Kisah ini terjadi di sepanjang tahun 2023, sekitar 1 tahun setelah aku berlutut di depan kaki mu dan terjaga sepanjang malam melihatmu tertidur tanpa berani sedikit pun memeluk mu. Di periode ini aku dalam bentuk yang tidak beraturan secara pikiran dan perasaan; banyak hal yang sudah aku lalui dalam melewati tahun 2022 menuju tahun ini di 2023. Tidak ada kata atau tautan cerita yang bisa menggambarkannya, namun satu yang pasti, aku sama sekali tidak beranjak dari perasaanku pada mu, di mana tempat kita bersama 48 masih tertata sebagaimana kamu tinggalkan, si putih masih terawat dan terjaga dengan baik bersama helm mu yang masih rapi dan bersih, juga setiap barang yang kamu tinggalkan sampaikan potongan kuku pembawa petaka jari mu dulu pun masih ada ku simpan disana. Bukan, aku tidak mau membuang semua itu, percayalah saat perasaan itu merintih pada mu, tidak ada rasa sesakit selain berada di ruang itu bersama semua kenangan dari mu, seperti luka yang terus menerus disiram dengan air laut. Tapi, setelah rintihan itu, akan selalu ada senyum mu yang terlintas dibayangkan ku saat memandang mu ke arah jendela kamar itu, bersama sosok guling subtitusi mu selama ini. Selain itu, banyak hal yang ku lakukan dalam menenangkan rindu, seperti rute yang pasti ku lalui di tengah malam, kemang ke pengadegan, hanya untuk melintas ke tempat di mana biasa aku menjemput dan mengantar mu bersama si putih. Itu lah ketidakseimbangan antara pikiran dan perasaan yang aku alami, serta upaya ku kembali menjadi normal, di saat tidak ada tempat buat ku untuk mencurahkan semua tumpukan dan tumpuan rasa tentang mu. Mungkin bagi mu aku orangnya sentimental atau melebih-lebihkan dengan kondisi ini, tapi sungguh, hanya itu yang bisa membuat ku kuat melanjutkan hidup sampai sejauh ini. Setiap orang punya cara masing-masing menenangkan hatinya yang merindu pada sosok yang iya cintai, ada yang dengan cara melupakan, dan ada yang dengan cara mengingat serta mempertahankan pada memori nya.
Sore itu di tanggal 19 Agustus 2023, ada angin di kepala ku yang membawa sebuah memory tentang tempat bar dan resto favorit kamu, dan kebetulan aku sedang ingin menjamu teman jauh yang baru datang ke Indonesia. Iya, shamrock bar and resto. Entah kenapa, setelah sekian lama semua berlalu, aku memberanikan diri mengirimkan sebuah signal saat berada disana dengan kode “ingin bermain ludo bersama mu”. Mungkin butuh waktu pesan itu sampai pada mu, sampai pada titik aku dan teman-teman ku memutuskan pulang, serta keniscayaan dalam menunggu mu di sana, aku memutuskan pulang ke kemang. Tak lama setelah sampai, aku melihat ada komentar di story TikTok lama ku oleh akun yang tak asing lagi bagi ku saat itu, di mana katanya dia sedang menunggu ku di luar, karena dia tidak bisa masuk ke dalam bar. Tanpa basa basi dan menunggu lama, aku membalasnya untuk menunggu di sana sampai aku datang menjemput, dan aku memintanya menunggu di depan warung nasi bebek pinggir jalan yang ada di depan bar itu. Dengan perbekalan helm putih mu, dan ngebutnya bersama si putih (*yang kebetulan pada saat itu sedang batuk-batuk dan sakit, bunyi mesinnya sangat keras), tetap aku pacu, hingga kurang dari 15 menit aku sampai di depan mu. Kita sama-sama mengenakan baju putih malam minggu itu, tanpa janjian. Itulah intuisi kita pertama kali yang membawa kita kembali kepada sebuah nuansa pertemuan secara fisik.
Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan dan anugerah yang diberikan oleh Tuhan malam itu, ketika kamu mengajak untuk mencicipi makan mie Aceh di Setiabudi (mie Aceh terenak katamu), aku tanpa ragu mengiyakannya, walau perut sudah kenyang gila, aku iyakan saja. Helm sebagai mahkota indah mu disetiap menaiki si putih bersama ku selalu ku pasangkan dengan hati-hati, malam itu, helm itu kembali menemukan puan nya, dan si putih menemukan pasangannya yang pernah merawatnya dulu dengan baik, serta bagi ku, aku melihat sosok wanita yang selalu ada dibenakku setiap saat bersama rindu yang dalam. Tiada ungkapan di dunia ini yang bisa menggambarkan betapa bahagianya aku malam itu. Di sepanjang jalan, seperti hal nya biasa kita saat bertemu, selalu ada kalimat yang saling bertaut tanpa ada celah kosong sama sekali. Abang dan Adek, kembali pada dimensinya, dalam balutan jalanan Jakarta yang mulai sepi. Setibanya kita ditempat mie Aceh itu, kamu sempat menanyakan pada ku beberapa spot yang pernah kita datangi sebelumnya, yang tentunya tak lekang di kepala ku. Kamu memesan mie Aceh goreng dan aku memesan yang kuah malam itu, dan aku masih selalu ingin memberikan suapan kepada mu. Satu hal yang aku rindukan dari momen bersama mu adalah ekspresi makan enak mu, beserta sedikit cemong di garis bibit kiri dan kanan mu yang selalu terlibat di sana, aku? Jangan tanya lagi, pasti akan sigap menyapihnya. Agak kaku kita malam itu, mungkin karena sudah lama tidak saling bertemu, tapi binar mata saling berbicara dan terus memanggil untuk tidak menghentikan malam itu bersama mu. Aku yang selalu impulsif ketika bersama mu, terlintas dipikiran ku untuk mengajak mu memutari jalan Sudirman dan mencari spot untuk hanya duduk dan ngobrol bersama secangkir kopi dari starling mungkin pada awalnya. Tapi alih-alih melancarkan rencana itu, aku teringat ada sebuah lokasi yang sudah lama ingin aku kunjungi dari sebuah tautan di fyp TikTok ku tentang sunrise di kota tua. Saat aku berdiskusi dengan mau, kamu dengan lantang menjawab “Adek tahu tempat ini…”, dan itulah pintu masuk ku mengajak mu malam itu. Kamu sempat bertanya “Malam ini juga? Apa tidak rehat dulu saja, baru nanti ke sana lagi?” Tapi perasaan ku bilang, akan susah mendapatkan kesempatan indah ini lagi, benar saja di kelanjutannya. Sedikit memaksa aku pada malam itu, tapi akhirnya terjadi juga.
Untuk menenangkan khawatir ku tentang capek, dinginnya malam, dan kondisi si putih yang kamu sudah notice saat di jalan, aku berhenti di sebuah toko bernama Family Mart persis di depan Senayan City. Niatnya mencari wedang jahe untuk menghangatkan badan malam itu. Tapi, yang namanya kita selalu menjadi hidup saat bersama, bukan wedang jahe yang kita santap pertama, malah ice cream cokelat, yang kata mu, ice cream terenak yang pernah kamu nikmati belakangan ini. Aku pun seakan terhipnotis mengikuti mau mu malam itu, namun kita tetap membeli 1 full wedang jahe sachet yang kemudian kita seduh bersama air hangat yang kita beli di family mart tersebut. Setelah saling menyantap ice cream cokelat itu di dalam family mart, kita memutuskan untuk menikmati cangkir wedang jahe hangat kita di pinggir trotoar di seberang, persis di depan senci. Banyak yang kita obrolkan malam itu, sampai aku tidak tahu lagi alur cerita ini membawa ke mana, tapi selalu menyenangkan bisa berbicara dengan mu, aku melupakan semua penat dan pelik masalah di kepala pada saat itu, hanya dengan mendengar dan melihat tawa indah mu malam itu. Beberapa bungkus sisa sachet dan mie Aceh yang tidak habis ku makan dalam kurun waktu lama berada di kulkas kamar ku, hanya untuk mengenang malam itu.
Lalu, kita melanjutkan perjalanan bersama menuju kota tua pada malam itu. Jujur, ingin rasanya aku menarik tangan mu untuk memelukku di motor pada malam itu, tapi aku paham situasinya, tidak mungkin aku memaksakan kehendak ku pada mu. Namun, kamu meminta ku memasang jas hujan pemberian mu yang masih berada di dalam jok si putih, untuk menghangatkan badan katamu, supaya tidak masuk angin. Diperjalanan malam itu, kita menjalan peran yang selalu kita lakukan bersama saat mengitari jalan di manapun itu, aku sebagai driver dan kamu sebagai navigator. Kurang lebih 30 menit perjalanan kita sampai di wilayah kota tua, namun karena kita tiba terlalu cepat, sekitar pukul 02.00 pagi kalau tidak salah saat itu, kita memarkirkan si putih di alun-alun kota tua di depan stasiun kereta api kota tua. Kita kemudian memesan kopi hangat lagi dari ibu-ibu penjual di sana. Kita duduk di alun-alun itu sambil melanjutkan percakapan kita yang seakan-akan tidak habis pada malam itu. Aku selalu ingin menikmati mimik wajah dan mata indah mu malam itu dalam setiap percakapan yang kita lalui, tanpa ingin mengedipkan mata. Entah kenapa aku selalu terpesona oleh senyum dan suara tawa mu, dari dulu. Ditengah-tengah percakapan, kamu bilang mau buang air kecil, lalu mengajak ku ke dalam stasiun kereta api, kata mu di dalamnya bagus, kamu pernah di sana saat mau menuju pelabuhan sebelum ke kepulauan seribu. Aku mengiyakannya, kita masuk dengan eMoney hanya untuk kencing. Alih-alih keluar cepat setelah selesai buang air kecil, kita menikmati sepasang kursi pijat yang ada di sana, belakangan aku jadikan tempat menunggu mu di sebuah permintaan trip terakhir pada tahun itu juga. Kita sempat memejamkan pada sebentar di sana menghilangkan lelah. Jika diingat, ini bukan kali pertama kita menguasai sepanjang malam tanpa istirahat yang proper, perjalanan ke Jogja menuju punthuk setumbu saksinya.
Akhirnya menuju ke puncak acara, di mana kita memarkirkan si putih ke tempat parkiran umum di sana, dan kita berjalan menuju alun-alun utama kota tua, di mana banyak sekali orang-orang sudah memulai kegiatan olahraga pagi di sana. Aku masih ingat, kamu melepas sepatu bot party mu itu di sana, karena kesakitan, dan aku serahkan sandal ku ke kamu, aku nyeker sambil nenteng sepatu kamu. Kalau kamu mau tahu, di sana lah tercetus ide ku memberikan mu kado ultah mu sepatu bot party baru dengan ukuran yang proper. Tapi, kata mu mirip sepatu polwan.. hikhikhik. Anyway, di sana kita banyak ngobrol lagi sambil jalan, sambil mengomentari kondisi sampah di sana, yang selalu saja kita bahas, apapun itu. Entah kenapa, kita selalu seperti burung yang bertaut jika bersama, bagi ku tidak ada celah kosong saat bersama mu, selalu hidup, itu kenapa aku selalu ingin ngobrol dengan kamu, bahkan jika harus mengorbankan rasa kantuk ku, itu tidak seberapa. Momen sunrise muncul, di saat aku mendokumentasikannya, kamu sibuk berjalan mencari tempat duduk sambil mengepak-ngepakkan sayap indah mu menarik nafas segar pagi itu, momen itu tertangkap kamera ku. Kamu tahu aku adalah anak sunrise, dan kamu anak sunset, kita saling menikmati momen yang kita sukai itu bersama, dan selalu memiliki makna di setiap momennya. Kali ini, aku tidak bisa mendeskripsikan apakah yang menjadi makna nya, namun.. di sana aku mulai percaya ada sebuah tali tak kasat mata yang saling terikat di antara kita, yang pasti akan menemukan jalannya untuk saling bersua. Pada titik ini pun aku mengafirmasi teori ku selama ini, ternyata hidup ku jauh lebih berwarna, ketika kamu di sampingku menemaniku menjelajah dunia ini, tapi aku tidak tahu bagi mu, dalam sudut pandangku demikian.
Penutup kisah di kota tua, kamu mengajak ku untuk sarapan di salah satu resto terkenal di sana, Batavia Cafe, belakangan aku tahu kamu pernah ke sana beberapa kali. Ingat cerita ku terakhir? Aku tidak pernah punya nyali untuk mengexplore tempat baru, tanpa mu, jadi setiap database yang aku punya terkait tempat, di situ pasti ada kamu yang memberikan trigger keberanian dengan balasan “hayukkkkk” jauh sebelum ada kalimat “gas ngeng” :)
Kopi dan makanan di tempat itu membekas dibenak ku, namun lebih kepada karena ada kamu di dalam moment itu. Di sana aku sadar, setelah ini, kamu akan kembali menghilang, dan seperti aku terbangun dari mimpi, di mana aku kembali kehidupan tanpa dirimu. Kita melanjutkan perjalanan pulang, dan aku memaksa untuk mengantar mu ke tempat tinggal mu yang baru di Jakarta Timur. Bukan hal yang biasa bagi ku dan si putih, tapi kepindahan mu adalah pilihan untuk ketenangan mu, seperti hal nya kemudian jalur hidup setelahnya. Sebelum kita balik, kita masih sempat makan es potong yang kita beli dekat area parkir. Mata ini masih ingin melek, dijalan pun tak ingin sepi, terus mengajak mu berbicara, walau aku tahu, helm kita sangat membatasi suara satu sama lainnya. Di sana juga aku mendengar cerita bahwa ada promosi minuman di Sarinah, yang belakangan aku datangi dan menjadi alasan menghubungi mu lagi.
Aku berhenti persis di seberang apartemen tempat tinggal mu kala itu, kamu turun, lalu menaiki jembatan penyeberangan, dan aku melanjutkan perjalanan pulang ke kemang. Di sela setapak jalan ku, aku masih ingin melihat mu, dan di sana lah kamu menari tarian putri duyung. Setelah itu, dengan beberapa pesan yang sempat terkirim, akhirnya semua kembali tertutup, dan kamu menghilang, seakan tidak ada apa-apa sebelumnya. Setelah ini, fase intuisi ini masih berlanjut, sepertinya bulu perindu ku masih tumbuh waktu itu :)
Ini lah intuisi pertama yang membawa dua sejoli kembali kepada “rumah”nya, setelah sekian lama terpisah, hanya bermodal insting, percaya, dan perasaan, sisanya semesta yang bekerja. Aku sempat bilang ini kutukan bagi kita, tapi.. belakangan aku sadar, ini bukan kutukan, tapi anugerah, yang harus kita syukuri, hingga nanti akhir hayat kita tiba di pusaran tanah, siapa yang lebih dulu, dia yang akan berkunjung, jangan lupa bawa catatan dan passwordnya, belum lupa kan?
89Please respect copyright.PENANAWylK7TbAWb
89Please respect copyright.PENANA3MTUIDNSux