Wulandari begitulah nama wanita itu. Atau biasa kupanggil dia dengan sebutan Wulan. Seorang ibu beranak satu dan istri dari lelaki yang bernama Suryo. Wanita berusia 30 tahun dan keturunan jawa tulen itu adalah tetangga kontrakanku.
Aku masih ingat betul, saat pertama kali pindah ke kontrakan ini. Mereka jadi pasangan pertama yang memberiku sambutan selamat datang. Dan jujur saja, sejak pertama aku melihat wanita itu, aku langsung tertarik dengan dirinya.
Pembawaannya yang periang dan kalem mengingatkanku akan mantan istriku. Dari segi fisik wajahnya juga cukup menarik dengan kulit sawo matang khas wanita Jawa pada umumnya. Tubuhnya memang agak berisi dengan lipatan lemak di perut karena telah melahirkan seorang anak. Tapi daya tarik sebenarnya dari Wulan sendiri adalah payudaranya yang besar dan bulat. Mungkin ukurannya kisaran 34C. Dan pantatnya yang semok dan nungging itu kerap kali membuat gairah lelakiku meronta-ronta.
Maklum, cukup lama diriku hidup menduda. Dan selama 3 tahun hidup menduda, aku belum menyentuh wanita sama sekali. Eiitss..Jangan salah sangka dulu, aku masih normal. Maksudku, aku masih tertarik dengan wanita. Hanya saja aku masih belum ada keinginan untuk menjalin hubungan serius dengan wanita manapun. Aku masih ingin hidup sendiri dulu. Intinya ingin menikmati masa-masa menduda seperti ini. Aku tak pusing memikirkan urusan biologis karena hal itu kuserahkan pada tangan kananku dan sebatang sabun.
Sabtu pagi harusnya hari ini adalah hari libur. Tapi aku bangun lebih awal untuk mengerjarkan laporan keuangan dari kantorku. Yah, ini adalah salah satu kebiasaan burukku yang jadi biang retaknya rumah tanggaku. Tolong jangan ditiru.
Aku terlalu fokus bekerja sampai-sampai tak memiliki waktu untuk keluarga. Banyak sekali acara keluarga dan liburan yang sudah direncanakan jauh-jauh hari harus batal karena aku lebih mementingkan pekerjaanku dibanding keluargaku.
Awalnya keluargaku mau mengerti karena aku bekerja juga untuk kesejahteraan mereka. Tapi lama-lama mereka pun juga bisa frustasi. Dan puncaknya, ketika kami sekeluarga berencana liburan ke Bali, harus batal di sehari sebelum keberangkatan karena kantor mengadakan acara meeting dadakan.
Di saat itu istriku pun marah besar, dan meminta untuk bercerai saat itu juga. Dan yang lebih tololnya lagi, waktu itu aku pun mengiyakan saja keinginannya itu. Setelah sidang perceraian beres, aku memutuskan untuk mengontrakkan rumah sederhana yang telah telah kutinggali 5 tahun bersama istriku dan menyewa sebuah rumah petak dari uang hasil mengontrak itu.
Saat tengah fokus mengerjakan laporan, telingaku sayup-sayup menangkap suara selain musik dari headphoneku. Aku sampai melepas headphoneku agar bisa mendengar lebih jelas suara apa itu.
Rupanya, suara itu berasal dari kamar sebelah. Tepatnya kontrakan Wulan. Dari yang kudengar mereka seperti tengah berdebat. Entah apa yang mereka debatkan, yang jelas perdebatan mereka terdengar cukup sengit karena terkadang diiringi dengan teriakan.
Tak lama, 30 menit berselang, suasana mendadak sunyi. Perdebatan sengit mereka berakhir dengan suara pintu yang terbanting.
Saking seriusnya aku mendengarkan perdebatan yang sengit tadi sampai-sampai aku menghentikan pekerjaanku. Aku kemudian berusaha kembali fokus pada pekerjaanku. Akan tetapi usahaku terus menerus gagal. Aku pun memutuskan untuk istirahat sejenak. Aku menutup laptopku lalu keluar dari kamar dan pergi menuju teras.
Ketika aku keluar, Wulan tengah berada di depan kontrakannya. Ia tengah duduk melamun saat itu, sembari menunggui anaknya yang masih balita bermain. Sekilas aku bisa melihat ada bekas hitam sembab dibawah matanya pertanda ia baru saja menangis.
Menyadari kehadiranku disitu, Wulan langsung tersentak kaget, lalu melempar senyum padaku. Aku membalasnya dengan sebuah senyum kecil.
"Mas Andi, nggak kerja?" tanya Mbak Wulan kikuk.
"Ngga Mbak. Liburnya kan Sabtu sama Minggu," jawabku.
"Ooo gitu. Tumben keluar mas," ucapnya lagi.
"Aslinya tadi lagi ngerjain laporan cuman lagi nggak fokus. Makanya istirahat bentar biar fokusnya balik," balasku.
Dia hanya manggut-manggut saja seolah mengerti. Kemudian ia berjalan menuju ke terasku lalu ikut duduk disebelahku. Lantas aku pun dibuat agak terkejut saat Mbak Wulan tiba-tiba menyandarkan kepalanya ke bahuku.
"Mas..tadi kamu denger ya?" tanyanya dengan nada lirih.
Seketika jantungku berdegup kencang. Sebenarnya aku bukanlah tipe orang yang suka ikut campur urusan orang lain. Namun melihat Mbak Wulan yang bersedih, aku jadi teringat dengan rumah tanggaku yang dulu hancur dan penuh problem. Mungkin tak ada salahnya jika aku mendengar keluh kesahnya.
"Ya mau gimana lagi mbak. Namanya juga sebelahan. Pastinya kedengeran," jawabku sekenanya.
"Maaf ya mas.. kalo tadi sampe kedengeran," katanya.
"Udah ngga apa-apa. Ngga usah dipikir. Namanya juga masalah keluarga," balasku.
"Emang kalo boleh tahu, ada masalah apa sih Mbak? Kok sampe kayak gitu? Aduh..maaf ya mbak kalo sampe aku kepo. Yah..sapa tau aku bisa bantu."
Wulan pun mulai bercerita bagaimana kejadian ini bisa terjadi. Berawal dari 3 bulan yang lalu. Dulunya Suryo bekerja sebagai security di sebuah gudang milik sebuah perusahaan. Namun karena ketahuan mencuri, Suryo pun langsung dipecat. Beruntung, pihak perusahaan tak memperkarakan kasus itu. Hanya saja Suryo dipecat tanpa pesangon sepeser pun.
Semenjak dipecat Suryo berubah menjadi orang yang pemalas. Ia tak mau bekerja dengan berbagai alasan. Sehari-hari kerjaanya hanya nongkrong di warung, makan dan tidur, sehingga untuk kebutuhan sehari-hari Wulanlah yang kini bekerja.
Saat ini ia bekerja menjadi seorang pramuniaga di sebuah mall yang cukup terkenal. Ia juga bercerita kalau ia sampai rela bekerja 2 shift demi memenuhi kebutuhan sehari-hari dan anaknya.
Berengseknya, Suryo selalu meminta jatah uang untuk dirinya nongkrong bersama teman-temannya di warung. Padahal ia sendiri tahu, kalau uang bulanan itu digunakan untuk makan dan kebutuhan anak semata wayangnya. Bila keinginannya itu tak dipenuhi, Suryo tak segan untuk "main fisik".
Wulan sendiri tak bisa apa-apa lantaran di keluarganya ada sebuah kepercayaan kalau sekali menikah tidak boleh bercerai dengan alasan apapun. Intinya satu pasangan sekali seumur hidup kecuali ditinggal mati.
Dan tadi pagi, Suryo sudah meminta uang ke Wulan. Padahal uangnya saat ini sudah menipis dan ia belum waktunya menerima gaji bulanan. Aku sendiri mendengar cerita Wulan jadi geram sendiri. Bagaimana bisa seorang suami tega berbuat semacam itu. Dan kepercayaan macam apa itu? Kalau sudah begini, pihak wanitalah yang selalu tersakiti.
"Jujur Mas. Aku bingung banget. Mau beli susu sama popok anakku darimana. Uangnya aja udah dibawa sama suamiku," ucapnya dengan nada yang bergetar.
"Hmmm...tunggu sini dulu ya Mbak."
Saat itu juga, aku beranjak dari teras lalu berlari menuju kamarku. Tujuanku adalah celanaku yang tergantung di lemari. Aku langsung merogoh saku celanaku dan mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu.
"Harusnya cukup sih segini," aku menggumam sendiri.
Ketika akan berjalan kembali ke teras, tiba-tiba. . .
'PRAAAANG'
Terdengar suara benda pecah diikuti dengan suara tangis dari kamar sebelah. Dengan panik aku berlari menuju ke kamar sebelah. Begitu keluar, aku menemukan anak semata wayang Wulan tengah menangis di depan kontrakannya.
"Ada apa Mbak?!" tanyaku dengan agak panik.
"Ngga apa-apa mas. Ini si kecil tadi lari-lari nabrak meja trus ngga sengaja jatuhin gelas," sahutnya dari dalam.
"Tolong jagain anakku dulu ya mas, biar ngga kena pecahan kaca," ucapnya lagi.
Tanpa banyak bicara, aku segera menggendong putri kecilnya itu dan menenangkannya. Aku menenangkannya agar tak menangis lagi sambil berdiri membelakangi Wulan. Namun ketika aku berbalik, mataku langsung terbelalak saat melihat apa yang ada di depanku.
Saat memunguti pecahan gelas yang tercecer, celah daster yang dikenakan Wulan menjuntai. Sehingga aku bisa melihat dengan jelas payudaranya yang bulat itu menggantung bak pepaya dan terbungkus bra warna biru. Kedua bongkahan itu bergoyang-goyang mengikuti setiap gerakan Wulan yang tengah membungkuk.
Setelah selesai memunguti pecahan-pecahan yang besar, Wulan pun bangkit lalu melangkah ke belakang. Tak berapa lama ia kembali dengan membawa sebuah kain lap. Di saat ia dalam posisi merangkak aku kembali disuguhkan dengan pemandangan yang indah dari dirinya.
Disaat ia posisi merangkak, bagian bawah daster yang ia kenakan agak terangkat. Terlihat celana dalamnya yang berwarna krem itu mengintip. Ditambah posisinya yang nungging, membuat pantatnya yang semok serta bulat itu tersaji di hadapanku. Entah ia sengaja atau tidak, ia seperti menggoyangkan pantatnya yang semok itu ke kiri dan kanan mengikiti setiap gerakannya di hadapanku. Ingin rasanya aku melompat dan menerkam pantat itu karena birahi lelakiku sudah tak mampu kubendung lagi.
Tapi setelah kupikir-pikir, tak elok rasanya kalau aku bertindak gegabah seperti itu. Aku tak ingin menghabiskan masa-masa di penjara karena hal konyol seperti itu. Biarkan saja dulu. Nanti, suatu saat pasti akan ada waktunya Wulan akan menyerahkan tubuhnya sendiri padaku.
Beberapa saat kemudian, Wulan telah selesai membersihkan pecahan gelas tadi. Aku menyerahkan si kecil yang kutenangkan tadi ke Wulan, lalu kami sama-sama kembali duduk di teras kontrakanku.
"Nih Mbak.." ucapku sambil menyodorkan beberapa lembar uang seratus ribu padanya.
"Eh apa ini? Jangan gitu Mas. Aku ngga mau ada hutang sama sampean," tolaknya sambil mendorong tanganku.
"Udah ambil aja. Aku tahu Mbak lagi perlu," ucapku sambil menyodorkan kembali uangku.
"Iya aku tahu kalo aku lagi perlu duit mas. Tapi mas ngasi gini ke aku apa cukup buat mas sendiri?"
"Aku ngga mungkin ngasi kalo emang ngga cukup. Kalo mbak ngga mau, aku ngasih buat si kecil. Kasian Mbak. Aku juga pernah punya anak. Kasian kalo kebutuhannya ngga tercukupi,"
"Beneran nih mas?" Aku hanya mengangguk.
"Mm..makasih ya Mas. Tapi ini kebanyakan loh. Gimana aku ngembaliinnya?"
"Udah ngga usah dipikir dulu Mbak. Yang penting belikan aja susu sama popoknya si kecil,"
"Ya sudah kalo gitu. Aku terima ya Mas. Makasih loh mas,"
"Iya sama-sama,"
Pagi itu kami pun mengobrol ngalor ngidul tak jelas juntrungannya. Begitu hari sudah agak siang, kami pun kembali ke kontrakan kami masing-masing.
Dalam kontrakan aku masih terbayang-bayang dengan kejadian tadi. Tak kusangka aku bisa melihat sekilas "onderdil dalam" Wulan. Dan ternyata, aslinya jauh lebih bagus dari yang aku kira.
Siang itu. Setelah mengobrol dengan Wulan tadi, aku menuju ke kamar mandi. Apalagi kalau bukan untuk beronani ria bersama dengan sabun batangku.
-Bersambung-
ns 15.158.61.8da2