Syifa Cadar yang tersingkap
Frans masih merasa kesal diminta adiknya Franda buat nyari kucing angoranya yang kabur entah kemana. Sambil membawa tali pengikat dan mainan kucing, dia berjalan dengan langkah cepat menuju rumah Syifa, tetangga barunya. Meskipun mereka tinggal bersebelahan, Frans jarang melihat Syifa keluar rumah. Dia tahu bahwa Syifa adalah istri seorang pejabat. Usianya masih sangat muda 23 tahun terpaut jauh dengan suaminya yang sudah 40an tahun. Dia belum punya anak dan sering kali sendirian karena suaminya terkadang bepergian untuk urusan kantornya. Syifa dalam kesehariannya kalau keluar rumah memakai cadar.
Saat tiba di depan pintu rumah Syifa, Frans menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu. Ketika pintu terbuka, nampaklah sosok anggun bercadar menyambutnya. Meski wajahnya tertutup cadar dan hanya mata saja yang terlihat dari wajahnya Frans yakin Syifa adalah seorang wanita berwajah cantik. Binar matanya menunjukan itu.
"Maaf mbak Syifa... maaf, aku tidak bermaksud mengganggu," kata Frans dengan nada ragu. Pandangannya cepat-cepat beralih ke arah lain untuk menjaga sopan santun agar tidak bertemu pandang dengan wanita bercadar itu.
"Oh, kamu Frans kan yang rumah sebelah. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Syifa dengan suara lembut.
"Eh, anu... kucing adikku... Dia kabur dan aku rasa dia lari ke sini. Aku pengen nanya apa mbak melihatnya?" jawab Frans sedikit gugup, tangannya gemetar saat memegang tali pengikat kucingnya.
Syifa tertawa kecil dan melangkah mundur, mempersilakan Frans masuk. "Oh, kucing angora ya? Iya, dia ada di sini. Dia sangat lucu. Masuk saja, Frans."
Frans ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya masuk. Matanya cepat memindai ruangan, dan benar saja, kucing kesayangan adiknya sedang bermain di karpet ruang tamu.
"Terima kasih," ujar Frans sambil berjalan menghampiri kucing angora itu. Ketika dia mengangkat kucingnya, Syifa duduk di sofa dan mengamati Frans dengan tatapan yang lembut. Dia cukup ramah, tidak seperti perkiraannya bahwa wanita itu tertutup dan sulit diajak ngobrol.
"Adik kamu suka kucing, Frans?" tanya Syifa dengan nada yang lembut, seolah mencoba memecah keheningan.
Frans mengangguk sambil mengelus punggung kucing angora itu. "Iya, dia sudah memelihara kucing ini sejak dia kecil. Dia seperti keluarga bagi adikku."
Syifa tersenyum, dan kali ini senyumnya terlihat lebih tulus. "Aku bisa mengerti perasaan adik kamu. Memiliki hewan peliharaan itu seperti memiliki sahabat yang selalu ada."
Frans tersenyum kembali, tetapi pandangannya tetap tertuju pada kucing angora milik adiknya, berusaha menghindari tatapan langsung ke arah Syifa. Namun, rasa penasaran mulai muncul di benaknya. Seperti apa wajahnya dibalik cadar yang selalu dipakainya itu. Frans menepis pikiran tersebut dari kepalanya.
"Oke aku permisi ya. Aku mau bawa kucing ini pulang sekarang. Terima kasih, mbak Syifa. Aku benar-benar berterima kasih."
“Oh iya senang ngobrol sama kamu. Kapan-kapan bisa main-main lagi kesini ngobrol-ngobrol sama aku.” Ucap Syifa.
Setelah berpamitan, Frans berjalan kembali ke rumahnya dengan kucing angora kesayangan adiknya dalam pelukan. Pikirannya masih memutar kejadian tadi. Pertemuan yang tidak terduga itu membuatnya bertanya-tanya tentang Syifa dan kehidupannya. Dia tidak melihat suami Syifa yang bernama Pak Burhan padahal ini sabtu sore kantor pasti libur. Frans melupakan pikiran soal suami Syifa. Tetapi satu hal yang pasti, Syifa bukanlah seperti yang dia bayangkan selama ini.Wanita tertutup yang dingin. Ternyata Syifa ramah dan mau diajak ngobrol. Bahkan dia menawarkan Frans untuk mampir lagi kapan-kapan.
Sementara di rumahnya, Syifa duduk kembali di sofa dengan senyum di wajahnya, merasa ada yang berbeda sejak pertemuan itu. Mungkin, pertemuan yang tak terduga itu akan membuka babak baru dalam hubungan mereka.
***
Frans tidak bisa mengusir bayangan pertemuan pertamanya dengan Syifa dari pikirannya. Ada sesuatu yang berbeda tentang Syifa. Terutama sifat ramahnya, senyum lembutnya, dan caranya memperlakukan Frans seolah mereka sudah lama berteman. Hari ini, Frans memutuskan untuk kembali berkunjung. Bukan untuk mencari kucing kali ini, tetapi sengaja hanya untuk berbicara dengan Syifa. Apalagi sore ini dia merasaa gabut di rumah dan malas kemana-mana. Makanya Frans memutuskan untuk ke rumah Syifa. Sapa tau ada Pak Burhan suaminya sekalian kenalan supaya bisa akrab dengan tetangganya itu.
“Selamat sore.”
“Sore juga masuk aja pintu gak ditutup.”
Frans tertegun saat membuka pintu. Betatpa tidak, pemandangan yang dia lihat sangat mengagetkannya. Ini tidak pernah terbayang dalam benak Frans. Sulit dia untuk percaya apa ya g dia lihat. Syifa berdiri di hadapannya, tidak seperti yang biasa dilihatnya mengenakan cadar dan pakaian sangat tertutup. Kali ini, Syifa mengenakan tank top hitam yang memperlihatkan bahu dan lengannya, serta celana pendek yang hampir tidak menutupi pahanya. Wajahnya sangat cantik lebih dari yang dia bayangkan. Saat sebelumnya melihat mata Syifa yang berbinar di balik cadarnya Frans sudah menduga pasti wajah Syifa sangat cantik. Tapi yang dilihatnya jauh lebih dari yang dia bayangkan. Semula dia berpikir pasti ini wanita lain yang ada di rumah Syifa. Tapi mendengar suara dan melihat matanya Frans memastikan wanita bepakaian tank top dan celana pendek itu Syifa adanya.
Biasanya wanita Muslimah bahkan yang memakai Hijab saja akan terlihat risih bila kedapatan hanya memakai pakaian minim di rumah oleh tamunya. Kalau ada tamu datang mereka akan segera memakai pakaian yang tertutup sebelum membuka pintu. Tapi Syifa terlihat tenang dengan tank top dan celana super pendeknya. Justru Frans yang jadi salah tingkah.
"Maaf, mbak Syifa... aku tidak bermaksud lancang, tapi aku sedikit terkejut melihat mbak... seperti ini. Biasanya mbak selalu memakai cadar dan pakaian tertutup."
Syifa tertawa ringan, sedikit menutupi mulutnya. "Oh, ya, aku hanya merasa lebih nyaman seperti ini di rumah. Lagi pula, aku tidak mengira bakal ada tamu, jadi tidak perlu berpakaian formal, kan?"
Frans tertawa kecil, merasa sedikit lebih santai. "Iya, aku mengerti. Maaf kalau aku sedikit kaget."
"Tidak apa-apa, Frans. Terkadang kita memang perlu melonggarkan sedikit aturan di rumah sendiri. Bukankah begitu?" jawab Syifa sambil menatap Frans dengan mata yang penuh arti.
“Oh iya pak Burhannya mana mbak?”
“Oh dia lagi di luar daerah lagi dinas, maklumlah!”
Frans hanya bisa tersenyum dan mengangguk. Kemudian mereka mengobrol berbagai hal dan terasa nyambung.
****
Hari berikutnya Frans merasa ada dorongan untuk pergi lagi menemui Syifa karena dia menyukai wajah Syifa yang sudah bisa dilihatnya dari dekat. Aneh memang perasaan Frans terhadap Syifa yang jelas-jelas telah bersuami. Ada keinginan untuk melihat lagi wajah yang cantik itu.
Dengan hati yang berdebar, Frans melangkah ke arah rumah Syifa. Dia mengetuk pintu dengan lembut, dan tak lama kemudian pintu terbuka. Frans menahan napas sejenak. Syifa berdiri di hadapannya, mengenakan kaos putih tipis yang menempel sempurna di tubuhnya. Frans tidak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikan bahwa sepertinya Syifa tidak mengenakan apa pun di balik kaos itu. Kaos itu panjangnya sampai setengah paha Syifa. Rasa gugup dan canggung mulai menyerangnya, namun Syifa justru tersenyum hangat seperti biasa.
"Frans! Senang melihatmu lagi," ucap Syifa dengan nada ramah. Dia membuka pintu lebih lebar, mengundang Frans masuk. "Masuklah, ada lagi yang bisa saya bantu?"
Frans menelan ludah dan berusaha menguasai dirinya. "Eh, baik. Terima kasih. Aku hanya ingin mampir sebentar… kalau tidak mengganggumu."
"Tidak sama sekali. Aku senang kamu datang," jawab Syifa, menutup pintu di belakang Frans dan berjalan ke ruang tamu. Frans mengikuti di belakangnya, matanya sesekali melirik ke arah Syifa, berusaha memahami apa yang dia rasakan saat ini. Mungkinkah Syifa benar-benar tidak menyadari, ataukah dia begitu percaya diri hingga tak peduli?
Syifa duduk di sofa dan mempersilakan Frans duduk di sebelahnya. "Bagaimana kabar kucing angora milik adik kamu? Masih suka berkeliaran?"
Frans tersenyum kecil, berusaha mengalihkan pikirannya. "Kucing itu baik-baik saja. Dia masih suka berlarian, tapi adik aku sudah lebih berhati-hati sekarang."
"Baguslah," balas Syifa dengan lembut, matanya menatap Frans dengan penuh perhatian. "Aku sendiri sebenarnya suka kalau kucing itu mampir ke sini. Dia manis dan menggemaskan."
"Mbak Syifa," Frans memulai, sedikit ragu. "Hmmmmm… Gini…Aku ingin tahu lebih banyak tentang mbak, kalau boleh."
Setelah kalimat itu terucap Frans merasa tegang. Dia tahu itu pertanyaan yang sangat tidak sopan kepada seorang wanita yang sudah menjadi istri orang. Tapi dia sudah mengatakan dan pasrah dengan apa yang akan terjadi
Syifa mengangkat alisnya, tetapi senyumnya tetap tidak berubah. "Tentangku? Apa yang ingin kamu ketahui, Frans?"
Frans merasa lega mendengar reaksi Syifa. Tapi dia masih sedikit canggung, meski rasa penasaran yang telah mengganggunya sejak pertemuan pertama masih kuat. "Aku hanya… ya, aku jarang melihat mbak keluar rumah. Dan mbak berbeda dengan yang sering aku liat saat keluar rumah. Setiap keluar kan mbak selalu pakai cadar. Maaf kalau aku jadi penasaran, seperti apa kehidupan mbak sebenarnya? Sekali lagi maaf ya mbak kalau aku nanyanay kurang sopan."
Syifa terdiam sejenak, tatapannya berubah menjadi lebih serius. Kalau wanita lain tentu akan kesal dengan pertanyaan Frans yang bisa dibilang terlalu kepo dengan urusan orang. Namun, Syifa terlihat biasa saja menanggapi pertanyaan itu. Tidak ada ekspresi marah di wajahnya yang cantik itu.
"Frans, aku ngerti kamu mungkin heran ngeliat aku yang selalu bercadar kamu lihat seperti sekarang ini di rumah? hidup aku mungkin tidak seperti yang kamu bayangkan. Aku memang bercadar saat keluar rumah, tetapi itu tidak berarti aku tidak boleh berpakaian lain. Ketika aku di rumah, aku ingin merasa bebas dan nyaman. Pakaian hanyalah sebagian kecil dari itu."
Frans terdiam, mencoba mencerna kata-kata Syifa. "Aku mengerti. Maaf jika aku terlalu ingin tahu."
Syifa tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh lengan Frans dengan lembut. "Tidak apa-apa, Frans. Kamu boleh bertanya apa saja. Aku senang kita bisa saling terbuka."
Tentu saja frans kaget dengan apa yang dilakukan oleh Syifa. Sentuhan itu, meski singkat, membuat Frans merasakan sesuatu yang aneh—kombinasi antara ketertarikan dan kehangatan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Dia menatap Syifa, mencoba menangkap arti dari tatapan matanya yang dalam.
"Mbak Syifa, aku hanya ingin mbak tahu bahwa aku menghormati mbak. Apa pun pilihan mbak, aku tetap melihat mbak sebagai seseorang yang istimewa."
Syifa tersenyum lembut, tatapannya melembut. "Terima kasih, Frans. Aku juga merasa nyaman berbicara denganmu. Kamu berbeda dari orang lain. Eh tapi kita mungkin seumuran gak usah panggil mbak segala pangil nama saja, oke!”
“Eh iya Syifa!”
“Btw kamu belum nikah kan? Pasti kamu sudah punya pacar ya kan?”
“Iya aku belum nikah sih, taoi kalau pacar saat ini sedang gak punya pacar.”
“Masak sih? Kamu kan ganteng gini masak gak punya pacar?”
“Pernah pacaran tapi putus dua bulan lalu dan belum ada pengganti sampe hari ini.”
“Putus kenapa sih kalau boleh tahu?”
“Hmmmm karena beda agama mbak?”
“Ohhh…”
Kemudian mereka berdua duduk dalam keheningan sejenak, saling menatap tanpa kata-kata, seolah-olah mereka sudah saling memahami meski belum banyak yang terucap. Frans merasa, ada sesuatu yang baru terbentuk di antara mereka—sesuatu yang jauh lebih dalam daripada sekadar pertemuan tetangga biasa.
"Frans," panggil Syifa pelan, memecah keheningan. "Jangan ragu untuk datang lagi kapan pun kamu mau. Aku akan selalu menyambutmu dengan senang hati."
Frans tersenyum, hatinya terasa lebih ringan. "Aku pasti akan datang lagi, Syifa. Eh tapi suaminya gimana? Apa dia gak bakal marah aku datang nemui kamu saat dia gak ada."
“Gapapa dia kan sibuk terus. Dia gak bakal marah kok tenang aja.”
“Oh iya Syifa, btw aku pamit dulu ya.”
Ketika Frans akhirnya bangkit untuk pamit, Syifa mengantarnya sampai ke pintu. Saat dia melangkah keluar, Frans menoleh sekali lagi, dan melihat Syifa berdiri di sana, senyumnya yang lembut masih tersungging di bibirnya. Di dalam hati, Frans tahu, pertemuan ini baru permulaan dari sesuatu yang lebih besar dan lebih mendalam di antara mereka.
Seiring Frans berjalan pulang, pikirannya terus dipenuhi oleh sosok Syifa dan kehangatan yang mulai tumbuh di dalam hatinya. Mungkin, hidupnya akan berubah setelah pertemuan-pertemuan ini. Dan mungkin, Syifa juga merasakan hal yang sama.
Sudah beberapa kali Frans bertandang ke rumah Syifa, tentu saja saat suaminya tidak ada dan setiap kali itu pula ada sesuatu yang tak bisa dia abaikan. Syifa selalu menyambutnya dengan ramah, bahkan lebih dari itu—dia merasa Syifa memperlakukannya dengan cara yang berbeda. Setiap kali Syifa membuka pintu, dia selalu dalam keadaan tidak mengenakan cadar , jilbab atau busana tertutup lainnya, membuat Frans merasa kagum pada Syifa sekaligus bangga pada dirinya sendiri karena melihat Syifa tanpa cadar adalah hal yang tak semua orang bisa dapatkan.
Hari itu, Frans akhirnya memutuskan untuk menanyakan sesuatu yang sudah lama mengganggu pikirannya. Dia butuh jawaban, meski jantungnya berdegup kencang, khawatir tentang bagaimana reaksi Syifa nantinya. Setelah mengetuk pintu, Syifa muncul dengan santai, memakai kaos biru muda dan celana pendek yang membuatnya terlihat simpel tapi menarik karena memamerkan pahanya yang putih mulus. Senyum hangatnya, seperti biasa, menyapa Frans.
"Eh, Frans, masuk aja!" Syifa tersenyum lebar sambil mundur, membiarkan Frans melangkah ke dalam.
Frans hanya mengangguk dan berjalan masuk, matanya menyiratkan banyak pertanyaan yang belum terucap. Setelah mereka duduk di ruang tamu, suasana terasa agak kaku. Syifa yang peka terhadap perubahan ekspresi Frans, akhirnya buka suara.
"Kamu kayaknya ada yang dipikirin banget deh, Frans. Kenapa? Cerita aja," tanya Syifa, suaranya penuh perhatian.
Frans menarik napas dalam-dalam, mencoba merangkai kalimat yang tepat. "Syifa... ada sesuatu yang pengen aku tanyain, tapi... aku takut kamu bakal salah paham atau tersinggung."
Syifa mengangguk pelan sambil menyentuh tangan Frans dengan lembut. "Frans, santai aja. Tanyain aja. Aku gak bakal marah kok."
Frans mendongak, matanya bertemu dengan tatapan Syifa yang tulus. "Aku cuma… ya, aku perhatiin setiap kali aku ke sini, kamu selalu pakai baju yang... gimana ya, lebih santai dan terbuka gitu. Tapi pas ada orang lain, aku pernah lihat kamu pakai hijab dan baju panjang. Ada alasan khusus nggak?"
Syifa terdiam sejenak, bibirnya bergerak seolah mencari kata-kata. Dia menarik napas pelan sebelum akhirnya menjawab. "Hmm, Frans... aku jujur aja, ya."
Frans menahan napas, matanya fokus pada Syifa.
"Sebenarnya, cuma sama kamu aku bisa lebih santai kayak gini. Sama tamu lain, aku ngerasa harus jaga jarak, ikutin aturan yang udah biasa. Tapi sama kamu... nggak tahu kenapa, aku ngerasa aman. Ngerasa bisa jadi diri sendiri tanpa harus mikirin omongan orang."
Frans sedikit terkejut dengan pengakuan itu. Dia nggak pernah nyangka kalau Syifa merasakan hal yang seperti itu. "Tapi... kenapa aku? Maksudku, kenapa kamu ngerasa kayak gitu cuma sama aku?"
Syifa tersenyum, kali ini dengan sedikit rasa malu. "Karena kamu beda, Frans. Kamu selalu sopan, nggak pernah bikin aku ngerasa nggak nyaman. Sama kamu, aku nggak ngerasa harus nutup-nutupin apa pun atau jadi orang lain. Aku percaya sama kamu."
Kata-kata Syifa benar-benar menyentuh hati Frans. Dia nggak tahu harus ngomong apa, tapi dia ngerasa ada kehangatan di dalam dadanya. "Syifa... aku nggak nyangka kamu ngerasa kayak gitu. Tapi aku senang dengar kamu percaya sama aku. Aku juga nyaman sama kamu."
Syifa kembali tersenyum, tatapannya lebih dalam dari sebelumnya. "Aku juga senang denger kamu bilang gitu. Kamu... buat aku spesial, Frans. Mungkin aneh sih, tapi setiap kali kamu datang, aku ngerasa hariku jadi lebih cerah."
Jantung Frans berdegup makin kencang. Dia tahu perasaan mereka mulai berubah, jadi lebih dari sekadar teman biasa. "Aku juga ngerasain hal yang sama, Syifa. Setiap kali ngobrol sama kamu, aku ngerasa ada sesuatu yang beda... tapi aku nggak bisa jelasinnya."
Keheningan kembali menghampiri, tapi kali ini nggak lagi canggung. Ada perasaan yang mengisi keheningan itu, seolah-olah mereka saling memahami tanpa perlu banyak bicara.
Syifa memecah suasana, "Frans, aku harap kamu nggak ngerasa beban ya sama pengakuanku tadi. Aku cuma mau jujur soal perasaanku."
Frans menggeleng pelan, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Enggak kok, Syifa. Malah aku bersyukur kamu terbuka sama aku. Aku jadi ngerasa lebih deket sama kamu, dan aku pengen kita terus kayak gini—terbuka dan saling percaya."
Syifa menatap Frans dengan tatapan penuh syukur. "Makasih, Frans. Aku juga pengen kita terus kayak gini."
Mereka berdua tahu bahwa hari ini adalah awal dari sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang akan membawa mereka pada petualangan baru dalam kehidupan mereka—petualangan yang mungkin belum mereka pahami sepenuhnya, tetapi yang pasti, mereka siap untuk menjalaninya bersama-sama.
1516Please respect copyright.PENANArIuADZyG3Z
******
Hari itu hujan turun dengan deras. Frans berdiri di depan rumah Syifa, berusaha melindungi dirinya dengan segera memasuki teras rumah Syifa. Setelah beberapa kali mengetuk pintu dan tak ada jawaban, dia mulai berpikir untuk kembali ke rumah. Namun, sebelum sempat melangkah pergi, terdengar suara Syifa dari dalam rumah.
"Masuk saja pintu tidak dikunci, Frans!" teriak Syifa dengan nada ramah, meskipun terdengar agak tergesa-gesa.
Frans mengangguk meskipun Syifa tak bisa melihatnya, lalu memutar gagang pintu dan masuk ke dalam rumah. Hawa hangat langsung menyambutnya, kontras dengan dinginnya hujan di luar. Saat dia melangkah masuk lebih dalam, dia menyadari bahwa rumah itu sepi. Tidak ada suara langkah kaki yang biasanya mendekat ketika Syifa menyambutnya.
"Syifa?" panggil Frans, sedikit ragu. Tak ada jawaban, hanya suara gemericik air yang masih menetes di luar. Dia berjalan lebih jauh ke dalam rumah, hingga tiba di ruang keluarga.
Kemudian, dia melihatnya. Pintu kamar Syifa tidak tertutup rapat. Ada celah yang cukup lebar, dan dari sudut itu, Frans bisa melihat Syifa dengan jelas. Syifa baru saja selesai mandi, rambutnya masih basah, air menetes perlahan di kulitnya yang bercahaya. Dia mengenakan handuk yang melilit tubuhnya dengan longgar, memperlihatkan bahunya yang telanjang. Sebagian besar punggungnya juga kaki dan sebagian paha terlihat jelas. Syifa berdiri di depan cermin, dengan satu tangan memegang handuk di dadanya, sementara tangan lainnya menyisir rambutnya yang hitam dan panjang.
Frans tertegun. Dia tahu bahwa dia seharusnya berpaling, bahwa dia seharusnya tidak melihat apa yang tidak boleh untuk dilihat. Namun, keindahan Syifa begitu memikat, begitu alami, sehingga untuk beberapa detik yang panjang, dia tidak bisa memalingkan matanya.
Syifa, yang sedang asyik dengan pikirannya sendiri, tidak menyadari bahwa Frans melihatnya. Dia tampak begitu tenang dan anggun, tanpa kesadaran bahwa ada seseorang yang menyaksikan momen pribadinya. Frans merasakan detak jantungnya semakin cepat, campuran rasa kagum dan bersalah menguasai dirinya. Syifa melepas handuknya yang meluncur turun ke bawah mengakibatkan dia telanjang bulat. Frans menelan ludah karena ketelanjangan Syifa begitu merangsangnya. Meski hanya terlihat bagian sampingnya saja tapi bulatan payudara yang Indang dengan puting susu itu terlihat begitu mempesona.
Dengan cepat, Frans memutuskan untuk melakukan hal yang benar. Dia memalingkan pandangannya, menarik napas dalam-dalam, dan mencoba mengendalikan dirinya. Dia harus menghormati Syifa, meski pemandangan yang baru saja dilihatnya itu begitu indah dan mempesona.
Namun, sebelum dia bisa melangkah mundur, Syifa berbalik ke arah pintu, dan matanya bertemu dengan pandangan Frans. Wajahnya yang tadinya tenang langsung berubah menjadi merah padam. Dia tersentak kaget, menyadari apa yang terjadi.
"Frans!" seru Syifa dengan nada kaget, namun bukan kemarahan yang terdengar, melainkan lebih kepada rasa malu yang mendalam. "Aku… aku tidak tahu kamu sudah masuk…"
Frans merasa darahnya mengalir cepat ke wajahnya, dia merasa sangat bersalah. "Maaf, Syifa… Aku benar-benar tidak bermaksud… Aku…"
Syifa terlihat tenang dan tidak terburu-buru dia memungut handuk dan memakaninya kemudian dengan perlahan dia menutup pintu kamar, menyisakan Frans di luar dengan perasaan bersalah yang mendalam.
Namun, sebelum pintu itu sepenuhnya tertutup, Frans sempat mendengar suara Syifa, lembut dan sedikit gemetar, "Tunggu sebentar, aku akan segera keluar."
Frans mengangguk, meskipun pintu sudah tertutup. Dia berjalan mundur, duduk di sofa ruang keluarga sambil mengatur napasnya yang masih tersengal-sengal. Perasaan yang bercampur aduk memenuhi pikirannya rasa kagum, bersalah, dan juga perasaan horny, semua bercampur menjadi satu.
Beberapa menit kemudian, Syifa keluar dari kamarnya, kali ini sudah berpakaian lebih sopan, mengenakan pakaian longgar yang biasa dipakainya di rumah. Meski begitu, wajahnya masih memerah, tanda bahwa dia masih merasa malu atas kejadian barusan.
Frans berdiri dengan gugup, tidak tahu harus berkata apa. Namun, Syifa yang pertama kali berbicara, berusaha memecahkan suasana canggung yang menyelimuti mereka.
"Maafkan aku, Frans… Aku tidak tahu kamu akan datang hari ini. Aku seharusnya lebih berhati-hati," ucap Syifa dengan suara lembut, matanya sesekali menghindari pandangan Frans.
Frans menggeleng cepat, masih merasa bersalah. "Tidak, Syifa… Akulah yang seharusnya minta maaf. Aku tidak seharusnya melihat… aku tidak bermaksud…"
Syifa mengangkat tangannya, meminta Frans berhenti bicara. "Frans, kita sudah dewasa. Ini hanya kebetulan yang tidak disengaja. Aku tidak marah padamu. Hanya saja… mungkin kita perlu sedikit waktu untuk mencerna ini."
Frans menatap Syifa, dan untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, dia melihat sesuatu yang berbeda di mata Syifa. Ada kehangatan, penerimaan, dan mungkin… ada rasa yang tak terucap. Dia merasa, meskipun kejadian ini sangat memalukan, ada sesuatu yang baru tumbuh di antara mereka. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pertemanan atau tetangga.
"Terima kasih, Syifa, atas pengertianmu," ujar Frans dengan tulus, mencoba menenangkan perasaannya yang masih bergemuruh.
Syifa tersenyum kecil, kali ini lebih tenang. "Frans, apa pun yang terjadi, aku ingin kita tetap seperti ini—terbuka satu sama lain. Karena aku merasa, ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari satu sama lain."
Frans mengangguk, merasakan hubungan mereka menjadi semakin erat meski dalam cara yang tak terduga. "Aku juga merasa begitu, Syifa. Aku ingin kita tetap bisa berbicara seperti ini, apa pun yang terjadi."
Dan dengan itu, mereka duduk kembali di sofa, melanjutkan obrolan mereka seperti biasa. Namun, kali ini ada pemahaman yang lebih dalam di antara mereka—bahwa apa yang mereka rasakan bukan lagi sekadar pertemanan biasa, tetapi sesuatu yang lebih dari itu. Sesuatu yang mulai tumbuh, dan mungkin, di masa depan, akan membawa mereka ke arah yang lebih indah.
Hujan masih deras di luar, menciptakan irama lembut di atap rumah Syifa. Setelah kejadian yang tak terduga sebelumnya, suasana di antara Frans dan Syifa menjadi semakin erat. Setiap percakapan, setiap pertemuan, terasa lebih dalam dan penuh makna. Namun, ada sesuatu yang belum terucap, sesuatu yang menggantung di udara, menunggu momen yang tepat untuk dilepaskan.
Hari ini, Frans datang ke rumah Syifa dengan tujuan yang jelas. Dia merasa sudah cukup lama menahan perasaannya, dan dia tidak ingin menyimpan semuanya dalam hati. Frans tahu, perasaan yang tumbuh ini terlalu nyata untuk diabaikan.
Syifa menyambut Frans seperti biasa, dengan senyuman hangat dan keramahan yang sudah menjadi ciri khasnya. Mereka duduk di ruang tamu, dan meskipun obrolan mereka mengalir seperti biasa, ada kegelisahan yang tidak bisa disembunyikan di mata Frans. Syifa merasakannya, dan akhirnya dia yang pertama kali membuka pembicaraan.
“Eh, Frans, kamu kayaknya ada yang mau dibahas ya?” tanya Syifa dengan nada lembut tapi penuh perhatian.
Frans menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberaniannya. Dia tahu momen ini penting, dan dia harus jujur meski ada risiko. “Iya, Syifa… ada yang pengen aku omongin.”
Syifa mengangguk pelan, matanya fokus ke Frans dengan ekspresi penasaran. “Aku dengerin kok.”
Hati Frans berdebar kencang. Dia belum pernah sejujur ini sama siapa pun sebelumnya, tapi dia tahu ini nggak bisa terus disimpan. “Syifa, aku… udah lama kagum sama kamu. Dari pertama kali kita ketemu, ada sesuatu yang bikin aku tertarik. Kamu beda, selalu ramah, perhatian, dan jujur aja, nggak kayak cewek-cewek lain yang pernah aku temui.”
Syifa mendengarkan dengan seksama, hatinya juga nggak tenang. Dia bisa merasakan ketulusan di suara Frans, dan itu bikin hatinya bergetar. “Frans…”
Tapi Frans belum selesai. Dia harus mengungkapkan semuanya. “Syifa, aku suka sama kamu. Bukan cuma sebagai teman atau tetangga, tapi lebih dari itu. Aku nggak bisa lagi nutupin perasaan ini. Aku suka sama kamu, Syifa, dan aku mau kita lebih dari sekadar teman.”
Keheningan sesaat menyelimuti mereka. Syifa terdiam, kaget dengan pengakuan Frans yang begitu jujur dan langsung. Dia nggak nyangka Frans bakal seberani ini, apalagi dia tahu Syifa sudah bersuami. Tapi di balik keterkejutannya, ada perasaan hangat yang mulai menjalar di tubuhnya. Perasaan yang selama ini dia simpan rapat-rapat.
Pelan-pelan, Syifa meraih tangan Frans yang ada di atas meja, menggenggamnya dengan lembut. “Frans… aku juga ngerasain hal yang sama.”
Frans menatap Syifa dengan mata lebar, nggak percaya sama apa yang baru aja dia dengar. “Serius? Kamu beneran?”
Syifa tersenyum, kali ini senyumnya tulus dan hangat. “Iya, Frans. Dari pertama kali aku pindah ke sini, apalagi pas kita makin sering ngobrol, aku ngerasa ada yang beda dari kamu. Kamu selalu bikin aku nyaman, dan aku tahu aku bisa percaya sama kamu. Aku juga suka sama kamu, cuma mungkin aku terlalu takut buat ngakuin.”
Frans merasa hatinya melayang, seolah beban yang dia bawa selama ini perlahan hilang. “Syifa, aku nggak tahu harus bilang apa... Aku...”
Syifa mengangguk, senyumnya semakin lembut. “Kita nggak usah buru-buru, Frans. Aku cuma mau kita jujur soal perasaan kita. Apa pun yang bakal terjadi nanti, kita bisa hadapin bareng-bareng.”
Frans merasakan kehangatan mengalir di dadanya. Dia menggenggam tangan Syifa lebih erat, merasakan koneksi yang semakin kuat di antara mereka. “Aku juga mau gitu, Syifa. Aku nggak peduli gimana nanti, yang penting kita bareng.”
Mereka duduk dalam keheningan yang nyaman, tangan masih saling menggenggam. Di luar, hujan terus turun, tapi di dalam hati mereka, ada kehangatan yang makin tumbuh, lebih kuat dari sebelumnya.
Syifa menatap Frans dengan tatapan yang penuh arti. “Frans, makasih ya udah jujur. Aku senang kita akhirnya bisa ungkapin apa yang kita rasain.”
Frans tersenyum, untuk pertama kalinya dia merasa benar-benar tenang. “Aku juga, Syifa. Aku janji bakal jaga hubungan ini sebaik mungkin.”
Malam itu, di tengah suara rintik hujan yang terus turun tanpa henti, udara dingin yang menyelimuti dunia luar seolah tak mampu menembus kehangatan yang kini memenuhi hati Frans dan Syifa. Suasana yang awalnya canggung berubah menjadi sebuah momen yang penuh dengan kedamaian, di mana kejujuran dan perasaan yang selama ini tersembunyi akhirnya tersampaikan. Setiap tetes hujan yang jatuh terasa seakan memperkuat ikatan baru yang mulai terbentuk di antara mereka, seolah alam sedang merestui percakapan jujur yang baru saja terjadi.
Di tengah deru hujan, Frans merasakan beban yang selama ini menyesakkan dadanya perlahan hilang. Perasaan takut ditolak, cemas akan kehilangan, dan ketidakpastian tentang masa depan mereka seolah lenyap begitu saja setelah mendengar pengakuan dari Syifa. Jantungnya masih berdebar, namun kali ini bukan karena ketakutan, melainkan karena kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Dia tahu, malam ini adalah titik awal dari sesuatu yang sangat berbeda dalam hidupnya—sesuatu yang jauh lebih berarti dari sekadar hubungan biasa.
Syifa, di sisi lain, juga merasakan kelegaan yang luar biasa. Selama ini, dia memendam perasaannya dengan rapat, takut menghadapi kenyataan dan konsekuensi dari apa yang dia rasakan. Namun setelah Frans berani membuka diri dan menyatakan perasaannya, Syifa menyadari bahwa selama ini dia pun memiliki perasaan yang sama. Dia merasakan kehangatan yang baru, bukan hanya karena keberadaan Frans di dekatnya, tetapi juga karena akhirnya dia bisa jujur pada dirinya sendiri. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa kejujuran ini adalah fondasi yang kokoh bagi mereka untuk melangkah ke depan.
Malam itu bukan sekadar malam biasa—itu adalah malam di mana mereka berdua, untuk pertama kalinya, saling memahami dan menerima perasaan satu sama lain tanpa syarat. Meski mereka tahu bahwa perjalanan ini masih panjang dan penuh tantangan, ada keyakinan yang tumbuh di antara mereka, bahwa apa pun yang akan terjadi nanti, mereka akan mampu menghadapinya bersama. Kejujuran telah menjadi awal dari sebuah babak baru dalam hidup mereka, dan mereka berdua sepakat untuk menjaga keterbukaan ini, karena itu adalah hal yang paling mereka butuhkan untuk melanjutkan hubungan ini.
Di dalam hati mereka, ada harapan yang tumbuh perlahan, namun pasti. Mereka tahu bahwa meski takdir masih menyimpan banyak misteri, momen malam ini akan selalu menjadi kenangan yang tak terlupakan—sebuah permulaan dari kisah yang lebih besar dan lebih indah dari apa pun yang pernah mereka bayangkan sebelumnya. Hujan di luar terus mengguyur, tetapi di dalam, ada kehangatan yang tak terlukiskan, kehangatan yang hanya bisa ditemukan dalam perasaan cinta yang tulus dan kejujuran yang akhirnya terungkap.
****
Setelah pertemuan yang begitu penuh dengan kejujuran dan keterbukaan, Frans berjalan pulang dengan perasaan yang tak karuan—sebuah perpaduan antara kebahagiaan yang luar biasa dan kebingungan yang sulit dijelaskan. Langkah-langkahnya di jalan yang basah akibat hujan terasa ringan, seolah-olah dia sedang melayang, tapi di balik itu semua pikirannya terus berputar, memproses semua yang baru saja terjadi. Malam itu, segala sesuatu terasa berbeda, bahkan udara dingin yang biasanya menusuk kulit kini tak lagi dirasakannya karena hatinya diliputi kehangatan yang aneh namun menyenangkan.
Setiap langkah yang diambil Frans membawa ingatannya kembali ke saat di mana tangan mereka saling menggenggam, hangat dan lembut, seolah-olah dunia di sekitar mereka menghilang. Dia masih bisa merasakan sensasi itu di kulitnya—sentuhan lembut Syifa yang begitu tulus, begitu dekat. Seolah tangan mereka tidak hanya bertaut secara fisik, tetapi juga secara emosional, menghubungkan perasaan yang selama ini terpendam di hati mereka berdua. Dan kata-kata Syifa, pengakuannya yang menggetarkan, terus bergema di benak Frans. Pengakuan itu seperti musik yang berulang-ulang terputar di dalam pikirannya, tidak bisa dia abaikan, bahkan jika dia mau.
"Frans... aku juga tertarik sama kamu," suara Syifa berbisik lembut di pikirannya, mengingatkannya betapa nyata momen itu. Pengakuan Syifa bahwa dia merasakan hal yang sama membuat hati Frans berdebar keras, hampir tak percaya dengan keberuntungannya. Selama ini, dia hanya bisa memendam perasaannya dalam-dalam, membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang terasa jauh dari kenyataan. Namun kini, Syifa sendiri yang mengakui bahwa dia juga memiliki perasaan yang sama, dan itu membuat hati Frans melompat kegirangan. Perasaannya terhadap Syifa tidak lagi menjadi rahasia yang tersembunyi, melainkan sesuatu yang nyata, diterima, dan bahkan dibalas.
Namun, di balik kegembiraan itu, ada juga perasaan tak menentu yang menghampirinya. Frans tahu bahwa pernyataan itu hanyalah awal dari sesuatu yang mungkin lebih rumit di masa depan. Dia sadar bahwa hubungan mereka tidak akan mudah, mengingat status Syifa yang sudah menikah. Namun, malam ini, dia tidak ingin memikirkan semua komplikasi itu. Malam ini, dia ingin menikmati perasaan bahagia yang sudah lama tidak dia rasakan—perasaan bahwa seseorang yang dia cintai ternyata memiliki perasaan yang sama.
Saat Frans mendekati rumahnya, dia berhenti sejenak di depan pintu, menatap ke langit yang masih diselimuti awan kelabu dan tetes-tetes hujan yang mulai mereda. Senyum kecil tersungging di wajahnya, dan dalam hatinya, dia berbisik pelan, "Syifa... terima kasih sudah membuatku merasa seperti ini." Dia tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang dan tidak akan mudah, tapi malam ini, hanya kehangatan perasaan yang ingin dia bawa ke dalam tidurnya. Frans melangkah masuk ke dalam rumah, namun hatinya tetap di tempat yang lain—bersama Syifa, di tengah hujan, dengan harapan yang baru saja tumbuh dalam dirinya.
Namun, di balik kegembiraan yang memenuhi hati Frans, ada sesuatu yang tak bisa dia abaikan dan mulai menggantung seperti awan gelap di pikirannya—kenyataan bahwa Syifa adalah istri orang lain. Bukan hanya istri biasa, tetapi istri dari seorang pejabat penting yang kerap kali bepergian untuk urusan dinas. Suaminya memiliki tanggung jawab besar dalam pekerjaannya, dan hal itu sering membuat Syifa sendirian di rumah. Keterpisahan fisik itulah yang mungkin membuat kedekatan mereka berkembang begitu cepat, namun Frans sadar betul bahwa hubungan ini tidak berada dalam jalur yang mudah.
Bayangan wajah suami Syifa terlintas di benaknya, meski Frans belum pernah berinteraksi langsung dengannya. Seseorang yang memiliki status dan kedudukan, yang dihormati oleh banyak orang, dan tentu saja suami yang secara sah memiliki hak atas cinta dan perhatian Syifa. Setiap kali Frans memikirkan hal ini, hatinya berdenyut sakit. Dia tahu bahwa meskipun perasaannya kepada Syifa tulus, ada batasan-batasan yang tak bisa diabaikan. Hubungan ini berada di tepi jurang, dan langkah yang salah bisa menghancurkan lebih dari sekadar perasaan mereka. Ada risiko yang lebih besar—reputasi, kehormatan, dan masa depan yang dipertaruhkan.
Frans sering kali memikirkan bagaimana pandangan orang-orang jika mereka tahu apa yang terjadi. Skandal seperti ini tidak akan mudah diterima, terlebih dalam komunitas mereka yang begitu kental dengan norma-norma sosial dan agama yang ketat. Apalagi Syifa adalah seorang muslimah dari Aceh, sebuah daerah yang sangat menjaga nilai-nilai agama dan moral. Di sisi lain, Frans sendiri adalah seorang Katolik yang taat dari Nusa Tenggara Timur (NTT), dengan latar belakang budaya yang berbeda jauh. Perbedaan ini tidak hanya melibatkan keyakinan agama, tetapi juga identitas sosial dan budaya yang mendalam.
Dalam situasi yang lebih sederhana, perasaan cinta mungkin cukup untuk mengatasi segala halangan. Namun Frans sadar, ini bukan sekadar masalah perasaan. Beda agama di antara mereka adalah rintangan besar yang sangat nyata. Bagaimana pun juga, cinta saja tidak cukup untuk menyatukan dua dunia yang terpisah begitu jauh. Frans sering kali bertanya pada dirinya sendiri, bagaimana mungkin hubungan ini bisa terus berlanjut tanpa ada yang terluka? Bagaimana mungkin mereka bisa menghadapi dunia yang melihat mereka dari sisi agama yang bertentangan, terutama dalam komunitas Syifa yang sangat kuat memegang aturan-aturan agama?
Setiap kali Frans mencoba mencari jalan keluar, dia selalu kembali pada kenyataan yang menyakitkan: mereka sedang berjalan di jalur yang sangat berbahaya. Ketulusan perasaannya pada Syifa tak bisa mengubah fakta bahwa dunia mereka berbeda, dan ada banyak halangan yang harus mereka hadapi jika ingin bersama. Apakah Syifa siap meninggalkan suaminya, atau bahkan siap menghadapi stigma dan tekanan dari masyarakat yang bisa menghancurkan kehidupannya? Apakah Frans sendiri sanggup menanggung beban perbedaan agama dan budaya yang begitu besar?
Dia tak bisa menampik bahwa meskipun cinta itu begitu kuat, ada kekhawatiran yang terus menghantuinya. Setiap langkah yang mereka ambil, ada rasa bersalah yang perlahan-lahan merayap ke dalam hatinya. Di satu sisi, dia ingin berada di sisi Syifa, melindungi dan mencintainya, tapi di sisi lain, Frans tahu bahwa hubungan ini mungkin saja akan membawa lebih banyak penderitaan daripada kebahagiaan. Perbedaan agama ini adalah dinding besar yang tidak bisa begitu saja dirobohkan.
Frans juga memahami bahwa masyarakat tempat mereka tinggal akan memandang hubungan ini sebagai sebuah dosa besar, tidak hanya karena Syifa sudah bersuami, tetapi juga karena mereka berbeda agama. Hubungan percintaan antar orang beda agama apalagi sampai ke jenjang Pernikahan di negeri ini bukanlah hal yang mudah diterima, apalagi jika melibatkan seorang wanita muslimah yang bercadar. Apa yang akan dikatakan oleh keluarganya, masyarakatnya, dan bahkan dirinya sendiri jika mereka memilih untuk melanjutkan hubungan ini? Semua itu menjadi beban yang terus menekan pikiran Frans, meski di hatinya dia tetap merasakan cinta yang kuat pada Syifa.
Malam itu, saat Frans berjalan pulang, dia merasa terombang-ambing di antara dua dunia—satu dunia di mana dia bisa merasakan cinta yang indah dan tulus dengan Syifa, dan dunia lainnya di mana kenyataan menyakitkan tentang status Syifa dan perbedaan agama mereka menjadi rintangan yang tak terelakkan. Dia tahu, apa pun yang mereka putuskan nantinya, akan membawa konsekuensi besar, baik untuk dirinya maupun Syifa. Hati Frans terus dipenuhi oleh perasaan campur aduk—antara cinta yang ingin dia pertahankan dan kenyataan pahit yang tidak bisa dia hindari.
Di tengah kegembiraannya, Frans tidak bisa mengabaikan fakta ini. Dia tahu bahwa apa yang dia dan Syifa rasakan tidaklah salah, tetapi situasinya sangat rumit. Frans, yang masih bujangan dan belum terikat dengan siapa pun, merasa seperti dia telah menemukan seseorang yang benar-benar mengerti dirinya. Tetapi Syifa… Syifa adalah milik orang lain.
Malam itu, di kamar tidurnya, Frans berbaring dengan tatapan kosong menatap langit-langit. Kegembiraan yang tadi dia rasakan perlahan-lahan bergeser menjadi kegelisahan. Dia terus memikirkan Syifa, bagaimana dia tersenyum padanya, bagaimana matanya bersinar ketika dia mengakui perasaannya. Frans tahu dia sangat menyukai Syifa, mungkin lebih dari yang dia sadari sebelumnya.
Namun, dia juga tahu bahwa melanjutkan hubungan ini berarti memasuki wilayah yang penuh risiko. Dia tidak ingin menyakiti siapa pun, terutama Syifa. Tetapi perasaan yang tumbuh di antara mereka begitu kuat, begitu nyata, sehingga Frans merasa sulit untuk mundur.
Frans menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Dia tahu bahwa dia harus berbicara lagi dengan Syifa, mereka perlu memutuskan apa yang akan mereka lakukan. Perasaan mereka saling menguatkan, tetapi jalan di depan sangatlah tidak pasti.
****
Keesokan harinya, Frans kembali mengunjungi Syifa. Hatinya berdebar, kali ini bukan karena kegembiraan, tetapi karena kekhawatiran tentang masa depan. Syifa menyambutnya dengan senyum hangat, seperti biasa, tetapi Frans bisa melihat ada sedikit keraguan di matanya, seolah dia juga memikirkan hal yang sama.
Mereka duduk di ruang tamu, dan kali ini keheningan menyelimuti mereka lebih lama dari biasanya. Akhirnya, Frans yang memecahkan keheningan itu.
"Syifa, aku bener-bener seneng banget kemarin... waktu kamu bilang kamu juga punya perasaan yang sama," kata Frans sambil menatap Syifa, tapi raut wajahnya berubah serius. "Tapi..." Frans terdiam sebentar, nyari kata-kata yang pas buat ngungkapin apa yang dia rasain. "Aku gak bisa berhenti mikirin kalau kita ini ada di situasi yang ribet banget."
Syifa menghela napas dan menundukkan kepalanya pelan. "Aku ngerti, Frans. Aku juga mikirin itu terus. Apa yang kita rasain nyata, tapi... aku kan istri orang."
Frans ngerasa hatinya kayak diremas denger kata-kata itu, meskipun dia udah tau kenyataannya. "Aku gak mau nyakitin kamu, Syifa. Atau suamimu. Tapi perasaan ini... susah banget buat ditahan."
Syifa ngangguk pelan, pandangannya masih tertuju ke bawah. "Aku juga gak tau mesti gimana. Aku gak pernah rencanain ini semua, Frans. Bahkan aku gak sadar kapan aku mulai tertarik sama kamu. Tapi sekarang, setiap kali kita ketemu, aku gak bisa bohongin perasaan ini."
Frans menggenggam tangan Syifa dengan lembut, nyoba mencari kejelasan di tengah kekacauan perasaannya. "Mungkin kita butuh waktu buat mikir, Syifa. Aku pengen kita bisa lanjutin ini, tapi aku juga pengen kita ngelakuin dengan cara yang bener."
Syifa ngelihat Frans dengan tatapan penuh rasa campur aduk, matanya berkaca-kaca. "Aku juga, Frans. Aku butuh waktu buat ngerti semuanya. Tapi yang pasti, aku gak mau kehilangan kamu. Aku pengen kita tetap deket, walaupun situasinya kayak gini."
Frans ngangguk, ngerasa sedikit lega walaupun masalah mereka jauh dari selesai. "Aku juga gak mau kehilangan kamu, Syifa. Kita pasti bakal nemuin jalan keluarnya bareng-bareng, apa pun yang terjadi."
Mereka saling menatap dalam diam, seolah mencari kekuatan di mata satu sama lain. Syifa meremas lembut tangan Frans, sementara Frans berusaha menenangkan gemuruh di hatinya. Di tengah segala kebingungan dan dilema yang mereka hadapi, ada perasaan aneh yang membuat mereka merasa tidak sepenuhnya sendirian. Frans tahu, meskipun jalan di depan penuh dengan rintangan yang sulit dan mungkin menyakitkan, dia tidak akan menghadapi semuanya sendirian. Syifa ada di sana, bersamanya. Dan untuk sekarang, itu sudah cukup baginya untuk terus berjalan.
Malam itu, ketika Frans pulang, perasaannya masih campur aduk. Hatinya berat dengan kenyataan bahwa mereka berada di situasi yang salah secara moral, namun ia tidak bisa mengingkari apa yang telah tumbuh di antara mereka. Namun kali ini, ada sesuatu yang lain—sedikit harapan yang mulai menyusup di tengah keraguan dan kekhawatirannya. Mereka tidak lagi berjuang sendirian dalam kebingungan masing-masing. Mereka sudah berbicara, saling terbuka, dan berjanji untuk mendukung satu sama lain, apa pun yang terjadi.
Frans berjalan perlahan, pikirannya sibuk memikirkan perasaannya. Ia tahu betul, ini tidak akan mudah. Syifa adalah istri orang lain, seorang wanita yang seharusnya tidak dia dekati dengan cara ini. Apalagi dengan perbedaan besar di antara mereka—agama, status, dan latar belakang. Semua itu terasa seperti tembok besar yang membentang di antara mereka. Namun, bagi Frans, perasaan ini nyata. Bukan sekadar ketertarikan sesaat atau fantasi belaka. Ini adalah cinta yang tulus, yang tumbuh dari rasa hormat, kekaguman, dan kedekatan yang semakin hari semakin dalam.
Di tengah perjalanan pulang yang sunyi, Frans menyadari satu hal: dia siap untuk menghadapi apa pun demi Syifa. Meskipun ini mungkin dianggap salah oleh banyak orang, meskipun mungkin akan ada banyak yang terluka dalam prosesnya, Frans tidak bisa mengabaikan apa yang dia rasakan. Dia tahu, perasaannya untuk Syifa terlalu kuat untuk diabaikan begitu saja. Setiap langkah yang dia ambil di jalan pulang malam itu membawa serta komitmen baru—komitmen untuk tetap berada di samping Syifa, meski itu berarti harus menghadapi badai besar di masa depan.
Frans membiarkan angin malam menyapu wajahnya, mencoba menenangkan diri. Meskipun situasi mereka rumit, dan mungkin tidak ada jawaban yang benar, dia yakin pada satu hal: dia mencintai Syifa. Dan itu cukup untuk membuatnya berani melangkah ke depan, apa pun konsekuensinya.
*****
Setelah berbagai percakapan mendalam tentang perasaan mereka, ada satu hal yang Frans sadari belum pernah mereka singgung secara eksplisit. Di tengah perbincangan yang penuh emosi dan kejujuran, satu topik besar masih mengganjal di pikiran Frans, meski ia enggan mengangkatnya—perbedaan agama. Frans tahu betul, ia dan Syifa berasal dari dua keyakinan yang berbeda, dua dunia yang diikat oleh nilai-nilai yang sering kali bertentangan. Syifa, sebagai seorang muslimah yang taat, dan dirinya, seorang Katolik dari NTT, sudah berada di dua jalur hidup yang jelas tidak mudah disatukan.
Tapi anehnya, Frans tidak merasa perlu membahas hal itu dengan Syifa. Bukan karena dia takut atau ingin menghindari masalah, tapi lebih karena dia tahu arah hubungan ini. Hubungan ini bukanlah tentang mencari masa depan bersama, bukan tentang merencanakan pernikahan atau membangun keluarga. Ini adalah hubungan yang terjadi di luar norma, hubungan yang lahir dari perasaan saling mengagumi dan ketertarikan yang tak terelakkan. Perasaan mereka nyata, tetapi tidak ada visi tentang masa depan bersama yang perlu dirumuskan. Frans paham betul bahwa perbedaan agama hanya akan menjadi masalah besar jika mereka benar-benar berniat untuk mengambil langkah lebih jauh—seperti menikah.
Namun, Frans tahu itu tidak mungkin. Hubungannya dengan Syifa, seberapapun dalam perasaan mereka, bukanlah jenis hubungan yang punya tujuan jelas. Mereka bukan sepasang kekasih yang bermimpi tentang rumah, anak-anak, atau masa depan bersama di bawah satu atap. Perbedaan agama, dalam konteks hubungan mereka yang tidak biasa ini, seakan-akan hanya menjadi detail kecil yang tidak relevan untuk dibahas. Frans tidak pernah membayangkan mereka sampai di titik itu—membicarakan pernikahan atau komitmen formal. Hubungan ini tidak akan mengarah ke sana. Bahkan, mereka berdua tahu bahwa hubungan ini lebih cenderung ke arah sesuatu yang terlarang, sesuatu yang akan disebut sebagai perselingkuhan.
Perselingkuhan, sebuah kata yang berat dan penuh konsekuensi. Frans tidak bisa mengingkari kenyataan bahwa hubungannya dengan Syifa adalah hubungan di luar batas moral yang diterima. Mereka bukan dua orang yang bebas untuk mencintai satu sama lain tanpa beban. Syifa memiliki suami, dan dia terikat dalam sebuah janji suci pernikahan yang tidak boleh dia langgar. Frans juga paham bahwa dengan melibatkan dirinya dalam hubungan ini, dia mengambil risiko besar, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk Syifa. Namun, di tengah semua kekhawatiran itu, perasaan yang mereka miliki begitu kuat sehingga perbedaan agama, atau bahkan ikatan pernikahan Syifa, menjadi sesuatu yang terpinggirkan.
Frans, dalam hatinya, merasa bahwa hubungan ini adalah sesuatu yang sementara, sesuatu yang mungkin tidak bertahan lama. Mereka hidup dalam momen, tanpa rencana jangka panjang, dan tanpa harapan untuk masa depan bersama. Meskipun begitu, kedekatan emosional yang mereka miliki memberi mereka semacam pelarian, ruang di mana mereka bisa merasa bebas dari aturan dan norma yang mengikat. Perbedaan agama, yang biasanya menjadi penghalang besar dalam hubungan serius, menjadi sesuatu yang tidak lagi penting dalam konteks mereka.
Frans tidak merasa perlu untuk membawa topik itu ke meja. Mungkin karena dia tahu, jauh di dalam hati, bahwa hubungan mereka sudah cukup rumit tanpa menambah beban dengan masalah agama. Mereka sudah saling memahami batasan-batasan yang ada. Dan mungkin, bagi Frans, lebih baik membiarkan hubungan ini berjalan sebagaimana adanya—sebatas perselingkuhan yang didasari perasaan, bukan sebuah perjalanan menuju komitmen seumur hidup.
Malam semakin larut, karena lagi-lagi suami Syifa sedang dinas luar maka keduanya memuaskan hati untuk saling bertemu hingga sekarang, mereka masih duduk bersebelahan di sofa ruang tamu. Hujan yang turun perlahan di luar menambah kesan damai yang penuh dengan ketegangan tersembunyi di antara mereka.
Syifa menatap Frans dengan tatapan yang tak mampu disembunyikan—tatapan penuh perasaan yang dia pendam selama ini. "Frans, aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya... Perasaanku padamu begitu kuat. Ketika kita bersama, semua masalah di dunia ini terasa lenyap."
Frans merasakan hatinya tersentuh oleh kata-kata Syifa. Dia tahu bahwa perasaan mereka adalah sesuatu yang spesial, sesuatu yang jarang ditemukan. Dia ingin sekali mempercayai bahwa cinta mereka bisa mengatasi semua rintangan. Tetapi dia juga tidak bisa menutupi rasa bersalah yang mulai menggerogoti hatinya.
"Syifa," ujar Frans, suaranya rendah dan penuh keraguan, "Aku juga merasakan hal yang sama. Saat bersamamu, aku merasa utuh.”
Syifa tersenyum kecil, namun matanya tampak berkabut. "Aku juga, Frans. Aku tidak ingin kita menyesali apa pun. Tapi… di saat yang sama, aku tidak bisa menahan perasaanku padamu. Tapi… Aku tidak ingin kita melakukan sesuatu yang mungkin kita sesali nanti. Aku adalah istri orang itu adalah masalah kita. Tapi semakin dipikir aku semakin menyuakaimu Frans."
Frans terdiam sejenak, menatap wajah Syifa yang begitu dekat dengannya. Dia bisa melihat perasaan cinta di mata Syifa—cinta yang begitu kuat, namun juga penuh dengan dilema.
Tanpa sadar, jarak di antara mereka semakin mengecil. Frans bisa merasakan kehangatan napas Syifa yang begitu dekat, dan hatinya mulai berdebar kencang. Dia tahu bahwa ini adalah momen di mana mereka bisa saja kehilangan kendali, di mana emosi dan hasrat bisa mengalahkan akal sehat mereka.
Namun, di saat yang sama, Syifa menggenggam tangan Frans lebih erat, seolah berusaha mencari pegangan di tengah lautan emosi yang membanjiri hatinya. "Frans… Aku takut," bisik Syifa, suaranya hampir tidak terdengar.
Frans merasakan ketakutan yang sama, tetapi dia tahu bahwa dia harus tetap kuat. Dia menatap Syifa dengan penuh kasih, menahan segala godaan yang berusaha menyeret mereka ke dalam sesuatu yang mungkin mereka sesali.
"Aku juga takut, Syifa. Tapi kita harus ingat bahwa kita saling suka dan harus saling menguatkan."
Syifa menundukkan kepalanya, air mata mulai menggenang di sudut matanya. "Aku tidak ingin kehilanganmu, Frans. Tapi aku juga tidak ingin mengkhianati suamiku."
Frans menarik Syifa ke dalam pelukannya, memberikan rasa aman yang dibutuhkan Syifa saat itu. "Kita tidak akan kehilangan satu sama lain, Syifa. Kita hanya perlu menjaga hati dan pikiran kita. Aku akan selalu ada untukmu, tapi kita harus bijaksana."
Dalam pelukan itu, mereka menemukan kekuatan untuk menahan godaan yang menggoda mereka. Frans dan Syifa tahu bahwa mereka saling mencintai, tetapi mereka juga sadar bahwa cinta mereka tidak berada di jalur yang benar, cinta yang bisa menyakiti diri mereka sendiri atau orang lain.
Malam itu, di bawah langit yang masih dihiasi hujan, Frans dan Syifa memilih untuk tidak menyerah pada godaan. Mereka sadar bahwa cinta yang sejati bukan hanya tentang hasrat, tetapi juga tentang menghormati diri sendiri, pasangan, dan keyakinan yang mereka pegang teguh.
Dengan perasaan yang bercampur aduk, mereka akhirnya memutuskan untuk mengakhiri pertemuan itu. Frans melepaskan pelukan mereka, menatap Syifa dengan tatapan penuh kasih. "Aku akan pulang sekarang, Syifa. Kita butuh waktu untuk merenungkan ini semua."
Syifa mengangguk, matanya masih basah oleh air mata. "Terima kasih, Frans. Aku sangat menghargai apa yang kita lakukan malam ini. Aku tahu ini tidak mudah, tapi aku percaya kita bisa melewati ini."
Frans tersenyum lembut, lalu bangkit dari sofa. "Aku juga percaya, Syifa. Kita akan menemukan jalan yang terbaik, aku yakin itu."
Dengan langkah pelan, Frans berjalan menuju pintu, meninggalkan Syifa yang masih duduk di sofa dengan hati yang penuh dilema. Dia tahu bahwa perasaan mereka tidak akan mudah diatasi, tetapi dia juga tahu bahwa cinta sejati adalah tentang kesabaran, pengorbanan, dan ketulusan.
Dan malam itu, meskipun mereka dilanda godaan yang kuat, Frans dan Syifa memilih untuk tetap setia pada diri mereka sendiri dan keyakinan mereka. Sebuah keputusan yang mungkin tidak mudah, tetapi di balik itu semua, mereka tahu bahwa cinta sejati adalah tentang menempatkan kebaikan di atas segalanya.
****
Frans selalu berhati-hati saat melangkah ke halaman belakang rumah Syifa karena lewat jalan itu dia bisa aman masuk ke rumah Syifa tanpa bikin tetangga lihat dan curiga. Malam itu, langit dipenuhi bintang, seolah memberi restu pada pertemuan mereka. Hatinya berdebar, bukan hanya karena rasa cinta yang mulai tumbuh, tetapi juga karena perasaan bersalah yang mengiringinya setiap kali dia mendekati pintu belakang itu.
Di dalam rumah, Syifa sudah menunggu. Wanita itu, yang di luar selalu bercadar, kini tampil berbeda. Gaun tidur sutra berwarna merah muda membalut tubuhnya dengan indah, membuat jantung Frans berdegup semakin kencang.
"Frans, kamu datang lagi," sapa Syifa dengan senyum tipis, menyambut kedatangan pria yang sudah berkali-kali hadir di saat suaminya, Pak Burhan, sedang dinas luar kota.
"Syifa, aku... aku nggak bisa menahan diri. Setiap kali Pak Burhan pergi, aku cuma pengen ketemu kamu," Frans menjawab, sedikit terbata-bata. Dia menatap Syifa dengan mata yang penuh harap.
Mereka duduk di sofa ruang tamu, tempat yang sama dimana mereka sering menghabiskan waktu hanya untuk ngobrol, tertawa, dan berbagi cerita. Tapi kali ini, ada yang berbeda. Ada ketegangan yang mengisi udara di antara mereka.
"Frans..." Syifa memulai, suaranya terdengar lembut namun penuh makna. "Kamu tahu kan, selama ini aku juga merasa ada yang lebih dari sekadar obrolan kita?"
Frans mengangguk, mengakui tanpa perlu kata. Dia mengulurkan tangan, menggenggam jemari Syifa yang halus. "Aku selalu mencoba untuk tidak melewati batas, Syifa. Aku nggak mau merusak apapun yang kita punya. Tapi... aku nggak bisa bohong lagi. Aku berharap lebih."
Syifa menunduk, tersenyum malu. "Aku juga, Frans. Setiap kali kamu datang, aku merasa... ada sesuatu yang aku tunggu. Tapi aku malu buat ngakuin. Aku takut kalau aku terlalu jauh melangkah..."
Frans meremas tangan Syifa dengan lembut, menatapnya dalam-dalam. "Kamu tahu, Syifa, aku suka sekali melihat kamu seperti ini. Di luar sana, kamu selalu bercadar. Tapi di sini... kamu berbeda."
Syifa menghela napas panjang. "Aku cuma pengen kamu lihat sisi lain dari aku, Frans. Yang sebenarnya aku nggak pernah tunjukkan ke orang lain. Di luar sana, aku Syifa yang taat. Tapi di sini... di hadapan kamu aku cuma wanita yang ingin dimengerti."
Keheningan mengisi ruangan. Hanya suara napas mereka yang terdengar, seolah waktu berhenti sejenak untuk memberi mereka momen ini. Frans akhirnya berani berkata, "Aku ingin kamu tahu, Syifa. Aku mencintaimu. Bukan hanya sekedar mengagumi."
Syifa mengangkat wajahnya, menatap Frans dengan mata yang berkilauan. "Aku juga, Frans. Aku mencintaimu. Mungkin lebih dari yang pernah aku akui pada diriku sendiri."
Frans mendekat, dan tanpa kata-kata lagi, mereka saling berpelukan, membiarkan perasaan mereka yang selama ini terpendam mengalir tanpa hambatan. Malam itu, di balik dinding rumah yang sunyi, dua hati yang selama ini ragu akhirnya bertemu dalam cinta yang terlarang, namun tak bisa dihindari.
Malam itu, keheningan seolah merestui mereka. Setelah pernyataan cinta yang jujur terucap, Frans mendekatkan wajahnya ke Syifa, dan tanpa kata-kata lagi, dia mencium bibirnya dengan lembut. Syifa menutup matanya, merasakan hangatnya ciuman Frans yang begitu lembut, namun penuh dengan hasrat yang selama ini mereka pendam.
Tangan Frans mengelus lembut pipi Syifa, dan dengan perlahan dia merasakan detak jantungnya semakin cepat. Syifa merespons dengan membalas ciuman itu, bibir mereka menyatu dalam kehangatan yang seolah tidak ingin berakhir.
Frans kemudian menarik diri sejenak, menatap mata Syifa dengan penuh kasih sayang. "Syifa, aku ingin kita tidak hanya saling mengagumi dari kejauhan. Aku ingin kita menjalani ini dengan penuh cinta, apapun yang terjadi."
Syifa tersenyum, hatinya terasa hangat oleh kata-kata Frans. "Aku juga, Frans. Aku ingin kita menjaga apa yang kita punya, dan menjalani ini dengan sepenuh hati. Tapi kita juga harus bijak dalam setiap langkah."
Mereka berpelukan erat, membiarkan kehangatan di antara mereka mengisi ruangan. Malam itu, mereka berbicara panjang lebar, berbagi mimpi dan harapan, saling menguatkan dalam cinta yang mulai tumbuh. Tidak ada yang terburu-buru, tidak ada hasrat yang memaksa. Mereka memahami bahwa cinta yang sejati membutuhkan waktu dan kepercayaan.
Malam itu menjadi saksi bagaimana dua hati yang tadinya penuh dengan keraguan akhirnya bisa bersatu, bukan hanya dalam hasrat, tetapi dalam cinta yang tulus dan penuh pengertian.
****
Frans dan Syifa selalu memanfaatkan situasi di mana suami Syifa, Pak Burhan, seringkali tidak ada di rumah karena tugas dinas yang membuatnya sering bepergian. Kedekatan mereka dimulai dengan rasa saling mengagumi dan obrolan panjang setiap kali Pak Burhan pergi. Dari luar, hubungan mereka tampak seperti tetangga biasa, namun kenyataannya, ada sesuatu yang lebih dalam di antara mereka.
Tetangga sekitar tidak pernah curiga karena letak rumah Frans yang bersebelahan dengan rumah Syifa memungkinkan Frans untuk masuk ke halaman rumah Syifa tanpa ada yang memperhatikan. Frans, yang selama ini menjaga sikap agar tidak menjurus ke hal-hal yang lebih intim, akhirnya memutuskan untuk mengutarakan perasaannya yang sebenarnya.
Suatu hari, setelah memastikan bahwa Pak Burhan sudah berangkat untuk perjalanan dinas yang akan memakan waktu beberapa hari, Frans datang ke rumah Syifa seperti biasa. Syifa menyambutnya di ruang tamu dengan senyum manis yang selalu membuat Frans merasa nyaman.
“Kamu kelihatan cantik banget hari ini, Syifa,” kata Frans, duduk di sofa dan menatap Syifa yang duduk di sebelahnya.
Syifa tersenyum, “Ah, kamu bisa aja. Biasa aja kok, Frans.”
Mereka mulai ngobrol seperti biasa, tentang hal-hal sepele, tetangga, pekerjaan, dan apa saja yang bisa membuat waktu berjalan tanpa terasa. Namun, kali ini, Frans merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ia tak bisa lagi menahan perasaannya.
“Syifa,” Frans memulai, nadanya lebih serius. “Aku nggak bisa bohong lagi. Sebenarnya, aku pengen lebih dari sekadar ngobrol sama kamu. Aku tahu ini salah, tapi aku...”
Syifa tersentak mendengar pengakuan Frans, tapi dia tidak terkejut. Dia sudah lama merasakan getaran yang sama, namun rasa malu dan kesetiaan pada suaminya membuatnya menahan diri.
“Aku... sebenarnya juga ngerasa kayak gitu, Frans,” jawab Syifa dengan suara pelan, wajahnya memerah. “Tapi aku malu ngakuinnya. Mungkin karena itulah aku jadi kayak gini...” Dia tertawa kecil, merujuk pada penampilannya yang berbeda saat menerima Frans—tak lagi mengenakan cadar, tapi memakai pakaian yang lebih terbuka.
Frans tersenyum, matanya menelusuri tubuh Syifa yang hanya dibalut daster tipis. “Kamu cantik apa adanya, Syifa. Aku selalu nunggu momen kayak gini, buat bisa lebih deket sama kamu.”
Mereka berdua terdiam sejenak, membiarkan kata-kata itu menggantung di udara. Lalu, seolah ada dorongan yang tak tertahankan, Frans mendekati Syifa. Perlahan, dia meraih wajahnya dan mulai mencium bibirnya dengan lembut. Syifa, yang sudah lama menahan perasaannya, menyambut ciuman itu dengan hangat.
Ciuman mereka semakin dalam, penuh dengan hasrat yang selama ini terpendam. Frans meremas payudara Syifa yang tidak mengenakan bra di balik daster tipisnya, membuat Syifa mengerang pelan, merasakan sentuhan yang sudah lama dia rindukan. Daster Syifa terlepas dengan mudah, meninggalkan tubuhnya yang polos di hadapan Frans.
Frans tertegun sesaat melihat keindahan tubuh Syifa yang sempat dia lihat sekilas saat berganti baju tempo hari.
“Kamu sempurna,” bisiknya, sebelum mulai menelusuri setiap inci tubuh Syifa dengan bibirnya, menciptakan sensasi yang membuat Syifa mendesah tak terkendali.
Syifa, yang kini merasa tak ada lagi yang perlu disembunyikan, balas memeluk Frans dengan kuat, tangannya menelusuri tubuh Frans, dan akhirnya mereka berdua saling menelanjangi tanpa rasa ragu. Syifa terkesima melihat tubuh Frans yang atletis, terutama saat dia melihat kontol Frans yang besar dan tidak disunat. Sungguh berbeda dengan kontol suaminya. Dengan penuh rasa ingin tahu dan hasrat, Syifa menunduk dan mulai mengulumnya dengan lembut. Syifa menghirup aroma khas kontol Frans yang membuat memeknya bereaksi meski belum tersentuh apapun.
Frans merasakan kenikmatan yang luar biasa dari sentuhan Syifa, membuatnya semakin bersemangat. Kini giliran Frans membalas dengan mulai menjilat memek Syifa, memek yang begitu indah dengan bulunya yang telah dicukur. Jilatannya membuat wanita itu menggeliat dan mendesah keras. Setiap sentuhan, setiap erangan, membuat mereka berdua semakin terbawa dalam hasrat yang menggelora.
“Shhhhhhhhhhhh… ouwhhhhhhh!”
Saat mereka akhirnya bersatu, gairah yang selama ini terpendam meledak dengan dahsyat. Mereka bercinta dengan penuh gairah, tanpa ada yang menahan diri. Frans mulai menempelkan kontolnya ke memek Syifa. Meski sudah berdiri tegak dan keras kepala kontol Frans tetap tertutup kulup yang lumayan tebal.
Frans melesakan kontol berkulupnya ke memek Syifa. Kontol itu terasa penuh karena selama ini hanya kontol kecil milik Burhan yang pernah masuk ke sana.
“ouwhwhhwhwh… Shhhhhh!”
Genjotan demi genjotan Frans memberi kenimatan dahsyat bagi Syifa. Membuat dia melenguh dan mengerang. Syifa, yang belum pernah merasakan kenikmatan seperti ini sebelumnya, mengalami klimaks yang begitu intens hingga tubuhnya bergetar hebat. Terasa ada yang mau meledak dari tubuhnya.
“Arghhhhhhh…kontol berkulup… arghhhhhh aku suka kontol berkulup…..”Cairan bening menyembur dari memeknya saat Frans mencabut kontolnya, cairan yang menandakan kepuasan yang luar biasa. Frans memasukan kembali kontolnya dan memompa memek Syifa dan ketika memek itu berkedut-kedut Frans kembali mencabut kontolnya. Semburan hebat kembali memancur dari memek Syifa. Hingga akhrinya Frans merasakan bahwa giliran dia sudah dekat untuk mencapai puncak.
“Ouwhhh Syifa mau dikeluarin di mana sayang!”
“Ouhhhhh…. Iyahhhh… Keluarin dalam memek aku…. Bareng… ahhhh …Frans…!”
Clok… clok ..clokk Arghhhhhhhhh. Crottttt….crotttttt…crotttttt. Orgasme mereka bersamaan. Kontol berkulup Frans menyemprotkan air mani kentalnya dalam memek Syifa yang juga menyemburkan cairan kenikmatannya.
Keduanya terbaring lelah di sofa, napas mereka masih tersengal-sengal. Frans menatap Syifa dengan pandangan penuh kasih, sementara Syifa hanya bisa tersenyum bahagia, merasakan kehangatan dan kebahagiaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Rasanya semburan air mani yang begitu hangat dan kental dengan semprotan yang keras membuat Syifa melayang dan hingga beberapa saat masih merasakan nikmat yang luar biasa.
“Ini baru permulaan, Syifa,” kata Frans dengan suara serak, sambil meraih tangan Syifa dan mengecupnya.
Syifa mengangguk, merasa ada sesuatu yang baru saja dimulai dalam hidupnya. Sesuatu yang berbahaya, namun di saat yang sama, begitu menggoda dan sulit untuk dihentikan.
Setelah pertemuan pertama yang begitu mengguncang, Syifa merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Perasaan hangat yang dia dapatkan dari Frans, keintiman yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya, membuatnya semakin ketagihan. Setiap kali Pak Burhan pergi untuk perjalanan dinas, Syifa merasakan detak jantungnya semakin cepat, bukan karena khawatir ditinggalkan, tetapi karena dia tahu bahwa itu adalah waktunya bertemu dengan Frans lagi.
Hubungan terlarang mereka terus berlanjut, semakin dalam dan semakin sulit untuk dihentikan. Syifa, yang awalnya hanya mencari pelarian dari rasa kesepiannya, kini telah terjebak dalam pusaran cinta yang begitu intens dengan Frans. Setiap ciuman, setiap sentuhan, membuatnya merasa hidup kembali.
Di sisi lain, Pak Burhan, yang tidak pernah curiga akan perubahan dalam diri istrinya, tetap sibuk dengan pekerjaannya. Burhan tidak pernah menyadari bahwa Syifa telah menemukan kebahagiaan di luar pernikahan mereka. Baginya, Syifa adalah istri yang setia dan taat, seperti yang terlihat dari penampilannya yang selalu menutup aurat dengan baik. Dia tidak pernah tahu bahwa di balik pintu tertutup, Syifa berubah menjadi wanita yang berbeda—wanita yang menemukan gairahnya melalui sosok Frans.
Setelah malam yang penuh dengan keintiman, Frans dan Syifa terbaring berdua di tempat tidur. Syifa menyandarkan kepalanya di dada Frans, mendengar detak jantungnya yang perlahan membuatnya merasa tenang. Namun, di tengah keheningan itu, Syifa akhirnya angkat bicara.
“Frans, aku... aku makin nggak bisa jauh dari kamu,” katanya dengan suara pelan tapi sarat emosi. “Selama ini, hidupku kosong, kamu tahu? Burhan nggak pernah bisa kasih aku perasaan kayak gini.”
Frans, sambil membelai lembut rambut Syifa, menatap langit-langit dengan pikiran yang berkecamuk. “Aku ngerti, Syifa. Aku juga ngerasain hal yang sama. Tapi kita nggak bisa lupa sama kenyataan. Ini semua nggak gampang. Kita beda agama, dan apa yang kita lakuin ini... salah di mata banyak orang.”
Syifa menarik napas dalam-dalam, dadanya terasa sesak dengan segala perasaan yang ia tahan selama ini. “Aku ngerti, tapi aku nggak bisa terus bohongin diri sendiri. Frans, aku udah beneran jatuh cinta sama kamu. Setiap kali kita bareng, aku ngerasa hidup, ngerasa utuh.”
Frans terdiam sejenak, merasakan dilema yang dalam. Di satu sisi, hatinya sepenuhnya terikat pada Syifa, tapi di sisi lain, dia tahu jalan yang mereka tempuh ini penuh risiko. “Syifa, aku juga cinta sama kamu. Tapi... kita harus hati-hati. Apa yang kita punya ini, seindah apapun, rapuh banget.”
Syifa menatap Frans, matanya penuh harapan sekaligus tekad. “Frans, aku udah nggak peduli lagi. Aku nggak mau kehilangan kamu. Kalau aku harus ninggalin semuanya demi kita, aku siap. Aku siap buat ngejalanin hidup bareng kamu.”
Frans tersentak mendengar ketegasan Syifa. “Kamu serius, Syif? Kamu mau ninggalin semuanya?” tanyanya, sedikit ragu namun juga terpukul oleh pernyataan itu.
Dengan mantap, Syifa mengangguk. “Iya, Frans. Aku serius. Aku siap ngelakuin apa aja demi kita, apapun resikonya.”
Frans merasa dadanya bergetar, campuran antara bahagia dan khawatir berkecamuk di dalam hatinya. Di satu sisi, Syifa benar-benar mencintainya, tapi di sisi lain, mereka sedang berjalan di atas tali yang tipis. Bukan hanya karena perasaan terlarang ini, tetapi juga karena perbedaan agama yang akan memperumit segalanya lebih jauh. “Syifa... ini nggak mudah. Kita bukan cuma menghadapi cinta yang salah, tapi juga tantangan yang jauh lebih besar dari sekadar perasaan.”
Syifa menggenggam tangan Frans lebih erat, dengan tekad yang semakin kuat. “Frans, aku nggak takut lagi. Aku yakin sama perasaanku ke kamu, dan aku siap buat ngehadapi semua yang bakal datang. Kita bisa jalanin ini bareng-bareng.”
Frans hanya bisa memandang Syifa, hatinya penuh dengan keraguan, tapi juga cinta yang tak bisa ia pungkiri. Malam itu terasa berbeda—bukan lagi sekadar malam penuh gairah, tapi juga sebuah malam yang membawa keputusan besar di antara mereka.
Namun, saat melihat Syifa yang begitu bersemangat dan penuh cinta, Frans tidak bisa menolak keinginannya sendiri. Mereka berdua kini hanyut dalam hubungan yang semakin dalam, mengabaikan semua peringatan dan risiko yang ada. Di setiap pertemuan, cinta mereka semakin berkobar, membawa mereka pada perjalanan yang tidak akan pernah mudah dan mungkin tidak akan berakhir dengan baik. Tapi untuk saat ini, keduanya memilih untuk menikmati momen-momen penuh gairah dan cinta yang mereka miliki, meski mereka tahu bahwa jalan di depan penuh dengan rintangan yang tak terhindarkan.
***
Suatu malam yang tenang, Syifa dan Frans duduk di ruang tamu, berbicara pelan sambil menyesap teh hangat. Lampu-lampu rumah yang redup menciptakan suasana yang tenang, seolah dunia di luar tidak penting. Tak ada yang tahu, di balik semua itu, sebuah bahaya sedang mendekat. Dari kejauhan, seseorang mengamati mereka dalam diam—seseorang yang mengenal mereka lebih dari siapapun. Pak Burhan, suami Syifa, sudah lama merasa ada yang tak beres dalam rumah tangganya. Dia merasa ada perubahan kecil dalam sikap istrinya, seakan ada rahasia yang disembunyikan.
Hari-hari penuh kecurigaan ini menggerogoti pikiran Burhan, dan malam itu, ia memutuskan untuk mengambil langkah yang lebih berani. Dia pulang lebih awal dari biasa dan tak memberi kabar kepulangannya pada Syifa.
Ketika sampai di rumah, langkah Burhan terhenti di depan pintu. Telinganya mendengar suara percakapan pelan di dalam, suara yang tidak asing namun tak pernah diharapkan. Ia mengintip melalui celah kecil di jendela dan melihat Syifa duduk berdekatan dengan Frans, pemuda tetangga sebelah rumah. Mereka tertawa kecil, Frans memegang tangan Syifa dengan penuh kehangatan, seolah tak ada yang perlu mereka sembunyikan.
Namun yang mengejutkan, Burhan tidak langsung meledak dalam kemarahan. Hatinya yang awalnya penuh dengan cemburu dan kecurigaan mendadak berubah. Sesuatu yang aneh muncul dalam dirinya—bukan amarah, tapi rasa penasaran yang mendalam. Bukannya ingin mengkonfrontasi mereka, ia justru merasa seperti ada hal lain yang harus dia lakukan terlebih dahulu.
Burhan mundur perlahan dari jendela, menarik napas panjang dan memutuskan untuk tidak langsung masuk. Ada gairah yang tak terduga muncul dalam dirinya, semacam dorongan untuk menyelidiki lebih dalam. Bukan hanya soal perselingkuhan ini, tapi soal hubungannya dengan Syifa, perasaan yang selama ini mungkin dia abaikan. Ada misteri yang lebih besar yang harus dia pahami sebelum dia bisa mengambil tindakan.
Di malam yang gelap, Burhan kembali ke mobilnya dan duduk dalam keheningan. Ia mengingat kembali masa-masa awal pernikahannya dengan Syifa. Cinta yang dulu begitu kuat, kini terasa memudar. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Syifa bisa begitu jauh darinya? Apakah Frans benar-benar alasan utama, ataukah ini hanya puncak dari sesuatu yang lebih dalam?
Dengan tangan yang gemetar, Burhan membuka ponselnya dan melihat foto-foto keluarganya. Wajah Syifa yang tersenyum di foto-foto itu tampak berbeda dengan wanita yang dia lihat di jendela tadi. "Apa yang salah?" pikirnya. Pikiran-pikiran ini terus berputar, menyesakkan dadanya, namun anehnya, rasa marah itu tak pernah benar-benar muncul. Yang ada hanya keinginan untuk mengerti—mencari jawaban yang lebih mendalam dari sekadar perselingkuhan fisik.
Burhan memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak sebelum mengambil keputusan. Dia tahu bahwa marah tanpa memahami akar masalah hanya akan memperburuk situasi. Malam itu, dia pulang ke apartemen kecil yang dia sewa secara diam-diam untuk saat-saat seperti ini, dan memikirkan langkah apa yang akan dia ambil selanjutnya.
Selama beberapa hari berikutnya, Burhan mengamati Syifa dengan lebih hati-hati. Dia tidak lagi mencari tanda-tanda perselingkuhan secara terang-terangan, melainkan mencoba memahami apa yang hilang di antara mereka. Sering kali dia bertanya pada dirinya sendiri, "Apakah aku yang salah? Apakah aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku hingga lupa memperhatikan perasaan Syifa?" Perasaan-perasaan yang bercampur aduk antara penasaran, kecemburuan, dan mungkin, keinginan untuk memperbaiki keadaan mulai muncul dalam dirinya.
Suatu malam, saat Syifa tertidur, Burhan diam-diam mengambil ponsel istrinya. Menempelkan jari istrinya pada ponsel agar kunci ponsel terbuka. Dia membuka whatsapp istrinya. Dan benar saja, di sana dia menemukan chat antara Syifa dan Frans. Chat itu dipenuhi dengan pemberitahuan untuk bertemu dan info soal dia yang akan melalukann perjalanan dinas. Mereka memanfaatkan ketidak hadiran dirinya di rumah untuk bercinta.
Perlahan, Burhan mulai menyadari bahwa hubungannya dengan Syifa tidak hanya rusak karena Frans, tetapi juga karena dirinya sendiri. Dia lupa bahwa cinta membutuhkan perhatian, bukan hanya dari segi materi, tetapi juga secara emosional.
Dengan pemahaman yang baru, Burhan mulai merencanakan langkah-langkah yang berbeda. Alih-alih langsung menyerang atau marah pada Syifa, dia justru memikirkan hal lain. Dan anehnya, gairah itu semakin besar memikirkan hal itu.
***
Beberapa hari kemudian, ketika Frans tidak ada, Burhan mendekati Syifa yang sedang berada di dapur.
"Syifa, ada yang perlu kita bicarakan," kata Burhan dengan nada tenang, meskipun ada sedikit ketegangan dalam suaranya.
Syifa yang mendengar nada serius dari suaminya, segera menghentikan aktivitasnya dan berbalik menghadap Burhan. “Apa, Mas? Ada masalah di kantor?” tanyanya, berusaha terdengar biasa saja.
Burhan menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Aku tahu tentang kamu dan Frans."
Wajah Syifa langsung pucat, napasnya tertahan. Dia tak menyangka bahwa Burhan bisa mengetahui rahasia terbesarnya. Namun, yang lebih mengejutkan adalah, tidak ada amarah di mata Burhan, hanya kelelahan dan kesedihan.
“Mas...,” Syifa berusaha berbicara, namun kata-katanya tercekat di tenggorokan.
Burhan menatapnya dengan tatapan yang tak bisa dibaca. “Aku nggak marah, Syifa. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku sadar akan semuanya. Tapi tolong, jangan bilang ke siapa-siapa kalau aku tahu. Biar ini tetap jadi rahasia kita.”
Syifa masih belum bisa mempercayai telinganya. “Mas... Aku minta maaf soal ini. Tapi beneran kamu nggak marah?”
Burhan menggeleng pelan. “Aku nggak marah, Syifa. Mungkin ini salahku juga, karena terlalu sibuk dan nggak bisa memberi kamu apa yang kamu butuhkan. Tapi aku punya satu permintaan.”
“Apa itu, Mas?” tanya Syifa dengan hati-hati.
Burhan menunduk sejenak sebelum melanjutkan, “Aku mau kamu merekam... apa yang kalian lakukan. Setiap kali kamu bersama Frans, rekam semuanya.”
Syifa terperangah mendengar permintaan Burhan yang aneh dan tak terduga. “Merekam? Mas, kenapa...”
Burhan menatapnya, kali ini dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Susah buat aku jelasin ke kamu, tapi aku izinkan kamu dengan dia asal itu tadi kamu rekam saat kamu lagi gituan dengan dia terus kasih ke aku rekamannya!”
Syifa merasa bingung dan takut, tapi di saat yang sama, dia tidak bisa menolak. Dia tahu bahwa Burhan punya hak untuk marah dan menghukumnya, tapi permintaan ini adalah sesuatu yang tak pernah dia bayangkan.
Setelah beberapa saat terdiam, Syifa mengangguk pelan. “Baik, Mas. Aku akan lakukan apa yang kamu minta.”
Burhan menghela napas, seolah beban berat sedikit terangkat dari dadanya. “Terima kasih, Syifa. Ingat, jangan bilang ke Frans atau siapa pun tentang ini. Biarkan ini tetap menjadi rahasia kita.”
Dengan hati yang penuh dengan ketidakpastian, Syifa menjalani hari-harinya dengan perasaan yang semakin rumit. Dia terus menjalin hubungan dengan Frans, namun kini dengan perasaan bersalah yang lebih dalam. Setiap kali bersama Frans, pikirannya dipenuhi oleh sosok suaminya yang tahu segalanya namun memilih untuk tetap diam dan meminta hal yang aneh.
Kini, hubungan Syifa dan Frans tidak lagi hanya sekadar pelarian dari kesepian, tapi juga menjadi beban berat yang harus dia tanggung dalam diam. Setiap rekaman yang dia buat menjadi saksi bisu dari hubungan terlarang mereka, sekaligus pengingat akan suaminya yang entah bagaimana bisa menerima kenyataan pahit ini dengan cara yang begitu tak terduga.
Ketika Burhan meminta Syifa untuk merekam adegannya bersama Frans, dia tidak sepenuhnya memahami alasannya. Namun, di dalam hati Burhan, ada rasa penasaran yang terus menghantui. Selama bertahun-tahun pernikahan mereka, Burhan tidak pernah melihat Syifa mencapai kepuasan sejati saat bersama dirinya. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi saat Syifa bersama Frans, apa yang membuat istrinya yang taat, alim dan pendiam itu berubah menjadi wanita yang begitu bergairah.
Syifa, meskipun masih ragu dan bingung, memenuhi permintaan Burhan. Setiap kali dia bersama Frans, dia memastikan untuk merekam momen-momen intim mereka. Burhan, yang tampak tenang di luar, menantikan dengan sabar hasil rekaman tersebut, meskipun hatinya dipenuhi dengan berbagai perasaan yang bertentangan.
Ketika akhirnya Burhan menerima rekaman pertama dari Syifa, dia memutarnya di dalam kamar, sendirian. Saat video itu dimulai, Burhan bisa merasakan detak jantungnya semakin cepat. Awalnya, semuanya terlihat biasa saja, hingga tiba momen di mana Syifa dan Frans mulai menunjukkan keintiman yang lebih dalam.
Burhan terpaku melihat bagaimana Frans memperlakukan Syifa dengan penuh gairah, dan bagaimana istrinya merespons dengan cara yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Tapi yang benar-benar mengejutkan Burhan adalah saat melihta betapa besarnya kontol Frans dan kontol itu berkulup. Lebih mengejutkan lagi saat melihat Syifa mencapai puncak kepuasannya.
Di layar, Burhan melihat Syifa yang biasanya begitu tenang dan lembut, kini berubah menjadi seseorang yang lain. Tubuhnya bergetar hebat, wajahnya memerah, dan dia mengeluarkan suara yang tidak pernah dia dengar sebelumnya. Namun, yang paling mengejutkan Burhan adalah saat dia melihat cairan menyembur keluar dari memek Syifa, seperti letupan yang tak terkendali.
Burhan terperangah, perasaannya bercampur aduk antara keterkejutan, keheranan, dan sesuatu yang lain—sesuatu yang mendekati rasa senang. Dia tidak pernah menyangka bahwa Syifa bisa merasakan kenikmatan sebesar itu, sesuatu yang tidak pernah terjadi saat mereka bersama. Wajah Syifa yang sedang dilanda kepuasan begitu horny. Tapi sangat cantik dan menggairahkan.
Dia tidak pernah membayangkan Syifa yang kalem dan lembut itu menjerit-jerit liar saat menjemput orgasmenya. Apa yang dia teriakan membuat Burhan sangat terkejut. Dia meneriakn kesukaannya akan kontol berkulup Frans.
Setelah video itu berakhir, Burhan terdiam lama, merenung tentang apa yang baru saja dia lihat. Dia sadar bahwa ada banyak hal tentang Syifa yang belum dia ketahui, sisi-sisi yang hanya muncul saat dia bersama orang lain, bukan dirinya. Meskipun rasa sakit menggigit hatinya, ada juga rasa lega yang aneh mengetahui bahwa istrinya bisa merasakan kebahagiaan dan kepuasan, meskipun bukan dari dirinya.
Burhan memutuskan melakukan onani sambil melihat kembali adegan menjelang Syifa mencapai orgasmenya. Dia mengocok kontolnya melihat memek istrinya digenpur dengan kontoil berkulup yang begitu besat hitam perkasa. Akhirnya Burhan mencapai kepuasannya sendiri dengan menyemprotkan cairan maninya yang encer dan tidak begitu banyak.
Dalam diam, Burhan memutuskan untuk tidak mengungkapkan apa pun kepada Syifa tentang apa yang dia rasakan setelah menonton rekaman itu. Dia menyimpan semua perasaannya dalam-dalam, memilih untuk terus menjalani kehidupan sehari-hari mereka seperti biasa, dengan satu perbedaan—dia kini tahu betapa mendalamnya hasrat dan gairah yang bisa dirasakan Syifa, sesuatu yang selama ini tidak pernah dia berikan.
Ketika Burhan menyadari bahwa rekaman video saja tidak cukup untuk memuaskan rasa penasarannya, dia mulai merasakan dorongan yang lebih kuat untuk menyaksikan adegan mesra itu secara langsung. Pikiran ini terus menghantuinya, hingga suatu hari dia memberanikan diri untuk membicarakannya dengan Syifa.
Di malam yang sunyi, Burhan mendekati Syifa yang sedang bersantai di ruang tamu. Ada ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka, tetapi Burhan tahu bahwa dia harus mengungkapkan keinginannya.
“Syifa, aku tahu ini mungkin terdengar aneh... tapi aku merasa video saja nggak cukup,” Burhan memulai dengan hati-hati. “Aku ingin melihatnya secara langsung, tanpa Frans tahu. Bisa nggak aku sembunyi di suatu tempat di rumah, saat kalian bersama?”
Syifa menatap suaminya dengan perasaan campur aduk. Dia tahu bahwa permintaan Burhan ini tak biasa, bahkan bisa dibilang tidak wajar, tapi di dalam hati kecilnya, dia juga merasa ada semacam kewajiban untuk memenuhi keinginan suaminya. Lagipula, Burhan sudah memberi izin baginya untuk mendapatkan kepuasan dan cinta dari lelaki lain, sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya.
“Apa kamu yakin, Mas?” Syifa bertanya, suaranya bergetar sedikit.
Burhan mengangguk, meskipun ada keraguan di matanya. “Aku yakin, Syifa. Aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya melihatmu... melihat kalian... secara langsung. Mungkin ini caraku untuk bisa lebih memahami apa yang sebenarnya terjadi.”
Setelah berpikir sejenak, Syifa akhirnya mengangguk. “Baiklah, Mas. Aku akan melakukannya. Tapi kamu harus janji, jangan sampai Frans tahu.”
Burhan tersenyum tipis, merasa lega sekaligus gugup. “Aku janji, Syifa. Ini hanya untuk kita berdua.”
Hari yang dinanti tiba. Syifa memastikan bahwa tempat persembunyian Burhan cukup aman dan tersembunyi, di sudut kamar mereka yang tidak terlihat jelas oleh Frans. Saat Frans datang, Syifa menjalankan rencananya seperti biasa, sementara Burhan dengan hati-hati menyelinap ke tempat yang telah disiapkan.
Dari tempat persembunyiannya, Burhan menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Syifa dan Frans berinteraksi. Setiap gerakan, setiap desahan, dan setiap sentuhan terasa jauh lebih intens daripada saat dia hanya menonton dari layar video. Melihat istrinya yang begitu bergairah dan penuh hasrat, Burhan merasakan perasaan campur aduk—antara cemburu, kagum, dan anehnya, kebahagiaan.
Saat akhirnya Syifa mencapai puncak kepuasannya, Burhan melihat semuanya dengan jelas. Tubuh Syifa bergetar hebat, kelojotan dalam gelombang kenikmatan, dan sekali lagi, cairan itu menyembur dari tubuhnya. Adegan ini, meskipun menyakitkan untuk dilihat, juga memberinya semacam kepuasan yang aneh—mengetahui bahwa istrinya bisa merasakan kebahagiaan sejati, meskipun bukan dari dirinya.
Setelah semuanya berakhir dan Frans pergi, Burhan keluar dari persembunyiannya. Tanpa berkata apa-apa, dia memeluk Syifa erat, seolah mencari kenyamanan dari wanita yang begitu dicintainya meskipun dia tahu cintanya tidak lagi utuh. Syifa membalas pelukan itu, menyadari bahwa hubungan mereka telah berubah selamanya, memasuki wilayah yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Setelah beberapa kali melakukan adegan dengan Frans di bawah pengawasan tersembunyi Burhan, Syifa mulai merasakan sesuatu yang baru dalam dirinya. Setiap kali dia tahu bahwa Burhan sedang menonton, ada perasaan aneh yang merayap dalam hatinya—perasaan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Ada semacam kebanggaan yang muncul, seolah dia sedang menjadi bintang dalam sebuah pertunjukan eksklusif, hanya untuk Burhan.
Ketika bersama Frans, Syifa mulai bermain dengan perasaan itu. Dia tahu Burhan ada di sana, memperhatikannya. Ini membuat setiap sentuhan, setiap ciuman, dan setiap gerakan terasa lebih intens. Rasa malu yang dulu menghantui dirinya perlahan menghilang, digantikan oleh keberanian yang membara. Dia mulai menikmati peran yang dia mainkan, membiarkan dirinya hanyut dalam kenikmatan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Sementara itu, Burhan semakin terpesona oleh wajah Syifa saat mencapai puncaknya. Ada sesuatu yang begitu memikat dalam ekspresi istrinya saat itu—campuran antara kebahagiaan, kepuasan, dan ekstasi yang tulus. Wajah yang tidak pernah dia lihat saat mereka bersama, wajah yang membuatnya merasa tersisih namun sekaligus terpesona.
Dia tahu bahwa dia tidak memiliki kemampuan untuk membawa Syifa ke puncak kenikmatan seperti yang Frans lakukan, tetapi melihat Syifa bahagia dan puas memberinya kepuasan tersendiri. Meskipun ada rasa sakit di balik semua ini, Burhan tidak bisa menyangkal bahwa dia menikmati setiap momen menyaksikan Syifa dalam kebahagiaan yang meluap-luap.
Setiap kali adegan itu berakhir, Burhan akan mendekati Syifa dan memeluknya dengan erat. Dalam pelukan itu, ada keheningan yang berat, penuh dengan perasaan yang tak terucapkan. Meski mereka tidak pernah membahas apa yang terjadi secara terbuka, keduanya tahu bahwa hubungan mereka telah berubah secara mendasar. Syifa merasa dirinya menjadi lebih kuat dan percaya diri, sementara Burhan merasa semakin tenggelam dalam kenyataan baru yang telah mereka ciptakan bersama.
Pada suatu malam, setelah Frans pergi dan rumah kembali sepi, Burhan dan Syifa duduk berdua di kamar mereka. Ada keheningan yang melingkupi mereka, seolah masing-masing sedang mencerna apa yang baru saja terjadi. Namun, keheningan itu tidak berlangsung lama. Burhan merasa ada sesuatu yang harus dia bicarakan, sesuatu yang sudah terlalu lama dia pendam.
“Syifa,” Burhan memulai dengan suara lembut namun tegas. “Kita harus bicara tentang ini.”
Syifa, yang sedang merapikan rambutnya, menoleh. “Tentang apa, Mas?”
Burhan menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Tentang perasaan kita... tentang apa yang sudah kita lakukan belakangan ini.”
Syifa duduk di samping Burhan, menatapnya dengan mata yang penuh perhatian. “Aku tahu ini semua nggak biasa, Mas. Tapi... aku merasa kita sudah mulai nyaman dengan keadaan ini, kan?”
Burhan mengangguk perlahan. “Iya, aku nggak bisa bohong kalau aku merasa puas... melihat kamu bahagia, melihat kamu mencapai puncak seperti itu. Wajah kamu saat itu, Syifa... aku nggak pernah lihat kamu sebahagia itu sebelumnya.”
Syifa tersenyum tipis, menyentuh tangan Burhan. “Aku juga merasakan hal yang sama, Mas. Awalnya, aku nggak yakin bisa menjalani ini. Tapi, semakin sering kita melakukannya, aku jadi semakin menikmati. Ada rasa senang yang aneh saat tahu kamu menonton. Rasanya seperti... seperti aku ini bintang film yang kamu tonton dengan penuh perhatian.”
Burhan tertawa kecil, tapi ada keseriusan di balik tawanya. “Dan kamu memang terlihat seperti bintang, Syifa. Aku nggak pernah menyangka bisa merasa puas hanya dengan menonton kamu seperti itu. Walaupun aku sadar, aku sendiri nggak pernah bisa membuat kamu merasakan apa yang Frans bisa berikan.”
Syifa menggeleng, menatap Burhan dengan kasih sayang. “Mas, aku tahu kamu selalu berusaha yang terbaik untuk aku. Dan sekarang, dengan cara yang berbeda, kamu sudah membuat aku merasa lebih dihargai dan dimengerti. Aku tahu ini mungkin nggak normal, tapi aku benar-benar menyenangi keadaan ini.”
Burhan menatap Syifa dalam-dalam, merasakan kedamaian yang aneh di dalam hatinya. “Selama kamu bahagia, aku juga akan bahagia, Syifa. Mungkin ini cara kita menemukan kebahagiaan yang selama ini hilang.”
Syifa tersenyum dan memeluk Burhan erat, merasa hangat dan nyaman dalam pelukan suaminya. Meskipun hubungan mereka telah berubah dan memasuki wilayah yang tidak biasa, ada pemahaman baru di antara mereka—pemahaman bahwa kebahagiaan bisa datang dalam berbagai bentuk, bahkan dalam bentuk yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Setelah malam yang intens, Burhan dan Syifa kembali duduk di kamar mereka, mencoba memahami perasaan yang semakin berkembang di antara mereka. Burhan merasakan dorongan untuk menanyakan sesuatu yang terus mengganjal di benaknya sejak dia melihat adegan yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.
“Syifa,” Burhan memulai dengan suara pelan, tapi tegas. “Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan, dan aku harap kamu bisa jujur.”
Syifa menatap suaminya dengan penuh perhatian, merasa ada sesuatu yang berat di balik kata-kata Burhan. “Apa itu, Mas? Aku akan jawab sejujurnya.”
Burhan menarik napas dalam sebelum melanjutkan, “Aku nggak bisa berhenti memikirkan apa yang kamu katakan saat bersama Frans tadi. Tentang... kenapa kamu begitu suka dengan kontolnya yang nggak disunat. Aku dengar kamu bilang itu berkali-kali, dan aku... aku penasaran, Syifa.”
Syifa terdiam sejenak, wajahnya memerah mengingat apa yang dia katakan dalam momen gairah tadi. Dia tahu ini adalah pertanyaan yang sulit, tapi dia juga tahu bahwa Burhan layak mendapatkan jawaban yang jujur.
“Aku... aku nggak tahu gimana menjelaskannya, Mas,” Syifa akhirnya berkata, suaranya bergetar sedikit. “Mungkin karena itu sesuatu yang berbeda, sesuatu yang nggak pernah aku alami sebelumnya. Waktu aku pertama kali melihatnya, aku merasa aneh, tapi kemudian... aku mulai menyukainya. Ada sensasi yang berbeda, yang nggak pernah aku rasakan sebelumnya.”
Burhan menatap Syifa dengan campuran rasa ingin tahu dan perasaan yang sulit dia ungkapkan. “Dan waktu kamu mengerang, menyebut-nyebut itu... aku lihat kamu benar-benar menikmati setiap momennya. Aku nggak pernah lihat kamu seperti itu sebelumnya, Syifa. Apa kamu benar-benar lebih menikmati itu daripada... apa yang pernah kita alami?”
Syifa meraih tangan Burhan, menatapnya dengan penuh kasih sayang. “Mas, aku nggak mau kamu merasa tersisih atau kurang. Yang aku rasakan dengan Frans mungkin beda, tapi bukan berarti aku nggak mencintai kamu. Yang terjadi tadi... ya, aku akui, itu membuat aku merasa sangat puas. Mungkin karena itu sesuatu yang baru dan menggoda, tapi itu nggak mengurangi perasaanku ke kamu.”
Burhan terdiam sejenak, mencerna kata-kata Syifa. “Jadi, kamu suka karena itu berbeda... karena itu sesuatu yang belum pernah kamu alami?”
Syifa mengangguk perlahan, masih memegang tangan Burhan. “Iya, Mas. Mungkin itu alasannya. Tapi aku tetap mencintai kamu, dan aku nggak ingin hubungan kita berubah. Apa yang kita lakukan... semua ini... hanya cara kita menemukan kebahagiaan yang lain, tanpa harus kehilangan yang sudah kita miliki.”
Burhan tersenyum tipis, meskipun ada kesedihan di balik senyum itu. “Kalau itu bisa membuat kamu bahagia, aku akan terima, Syifa. Tapi aku juga ingin kita tetap jujur satu sama lain, nggak ada yang ditutup-tutupi. Karena hanya dengan begitu, kita bisa terus bersama, meskipun dalam situasi yang nggak biasa ini.”
Syifa mengangguk, merasa lega karena bisa berbicara dengan jujur kepada Burhan. Dia tahu bahwa hubungan mereka telah berubah, tapi dia juga tahu bahwa cinta di antara mereka masih ada, meski dalam bentuk yang berbeda.
Waktu berlalu, dan hubungan antara Syifa dan Burhan semakin renggang, meskipun mereka tetap menjalani rutinitas sehari-hari seperti biasa. Syifa merasakan perbedaan yang tajam dalam hatinya. Rasa cinta yang dulu dia miliki untuk Burhan perlahan memudar, digantikan oleh perasaan kasihan yang tak bisa dia hindari. Setiap kali melihat Burhan yang begitu sabar dan penuh perhatian, Syifa merasa bersalah, tapi dia tahu bahwa cintanya kini hanya milik Frans.
Sementara itu, hubungan dengan Frans semakin dalam dan intens. Syifa mulai merasa bahwa dialah satu-satunya yang bisa memberinya kebahagiaan yang sejati. Setiap kali mereka bersama, Syifa merasa hidupnya penuh dengan warna yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Namun, suatu hari, Frans memutuskan untuk berbicara serius dengan Syifa. Mereka bertemu di sebuah tempat yang sepi, jauh dari pandangan orang lain. Ada ketegangan di udara, dan Syifa bisa merasakan bahwa Frans ingin mengatakan sesuatu yang penting.
“Syifa,” Frans memulai dengan nada yang lebih serius dari biasanya. “Aku nggak bisa terus begini. Aku sayang sama kamu, lebih dari apa pun. Tapi... kita nggak bisa terus hidup dalam bayang-bayang, di belakang suamimu.”
Syifa menatap Frans dengan penuh perhatian, merasakan ada sesuatu yang berat dalam kata-katanya. “Maksud kamu apa, Frans?”
Frans menggenggam tangan Syifa erat-erat. “Aku ingin kita hidup bersama, Syifa. Aku ingin kamu bercerai dari Burhan, dan kita menikah. Aku nggak bisa terus begini, jadi yang kedua. Aku ingin kamu sepenuhnya jadi milikku.”
Syifa terdiam, kata-kata Frans menggema di kepalanya. Dia memang mencintai Frans, dan hidup bersamanya adalah impian yang selama ini terpendam. Namun, ada satu hal yang membuatnya ragu.
“Aku... aku juga ingin hidup dengan kamu, Frans,” Syifa akhirnya berkata, suaranya bergetar. “Tapi... aku nggak bisa pindah agama. Aku nggak bisa meninggalkan keyakinanku.”
Frans menarik napas panjang, jelas kecewa dengan jawaban Syifa. “Kamu tahu itu artinya apa, Syifa? Aku nggak bisa menikah dengan kamu kalau kamu nggak ikut agama aku. Itu syarat mutlak buat aku.”
Syifa menundukkan kepala, air mata mulai menggenang di matanya. Dia tahu betapa pentingnya agama bagi Frans, tapi dia juga tahu bahwa dia tidak bisa mengorbankan keyakinannya sendiri. “Aku nggak bisa, Frans. Aku mencintai kamu, tapi aku nggak bisa melakukan itu. Maafkan aku.”
Ada keheningan yang menyakitkan di antara mereka sebelum akhirnya Frans melepaskan genggaman tangannya. “Kalau begitu, kita nggak punya pilihan lain, Syifa. Kita harus mengakhiri ini.”
Syifa terisak, merasakan hatinya hancur berkeping-keping. “Frans...”
“Aku sayang kamu, Syifa, tapi aku nggak bisa memaksakan ini,” Frans berkata dengan suara berat. “Aku harap kamu bahagia, dengan atau tanpa aku.”
Dengan langkah berat, Frans berbalik dan pergi, meninggalkan Syifa yang menangis dalam kesendiriannya. Di hatinya, dia tahu bahwa cinta yang dia miliki untuk Frans tidak cukup kuat untuk melawan keyakinannya. Namun, kehilangan Frans membuatnya merasa kosong, seolah seluruh dunianya runtuh.
Saat kembali ke rumah, Syifa menemukan Burhan menunggu dengan senyuman hangat, tapi dia hanya bisa merasakan perasaan kasihan yang semakin mendalam. Meski Burhan masih mencintainya dengan tulus, Syifa tahu bahwa hatinya kini terpecah—sebagian besar telah hilang bersama dengan kepergian Frans.
*****
Syifa tidak pernah menyangka bahwa perpisahan dengan Frans akan begitu menghancurkan hatinya. Setiap hari setelah mereka berpisah, dia merasa seperti ada bagian dari dirinya yang hilang, hampa. Apalagi ketika dia mendengar kabar bahwa Frans telah menikah dengan wanita lain. Kabar itu menghantamnya seperti badai yang tak terduga. Dunia Syifa yang selama ini penuh dengan cinta terlarang kini terasa gelap dan sunyi.
Malam itu, di kamar yang biasanya menjadi tempat pelariannya dari kenyataan, Syifa berdiri di depan cermin. Tangannya perlahan mengangkat cadar yang selama ini menutupi wajahnya, melepasnya dengan gemetar. Rambut panjangnya yang berwarna hitam legam pun terurai dengan bebas, berkilauan di bawah cahaya lampu. Saat itulah, Syifa merasa sebuah keputusan besar mulai tumbuh di dalam hatinya.
“Ini bukan aku lagi,” bisiknya pada bayangan dirinya sendiri. “Aku ingin bebas. Aku ingin menemukan cintaku, bahkan jika itu berarti aku harus berubah.”
Syifa mulai menjalani hari-harinya tanpa cadar dan hijab, dan merasa seolah-olah dia perlahan menemukan kembali dirinya yang hilang. Dengan rambut tergerai bebas, dia merasa berbeda—lebih berani, lebih kuat, dan lebih percaya diri. Dan dalam proses pencarian jati dirinya yang baru ini, Syifa bertemu dengan Arman.
Arman adalah seorang pria Kristen asal sumatera utara yang ia temui di sebuah acara pertemuan sosial. Berbeda dengan Frans yang dulu lebih tertutup, Arman adalah sosok yang hangat dan terbuka. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Syifa merasa nyaman sejak pertemuan pertama mereka.
Suatu malam, ketika mereka sedang duduk di sebuah kafe yang sepi, Arman menatap Syifa dengan mata penuh kasih. “Syifa, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan,” katanya, memecah keheningan di antara mereka.
Syifa menatapnya, merasakan kehangatan yang berbeda. “Apa itu, Arman?”
Arman tersenyum lembut, memegang tangan Syifa di atas meja. “Aku tahu kamu sedang dalam proses mencari, mencari dirimu sendiri dan mungkin... cinta yang baru. Aku ingin kamu tahu bahwa aku ingin jadi bagian dari pencarian itu. Aku ingin kita menjalani hidup bersama.”
Syifa terdiam sejenak, hatinya berdebar kencang. “Arman, aku... aku nggak pernah berpikir akan menemukan cinta lagi setelah sebelumnya. Tapi kamu... kamu berbeda. Kamu membuat aku merasa hidup lagi.”
Arman mengangguk, matanya berbinar. “Syifa, aku nggak ingin menekan kamu, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku serius. Aku mencintai kamu, dan aku ingin menikah dengan kamu. Tapi aku juga tahu ini bukan keputusan yang mudah. Kamu harus berpindah agama jika kita mau bersama.”
Kata-kata Arman menghentikan napas Syifa. Dia tahu apa yang dia minta adalah sesuatu yang besar, tapi setelah semua yang dia lalui, saat dengan Frans dia tidak siap dan menolak untuk itu. Tapi kini Syifa merasa hatinya siap. Dia menatap Arman dengan mata penuh keyakinan. “Arman, aku sudah memikirkan ini sejak lama. Aku tahu keputusanku akan mengecewakan banyak orang, tapi aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Aku ingin hidup baru, dengan kamu. Aku siap untuk berpindah agama dan menikah denganmu.”
Arman tertegun, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. “Syifa... kamu benar-benar mau melakukan itu?”
Syifa mengangguk, tanpa ragu sedikit pun. “Ya, Arman. Aku sudah memutuskan. Aku akan menikah denganmu dan ikut agama yang kamu anut. Aku ingin kita memulai hidup baru bersama.”
Arman tersenyum lebar, dan tanpa bisa menahan diri, dia menarik Syifa ke dalam pelukannya. “Terima kasih, Syifa. Kamu nggak tahu betapa bahagianya aku mendengar ini. Kita akan menjalani hidup bersama, dan aku akan selalu mencintai dan melindungi kamu.”
Dalam pelukan Arman, Syifa merasa seluruh beban yang selama ini menekannya perlahan hilang. Dia tahu bahwa keputusan ini akan membawa banyak perubahan dalam hidupnya, tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa yakin bahwa ini adalah langkah yang benar. Bersama Arman, Syifa merasa dia bisa menemukan kebahagiaan yang selama ini dia cari. Dan dalam keyakinannya yang baru, dia merasa hidupnya akan penuh dengan cinta dan harapan yang baru.
***
Malam ini Syifa bercinta dengan Arman untuk merayakan persetujuan Syifa untuk pindah ke agama yang sama dengan Arman. Lelaki itu sangat terpikat dengan kecantikan Syifa, bahkan walaupun Syifa memakai pakaian gamis longgar dan cadar yang tertutup, Arman sangat suka dengan kemontokan buah dadanya dan pantatnya yang bulat indah bahenol yang tidak bisa ditutupi oleh busana tertutup dan cadar sekalipun.
Celana dalam dan rok dalam yang dipakai wanita bercadar ini kini teronggok di bawah kakinya setelah ditarik turun oleh Arman, sehingga wanita alim ini tidak lagi memakai celana dalam. Bentuk pinggul dan pantat wanita alim yang sintal ini sangat jelas terlihat oleh Arman. Belahan pantat Syifa yang telanjang terlihat sangat bulat, padat serta putih mulus tak bercacat membuat birahi laki-laki yang telah menggelegak sedari tadi kian menggelegak. Diantara belahan pantat Mufida terlihat kemaluan wanita istri rekannya yang sangat menggiurkan.
1516Please respect copyright.PENANAycgx3sqaaE
“Syifa.. Kakimu direnggangkan dong. Aku ingin melihat memekmu…” kata Arman masih sambil jongkok seraya menahan birahinya karena melihat bagian kehormatan wanita yang cantik dan alim ini.
1516Please respect copyright.PENANA6TIjrPWt5g
Wanita itu menyerah total, ia merenggangkan kakinya. Dari bawah, lelaki itu menyaksikan pemandangan indah menakjubkan di pangkal paha wanita bercadar ini yang rambut kemaluannya dicukur. Arman kagum melihat kemaluan Syifa yang begitu montok dan indah.
Lelaki itu menguakkan bongkahan pantat istri Syifa dan lidahnya mulai menyentuh anusnya. Syifa menggeliat, tubuh Syifa mengejang ketika ia merasakan lidah lelaki itu menyusuri belahan pantatnya lantas menyusuri celah di pangkal pahanya.
1516Please respect copyright.PENANASS2ojskPgc
“Oh shhhhhhhhhhhhhh”.
1516Please respect copyright.PENANAt7bDw48wsd
Dengan bernafsu Arman menguakkan bibir kemaluan Syifa yang berwarna merah jambu dan lembab. Tubuh wanita ini mengejang lebih hebat lagi saat lidah lelaki itu menyeruak ke liang memeknya. Tubuhnya bergetar ketika lidah itu menyapu klitorisnya. Semakin lama wanita cantik ini tak kuasa menahan erangannya.
1516Please respect copyright.PENANAmOSsEIIDd2
“Oh yeah? Aaaagggh!”, erang Syifa ketika bibir lelaki itu mengatup dan menyedot-nyedot klitorisnya.
1516Please respect copyright.PENANAVtK9fsm6bC
Dan menit-menit selanjutnya Syifa semakin mengerang berkelojotan oleh kenikmatan birahi ketika Arman seakan mengunyah-ngunyah kemaluannya.
1516Please respect copyright.PENANAYYscZaeGRo
“Hmmm…, memekmu enak?. Syifa….” kata Arman sambil berdiri setelah puas menyantap kemaluan istri rekannya ini, dan tangan kirinya terus mengucek-ngucek kelamin Syifa sambil berbisik ke telinga kekasihnya itu.
1516Please respect copyright.PENANA9r5n6ITCbQ
Syifa mengerang dengan mata mendelik, ketika sesuatu yang besar, panjang dan panas mulai menusuk kemaluannya. Tubuh wanita bercadar itu mengejang karena nikmat . Dengan buas Arman menghujamkan batang kontolnya.
1516Please respect copyright.PENANA5s7WViIcMe
Syifa dapat merasakan kontol Arman yang kini tengah menusuk-nusuk liang kemaluannya, jauh lebih besar dan panjang dibanding kontol Burhan suaminya. Sedikit lebih panjang dari milik Frans tapi lebih gemuk dan juga berkulup. Tangan kiri lelaki itu membekap pangkal paha Syifa, lalu jari tengahnya mulai menekan klitoris ibu muda berjilbab itu lantas dipilinnya dengan lembut, membuat Syifa menggigit bibirnya disertai desahan nikmatnya. Dia tak kuasa menahan sensasi yang menekan dari dasar kesadarannya. Wanita yang kesehariannya bercadar ini mulai mendesah nikmat, apalagi tangan kanan lelaki itu kini menyusup ke balik jubahnya, lalu memilin-milin puting susunya yang peka…
1516Please respect copyright.PENANAl6cdm0dfs7
“Ayo Syifa…. ahhhh… nikmati… ahh…. nikmati kontolku….” Arman terus memaju mundurkan kontolnya yang terjepit memek Syifa.
1516Please respect copyright.PENANAvOl8M4Cc1k
Syifa mendesah nikmat dan tanpa sadar ia meracau…
1516Please respect copyright.PENANAmm46RFgUHm
“Oh besar sekali kontol kamu Arman, ouwhhhh… Oooh yah terusss ahhhh.”
1516Please respect copyright.PENANAkxoROPgB9T
Arman dengan gencar mengocok kontolnya didalam memek yang mulai basah itu.
1516Please respect copyright.PENANAAXyiIt6pey
Akhirnya wanita cantik ini menjerit kecil saat ia meraih puncak kenikmatan, sesuatu yang baru dia dapatkan lagi setelah berpisah dengan Frans.
1516Please respect copyright.PENANAC8h8GhJuTS
Tubuh Syifa langsung lunglai, tapi Arman selangkah lagi akan sampai ke puncak. Arman masih terus mengaduk memek Syifa dengan kecepatan penuh. Lalu, dengan geraman panjang Arman menusukkan kontolnya sejauh mungkin ke dalam kemaluan kekasihnya ini. Kedua tangannya mencengkeram payudara Syifa yang padat dan montok dengan kuat diremasnya. Syifa yang masih dibuai gelombang kenikmatan, kembali merasakan sensasi aneh saat bagian dalam memeknya disembur cairan hangat mani dari kontol Arman yang terasa banyak membanjiri liangnya. Syifa kembali merintih mirip suara anak kucing, saat dengan perlahan Arman menarik keluar kontolnya, menyemburlah cairan kenikmatan dari memek Syifa. Beberapa kali semburan.
****
1516Please respect copyright.PENANAqWRm2D6NpB
Syifa berdiri di depan cermin kamar tidurnya, mengenakan gaun sederhana berwarna putih. Cahaya matahari sore yang masuk melalui jendela memantulkan sinar lembut di wajahnya. Di cermin, dia melihat refleksi seorang wanita yang telah berubah—bukan hanya dari luar, tapi juga dari dalam. Di balik ketenangan itu, hatinya bergejolak. Perasaan bimbang, takut, tapi sekaligus penuh tekad memenuhi pikirannya. Hari ini adalah hari yang akan mengubah hidupnya selamanya.
Semua dimulai beberapa bulan yang lalu, saat Syifa akhirnya mengajukan gugatan cerai kepada Burhan. Keputusan itu bukan datang tiba-tiba, melainkan hasil dari proses panjang pergulatan batin. Perasaan cinta yang dulu mereka miliki telah berubah menjadi kehampaan. Setiap kali dia mencoba berbicara dengan Burhan, kata-katanya terasa sia-sia. Burhan mungkin menyadari perubahan dalam pernikahan mereka, tapi dia tidak benar-benar paham apa yang dirasakan Syifa di dalam hatinya.
Selama bertahun-tahun, Syifa merasa seperti bayangan di rumahnya sendiri—terjebak dalam rutinitas yang monoton, jauh dari impian-impian yang pernah dia miliki. Pertemuannya dengan Frans hanyalah titik awal dari keinginannya untuk keluar dari penjara emosional yang dia rasakan. Namun, ini bukan semata soal perselingkuhan fisik. Frans memperkenalkan Syifa pada dunia baru, dunia yang membuatnya merasa hidup kembali. Dan salah satu hal terbesar yang Frans bawa ke dalam hidupnya adalah keyakinan.
Frans adalah seorang Kristiani yang taat. Awalnya, Syifa tidak terlalu peduli dengan keyakinannya, tetapi seiring waktu, pertemuan demi pertemuan mereka dipenuhi dengan diskusi tentang iman, kehidupan, dan pencarian makna. Frans tidak pernah memaksanya, tetapi dari percakapan mereka, Syifa mulai merasakan ketertarikan yang kuat pada ajaran Kristen. Di saat-saat penuh kebingungan dan rasa hampa dalam pernikahannya, ajaran cinta dan pengampunan dalam agama itu memberikan ketenangan yang sudah lama hilang dari hidupnya.
Saat Burhan akhirnya mengetahui hubungan Syifa dengan Frans, dia tidak marah seperti yang Syifa kira. Sebaliknya, Burhan justru menjadi lebih pendiam, lebih introspektif. Mereka berbicara panjang lebar satu malam, di mana Syifa dengan jujur mengungkapkan bahwa hatinya sudah tak lagi bersama Burhan. Dalam percakapan itu, Burhan hanya duduk diam, mendengarkan dengan wajah yang sulit dibaca. Mungkin karena dia sudah tahu jauh sebelum Syifa mengatakannya. Dan di sanalah Syifa, dengan air mata di pipinya, akhirnya mengucapkan kalimat yang paling sulit: “Aku ingin bercerai.”
Keputusan itu menghantam Burhan, tetapi entah bagaimana, dia menerimanya dengan lapang dada. Mungkin dia juga sadar bahwa hubungan mereka tidak bisa diselamatkan lagi. Burhan setuju untuk bercerai, meskipun hatinya masih tertinggal pada Syifa, wanita yang pernah ia cintai dengan sepenuh hati.
Proses perceraian itu tidak berlangsung lama, tetapi rasa sakitnya membekas dalam. Setiap kali Syifa melihat wajah Burhan di ruang pengadilan, matanya dipenuhi penyesalan dan kesedihan. Tetapi, bagi Syifa, ini bukan hanya tentang meninggalkan Burhan; ini tentang mencari dirinya sendiri. Setelah bertahun-tahun terjebak dalam kehidupan yang terasa palsu, Syifa akhirnya merasa inilah saatnya dia hidup sesuai dengan kebenaran yang dia rasakan di dalam hatinya.
Langkah selanjutnya setelah perceraian adalah keputusan besar lainnya: Syifa ingin berpindah agama. Baginya, ini adalah puncak dari perjalanan spiritual yang telah dia mulai sejak bertemu Frans. Ajaran Kristen memberinya ketenangan yang selama ini tidak pernah dia rasakan. Frans membimbingnya, tapi Syifa juga merasa bahwa keputusan ini bukan karena pengaruh Frans semata. Ini adalah perjalanan pribadi. Malam-malam panjang yang dia habiskan dalam doa dan meditasi membuatnya yakin bahwa inilah jalannya.
Hari itu akhirnya tiba. Syifa berdiri di dalam sebuah gereja kecil yang tenang. Salib besar di depan altar tampak bersinar di bawah cahaya lilin-lilin yang menyala lembut di sekeliling ruangan. Frans berada di sisinya, memberikan senyum yang tenang namun mendukung. Pendeta yang berdiri di depannya memandang Syifa dengan kelembutan penuh pengertian. Suara organ pelan-pelan mengisi ruang dengan melodi yang mendamaikan, seolah merayakan kehadiran Syifa di rumah barunya, iman barunya.
Ketika tiba saatnya untuk mengucapkan janji dan menerima pembaptisan, Syifa merasakan sebuah keheningan luar biasa di dalam hatinya. Air suci yang mengalir di kepalanya seakan membasuh semua luka lama, rasa bersalah, dan ketidakpastian. Dia merasa seperti terlahir kembali. Segala rasa ragu yang dulu menghantui hilang seketika. Mata Syifa basah oleh air mata—bukan air mata kesedihan, melainkan air mata kelegaan dan kebahagiaan.
Ketika prosesi selesai, Syifa memandang ke arah pintu gereja. Di sana, berdiri Burhan. Dia tidak pernah menyangka bahwa Burhan akan datang. Wajahnya penuh emosi yang campur aduk—sedikit terluka, sedikit kecewa, tapi juga ada pengertian yang dalam. Mata mereka bertemu dalam diam, dan untuk sesaat, waktu berhenti. Syifa merasa ingin berkata sesuatu, tapi Burhan mengangkat tangannya, seolah berkata, "Aku mengerti."
Dia tersenyum kecil, walaupun terlihat berat. Syifa tahu itu adalah tanda terakhir dari hubungan mereka yang dulu, sebuah perpisahan tanpa kata-kata. Burhan berbalik dan meninggalkan gereja dengan langkah pelan. Syifa menatap punggungnya hingga Burhan menghilang di balik pintu.
Di saat itu, Syifa menyadari, hidupnya yang lama benar-benar telah berakhir. Dan kini, dia melangkah ke kehidupan yang baru—kepercayaan baru, cinta yang baru, dan dirinya yang baru. Meskipun rasa sakit perpisahan masih ada, Syifa tahu bahwa dia telah membuat keputusan yang benar. Dia bukan lagi wanita yang terjebak dalam keraguan dan kehampaan. Dia adalah wanita yang menemukan dirinya, meski harus melalui rasa sakit yang begitu dalam.
Tamat
Nb. Mau baca cerita-cerita genre cinta beda agama bisa di baca di akun semprot elevensange, akun novelkita https://novelkita.online/series/convert-story/
grup telegram https://t.me/adultsexsory 1516Please respect copyright.PENANAcyExSgAZXp
dan akun karyakarsa https://karyakarsa.com/elevensanger
ns 15.158.61.16da2