Senja mulai turun ketika aku dan Sofya saling chat, seperti membawa kehangatan di antara kesibukan soreku menjelang pulang kantor. Akhir-akhir ini kami memang makin sering chat. Biasa saling tukar pesan yang santai-santai saja, kadang tentang hal ringan, kadang juga tentang hal-hal yang lebih dalam. Kali ini, entah kenapa, aku merasa ingin membagi sesuatu yang selama ini kupendam.
“Sofya, kalau aku mau curhat soal masalah rumah tangga, nggak apa-apa, kan?” ketikku, dengan harapan dia tidak merasa risih.
Dia membalas cepat, seperti biasa. “Nggak apa-apa, Kak Hendra. Cerita aja, aku dengerin kok.”
Jari-jariku ragu di atas layar ponsel. “Ini sebenarnya agak gimana ya? soal ranjang. Kamu nggak keberatan aku curhat soal kayak gitu, kan?”
“Hmm, boleh kok, Kak. Aku dengerin,” balasnya dengan penuh perhatian, seolah memberiku izin untuk terbuka.
Aku pun mulai bercerita. Kuceritakan bagaimana Anindya, istriku, belakangan ini semakin serius dalam urusan agama. Sebuah perubahan yang baik, namun mulai terasa membatasi di beberapa hal, bahkan dalam hal yang sifatnya sangat pribadi. “Sekarang, tiap kali kami mau berhubungan suami-istri, dia punya aturan baru. Katanya posisi ini nggak boleh, posisi itu nggak sopan, dan bahkan aku nggak boleh pakai mulut karena katanya itu haram,” ceritaku, menambahkan tawa kecil meski ada nada frustrasi di sana.
Sofya mendengarkan dengan penuh empati. “Jadi bikin Kakak gak mood, ya?” balasnya, memberikan ruang bagi perasaanku.
Aku mengetik cepat, sedikit lega karena bisa berbagi. “Iya, Sofya. Makin ke sini, aku makin nggak merasa bebas… aku jadi bertanya-tanya, apa kamu sama Arman punya aturan yang ribet kayak gitu gak?”
Terdengar jeda sejenak di chat kami sebelum dia menjawab, “Oh, nggak tuh, Kak. Kita santai aja soal begitu. Bahkan, apa yang dilarang Mbak Anindya itu… aku dan Arman malah biasa ngelakuin.”
Aku tertawa lega, seolah beban curhatku sedikit berkurang. Rasa penasaran membuatku bertanya, “Senang banget ya jadi Arman? Aku jadi iri?”
Dia hanya membalas dengan tawa dan emotikon. “Tapi kak Anindya cantik banget kak, aku saja sebagai wanita akui dia sangat cantik.”
“Tapi kan walau cantik kalau mau gituan gak bisa macam-macam jadi ribet juga. Kayak makanan kurang garam kan? Terus kamu juga ngemut punya Arman ya?”
“Ih kok nanyanya vulgar banget sih kak? Ya iyalah aku lakuin itu. Kan enak heheheheh.” Jawab Sofya sambil mengirim emot tertawa.
Dorongan spontan muncul begitu saja. “Aduh, Sofya… jadi kepikiran kan, gimana kalau aku bisa gituan sama kamu,” tulisku, mencoba menjaga nada canda, walaupun setengah dari diriku berharap ada respon positif.
Sofya hanya membalas dengan tawa, dan kemudian menambahkan, “Hati-hati, Kak! Ntar aku lapor ke Mbak Anindya biar Kakak kena ceramah sebulan penuh, nih!”
Aku ikut tertawa, tapi di balik itu, ada percikan kecil yang membuatku ingin percakapan ini tak segera berakhir. Sofya menanggapi segalanya dengan ringan, membuatku merasa seolah ada sisi dari diriku yang diterima tanpa penilaian. Meski semua hanya sekadar canda, momen itu terasa begitu hangat dan membekas.
“Gapapa kena ceramah sebulan penuh hehehehe!”
Sofya mengirim emot tertawa di chat, dan aku bisa membayangkan ekspresi wajahnya saat membaca pesanku. Aku menunggu balasannya, dan tak lama kemudian dia mengetik.
"kak Hendra, becandanya cabul, ih. Jadi pengen beneran lapor kak Anin, nih!" Sofya mengirim balasan dengan emot memeletkan lidah.
Aku tersenyum, menatap layar ponsel sambil merasa agak berani dan iseng. Rasa penasaran memang bisa bikin adrenalin naik.
"Paling juga aku dicermahi heheheh. Bahkan kena ceramah setahun penuh, nggak masalah lah, Sof. Kalau bisa gituan bareng ama kamu sih, aku malah rela."
Pesan terkirim, dan aku menahan napas, menunggu balasan darinya. Beberapa detik kemudian, notifikasi masuk. Sofya tertawa lagi, dan aku bisa melihat tanda-tanda ketikan di sebelah namanya.
"Waduh, kak Hendra ini makin jadi deh… makin ngeres aja pikiran kakak."
Aku tersenyum tipis, tapi tetap lanjut membalas.
"Becanda, becanda… tapi kalau kamu anggap serius, ya syukur. Sapa tau bisa di aprove."
Balasan Sofya datang cepat kali ini. Ada jeda, tapi dia akhirnya membalas.
“Hmm… ya kalau kak hendra ternyata bukan becanda. Akunya jadi takut loh. Takut pengen hehehehhehe.."
Hatiku berdegup kencang membaca balasannya. Rasa di dadaku campur aduk antara senang dan tegang. Tapi aku tahu ini semua masih dalam batas bercanda—atau mungkin lebih dari itu? Aku sendiri nggak bisa menebaknya.
Aku membalas dengan kata-kata yang terasa ringan, tapi penuh makna.
"Aku sebenarnya serius, loh, Sof… kalau kamu oke, ya tinggal bilang aja, hehehe."
Dia kembali mengetik, kali ini agak lama. Aku mulai bertanya-tanya apa dia sedang berpikir panjang, atau mungkin merasa tergelitik dengan keberanianku.
"Ya ampun, kak… Hati-hati, nanti aku beneran baper lagi."
"Baper juga nggak masalah, Sof. Malah aku senang kalau beneran."
3299Please respect copyright.PENANAlnOtksaygf
Bersambung3299Please respect copyright.PENANAlqIT73YTa8