Aku mengetik cepat, sedikit lega karena bisa berbagi. “Iya, Sofya. Makin ke sini, aku makin nggak merasa bebas… aku jadi bertanya-tanya, apa kamu sama Arman punya aturan yang ribet kayak gitu gak?”
Terdengar jeda sejenak di chat kami sebelum dia menjawab, “Oh, nggak tuh, Kak. Kita santai aja soal begitu. Bahkan, apa yang dilarang Mbak Anindya itu… aku dan Arman malah biasa ngelakuin.”
Aku tertawa lega, seolah beban curhatku sedikit berkurang. Rasa penasaran membuatku bertanya, “Senang banget ya jadi Arman? Aku jadi iri?”
Dia hanya membalas dengan tawa dan emotikon. “Tapi kak Anindya cantik banget kak, aku saja sebagai wanita akui dia sangat cantik.”
“Tapi kan walau cantik kalau mau gituan gak bisa macam-macam jadi ribet juga. Kayak makanan kurang garam kan? Terus kamu juga ngemut punya Arman ya?”
“Ih kok nanyanya vulgar banget sih kak? Ya iyalah aku lakuin itu. Kan enak heheheheh.” Jawab Sofya sambil mengirim emot tertawa.
Dorongan spontan muncul begitu saja. “Aduh, Sofya… jadi kepikiran kan, gimana kalau aku bisa gituan sama kamu,” tulisku, mencoba menjaga nada canda, walaupun setengah dari diriku berharap ada respon positif.
Sofya hanya membalas dengan tawa, dan kemudian menambahkan, “Hati-hati, Kak! Ntar aku lapor ke Mbak Anindya biar Kakak kena ceramah sebulan penuh, nih!”
Aku ikut tertawa, tapi di balik itu, ada percikan kecil yang membuatku ingin percakapan ini tak segera berakhir. Sofya menanggapi segalanya dengan ringan, membuatku merasa seolah ada sisi dari diriku yang diterima tanpa penilaian. Meski semua hanya sekadar canda, momen itu terasa begitu hangat dan membekas.
“Gapapa kena ceramah sebulan penuh hehehehe!”
Sofya mengirim emot tertawa di chat, dan aku bisa membayangkan ekspresi wajahnya saat membaca pesanku. Aku menunggu balasannya, dan tak lama kemudian dia mengetik.
"kak Hendra, becandanya cabul, ih. Jadi pengen beneran lapor kak Anin, nih!" Sofya mengirim balasan dengan emot memeletkan lidah.
Aku tersenyum, menatap layar ponsel sambil merasa agak berani dan iseng. Rasa penasaran memang bisa bikin adrenalin naik.
"Paling juga aku dicermahi heheheh. Bahkan kena ceramah setahun penuh, nggak masalah lah, Sof. Kalau bisa gituan bareng ama kamu sih, aku malah rela."
Pesan terkirim, dan aku menahan napas, menunggu balasan darinya. Beberapa detik kemudian, notifikasi masuk. Sofya tertawa lagi, dan aku bisa melihat tanda-tanda ketikan di sebelah namanya.
"Waduh, kak Hendra ini makin jadi deh… makin ngeres aja pikiran kakak."
Aku tersenyum tipis, tapi tetap lanjut membalas.
"Becanda, becanda… tapi kalau kamu anggap serius, ya syukur. Sapa tau bisa di aprove."
Balasan Sofya datang cepat kali ini. Ada jeda, tapi dia akhirnya membalas.
“Hmm… ya kalau kak hendra ternyata bukan becanda. Akunya jadi takut loh. Takut pengen hehehehhehe.."
Hatiku berdegup kencang membaca balasannya. Rasa di dadaku campur aduk antara senang dan tegang. Tapi aku tahu ini semua masih dalam batas bercanda—atau mungkin lebih dari itu? Aku sendiri nggak bisa menebaknya.
Aku membalas dengan kata-kata yang terasa ringan, tapi penuh makna.
"Aku sebenarnya serius, loh, Sof… kalau kamu oke, ya tinggal bilang aja, hehehe."
Dia kembali mengetik, kali ini agak lama. Aku mulai bertanya-tanya apa dia sedang berpikir panjang, atau mungkin merasa tergelitik dengan keberanianku.
"Ya ampun, kak… Hati-hati, nanti aku beneran baper lagi."
"Baper juga nggak masalah, Sof. Malah aku senang kalau beneran."
Aku bisa merasakan ada kedekatan yang berbeda dalam obrolan ini. Sebuah keisengan yang bercampur dengan kejujuran, entah dari pihakku atau dari Sofya.
"Iya deh, kak Hendra, ini bener-bener obrolan yang nggak diduga. Tapi seru juga, ya."
Kami berdua sama-sama terdiam setelah obrolan itu, dan malam itu menjadi momen di mana batas antara bercanda dan serius mulai kabur.
***
Keesokan paginya, aku duduk di meja kantorku sambil menatap layar laptop yang masih belum dihidupkan. Ada dorongan kuat dalam diriku yang membuatku membuka ponsel dan mulai mengetik pesan untuk Sofya. Sejak kemarin, kata-katanya terngiang-ngiang di pikiranku, dan aku tahu aku perlu memastikan maksudku—nggak cuma sekedar canda atau iseng semata.
"Sofya, aku serius, loh, soal kemarin."
Aku menunggu balasan dengan jantung yang sedikit berdebar. Di waktu seperti ini, suaminya sudah berangkat kerja, dan Sofya biasanya sendirian di rumah. Cukup aman untuk berbicara lebih bebas.
Beberapa menit kemudian, notifikasi dari Sofya muncul.
"Ya ampun, Kak Hendra. Beneran serius, nih? Kirain becanda aja kemaren, hehe. Gak takut ama istrinya kak?"
Aku tersenyum kecil membaca pesan itu dan langsung mengetik balasan dengan cepat.
"Masa sih aku bercanda soal gini sama kamu yang cantik ini? Soal takut istri ya takut sih hehehehe. Tapi demi kamu aku berani ambil resiko."
Notifikasi “typing…” muncul di layar, tapi lama nggak berubah jadi pesan. Ada jeda yang cukup panjang sampai akhirnya Sofya membalas lagi.
"Hmm… aku nggak nyangka, sih. Tapi jujur, aku paham, Kak. Aku juga sebenarnya simpati sama situasi Kak Hendra."
Deg. Aku hampir nggak percaya dengan apa yang baru aku baca. Sofya simpati? Aku bisa merasakan sesuatu yang berbeda dalam pesan itu, seolah ada rasa mengerti yang dia sampaikan tanpa banyak kata.
"Beneran, Sof? Jadi, gimana? Bisa dipikirin nggak?"
Sofya mengetik lagi, tapi kali ini jedanya semakin lama. Aku menunggu dengan perasaan campur aduk—antara berharap dan sedikit tegang.
"Kak Hendra, kasih aku waktu, ya. Aku nggak bilang iya atau nggak sekarang. Tapi aku ngerti kok, beneran."
Aku menatap layar, senyum mengembang di bibirku. Rasanya, ada harapan yang baru saja terbuka sedikit demi sedikit.
"Tenang aja, Sof. Aku sabar nunggu. Yang penting, kamu udah paham maksudku."
Obrolan kami berhenti di situ. Sepanjang hari itu, ada rasa lega sekaligus penasaran di dalam diriku. Entah berapa kali aku memeriksa ponsel, menanti-nanti balasan yang mungkin datang lagi dari Sofya. Dan dalam hati, aku berharap—semoga Sofya benar-benar memberi kesempatan untuk keinginan ini.
ns 18.68.41.179da2