![](https://static.penana.com/images/chapter/1613334/wf_Screenshot_73.png.png)
Malam itu, di rumah, suasana seperti biasanya penuh kehangatan. Magda, istriku, sibuk menyuapi Rania, putri kecil kami, yang dengan ceria terus mengoceh tentang boneka kesayangannya. Namun, aku lebih banyak diam. Tanganku memegang sendok, tapi pikiranku melayang entah ke mana.
"Mas, kok melamun terus? Ada masalah ya di kantor?" tanya Magda, dengan nada lembut yang selalu membuatku merasa diperhatikan.
Aku tersentak dari lamunan dan mencoba tersenyum. "Enggak, enggak apa-apa kok," jawabku singkat, berusaha menghindari tatapan matanya.
Magda mengerutkan kening, tampaknya menyadari ada sesuatu yang tidak beres. "Yakin? Kalau ada yang mau diceritakan, aku siap dengar, lho."
"Serius, aku baik-baik saja," aku mencoba meyakinkannya, tapi senyum yang kuberikan terasa kaku, bahkan untuk diriku sendiri.
Aku kembali menunduk, berpura-pura menikmati makan malamku. Tapi di dalam hati, ada gejolak yang sulit aku redam. Bayangan Amira terus menghantui pikiranku—senyumnya, cara dia berbicara, dan tatapan matanya yang seperti menyimpan sesuatu yang tak bisa kuabaikan. Rasanya seperti berjalan di tepi jurang; aku tahu aku harus berhenti dan mundur, tapi langkahku terus mendekat, dan itu menakutkan.
"Ayah, ayo main sama Rania," suara kecil putriku membuyarkan lamunanku. Dia sudah selesai makan dan kini menarik-narik lenganku.
Aku memaksakan senyum dan menggendongnya. "Ayo, sayang. Mau main apa?" tanyaku, mencoba mengalihkan pikiranku dengan perhatian penuh pada Rania.
Kami bermain boneka di ruang tamu, dan Magda bergabung sambil tertawa kecil melihat tingkah lucu Rania. Aku mencoba menikmati momen itu, tetapi ada perasaan bersalah yang terus menghantui. Aku memiliki keluarga yang sempurna di sini—istri yang penuh cinta dan anak yang selalu membawa kebahagiaan. Namun, mengapa pikiranku masih melayang ke arah yang seharusnya tidak ada?
Setelah Rania tertidur, aku duduk di ruang tamu, memandangi gelas teh yang kini sudah dingin. Magda datang dan duduk di sampingku, membawa selimut kecil untuk menghangatkan kami.
"Mas," katanya lembut, "aku tahu ada yang mengganggu pikiranmu. Kamu nggak biasanya seperti ini."
Aku terdiam, menggenggam gelas teh itu lebih erat. "Maaf ya, aku cuma lagi banyak pikiran soal kantor," jawabku akhirnya, mencoba memberi jawaban yang aman.
Magda mengangguk pelan, meski sorot matanya menunjukkan bahwa ia belum sepenuhnya puas dengan penjelasanku. "Kalau butuh cerita, aku di sini, Mas. Jangan dipendam sendiri."
Aku tersenyum kecil dan meraih tangannya. "Terima kasih, Ra. Kamu memang yang terbaik," kataku sambil menatapnya. Tapi dalam hati, aku merasa seperti pengecut. Aku tidak bisa menceritakan apa yang sebenarnya terjadi—perasaan aneh ini, kekaguman yang tidak seharusnya ada.
Malam itu, setelah Magda tidur, aku tetap terjaga. Aku berjalan ke jendela dan menatap ke luar, memandangi lampu-lampu jalanan yang temaram. Di dalam hatiku, aku tahu ada sesuatu yang salah. Pesona Amira telah mengguncang keseimbangan hidupku, dan aku mulai merasa seperti terperangkap dalam perasaan yang tak seharusnya.
Aku mengingat momen-momen sederhana bersama Magda dan Rania—makan malam bersama, tawa kecil Magda saat aku mencoba melucu, dan pelukan hangat Rania saat dia mengantuk. Semua itu adalah dunia yang telah kubangun dengan cinta dan perjuangan.
"Aku nggak boleh kehilangan semua ini," gumamku pelan pada diri sendiri.
Namun, semakin aku berusaha mengabaikan bayangan Amira, semakin ia terasa mendominasi pikiranku. Aku tahu aku harus mengambil langkah tegas untuk menghentikan ini. Tapi bagaimana?
Esok harinya, aku bangun dengan tekad baru. Aku harus menjaga jarak, menciptakan batasan yang jelas. Ini bukan hanya soal aku dan Amira, tapi soal menjaga keluarga yang telah memberikan segalanya untukku.
Saat berpamitan untuk berangkat kerja, Magda menggenggam tanganku lebih erat dari biasanya. "Hati-hati di jalan, Mas," ucapnya dengan senyum lembut.
Aku hanya mengangguk, menatapnya sejenak dengan perasaan bersalah yang tak bisa kuungkapkan. Saat aku melangkah keluar rumah, aku tahu hari itu akan menjadi ujian besar bagiku.
Amira, meski berlatar pendidikan di luar negeri, tetap menunjukkan sosok yang sangat religius. Di balik penampilannya yang modern dan profesional, dia tidak pernah lupa menjalankan sholat lima waktu. Sering kali, ketika waktu istirahat tiba, aku melihatnya menuju mushola kantor dengan langkah tenang, membawa mukena di tangan. Ada aura ketulusan yang terpancar dari cara dia mempraktikkan keimanannya sebagai seorang muslimah.
Meskipun aku seorang Kristen, aku tidak bisa menutupi rasa kagumku pada Amira. Ketaatan gadis itu menjalankan ibadah membuatku kagum, bagaimana ia mampu memadukan kehidupan modern dengan kedekatannya pada Tuhan. Itu adalah kualitas yang jarang aku temui, dan entah bagaimana, hal itu semakin menambah daya tariknya di mataku.
Namun, Amira bukanlah tipe wanita yang kaku dalam menerapkan keyakinannya. Berbeda dengan beberapa muslimah yang kukenal, yang memilih untuk menjaga jarak dalam interaksi dengan lawan jenis seperti Ayu, Amira memiliki pendekatan yang lebih terbuka dan natural. Dia tidak ragu untuk bersalaman seperti biasa saat bertemu, tidak mengganti jabat tangan dengan hanya menempelkan telapak tangan di depan dada.
Bahkan, dalam suasana santai, dia sering menunjukkan sisi cerianya. ketika bercanda, dia tidak segan-segan mencubit atau menepuk lengan lawan bicaranya—meski itu seorang lelaki seperti aku. Sekilas, interaksi itu terasa biasa, hanya bagian dari kepribadiannya yang hangat. Tapi bagiku, ada sesuatu yang lebih dari sekadar candaan. Sentuhan kecil seperti itu membuat jantungku berdegup lebih cepat, seperti aliran listrik halus yang sulit dijelaskan.
Suatu sore, setelah sebuah rapat yang cukup tegang, Amira menghampiri mejaku dengan senyuman khasnya.
"Denis, kamu hebat tadi. Penjelasanmu soal analisis data sangat membantu, lho," katanya sambil menepuk ringan lenganku.
Aku terkejut, meski mencoba menyembunyikannya dengan senyum. "Ah, terima kasih, Bu. Saya cuma berusaha menjelaskan sebaik mungkin," jawabku, berusaha terdengar santai.
Amira tertawa kecil, menatapku seolah melihat sesuatu yang lucu. "Jangan terlalu rendah hati. Kamu punya potensi besar, Denis. Saya yakin kamu bisa berkembang lebih jauh."
ketika dia berbalik dan melangkah pergi, aku hanya bisa duduk terpaku di kursiku. Sentuhan ringan tadi, tawa cerianya, dan pujian yang diucapkannya begitu tulus—semuanya terukir jelas di benakku.
Malam harinya, saat aku duduk di ruang tamu setelah Magda dan Rania tertidur, aku kembali memikirkan Amira. Kagum, itu kata yang terus terulang dalam pikiranku. Kagum pada ketaatannya, kagum pada kepribadiannya yang hangat, dan kagum pada caranya membawa diri dengan begitu percaya diri tanpa kehilangan sisi spiritualnya.
***
2292Please respect copyright.PENANAQQdbXDwT6C
Malam ini kembali aku bercinta dengan istriku. Aku memulai dengan saling mencumbu. Saling melepaskan pakaian kami. Tangan ku yang satu meremas payudaranya dan yang satunya lagi mulai memainkan vaginanya. Kemudian aku mainkan klitorisnya.
“Ahahahah...iiiya sayaaaang disitttuu, iya terus masss ahhh' ceracau Magda.
Sementara tangan Magda mengocok penisku.
“Aahhh Amira kocokkk teruss.”' Rintihku sambil dan ketika menyebut nama Amira aku pelankan agak tak terdengar.
Lagi-lagi aku membayangkan Amira saat menyetubuhi istriku. Kami pun terus bercumbu sampai dalam posisi kepala aku di kemaluan Magda sebaliknya kepala Magda di kemaluan aku. Kuluman Magda di penisku begitu nikmat.
2292Please respect copyright.PENANA3LvZa2vrIr
“Aahhh enak banget Amira, aku suka sepongan kamu ouwh Amira.” Aku kembali meracau sambil tak lupa menyebutkan nama Amira tentu saja dengan berbisik. Aku menjilat memek istriku membayangkan sedang menjilat memek Amira.
2292Please respect copyright.PENANAIB7h9SJTsr
Diam-diam aku mengambil ponselku sambil terus memainkan memek Magda istriku. Aku mengaktifkan ponselku dan membuka aplikasi instagram. Sembari menjilat klitoris istriku aku memainkan jari tangan kananku mencari akun media sosial Amira. Segera saja aku membuka foto-foto Amira dan memilih yang terlihat paling menarik.
2292Please respect copyright.PENANAfzCuLvF3H4
Benar-benar gila, Aku menjilati kemaluan istriku Magda sambil memelototi foto Amira di instagram. Tak lama kurasa Magda mulai menegang.
2292Please respect copyright.PENANABGzXb32RBQ
“Aahhh mas akku mauuu keluaaaarrrr,arghhh enak banget mas.” rintih Magda.
2292Please respect copyright.PENANA91snb4yOuu
Dengan segera kulepaskan ponselku dan kuletakan di ranjang. Kulihat cairan yang meleleh keluar dari celah vagina Magda.
2292Please respect copyright.PENANAO9XoQHMQU9
Setelah itu segera aku posisikan istriku untuk menungging. Aku akan menyetubuhi istriku dengan posisi doggy. Tanpa berlama-lama lagi aku sudah memasukkan penisku sebagian ke dalam vaginanya.
2292Please respect copyright.PENANAkhE7IwbejV
“Aahhhh mas kok langsung doggy aja sih, tapiii enakk mass ahh.” kata Istriku karena biasanya kami pakai gaya misionaris dulu. Lalu masuklah seluruh penisku ke vaginanya.
“Aahhhh ouwhhhhh yah terus…ahhhhh!’ Ceracau Magda makin menjadi. 'ayooo masss sodok terrrusss..ahah..enakkk bangettt.”
2292Please respect copyright.PENANAIp2eno6mT4
Aku mengambil kembali ponselku dan kembali membuka aplikasi intagram untuk melihat foto Amira sambil menyetubuhi memek istriku.
“Ouhhhhh Amira memek kamuhhhh ouwhhhh nikmat banget jepitannya ouwhhhh!” Ceracau aku sambil memelototi wajah cantik Amira di layar ponselku. Wajah gadis itu terasa sensual dan sensasinya luar biasa ngentot sambil melihat foto cantik Amira wanita yang jadi obsesiku akhir-akhir ini.
2292Please respect copyright.PENANA7WzVQ5561k
“Ouwhhhhh mas…aku mau keluarrrr Arghhhhhh!” Jerit Magda.
2292Please respect copyright.PENANAKUT62c2C9s
Istriku ambruk dan kelojotan beberapa saat. Aku dengan cepat melepaskan ponselku dengan meletakannya di samping.
2292Please respect copyright.PENANABKScokQKRp
Setelah badai orgasme Magda mereda aku minta dia main diatas. Magda mengambil posisi menghadap ke arah kaki aku. Maka dengan segera aku kembali mengambil ponsel untul melihat lagi foto Amira.
“bleshhhh…”
Kontol aku melesak masuk ke dalam memek Magda dan istriku itu mulai bergerak turun naik dengan perlahan.
2292Please respect copyright.PENANAcYigLjwe7J
“Aahh mass enakk...mainin tetek akuuu masss ahhh.” ceracaunya.
2292Please respect copyright.PENANASqWlQN1p8n
Aku meremas payudaranya dengan tangan kiriku karena tangan kanan fokus menggenggam ponsel yang menampilkan foto cantik Amira dengan pose yang menurutku cukup sensual meski dia berpakaian muslimah yang tertutup rapat.
2292Please respect copyright.PENANAWSqkTe9vY4
Sementara Magda makin liar gerakannya saat menunggangi kontolku.
2292Please respect copyright.PENANAkhzZNIYZ92
'Aahhhh aku mauuuu keluarrr lagiii masss,arghhhhh'. Magda pun mendapat orgasmenya yang kedua. Aku langsung melepaskan ponselku. Aku membalikkan badannya untuk terlentang.
2292Please respect copyright.PENANAIYUTYAes4L
“Aahh mas akuuu capek istirahat dulu!” Pinta Magda.
2292Please respect copyright.PENANAz9qPSMsoqx
Aku pun memberi kesempatan Magda untuk istirahat. Setelah aku lihat dia mulai bernafas dengan normal aku mulai sodok lagi vaginanya dalam posisi terlentang. Sementara tanganku dengan gemas meremas payudarannya.
2292Please respect copyright.PENANANsv9dPyUoA
“Ouwhhhh ouwhhhh ahhh masss enak banget mas.” Magda melenguh dan meracau makin keras.
2292Please respect copyright.PENANAoLTnsKKxhW
Setelah aku genjot beberapa saat Magda sepertinya mau klimaks yang ketiga. Memeknya meremas kontol aku dengan intens.
“Aahhh mas akkuuu mauu keluarrr lagiii'. Racau istriku.
“Aayo bareng sayang aku juga mau keluar ahhhhh Amira.” Lenguhanku yang kemudian diiringi lenguhan Magda.
2292Please respect copyright.PENANAweYN3P6YBY
Terhitung 7 kali kontolku menyemprotkan cairannya ke vagina Magda.
Bersambung ke karyakarsa https://karyakarsa.com/cerita18/se-895524
ns 15.158.61.11da2