Jam masih menunjukkan pukul 12 malam. Seorang pria tampak gelisah dalam tidurnya. Dialah Aksara, pria berambut gondrong dengan tindik di telinganya. Entah mengapa, akhir-akhir ini ia kembali dihantui mimpi buruk dari masa lalunya.
Matanya masih terpejam, tetapi bibirnya bergerak-gerak, seolah berbicara dengan seseorang yang tak terlihat.
“Sial... pergi lo dari sini, dasar pengkhianat! Gue nggak mau lihat muka lo lagi, dasar cewek murahan!” geramnya sambil menghentakkan tangan ke kasur.
Aksara tampak terengah-engah, keringat dingin mengucur deras dari pelipisnya. Tiba-tiba, ia terbangun dengan tersentak.
Dengan napas yang masih memburu dan jantung yang berdegup kencang, ia melihat sekeliling. Sambil memegang kepalanya yang pusing, ia bergumam penuh amarah, “Bang***! Mimpi itu lagi! Dasar cewek sialan! Cewek murahan! Sampai kapan sih lo mau ganggu hidup gue?!”
---
207Please respect copyright.PENANAD4OQgacpwK
Pagi itu cerah, hari yang tepat untuk menyambut semester baru. Namun, Aksara tidak merasakannya demikian. Mimpi buruk tadi malam membuatnya tak bisa tidur nyenyak, membuatnya terjaga hingga pagi.
Di meja makan, sudah tersaji nasi goreng, roti bakar, dan segelas jus jeruk yang siap disantap.
Dengan langkah malas, Aksara menuruni tangga menuju meja makan. Sebenarnya, ia enggan berangkat ke kampus hari ini karena kepalanya masih terasa sakit. Namun, ia merasa jika tetap di rumah, pikirannya akan semakin stres.
Aksara menarik kursi, duduk, dan hendak menyendok nasi goreng ke dalam piringnya. Tiba-tiba, seorang wanita paruh baya dengan riasan tebal mendekatinya, lalu mengucapkan sesuatu yang membuat mood Aksara semakin buruk.
“Tumben kamu bangun pagi. Pulang jam berapa semalam?” tanya wanita itu.
Aksara tampak acuh, mulutnya penuh karena sedang mengunyah nasi goreng, tidak memedulikan omongan wanita itu.
“Kalo ditanya orang tua tuh dijawab!” sergah wanita itu, suaranya meninggi.
Aksara masih mencoba bersabar dan tidak menanggapi, tetapi wanita itu terus memancing emosinya.
“Semalam kamu mab*k, kan? Udah deh, ngaku aja! Biar nanti saya laporin semua kelakuan kamu ke papa kamu, biar kamu ditendang keluar!”
“Breng***!” maki Aksara. Ia berdiri, lalu membanting piringnya hingga pecah, sisa nasi goreng berceceran di lantai.
“Dasar perempuan gil*!” umpatnya dengan kesal. Aksara masih mencoba menahan amarahnya agar tidak meledak. Ia tak mau membuang energi untuk berdebat dengan wanita yang bahkan enggan ia panggil "ibu" karena tingkahnya. Wanita itu adalah Aninda, ibu tirinya. Ayahnya menikahi Aninda setelah ibunya lumpuh akibat kecelakaan yang menimpa keluarga mereka delapan tahun silam.
Aninda, yang lebih akrab dipanggil Ninda, dulunya adalah teman sekaligus perawat ibu Aksara setelah divonis lumpuh total. Awalnya, ia berdalih merawatnya sebagai bentuk balas budi, tetapi kenyataannya, wanita licik itu malah merebut suami ibunya dan menendang ibunya keluar. Seolah menegaskan niat buruknya sejak awal: menghancurkan keluarga Aksara demi menguasai harta.
Aksara keluar dari rumah dengan terburu-buru, menyalakan motor, memanaskannya sebentar, lalu langsung melaju tanpa memedulikan teriakan penuh amarah ibu tirinya.
Di jalan yang masih sepi, Aksara tak mampu lagi membendung amarahnya. Ia memacu motor dengan kecepatan tinggi dan berteriak sambil mengumpat sepuasnya. Setelah emosinya mereda, barulah ia sadar bahwa ia tak punya tujuan. Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi ke kos temannya yang letaknya tidak jauh dari kampus.
207Please respect copyright.PENANAgdH7SbDI8q
---
207Please respect copyright.PENANA9RovUXSDrS
Di sebuah bangunan bertingkat sederhana, mirip rumah susun, Aksara memarkirkan motornya. Ia berjalan menuju kamar nomor 04.
Sesampainya di depan pintu, tanpa ragu ia mengetuk dengan keras.
"Tok tok..." Tidak ada jawaban. Dalam hati, ia menggerutu, “Dasar, pasti masih molor.”
Ia mengetuk lebih keras sambil berteriak, “Woy, bangun woy! Masih hidup nggak nih orang, atau udah mati lagi?”
Setelah beberapa kali mengetuk, akhirnya pintu dibuka. Walaupun mendapat tatapan sinis dari penghuni sekitar karena berisik, Aksara cuek. Seorang pria dengan singlet bolong dan celana boxer menyambutnya dengan wajah masam. Namanya Afdhol, tapi lebih suka dipanggil Doli. Aksara sering memanggilnya "dodol" karena otaknya sering lemot.
“Brengs** lo! Pagi-pagi udah ganggu orang aja!” keluh Doli.
Aksara hanya menyeringai. “Hehe... Maaf, Dol. Terpaksa nih, tadi gue ketok-ketok nggak bangun-bangun, yaudah gue teriakin aja!”
“Sialan lo! Ngapain sih pagi-pagi udah nongkrong di sini? Muka lo merah banget lagi. Abis nonton bok*p ya?”
Tanpa dipersilakan masuk, Aksara langsung menerobos pintu dan merebahkan diri di kasur.
“Dasar otak ngeres lo! Masih pagi udah ngomongin gituan aja,” umpat Aksara sambil memijat kepalanya yang masih pusing.
Doli masih berdiri di depan pintu ketika Aksara langsung merebahkan dirinya di kasur.
"Si anj***, pagi-pagi otak lo udah ngeres aja, nye*," umpat Aksara sambil memijat-mijat kepalanya yang pusing karena begadang semalaman.
"Ya kali gue kira gitu," balas Doli sambil sesekali menguap dan menggaruk-garuk kepalanya.
"Lagian lo darimana sih? Jam segini udah rapi aja. Kuliah kan baru mulai jam 9 nanti," lanjutnya.
"Berisik lo, gue kabur dari rumah," jawab Aksara ketus.
"Lah, seriusan? Gara-gara Mak Lampir lagi ya? Makanya, Sar, gue bilang juga apa, mending dari kemarin-kemarin lo ngekos aja bareng gue. Enak di sini, tentram, bebas lagi," ucap Doli sambil cekikikan.
"Enak aja lo ngomong asal jeplak. Kalau gue beneran keluar dari rumah, yang ada si Mak Lampir makin seneng karena tujuannya emang mau nyingkirin gue. Jadi sekarang gue harus cari cara biar dia yang angkat kaki secepatnya dari rumah gue," jawab Aksara tegas.
"Ooh..." sahut Doli sambil manggut-manggut, meski jelas ia tidak paham sama sekali dengan maksud perkataan Aksara.
207Please respect copyright.PENANAdK1dya1unB
Aksara berdiri, lalu mendekati Doli yang masih manggut-manggut dan menggaruk-garuk kepala, tanda bahwa ia benar-benar tak paham arah pembicaraan mereka.
"Dol," Aksara memegang bahu Doli sambil mengisyaratkan dengan jarinya, "Sebats dong!" ungkap Aksara tanpa basa-basi. Ia memang dikenal blak-blakan.
"Eh si anyi**, udah datang nggak dipanggil, malah minta sajen lagi!" umpat Doli dengan wajah kesal.
"Hahaha... Sorry, cuy. Tadi gue buru-buru jadi lupa rokok gue ketinggalan di meja," balas Aksara sambil cengengesan.
"Yaelah... Ini rokok tinggal satu-satunya, anyi**. Dompet gue juga udah tipis banget, setipis kesabaran gue ngadepin anak set*n kayak lo," keluh Doli dengan wajah melas, seolah ingin menangis.
"Santai aja, Dol. Ntar gue ganti dua dus biar otak lo berasep dan nggak lemot lagi!" ledek Aksara sambil tertawa.
"Brengs** lu!" umpat Doli, semakin kesal.
Aksara kembali duduk di atas tempat tidur, menyalakan rokoknya, menghisapnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya. Asap rokok mengepul, memenuhi ruang kamar kos yang berukuran 3x3 meter tersebut.
Tiba-tiba, Aksara teringat sesuatu dan segera bangkit dari tempat tidur.
"Astaga! Gue baru inget..."
207Please respect copyright.PENANAjw6sPZFjpW