Namaku Denis, seorang pria berusia 27 tahun yang menjalani kehidupan profesional sebagai staf di divisi keuangan sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang periklanan. Setiap hari, aku menjalani rutinitas yang penuh warna dengan semangat berkat cinta dan dukungan dari keluarga kecilku yang selalu menjadi sumber kebahagiaan.
Magda, istriku tercinta yang berusia 25 tahun, adalah pelita di dalam hidupku. Walaupun dia hanya seorang ibu rumah tangga, bagiku, ia adalah pilar yang menjaga keharmonisan rumah tangga kami. Senyumnya mampu meredakan segala beban dan menjadi penawar lelah setelah hari-hariku yang sibuk di kantor.
Di sisi lain, Rania, putri kecil kami yang baru berusia tiga tahun, adalah sinar kebahagiaan yang tak tergantAyun. Tawanya yang lepas dan pelukan hangatnya menyelimuti hari-hariku dengan kehangatan yang tak terhingga. Setiap malam, kami berkumpul dalam suasana penuh cinta, berbagi cerita, tawa, dan kasih sayang—menciptakan momen-momen indah yang akan selalu tertanam dalam ingatan.
Rumah kami adalah surga kecil yang penuh cinta, tawa, dan kedamaian. Setiap sudutnya memancarkan kehangatan, menciptakan harmoni yang membuat hidupku terasa begitu lengkap dan bermakna.
Suatu malam, setelah makan malam sederhana yang penuh canda, kami bertiga duduk di ruang keluarga. Rania, dengan boneka favoritnya di tangan, melompat ke pangkuanku sambil tertawa riang.
“Ayah, Rania mau cerita!” katanya dengan mata berbinar.
Aku tersenyum sambil mengangkatnya ke atas seperti pesawat. “Cerita apa, sayang? Tentang Rania di taman tadi?”
Rania mengangguk antusias. “Iya! Tadi Rania lihat kupu-kupu besar sekali, terus warnanya biru! Tapi Rania nggak bisa tangkap, Ayah!”
Magda, yang duduk di sebelah sambil merapikan selimut, ikut tertawa. “Kupu-kupu kan harus terbang bebas, Nak. Kalau kamu tangkap, nanti dia sedih.”
“Oh, jadi kupu-kupu juga punya keluarga ya, Bunda?” tanya Rania polos, membuat kami berdua terdiam sejenak sebelum tertawa kecil.
“Betul sekali,” jawab Magda sambil mencium pipinya. “Sama seperti kita, mereka juga punya rumah untuk kembali.”
Aku menatap Magda dan Rania dengan penuh rasa syukur. “Rumah kita juga istimewa karena ada kalian. Ayah sangat beruntung punya Bunda yang luar biasa dan anak pintar seperti Rania.”
Magda tersipu sambil pura-pura mengomel. “Ah, Ayah ini terlalu banyak memuji. Tapi, terima kasih, ya.”
Malam itu diakhiri dengan tawa kecil dan pelukan hangat. Di dalam rumah kami yang sederhana, cinta dan kebahagiaan tumbuh subur, menjadikan setiap hari sebagai berkah yang tak ternilai.
Meskipun kehidupanku bersama keluarga berjalan harmonis dan penuh kebahagiaan, bukan berarti aku sebagai lelaki tidak pernah dihantui oleh pikiran-pikiran aneh yang kadang muncul tanpa diduga. Ada kalanya, saat melihat seorang wanita cantik yang sesuai dengan seleraku, aku merasakan daya tarik yang sulit dijelaskan. Dalam benakku, berbagai angan dan imajinasi sering kali bermain, meskipun aku sadar itu hanya sebatas angan belaka.
Seperti saat pertama kali aku memasuki kantor ini. Pandanganku langsung tertuju pada seorang wanita yang memiliki pesona luar biasa, Ayu. Dengan Hijab yang selalu rapi menutup kepalanya tidak menutupi kenyataan bahwa dia cantik dan menarik. Aku memang sangat terobsesi dengan wanita berhijab. Padahal aku seorang kristen.
Meski sama-sama sebagai staff Divisi Keuangan hubungan aku dengan Ayu tidak begitu dekat. Karena Ayu tipe wanita yang membatasi interaksi dengan lawan jenisnya. Salaman dengan lelaki saja dia hanya menyatukan telapak tangannya sendiri di depan dada sambil menundukan wajah. Benar-benar membuat aku maskin penasaran dan diam-diam punya hasrat pada Ayu.
Aku selalu berpikir apakah aku bisa menidurinya. Seperti apakah dia saat bersetubuh. Bagaimana ekspresinya saat sedang mencapai kepuasan. Dan pikiran cabul lainnya. Tapi semua hanya sekedar pkiran dan khayalan. Aku tidak mungkin mewujudkannya karena selain aku sudah beristri, Ayu juga sudah punya suami.
***
Terjadi pergantian pimpinan di tempat aku bekerja. Rasanya begitu mendadak. Tentu saja perubahan mendadak itu benar-benar mengejutkanku. Pak Hendra, kepala divisi keuangan yang selama bertahun-tahun bekerja di perusahaan ini bahkan sebelum aku bergabung, tiba-tiba memutuskan untuk mengundurkan diri. Pengumuman itu seperti petir di siang bolong. Aku masih mencerna kabar itu ketika kehadiran penggantinya, Amira, membawa nuansa baru yang langsung terasa.
Amira, wanita berhijab berusia 28 tahun dengan latar belakang pendidikan dari universitas ternama di Singapura dan sempat berkarir di negara itu hadir menggantikan pak Hendra. Wanita itu memasuki kantor dengan langkah penuh percaya diri. Penampilannya begitu mempesona, dan tutur katanya yang lugas segera menarik perhatian seluruh karyawan.
"Selamat pagi, tim. Saya Amira, kepala divisi keuangan yang baru. Saya berharap kita bisa bekerja sama dengan baik. Dan jangan khawatir, saya di sini untuk mendukung, bukan untuk mengubah segalanya secara tiba-tiba," katanya saat perkenalan pertama.
Kami semua mengangguk, tetapi aku bisa merasakan ketegangan yang tak terucapkan di ruangan itu.
Setelah rapat perkenalan selesai, aku berbincang dengan Anton, salah satu rekan kerjaku yang duduk di sebelah.
"Bagaimana menurutmu?" tanyaku setengah berbisik.
Anton mengangkat bahu. "Dia terlihat cerdas, itu sudah pasti. Tapi, entahlah, aku selalu sedikit cemas kalau ada pemimpin baru. Mereka pasti punya cara kerja sendiri, dan kita harus menyesuaikan diri lagi."
Aku mengangguk, merasakan hal yang sama.
Hari-hari berikutnya, Amira mulai memperkenalkan beberapa perubahan. Gaya kerjanya cepat, efisien, dan terstruktur. Ia tidak ragu memberikan arahan langsung, bahkan terkadang terlihat tegas ketika sesuatu tidak berjalan sesuai standar yang ia harapkan.
Sore itu, aku dan beberapa rekan dipanggil ke ruangannya untuk membahas laporan bulanan.
"Denis, laporan ini cukup baik, tetapi ada beberapa poin yang bisa diperbaiki," katanya sambil menunjukkan tabel di layar. "Misalnya, prediksi cash flow di bagian ini. Coba tambahkan analisis risiko agar lebih lengkap."
Aku mengangguk sambil mencatat. "Baik, Bu Amira. Saya akan perbaiki dan kirim ulang besok pagi."
Amira tersenyum kecil. "Terima kasih, Denis. Saya tahu ini mungkin terlihat mendadak, tapi saya ingin memastikan tim ini bisa bekerja dengan standar yang tinggi. Kalau ada kesulitan, jangan ragu untuk bertanya, ya."
Aku keluar dari ruangannya dengan pikiran bercampur aduk. Gaya kepemimpinannya memang berbeda, lebih tegas dan langsung. Namun, di balik itu, aku bisa merasakan bahwa ia tulus ingin tim ini berkembang. Tapi yang membuat aku tertarik adalah kecantikannya dan bentuk tubuh indah yang meski tertutup busana khas muslimah dan berhijab tetap tidak dapat menyembunyikan kemolekan tubuhnya. Pinggulnya terlihat aduhai dan molek.
Bersambung
ns 15.158.61.11da2