Semenjak aku diperkosa oleh banyak pria di taman birahiku menjadi naik berkali-kali lipat. Tiap hari aku bangun dengan keadaan memekku yang becek hingga kasurku basah. Colmek berkali-kali pun ngga bisa buat meredakan birahiku yang meledak-ledak. Memekku udah kecanduan kontol.
Aku curhat semua itu ke Mbak Latifa, tapi bukannya menyuruhku untuk berzina lagi ia malah melarangku. Awalnya aku sempet bingung dan marah karena Mbak Latifa aja bisa dipake memeknya tiap hari sementara aku malah ia larang. Tapi begitu ia bilang kalau aku akan diajarin untuk jadi lonte sholihah rasa marah itu langsung hilang.
Mbak Latifa mengajakku untuk tinggal di rumahnya selama seminggu. Aku tentu saja dengan antusias mengiyakan ajakannya. Aku pasti bisa belajar banyak dari Mbak Latifa, ia berjanji kalo sepulang dari rumahnya pasti aku udah jadi Ukhti sebinal dirinya. Mmpph, membayangkannya saja udah membuat memekku becek.
Mbak Latifa bahkan rela jauh-jauh datang menjemputku dari kotanya. Juga sekalian dateng ke rumahku untuk minta izin ke Ummiku. Reputasi Mbak Latifa sebagai Ustazah dan akhwat lulusan pondok tentu dengan gampang meyakinkan Ummiku untuk mengizinkan aku pergi dengan Mbak Latifa ke rumahnya untuk ikut kajian.
Beberapa hari kemudian, aku mendengar suara mobil berhenti di luar rumahku. Aku melihat ke luar jendela dan melihat Mbak Latifa keluar dari mobilnya. Saking senangnya aku langsung berlari kedepan dan sebelum Mbak Latifa bisa mengetuk pintu rumahku aku sudah membukanya dan memeluk tubuhnya erat-erat.
Sebelum aku sempat berkata apa-apa, Mbak Latifa mendekat dan mencium bibirku. Awalnya aku terkejut, tapi sensasi bibir kami berdua yang bertemu membuatku mabuk kepayang. Aku ingin mendorongnya menjauh, karena ada Ummi didalam yang sewaktu-waktu bisa datang melihat perbuatan mesum kami berdua, tapi Mbak Latifa mencengkram tanganku dan menarikku makin mendekat.
"Mainin toketku," bisik Mbak Latifa di telingaku.
Aku ragu-ragu sejenak tapi Mbak Latifa yang lebih duluan menggerayangi toketku dari luar gamisku membuatku menjadi terangsang dan tak mau kalah. Tanganku mulai bergerilya menjelajahi toketnya. Mbak Latifa mendesah pelan saat aku menarik-narik pentilnya. Mbak Latifa juga memainkan toketku, memilin-milin pentilku hingga mengeras.
Kami berdua seakan sudah tak peduli tempat, Mbak Latifa mengangkat gamisku hingga ke pinggang membuat memekku yang tak tertutupi celana dalam kelihatan. Perintah dari Mbak Latifa kalo seorang lonte akhwat tidak boleh memakai dalaman apapun.
"Siapa Nis yang dateng?" teriak Ummiku dari ruang tamu.
"M-Mbak Latifa, Ummi," ucapku berusaha terdengar santai.
Aku dengan buru-buru merapikan gamisku yang berantakan saat Ummi datang ke depan rumah menyambut Mbak Latifa. Mereka berdua berpelukan dan Ummi menyuruhku untuk menyiapkan minum sementara ia mengajak Mbak Latifa ke ruang tamu.
Aku lalu pergi ke dapur untuk menyiapkan minuman. Jantungku masih berdegup kencang dan berdebar-debar karena sentuhan Mbak Latifa di tubuhku tadi. Ia begitu ahli merangsang setiap titik-titik lemah di tubuhku. Selagi aku mengaduk-aduk sirup di gelas, aku merasakan cairan memekku merembes ke gamisku
Pandanganku dan Mbak Latifa bertemu. Ia tersenyum kepadaku, matanya berbinar-binar penuh kenakalan. Bulu kudukku merinding, mengetahui bahwa ini baru permulaan dari seminggu kedepan.
Selagi Mbak Latifa dan Ummiku membicarakan soal perizinanku, aku duduk di samping Mbak Latifa.
"Anisa itu anak yang baik, penurut, sama selalu rajin buat belajar," kata Ummiku bangga. "Ana yakin Anisa pasti akan memanfaatkan kesempatan buat belajar dengan Mbak Latifa semaksimal mungkin. "
Aku hampir saja berteriak sewaktu tangannya Mbak Latifa tiba-tiba mencengkeram bokongku dari luar gamis. Meja di depan kami menghalangi pandangan Ummiku melihat perbuatan mesum Mbak Latifa. Hanya dirangsang sedikit saja, memekku sudah basah kembali.
"Iya Ummi, ana juga yakin Anisa ini anak yang baik dan penurut," Balas Mbak Latifa, tangannya kini mulai mengusap-usap pahaku. Makin lama naik kearah selangkangan. "Ana akan pastikan Anisa belajar semua yang perlu ia pelajari di tempat ana."
Barang bawaanku hanya koper saja yang berisi pakaian-pakaianku, walaupun sebenarnya semua yang kumasukin kedalem itu cuma biar Ummi ga curiga ke aku. Mbak Latifa udah berpesan ke aku kalo yang aku butuhin cuma sekedar jilbab sama cadar aja.
Didepan rumah, Ummi memeluk aku erat cukup lama. Matanya berkaca-kaca. Terkesan dramatis tapi ini pertama kalinya aku pergi jauh dari Ummi sejak kecil, apalagi sejak Abi meninggal, pasti Ummi kesepian.
"Dadah Ummi, Assalamualaikum." Aku dan Mbak Latifa mengucap salam.
"Waalaikumsalam, hati-hati ya Nis, Ukhti Latifa."
Kami berdua lalu berangkat menuju rumah Mbak Latifa. Di perjalanan aku terus kepikiran waktu Mbak Latifa menciumku di depan rumah.
"Mbak?" aku menoleh ke samping, melihat Mbak Latifa yang sedang menyetir.
"Iya?"
"Kalau semisal waktu itu Ummi mergokin kita pas ciuman gimana?"
Mbak Latifa dengan santai tertawa, "Mbak perkosa Ummimu, kamu mau bantu kan?"
Aku tertegun. Walaupun aku suka diperkosa, tapi ngebantu ngeperkosa Ummiku sendiri?
"Nis," Mbak Latifa mengulurkan tangannya, menyentuh pipiku lembut, "Ummimu udah berapa tahun ga ngentot?"
"Emm, 2 tahun lebih," aku menyebutkan waktu sejak abiku meninggal, Ummi ga mungkin berzina.
"Menurutmu kalau kamu ga ngentot selama 2 tahun kamu kuat? pasti stress, frustasi kan?"
"Iya," Aku mengangguk-angguk mendengar perkataan Mbak Latifa.
"Begitu juga Ummimu, kalau kamu sayang sama Ummimu kamu pasti pengen Ummimu ngerasain enaknya dientot banyak orang kan?"
Perkataan Mbak Latifa terus terngiang-ngiang dalam benakku. Aku mengingat betapa enaknya sewaktu aku digangbang di taman dahulu, dan juga bagaimana ekpresi keenakan di wajah Mbak Latifa sewaktu dientot rame-rame di video yang ia kirimkan.
Logikanya, sebagai seorang anak yang baik tentunya aku harus membantu Ummi menyadari fitrahnya, yaitu menjadi pemuas nafsu bejat laki-laki. Apalagi memek Ummi pasti gatel udah bertahun-tahun ga pernah dicoblos kontol.
Mobil yang kami kendarai berhenti di depan sebuah rumah yang cukup mewah. Ada halaman luas, beberapa pohon dan tanaman menghiasi. Aku sempat terheran-heran bagaimana bisa Mbak Latifa mempunyai rumah sebesar ini, penghasilannya sebagai pengajar di pesantren dan pengisi kajian tentu tak cukup buat membeli rumah sebesar ini.
"Ana ga pernah mematok harga buat siapapun untuk menikmati tubuh ana Nis," Ucap Mbak Latifa yang seakan tau rasa penasaranku. "Orang tua ana emang kaya, jadi ana sejak kecil udah dapet privilege banyak. Ana sejak dulu udah sering sedekah harta tapi entah kenapa masih merasa ga cukup. Karena itulah ana nyedekahin tubuh ana buat yang membutuhkan."
Aku mengangguk-angguk mendengarkan. Mulia sekali pikiran Mbak Latifa, ia menyedekahkan harta, ilmu, juga tubuhnya bagi umat manusia.
Dari dalam rumah aku melihat ada satu akhwat yang keluar lalu menghampiri mobil, "Ana bukakan Ustazah." Ucap Akhwat itu sembari membukakan pintu bagiku dan Mbak Latifa.
"Makasih ya, Maya." ucap Mbak Latifa sambil keluar dari mobil. Aku pun juga ikut keluar.
"Iya Ustaz-."
Cupp, cupp, cuppp. Mbak Latifa langsung menyosor bibir akhwat yang membukakan pintu mobilnya tadi, mereka berdua bertukar lidah.
Plak!
Aku terkejut ketika tiba-tiba Mbak Latifa menampar dengan begitu keras wajah Ukhti Maya hingga ia tersungkur ke tanah.
"Ahh," Ukhti Maya merintih. Belum hilang rasa sakit yang ia rasakan, Mbak Latifa mencengkram kepalanya memaksa Ukhti Maya untuk berdiri.
Ia lalu menoleh kearahku, menatapku dengan tegas. "NIs, mulai hari ini kamu harus terbiasa dengan hal seperti ini. Laki-laki itu fitrahnya dominan, dan mereka suka wanita yang penurut."
Ukhti Maya masih mengusap pipinya yang merah, menatap ke bawah, matanya berair. Aku merasa iba kepadanya. Usianya mungkin sama denganku. Mbak Latifa terlihat begitu tegas dan kasar kepadanya berbeda dengan perilakunya kepadaku. Aku jadi bertanya-tanya apakah nanti Mbak Latifa akan bersikap kasar kepadaku juga?
"Ayo masuk ke dalam Nis," Kata Mbak Latifa sambil menggandeng tanganku dan berjalan menuju ke dalam rumah. Ukhti Maya mengikuti di belakang sambil membawa barang bawaanku.
Interior dalam rumah pun tak kalah megahnya dengan eksteriornya. Rumah ini terdiri dari dua lantai dengan tangga melingkar ke atas dari ruang tengah. Perabotan dan dekorasinya tampak artistik dan mahal. Mbak Latifa membawaku ke sebuah kamar tidur yang besar di lantai atas. Ukhti Maya meletakkan barang bawaanku lalu keluar kamar, menutup pintu di belakangnya.
"Mulai hari ini kamu tidur disini Nis," Kata Mbak Latifa sambil tersenyum hangat padaku. "Kalau butuh apa-apa tinggal bilang aja,"
"Jazakallah Mbak, Mbak baik banget."
Cupp. Mbak Latifa mencium bibirku, bibir kami berdua berpagutan. Entah kenapa memekku selalu basah tiap kali diciumnya, padahal sebelumnya aku ngga pernah membayangkan berciuman dengan seorang wanita.
"Kamu istirahat aja dulu, pasti capek kan?" ucapnya sewaktu bibir kami berpisah. "Nanti pas maghrib ana bangunin."
Setelah Mbak Latifa keluar dari kamar, aku merebahkan diri di kasur. "Empuk sekali," batinku. Kamar ini lebih luas daripada kamarku di rumah. Ada lemari pakaian di pojok, rak buku, dan meja belajar. Tubuhku terasa pegal-pegal, mungkin karena efek perjalanan yang cukup memakan waktu tadi. Aku memejamkan mata sebentar, membayangkan apa yang akan terjadi besok.
"Nis, nis," Mbak Latifa mengguncang tubuhku lembut. "Udah maghrib."
Aku duduk sambil mengucek-ngucek mata. "Iya, Mbak," kataku. Sayup-sayup di luar aku mendengar kumandang azan maghrib. Pasti aku tadi tertidur.
Mbak Latifa lalu menyuruhku untuk wudhu dan nanti turun ke bawah untuk sholat bersama akhwat lainnya. Kulihat tadi ada beberapa akhwat selain Maya yang berada disini, mungkin mereka juga sedang dilatih untuk menjadi lonte budak kontol sepertiku.
Tubuhku menjadi lebih segar selepas wudhu. Aku lalu turun ke bawah menuju ruangan mushola kecil di dekat tangga. Ada tiga orang akhwat selain Maya dan Mbak Latifa yang ada disitu. Dua orang nampak seumuranku atau lebih muda, sedangkan satunya kutaksir usianya 40-an. Kami berlima lalu mulai membuat shaf dengan Mbak Latifa sebagai imamnya. Selagi kami shalat, aku mendengar suara dengungan kecil dan desahan samar-samar yang berasal dari akhwat yang kutaksir umurnya 40-an. Pada awalnya, Aku kira itu cuma imajinasiku, tetapi ketika desahannya makin keras, aku yakin kalau dia pasti memakai vibrator.
Aku melirik ke arah Mbak Latifa, tapi ia tampaknya tak terpengaruh dan tetap khusyuk shalat. Begitu juga akhwat lainnya, mereka menganggap desahan di sela-sela bacaan surat yang dilantunkan Mbak Latifa adalah hal biasa.
"Astaghfirullah," aku beristighfar. Aku juga harus khusyuk shalatnya.
Setelah selesai shalat, Mbak Latifa mengajak kami semua untuk makan malam. Saat kami makan, suara dengungan kecil itu terus berlanjut dari akhwat itu. Aku berusaha menghiraukannya seperti Mbak Latifa dan akhwat lainnya.
Mbak Latifa kemudian memperkenalkan akhwat-akhwat di meja makan ini kepadaku. Dea, berusia 18 tahun, setahun lebih muda dariku. Tubuhnya mungil, begitu juga toketnya. Satu hal yang pertama aku sadari adalah bibirnya yang menggoda untuk dicium. Maya, yang tadi membawakan barang bawaanku, juga berusia 18 tahun. Ia sedikit lebih tinggi dari Dea, toketnya lebih besar daripada punyaku ataupun Mbak Latifa. Wulan, 22 tahun, sedang kuliah jurusan pendidikan olahraga di universitas negeri di kota ini. Ketika berjalan, bokongnya yang semok tak bisa tertutupi oleh gamisnya. Terakhir, yang duduk di samping Mbak Latifa adalah Ustazah Halimah, ustazah senior di pesantren tempat Mbak Latifa mengajar. Usianya 45 tahun. Dia adalah akhwat yang aku sebut tadi mendesah saat shalat dan bahkan sekarang pun juga.
Setelah selesai makan, aku kembali ke kamarku untuk merapikan barang-barangku dan juga mandi. Azan Isya sedang berkumandang ketika aku keluar dari kamar mandi. Aku yang sudah berwudhu lalu segera memakai mukenaku tentunya tanpa dalaman apapun, lalu aku turun kebawah untuk shalat isya.
Anehnya, sewaktu shalat aku ngga melihat keberadaan Mbak Latifa dan Ustazah Halimah. Mbak Wulan yang menjadi imam kali ini. Selesai shalat, Dea dan Maya berpamitan kepadaku untuk kembali ke pondok sementara Mbak Wulan tinggal disini, di kamar bawah. Aku lalu naik ke lantai atas dan hendak kembali ke kamarku ketika aku mendengar suara desahan samar-samar dari kamar di ujung lantai.
Semakin aku mendekat, semakin keras pula suara desahan itu yang diiiringi oleh suara tamparan keras. Jantungku berdegup makin kencang sewaktu aku mendekati pintu kamar yang terbuka sedikit itu.
Mataku terbelalak kaget melihat pemandangan di dalam kamar itu. Ustazah Halimah hanya berhijab tanpa menggunakan pakaian apapun sedang menungging di atas pangkuan Mbak Latifa. Tubuhnya menggeliat-geliat keenakan sewaktu Mbak Latifa menampar bokongnya berulang kali hingga kemerahan.
Plak!
"Ouhhh, ana adalah budak kontoll," desah Ustazah Halimah.
Plak!
"Nghhh, ouhh, hidup ana cuma buat kontol,"
Plak!
Setiap kali Mbak Latifa menampar bokongnya, Ustazah Halimah akan mendeklarasikan dirinya sebagai budak kontol, seperti sebuah mantra yang ia rapal berkali-kali.
Aku tak berkedip menyaksikan kebrutalan Mbak Latifa menampar bokongnya Ustazah Halimah. Pasti ia tak akan bisa duduk dengan nyaman selama beberapa hari. Nipple clamps yang menjepit putingnya ikut bergoyang saking kerasnya tamparan di bokongnya. Walaupun begitu yang keluar dari mulutnya adalah desahan nikmat dan bukan rintihan sakit.
Plak!
"Ouhhh, ngghhh, aku budak kontoll! aku budak kontoll!" Ustazah Halimah merintih-rintih keenakan. Tubuhnya mengejang-ngejang seakan mau orgasme hanya dari tamparan di bokongnya.
Menonton adegan panas di dalam kamar itu, membuat tubuhku lama-lama terangsang sendiri. Tanganku tanpa sadar menggosok-gosok memekku di balik mukena. Aku menutupi mulutku dengan tanganku, menahan desahanku agar tak terdengar. Ahh, aku jadi membayangkan jika aku yang berada di posisi Ustazah Halimah sekarang ini, pasti rasa sakitnya tak terbayangkan tetapi rasa enaknya tentu tak kalah memabukkan.
Adegan panas itu terus berlangsung seiring juga dengan gosokan tanganku di memekku yang makin cepat. Aku lalu teringat vibrator yang kubawa. Tanpa pikir panjang, aku langsung menuju kamarku sendiri.
Begitu masuk, aku menutup pintu kamarku dan menanggalkan mukenaku. Aku mengambil vibrator di dalam tas dan menjatuhkan diriku ke kasur.
"Ouhhh," erangan nikmat keluar dari mulutku saat vibrator itu mulai bergetar memuaskan memekku. Dibandingkan dengan tanganku tadi, vibrator yang menancap di memekku ini jelas membuat tenggelam dalam ekstasi.
Plak! Plak!
Aku menampar-nampar bokongku sendiri, membayangkan tangan Mbak Latifa lah yang menamparnya. Pikiranku melayang-layang, kalau ustazah senior seperti Ustazah Halimah saja bisa ditaklukkan oleh Mbak Latifa, tentu saja akhwat lainnya di rumah ini pasti juga telah dicuci otaknya menjadi lonte budak kontol.
Aku jadi membayangkan Mbak Wulan yang jurusannya didominasi oleh laki-laki. Pasti tiap kali ada kerja kelompok dia digangbang bareng-bareng oleh teman laki-lakinya. Air liur meleleh dari ujung bibirku.
Mungkin Dea yang tubuhnya kecil itu suka dientot sama om-om bertubuh gendut besar. Dengan bibirnya yang menggoda itu, pasti mulutnya selalu dipenuhi oleh kontol mereka. Tubuhku melengking keatas saat aku merasakan orgasmeku makin dekat.
Maya, yang toketnya besar pasti selalu jadi pusat perhatian di tempat umum. Aku yakin Maya punya fantasi untuk ditelanjangin secara paksa didepan umum, dilecehin oleh banyak orang sekaligus.
"Ahhhhh, ahhhhhh!" mulutku menganga lebar merasakan puncak kenikmatan melanda tubuhku. Memekku serasa terus berkedut-kedut menyebarkan kenikmatan syahwat ke syaraf-syaraf di sekujur tubuh. Tubuhku mengejang seperti disetrum listrik.
***3377Please respect copyright.PENANAtxuCasEwN9
Bagi yang mau membeli karya MirzaAli yang lainnya silahkan hubungi telegram : @mirzaali1 atau join Channel : https://t.me/+7mjZFt-x1UAzZThl3377Please respect copyright.PENANAbtxyUm73sH
3377Please respect copyright.PENANAqZuAJGR6aI
3377Please respect copyright.PENANASAURpV7qwu