Beberapa hari setelah kejadian itu, semua kembali berjalan normal seperti biasanya. Aku masih bertegur sapa dengan Wulan. Dan terkadang mengobrol sebentar dengan dirinya.
Namun setelah kejadian itu, aku merasakan ada sedikit perubahan dari Wulan. Dari gaya bicaranya, kurasakan ia berubah jadi agak genit. Berbeda sekali ketika ia berbicara dengan suaminya sendiri, ia nampak ogah-ogahan.
Tak hanya itu. Ia juga berani memberikan nomor ponselnya padaku. Dan sejak bertukar nomor ponsel, hampir setiap hari kami saling bertukar pesan layaknya pasangan suami istri. Jujur saja, aku sempat ketar ketir sendiri ketika bertukar pesan dengan Wulan. Aku takut kalau apa yang kami lakukan ini ketahuan oleh Suryo. Namun Wulan sendiri mengatakan untuk tak usah khawatir karena suaminya tak pernah mengecek ponselnya.
Di suatu malam, aku masih belum tidur karena saling bertukar pesan dengan Wulan. Obrolan yang awalnya tak jelas juntrungan kini mulai mengarah ke arah yang sensitif.
A : Lagi apa Mbak?
Cukup lama Wulan tak membalas pesanku padahal sudah centang biru. Tak berapa lama, masuk sebuah pesan gambar yang membuat darahku berdesir bersamaan dengan balasan pesanku.
W : Nih lagi nyusuin anakku
A : Loh? Bukannya pake sufor mbak?
W :Ya sufor mah buat selingan aja mas. Aslinya ya kususin pake tetekku. Soalnya kalo ngga disusuin sakit mas
A : Ooh gitu toh. Emang rasa ASI tuh gimana sih mbak?
W : ya hambar, asin trus ada manis-manisnya gitu
A : kok tahu mbak
W : ya kan aku pernah nyobain ASI ku sendiri mas
A : jadi pengen nyobain mbak hehehe...
W : pengen nyobain kah mas? Kesini aja.
A : loh boleh kah mbak? Mas Suryo emang ngga di rumah?
W : Mas Suryo lagi keluar nanti baru pulang jam 1 pagi. Udah cepet kesini aja.
Tanpa berlama-lama lagi aku segera beranjak dari kamar lalu menuju ke kontrakan Wulan. Setelah mengetuk pintu, terlihat Wulan yang malam itu tengah mengenakan tanktop tanpa mengenakan BH dan hotpants yang cukup pendek. Mataku langsung tertuju pada 2 titik mencuat yang ada di dadanya itu. Sungguh menggoda sekali.
"Cepet masuk mas. Entar ketahuan tetangga," ajaknya sambil terkikik. Aku pun langsung menerobos masuk ke dalam kontrakan Wulan.
"Tunggu dulu sini ya mas. Aku angetin dulu," ucapnya seraya melangkah ke dapur.
"Angetin?" Aku menggumam sendiri.
Tak berselang lama, Wulan datang kembali sambil membawa satu mug penuh susu yang langsung ia sodorkan padaku. Aku pun menerima mug itu lalu meminumnya pelan-pelan.
"Wah iya Mbak ... rasanya kayak yang mbak bilang tadi," seruku sambil menandaskan isi dalam mug itu.
"Gimana mau lagi ngga mas?" Tanya Wulan.
"Loh emang masih ada mbak?" Tanyaku balik.
"Ada lah. Masih banyak tuh di kulkas," jawabnya.
"Boleh deh Mbak. Angetin lagi ya hehehe," balasku dengan cengengesan.
Wulan melangkah menuju dapur lagi. Lalu 10 menit kemudian ia kembali membawa mug berisi susu lagi dan menyodorkannya kepadaku. Kemudian ia pun ikut duduk bersamaku yang sedang meminum air susunya itu.
"Gimana? Enak ngga?" Wulan bertanya padaku.
"Enak sih mbak. Cuman ngapain minumnya digelasin gini harusnya kan..." aku tak melanjutkan kata-kataku.
"Dari sumbernya gitu?" Tanya Wulan yang langsung to the point.
"Iya dong. Minum ASI ya harus dari sumbernya mbak hehehe.."
"Yeeee... enak di kamu. Ngga enak di kamu dong,"
"Ya kan siapa tahu dikasi."
"Mau?"
"Emang boleh mbak?"
"Udah cepet sini. Sebelum aku Mas Suryo dateng,"
WOW! Mimpi apa aku hari ini. Bisa-bisanya Wulan mau memberikanku ijin untuk nyusu langsung dari sumbernya. Tanpa berlama-lama aku langsung memposisikan sendiri dengan tidur diatas pahanya. Sementara Wulan menyingkap sedikit tanktopnya lalu mengeluarkan salah satu payudaranya lalu kemudian menyodorkannya ke mulutku.
Putingnya yang berwarna coklat tua dan seukuran ujung jari kelingkingku itu langsung kulahap begitu saja. Kusedot dengan begitu kuat hingga sensasi manis terasa di lidahku dan masuk ke kerongkonganku.
"Slurrp..slurrp sluurpp heemm..hemm..slurrp.."
"Pelan-pelan mas. Tenang aja. Ngga akan abis kok susuku," ucap si Wulan sambil membelai kepalaku.
Rakus sekali diriku menghisap air susu yang keluar begitu deras tiap kali kesedot. Aku bak seorang bayi yang tengah kehausan di tengah malam. Mulutku dan lidahku terus saja bekerja menghisap puting Wulan yang mengeras. Tanganku yang hanya diam sedari tadi kini mulai tak tahan dengan ikut-ikutan meremas bongkahan payudara satunya.
Dengan gemasnya aku meremas payudara Wulan yang kenyal itu. Desahan lirih keenakan juga mulai terlontar dari bibirnya. Terlihat pula dari bawah, Wulan nampak menikmati hisapanku sampai merem melek.
"Kenapa mbak? Sakit kah?" Aku menghentikan hisapanku sembari pura-pura bertanya padanya.
"Nggak mas ... cuman enak aja ... Geli gimana gitu," jawabnya dengan nafas yang memburu.
"Diterusin apa stop aja mbak?"
"Terusin aja mas. Kepalang tanggung nih."
Aku langsung melahap kembali puting Wulan dengan begitu rakusnya karena aku sendiri juga sudah terangsang. Celanaku sudah sesak oleh burungku yang sudah tegang. Ditambah lagi, tangan Wulan juga mulai meraba selangkanganku.
"Ih..mas gede banget. Aku keluarin ya?" Aku hanya mengangguk.
Begitu burungku terbebas dari sarangnya, Wulan mulai mengurut batang penisku. Kulihat tangan Wulan agak kesulitan untuk meraiih batang penisku. Aku pun berinisiatif dengan menyingkap tanktopnya lebih tinggi lagi lalu berpindah ke payudara satunya. Wulan sama sekali tak melakukan perlawanan. Bahkan ia mendesis tak karuan saat lidahku menyentuh putingnya. Rupanya titik paling sensitifnya berada di putingnya.
Terlihat sekali ia begitu bersemangat mengurut batang penisku. Dan entah ia mendapat ide darimana, Wulan meludahi tangannya lalu kembali mengurut penisku. Rasanya masih mendingan dibanding tadi karena ketika kering tadi terasa agak sakit.
"Aaaaah ... maaass ... enaak banget mas ... suamiku aja ngga pernih giniin aku loh," racaunya sendiri.
"Ya sudah nanti biar aku yang isepin susumu Mbak," jawabku sambil menghentikan hisapanku.
"Iya sayang isep lagi ya. Kalau perlu abisin susuku ini. Suamiku ngga mau kok,"
"Sluurpp ... sluurrp ... slurrp.."
Di saat aku tengah sibuk menyusu, Winda juga memberiku kenikmatan duniawi dengan terus mengurut penisku. Jujur rasanya berbeda sekali ketika memakai tanganku sendiri. Tangannya begitu telaten mengurut penisku hingga aku merasakan sesuatu mulai mendesak keluar dari ujung penisku.
"Mbaak ... aku mau keluaaar mbaaak ... " desahku.
Mendengar itu, Wulan makin mempercepat kocokannya pada penisku. Aku kini sudah tak menghisap puting Wulan karena aku sudah terlanjur keenakan. Hingga tak lama berselang, penisku memuntahkan lahar panasnya dengan debit yang amat banyak.
"Iihh ... banyaknya mas ... " keluhnya sambil mengibaskan tangannya karena banyaknya sperma yang kumuntahkan.
"Hehehe ... namanya juga 5 hari ngga dikeluarin Mbak," jawabku cengengesan.
"Bangun dulu mas. Mau bersihin tanganku dulu nih," ucapnya.
Aku langsung bangun dari pangkuannya. Sementara Wulan berjalan menuju ke dapur. Aku meraih kotak tissue yang berada di meja ruang tamu dan membersihkan penisku dari sisa sperma yang tercecer. Kemudian aku memakai kembali celanaku.
Tak lama berselang, Wulan kembali namun sudah berganti pakaian menutup tanktop yang ia kenakan tadi dengan jaket rajut. Wajahnya nampak sumringah saat ia ikut duduk menemaniku di ruang tamu.
"Gimana mas? Enak toh?" Tanyanya dengan nada sumringah.
"Iya mbak. Enak banget. Apalagi sambil dikocokin kayak tadi hehehe," jawabku cengengesan.
Ia mendekatkan kepalanya ke telingaku lalu berbisik. "Kalo mas mau nyusu, aku siap kok kapan aja. Asal ngga ada Mas Suryo dirumah."
"Ooh berrs ithmu Mbak. Itu bisa diatur," balasku sambil mengacungkan jempolku.
Aku melirik ke arah jam dinding. Waktu menunjukkan pukul 11 malam. Aku memutuskan untuk segera kembali ke kontrakanku. Sebelum kembali ke kontrakan, aku mencium pipi dan bibir Wulan.
"Aku balik dulu ya sayang," ucapku pamit.
"Iya. Bobok yang nyenyak ya sayang," balasnya.
-Bersambung-
ns 18.68.41.181da2