Sore itu, setelah jam kerja, aku masih sibuk merapikan meja ketika suara lembut namun tegas menyapaku.
"Denis, kamu ke ruangan aku ya!" Pinta Amira.
Aku menoleh, sedikit kaget sekaligus gugup, namun mencoba menjaga ekspresi tetap tenang. Di hadapanku berdiri Amira, sosok yang kehadirannya tak hanya membawa perubahan pada tim, tetapi juga pada pikiranku.
"Tentu, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku, berusaha terdengar santai meski jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya.
Dia tersenyum kecil, senyum yang selalu tampak tulus tetapi sarat wibawa. "Saya ingin membahas laporan yang kamu buat minggu lalu. Itu salah satu laporan terbaik yang pernah saya lihat. Kerjamu sangat rapi dan detail. Saya benar-benar terkesan."
Aku terdiam sejenak, merasa tak siap mendengar pujian sebesar itu. "Terima kasih, Bu. Saya hanya berusaha melakukan yang terbaik untuk tim," jawabku, berusaha meredam rasa canggung.
Amira mengangguk pelan, sorot matanya yang tajam namun hangat membuatku merasa seperti sedang diukur dari segala sisi.
"Teruskan seperti itu," ucapnya, sebelum beranjak pergi.
Namun, sebelum ia benar-benar melangkah keluar ruangan, ia menoleh sejenak. "Oh, satu lagi, Denis. Kalau ada ide atau masukan lain untuk divisi ini, jangan ragu untuk berbicara, ya. Saya yakin kamu punya banyak potensi."
Tatapan itu—meski hanya sesaat—seperti menyisakan jejak yang sulit aku hapus. Ada kekuatan di balik wibawanya, namun juga kelembutan yang entah bagaimana terasa terlalu dekat.
Setelah dia pergi, aku hanya bisa duduk diam. Tapi otak cabulku kembali bertanya. Apakah aku bisa meniduri kamu Amira? Pikiranku kembali dipenuhi beragam gaya Amira menerima hujaman kontolku dengan tubuh telanjang bulat tapi kepala masih memakai hijabnya. Aku memang sangat terobsesi dengan wanita berhijab. Sebelumnya Ayu dan kini Amira.
Pikiranku jadi berantakan. Aku mencoba melanjutkan pekerjaan kecil untuk mengalihkan pikiran, tetapi jantungku masih berdetak cepat.
"Hanya bisa jadi khayalan saja. Ini gak mungkin," gumamku dalam hati, mencoba menyadarkan diri sendiri. Aku berusahan mengabaikan pikiran soal wanita muslimah berhijab yang cantik itu. Namun, semakin aku mencoba mengabaikannya, bayangan Amira semakin jelas hadir di pikiranku—senyumnya, cara dia berbicara, bahkan nada lembut dalam suaranya. Kemudian khayalanku tentang Amira yang kelojotan akibat didera nikmat orgasme yang dahsyat dari kontolku.
***
Perjalanan pulang malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Aku mencoba fokus pada jalan di depan, tetapi ingatanku terus memutar ulang momen singkat tadi. Sampai akhirnya aku tiba di rumah, di mana Magda dan Rania menyambutku dengan kehangatan seperti biasa.
"Mas, banyak kerjaan ya di kantor? wajahmu terlihat lelah?" tanya Magda sambil menggendong Rania yang melambai ke arahku.
Aku memaksakan senyum. "Nggak apa-apa biasa sayang kerjaan kantor gak habis-habis," jawabku sambil meraih Rania dan memeluknya erat, seolah ingin menemukan pijakan di tengah kegamangan yang menguasai pikiranku.
Magda tersenyum, menyodorkan segelas teh hangat seperti yang selalu ia lakukan. "Santai saja, Mas. Besok juga pasti lebih baik. Kalau capek, istirahat lebih awal, ya."
Malam itu, aku berbaring di samping Magda yang sudah tertidur. Rania di kamar sebelah, terdengar sesekali mengigau kecil dalam tidurnya. Kehangatan keluarga ini, yang dulu selalu menjadi jawabanku untuk setiap kekhawatiran, kini terasa seperti pengingat yang menohok.
Kadang kala kalau pikiran warasku muncul aku merasa bahwa aku tak seharusnya membiarkan pikiranku melayang ke arah yang salah. Magda adalah perempuan yang telah memberikan segalanya untukku. Tetapi bayangan Amira… mengapa ia begitu sulit diabaikan?
Aku menarik napas panjang dan menatap langit-langit kamar yang gelap. Besok adalah hari baru. Aku harus menemukan cara untuk bisa semakin dekat dengan Amira dan pada akhirnya bisa merasakan memeknya.
***
Setelah istirahat makan siang, aku kembali ke meja kerja. Suasana kantor masih terasa lengang, hanya terdengar suara dengungan pendingin ruangan yang menyapu keheningan. Sebagian besar staf belum kembali, mungkin masih menikmati obrolan santai di pantry atau menunaikan sholat di musala kantor. Di antara yang rajin sholat di musola itu tentu adalah Ayu dan Amira.
Aku melirik jam di layar ponselku. Masih cukup lama waktu buat istirahat. Aku belum pergi ke ruangan. Aku duduk-duduk di ruangan lobby kantor menanti Amira lewat buat aku bisa jalan bareng dengan dia menuju ke ruangan. Aku membuka-buka media sosial di ponsel. Awalnya hanya sekadar iseng, kebiasaan lama untuk mengusir kantuk di siang hari. Tapi kali ini ada yang berbeda. Aku tak sekadar scrolling tanpa tujuan, melainkan mencari sesuatu—lebih tepatnya, seseorang. Ya aku mencari tahu apakah Amira punya aku sosmed. Aku ingin melihat-lihat foto-foto dia dan mencari tahu keseharianya.
Aku mulai menelusuri jejak digitalnya. Instagram, Facebook, atau mungkin TikTok—apakah dia aktif di salah satu platform itu? Biasanya, aku bukan tipe orang yang peduli dengan kehidupan dunia maya seseorang, tetapi entah kenapa, karena terobsesi dengan Amira membuat aku jadi seperti ini.
Karena tidak menemukannya aku akhinya bertanya pada rekan kerja.
"Lo ngapain nyari tahu akun sosmed bu Amira?" tanya Rizal, rekan sekantorku yang masih lajang, menatapku dengan tatapan penuh selidik. "Lo kan udah punya istri, Kok malah kepo-in medsos Amira?"
2125Please respect copyright.PENANATwuEfSElFC
Aku terkekeh, berusaha menganggap enteng situasi. "Cuma penasaran aja. Selama ini kita cuma kenal di lingkungan kantor, kan? Gue pengen tahu dia tuh kayak gimana di luar sini. Biar kita gak salah dalam bersikap kalau berhadapan dengan dia."
Rizal mengangkat alis, lalu mengangkat bahunya dengan santai. "Gue sih nggak tahu dia aktif di mana. Tapi kalau penasaran, kenapa nggak tanya temen-temen cewek aja? Mereka pasti lebih paham."
Aku hanya tersenyum tipis, tapi dalam hati, ada sesuatu yang terus menggelitik pikiranku. Kenapa aku begitu ingin tahu tentang Amira? Dan lebih penting lagi, kenapa aku merasa sedikit bersalah karenanya?
Aku mengangguk-angguk tanpa benar-benar menanggapi. Namun, saran Rizal masuk akal. Jika ada yang tahu tentang media sosial Amira, pastilah para rekan kerja perempuan, terutama yang satu divisi dengannya.
Diandra dari divisi Keuangan adalah salah satunya. Aku ingat pernah melihatnya mengobrol akrab dengan Amira di pantry beberapa kali. Mungkin dia tahu sesuatu.
Sore harinya, saat ada kesempatan bertemu Diandra di pantry, aku mencoba bertanya dengan nada santai. "Eh, Diandra, lo temenan sama Amira di media sosial nggak?"
Diandra menoleh sambil menyeruput kopi dari cangkirnya. "Iya, kenapa emangnya?"
Aku mengangkat bahu, berusaha terlihat tidak terlalu antusias. "Nggak apa-apa, penasaran aja. Gue cari akunnya, tapi nggak nemu."
Diandra terkekeh. "Oh, dia aktif di beberapa sosmed, kok. Instagram, TikTok, Facebook... semuanya ada. Dan yang lebih menarik, dia nggak nge-private akunnya."
Mata aku sedikit berbinar. "Serius?"
"Iya, lo mau liat?" Tanpa menunggu jawabanku, Diandra langsung membuka ponselnya dan menunjukkan profil Instagram Amira.
Aku menelan ludah saat melihat layar. Foto profilnya menampilkan Amira yang tersenyum cerah dengan latar belakang pantai. Feed-nya penuh dengan foto-foto perjalanan, momen bersama teman-teman, dan beberapa selfie yang menampilkan ekspresi naturalnya yang sangat cantik. Tidak jauh berbeda dengan sosoknya di kantor.
"Ini Instagramnya," ujar Diandra sambil memperlihatkan username Amira. "Kalau TikTok-nya, dia sering upload video lucu dan vlog pendek tentang kesehariannya. Facebook juga masih aktif, tapi lebih banyak buat postingan keluarga."
Aku mengangguk, menyerap semua informasi itu. Sekarang aku tahu ke mana harus mencari.
Begitu kembali ke meja kerja, aku langsung mengetik username Amira di Instagram. Dan benar saja, profilnya terbuka lebar tanpa batasan. Jari-jariku mulai menggulir layar, menelusuri unggahannya satu per satu.
Aku jadi punya bahan untuk dilihat-lihat kalau sedang suntuk. Wajah cantik Amira di foto dan video-video pendek di tiktok akan jadi hiburan buat aku.
Bersambung
ns 15.158.61.16da2