#2
468Please respect copyright.PENANAw7YlK1loav
Andre memang sudah tidak muda lagi. Rambutnya memutih dan tubuhnya mulai bungkuk. Setiap hari ia banyak menghabiskan waktu di ruangan tempatnya melukis – sekaligus menjadi galeri hasil karya lukisannya.
Dinding ruangan itu dipenuhi lukisan-lukisan dalam berbagai ukuran, masing-masing menceritakan kisah tersendiri. Ada lanskap pedesaan yang indah, potret orang-orang yang mungkin sudah lama tiada, dan abstraksi penuh warna yang meluapkan emosi dari Andre.
Beberapa lukisan juga terlihat bersandar di lantai, karena di dinding yang sudah terlalu penuh. Dengan lukisan-lukisan ini, ia mampu menghidupi keluarganya. Anak-anaknya ia besarkan dengan hasil dari karyanya.
Sampai istrinya meninggal dunia, Andre masih menggeluti seni ini. Padahal anak-anaknya sudah meminta untuk berhenti melukis dan ikut bersama mereka. Tapi Andre menolak. Ia tak mau merepoti anak-anaknya. Dan ia masih ingin terus melukis hingga tangannya tangannya tak mampu memegang kuas lagi.
Baginya, melukis bukan sekadar pekerjaan, tapi sudah menjadi sumber bahagia baginya.Tak ayal meski banyak lukisan yang tak laku, tapi ia tetap terus melukis.
Selain menjual hasil karyanya, Andre juga menerima pesanan lukisan sesuai dengan permintaan dari kliennya. Sampai saat ini ia masih punya banyak klien yang terus memesan lukisan padanya.
Tepat pukul 8 pagi, Andre sudah duduk di kursi kayu usangnya, menghadap sebuah kanvas kosong. Sebuah palet kayu tergeletak di meja di sampingnya, penuh dengan cat minyak dalam warna-warna cerah.
Dengan hati-hati, ia mengambil kuas dari kaleng kecil yang sudah penuh bercak-bercak cat kering. Gerakan tangannya lambat namun pasti, mengoleskan warna pertama pada kanvas.
"Kita mulai dengan warna biru," gumamnya pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri atau mungkin pada kanvas di depannya. Sapuan pertama terasa seperti membuka cerita baru di kanvas kosong.
Ruangan itu seketika dipenuhi aroma khas cat minyak. Di atas meja, sebuah foto kecil dalam bingkai kayu berdiri di antara botol-botol cat dan kain-kain lap yang sudah kotor. Foto itu adalah potret seorang wanita muda dengan senyuman lembut. Wanita itu adalah istri Andre, Elisabeth atau yang biasa dipanggil Elis.
Setelah beberapa saat, Andre berhenti, menatap hasil awal di kanvasnya. Matanya yang mulai kabur oleh usia, tapi tetap memancarkan kilauan penuh semangat.
Ia menghela napas panjang, kemudian meminum anggur beberapa tenggak dari botolnya langsung. Anggur merah selalu menemani Andre dalam berkarya.
Anak-anaknya sudah meminta dirinya untuk berhenti mengkonsumsi alkohol, tapi bagi Andre, justru ia merasa badannya selalu sehat jika menenggak anggur.
Andre kembali melanjutkan lukisannya. Namun tak lama berselang, ia mendengar suara mobil berhenti di halaman depan rumahnya. Mungkin kliennya atau seseorang yang ingin membeli karyanya.
“Kek….” teriak suara perempuan beberapa saat kemudian. Andre langsung yakin itu yang datang bukan kliennya.
Andre segera beranjak dari kursinya, namun ketika baru berdiri dan hendak keluar dari ruangan itu, perempuan itu sudah berdiri di pintu.
“Sandra, sama siapa ke sini?” Andre tak menyangka dengan kedatangan cucunya ini.
“Sendirian kek,” jawab Sandra, yang nampak kelelahan. Wajahnya juga masih terlihat bersedih.
“Kamu istirahat dulu, nampaknya capek setelah perjalanan,” kata Andre.
Sandra lalu masuk ke ruangan sambil menenteng tas ranselnya.
“Kalau mandi, mandi dulu sana. Kalau mau istirahat di kamar kakek aja sementara. Kamar lainnya, masih belum kakek bersihkan. Tumben gak kabar-kabar dulu, jadi belum kakek siapkan,” ucap Andre.
Sandra tak menjawab, ia terus berjalan ke arah ruangan tengah.
“Kakek lanjut melukis dulu ya,” ujar Andre.
“Iya kek,” jawab Sandra singkat.
Andre sebenarnya punya banyak pertanyaan untuk cucunya itu, namun ia tak mau gegabah. Ia tahu Sandra masih capek. Jadi ia biarkan Sandra untuk istirahat dulu. ***
468Please respect copyright.PENANAx4nT7NEtFj