Malam ini malam jumat, seperti biasa kami selalu melakukan hubungan suami istri tiap malam jumat. Saat kami berdua di kamar dan suasana terasa hangat, aku berusaha untuk menikmati momen bersama Anindya.
Aku menelanjangi istriku yang cantik itu. Kemudian kami saling berciuman dan meraba tubuh pasangan. Aku remas payudaranya kemudian aku kecup putingnya.
“Shhhhhh…” Anindya mendesah.
Kemudian aku mulai mencumbu bagian perutnya dan turun ke selangkangan.
“Mas jangan dicium gak boleh!” Ujar istriku saat aku mau menjilat memeknya.
“Kenapa mah?”
“Aku baca itu ternyata gak boleh kata ustadz.”
Aku jadi kesal dengan ustadz yang mengatakan itu tapi aku lanjutkan dengan langsung memasukan kontolku ke memek istriku. Aku menggenjotnya sambil tiba-tiba terlintas wajah Sofya dan Syahnaz kedua iparku yang molek. Genjotanku makin liar karena membayangkan tubuh bahaenol mereka saat telanjang dan kuentot.
Namun, di tengah-tengah keintiman, dia tiba-tiba menahanku saat aku mau membuat Anindya menungging.
“Mas, jangan posisi itu,” bisiknya, suaranya terdengar agak canggung.
Aku menatapnya bingung. “Kenapa? Kan sebelumnya nggak pernah ada masalah?”
Dia menarik napas dalam-dalam, matanya sedikit menghindar dari tatapanku. “Aku baru dengar dari ceramah ustadz kemarin, katanya posisi itu… nggak boleh, Mas. Katanya, itu meniru cara binatang dan nggak sopan dalam Islam.”
Aku terdiam, berusaha mencerna kata-katanya. Sejujurnya, posisi itu adalah salah satu yang membuat momen kami menjadi lebih hangat dan dekat. Kami biasa melakukannya, dan sebelumnya dia juga tak pernah keberatan, bahkan menikmatinya/ Karena itu juga posisi favorit dia juga. Tapi malam ini, dia seakan berubah, dengan alasan baru yang didapatnya dari ceramah agama. Padahal ada ustadz lain yang bilang itu boleh. Dan ada dalilinya. Tapi istriku ikut pendapat ustadz online dia yang entah punya dasar pendidikan agama atau tidak.
“Anin.” kataku pelan, mencoba meredam kekesalanku, “kita sudah sering melakukan itu. Selama ini, kamu juga nggak keberatan, kan?”
Dia hanya menggeleng, masih tampak ragu. “Mas, aku cuma mau kita melakukan ini dengan benar sesuai ajaran yang baik. Kalau sudah tahu bahwa ini tidak boleh jangan dilakukan lagi.”
Kata-katanya seperti menjadi tembok penghalang yang tak bisa kutembus. Aku mencoba mengerti niat baiknya, tetapi tak bisa dipungkiri, rasa kecewa dan kehilangan gairah mulai merayap masuk. Suasana yang tadinya penuh kehangatan berubah dingin, terbungkus dalam keheningan yang canggung. Rasa kesalku semakin nyata. Mungkin untuk Anindya, ini adalah perubahan yang baik, namun bagiku, batas-batas ini mulai terasa menyesakkan.
Aku berbaring, mencoba meredam kekecewaan dan berusaha mengatur napas, tapi rasanya tetap tak sama. Gairah yang tadinya ada hilang begitu saja, berganti dengan rasa hampa.
***
Saat itu jam pulang sekolah SD, seperti biasa aku baru saja menjemput Haikal dari sekolah. Aku mengarahkan mobilku menuju rumah mertuaku tempat aku menitip Haikal sampai sore. Setiap pulang sekolah seperti itu karena di rumah tidak ada orang, aku dan istriku kerja. Di tengah perjalanan aku melihat sosok yang tak asing berdiri di halte Sofya. Dengan cepat, aku meminggirkan mobil, menurunkan kaca, dan melambaikan tangan ke arahnya.
“Sofya! Mau kemana, bareng kami aja?” tanyaku sambil tersenyum lebar.
Dia menoleh dan, begitu melihatku, tersenyum manis. “Iya, Kak Hendra. Kebetulan banget ketemu di sini.”
“Yuk, Kebetulan lagi jemput Haikal, ini,” ajakku.
Dia ragu sejenak, lalu tersenyum dan naik ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan, kami berbicara santai, sementara Haikal duduk di kursi belakang, sibuk dengan ponselnya.
“Kamu mau ke mana, Sofya?” tanyaku penasaran.
“Oh, aku mau cari kerja, Kak. Mau bantu-bantu Arman nambah penghasilan,” katanya sambil tersenyum, meskipun ada sedikit rasa canggung dalam suaranya.
Aku menatapnya sejenak, takjub dengan semangat dan kebaikan hatinya. “Wah, luar biasa ya, kamu. Nggak cuma cantik, tapi juga baik hati. Arman pasti bangga punya istri seperti kamu.”
Sofya tertawa pelan, “Kak Hendra, gombal banget sih. Kalau gini bisa-bisa aku ngadu lagi ke Mbak Anindya.”
Aku tertawa, pura-pura takut. “Aduh, jangan dong. Ini rahasia kita aja. Aku cuma bilang apa yang aku lihat kok,” jawabku, masih mencoba memasang ekspresi serius.
Dia tersenyum sambil menunduk, pipinya tampak sedikit memerah, dan aku tak bisa menahan diri untuk tak tersenyum melihatnya. Rasanya seperti ada percikan kecil yang hadir di antara kami, suasana terasa ringan dan menyenangkan.
Setelah menurunkan Haikal di rumah mertuaku, aku melanjutkan perjalanan untuk mengantar Sofya. Dalam perjalanan, aku kembali tak bisa menahan diri.
“Sofya, serius lho. Aku nggak pernah lihat perempuan sesabar kamu. Coba deh, lihat dari sudut pandang Arman. Dia pasti merasa beruntung,” kataku.
Sofya tersenyum kecil, menoleh ke arahku. “Aduh, Kak Hendra. Bisa-bisa aku jadi ge-er kalau terus-terusan digombalin gini.” Dia tertawa kecil lagi, dan aku merasa percakapan ini membawa kami lebih dekat.
Kami terus berbicara, bercanda sepanjang jalan, dan setiap tawanya membuat perjalanan itu terasa singkat. Saat tiba di tujuan, aku merasa enggan untuk berpisah. Tapi untuk hari itu, aku hanya bisa berpuas diri dengan momen kecil yang begitu hangat dan menyenangkan ini.
ns 15.158.61.6da2