya? Lagian yang betul, Hook lagi ngobrol sama paman penjaga rumah—ah, lebih tepatnya penjaga istana besar yang ada di Teluk Belobog. Kalian pasti tau bangunan itu, kan??”
“Oh, bangunan gede yang berwarna merah itu, ya??” celetuk seorang bocah laki-laki.
“Betul, betul!” tanggap Hook semangat.
“Semua orang juga tau kali. Itu kan tempat wisata soalnya,” gubris salah satu anak perempuan yang lebih tinggi sedikit dari Hook.
“Iya juga, sih …. Tapi tadinya … Hook mau diajak masuk ke sana sama paman penjaganya—eh, sama yang punya rumah itu. Aduh … namanya siapa tadi … malah lupa.”
“Paman Yanzhou namanya.”
Natasha yang berkata sambil membawa beberapa camilan tambahan di dalam toples. Lebih tepatnya adalah biskuit, karena toplesnya dari kaca jadi terlihat dalamnya.
“Ah, iya! Paman Yanzhou!” “Tapi … sebenarnya dia siapa, sih? Kok kayaknya super kaya banget sampai-sampai rumahnya segedong, gitu?”
Hook sepertinya sangat penasaran dengan latar belakang Tuan Yanzhou.
“Kamu ingin tau banget, Hook?”
“Ya iyalah … masak tempat tinggal bisa dijadiin tempat wisata?? Hook jadi penasaran banget!”
“Oke, oke … akan Kakak ceritakan sekilas tentang Paman Yanzhou. Sebetulnya, kakakku yang sudah lama kenal dengan beliau. Aku taunya juga lewat kakakku, si Viache.”
Sesudah itu, Natasha menceritakan sedikit latar belakang tentang keluarga Yanzhou yang ternyata sudah lebih dulu kenal dengan kakak laki-laki Natasha. Mereka berdua kenal dekat sewaktu Viache masih berkarir sebagai seorang dokter di Ibukota Eridu. Waktu itu pula, Natasha masih seorang remaja sebagai siswi SMP. Di waktu itu, ia masih belum menemukan jati dirinya yang sesungguhnya jika kedepan bakal menjadi seorang dokter yang sekaligus sebagai pengasuh anak-anak yatim.
Cerita masa kecil Natasha tentu saja semua anak asuhnya sudah pada tahu, terlebih Hook. Namun kisah tentang kakak laki-lakinya yang bernama Viache, hanya Hook dan sedikit anak saja yang tahu. Itupun baru sebagian kecil saja yang diceritakan kepada mereka.
Di musim panas yang tak menentu, memang paling cocok kalau mendengarkan cerita ringan dari Kakak Natasha sambil menikmati hidangan camilan dan minuman yang menyegarkan. Alhasil cuaca yang sebenarnya panas, yang bisa bikin gerah, justru dibuat menjadi sedikit lebih ‘dingin’. Hati dan jiwa kembali diteduhkan dan di segarkan kembali.
“Btw, lama-kelamaan badanku kok jadi agak adem gini, ya …? Apa karena efek dari minumannya??”
“Ya … bisa saja, Hook. Hehehe ….”
Natasha pun terkekeh lembut.
ns 15.158.61.5da2