Yuna duduk di kursi kerjanya, matanya menatap layar komputer yang penuh dengan dokumen-dokumen yang harus dia selesaikan. Tapi pikirannya tidak bisa fokus. Sudah beberapa hari ini, dia merasa semakin sulit mengendalikan hasratnya. Nafsu seksualnya seperti api yang terus membara, dan satu-satunya orang yang bisa memuaskannya adalah Al, bosnya. Tapi Yuna tahu, menharapkan hubungan yang lebih serius dengan Al sama saja dengan mencari masalah besar. Al adalah suami dari tantenya, Rani, dan Yuna sadar betul bahwa posisinya sebagai sekretaris Al tidak lepas dari bantuan Rani.
Tapi logika seringkali kalah dengan nafsu. Yuna sudah tak bisa menghitung berapa kali dia melayani fantasi seks Al yang sepertinya tak pernah habis. Dia ingat betul suatu ketika Al mendekatinya saat dia sedang menggunakan mesin fotokopi. Yuna sedang fokus menggandakan dokumen yang diminta Al, tiba-tiba dia merasakan tangan Al menepuk dan meremas pantatnya. Yuna terkejut, tapi dia tidak berani berteriak atau melawan. Al bahkan tidak segan meremas dadanya dari belakang, membuat Yuna merasa sangat tidak nyaman.
"Bos, tolong jangan..." Yuna berusaha protes, tapi suaranya lemah, hampir seperti bisikan.
Al hanya tertawa kecil. "Santai aja, Yun. Lagian kan kita berdua doang di sini. Siapa yang liat?"
Yuna merasa malu dan marah, tapi dia tidak bisa berbuat banyak. Dia butuh pekerjaan ini, dan dia tahu pendidikan SMA-nya tidak akan cukup untuk mendapatkan posisi yang lebih baik di tempat lain. Yuna hanya bisa menahan diri, mencoba bersikap profesional meski hatinya berontak.
Saat ini, Yuna merasa nafsunya memuncak lagi. Dia tidak tahan, tubuhnya terasa panas dan dia tahu dia butuh pelampiasan. Yuna berdiri dari kursinya, berjalan menuju toilet kantor. Begitu pintu toilet tertutup, Yuna langsung duduk di kloset, tangannya meraba tubuhnya sendiri. Dia mulai masturbasi, mencoba memuaskan hasratnya yang tak tertahankan. Tapi air matanya tak bisa dibendung, mengalir deras di pipinya.
"Kenapa aku seperti ini?" Yuna berbisik pada dirinya sendiri, suaranya gemetar. "Aku cuma pengen kerja dengan tenang, tanpa diganggu. Tapi kenapa aku nggak bisa nolak dia?"
Yuna ingat betul bagaimana Al selalu memanfaatkan situasi untuk mendekatinya dan seringkali membuat Yuna merasa terpojok. "Yun, loe cantik banget sih. Nggak heran kalo gue nggak bisa nahan diri," kata Al suatu kali, sambil matanya mengintip ke dalam blus Yuna yang agak terbuka.
Yuna merasa terjebak. Dia tidak ingin kehilangan pekerjaan ini, tapi dia juga tidak tahan dengan gangguan Al. Dia tahu dia harus melakukan sesuatu, tapi dia tidak tahu harus mulai dari mana. Untuk saat ini, Yuna hanya bisa menangis di dalam toilet, mencoba melampiaskan hasratnya yang tak terkendali sambil berharap suatu hari nanti dia bisa menemukan jalan keluar dari situasi yang menyiksa ini.
Setelah puas, Yuna membersihkan diri dan kembali ke mejanya. Dia mencoba tersenyum, berpura-pura semuanya baik-baik saja. Tapi di dalam hatinya, Yuna tahu dia tidak bisa terus seperti ini. Dia harus menemukan cara untuk melindungi dirinya sendiri, sebelum semuanya menjadi semakin buruk.
ns 15.158.61.11da2