Dia sendiri. Selalu sendiri. Seperti itu di tiap waktu. Di tiap detik detak jantungnya yang tak pernah bergerak sekalipun. Kemanapun langkah kakinya, begitu pula apapun yang dia lakukan.
“Kau kan selalu sendiri.” Dia selalu menelan rasa kepahitan. Timbul senyum dan tawa palsu yang selalu dia pasang sebagai topeng dalam dirinya.
Hari ini pun, dia berjalan dengan perasaan kebohongannya kepada dunia. Berjalan dengan perasaan tenang, seperti sudah biasa terjadi. Menuju kelasnya tanpa rasa takut yang khawatir. Saat melihat bangku kosong yang penuh dengan gadis-gadis riang. Dia pun duduk, bukan paling belakang. Karena itu milik kesepian. Dia berjalan ke arah bangku depan. Yang sering tertutupi oleh dosen yang killer. Setelah memastikan dia tidak sendiri di deretan bangku panjang, dia tenang. Melihat sekeliling. Seperti pengamat professional. Dia belum bertemu teman-teman lainnya selama seminggu ini. Karena perbedaan kelas yang mereka ambil.
Segerombolan di bahu belakang, orang-orang yang jarang ia lihat. Seperti biasa, “Aku tak peduli”. Ujarnya dalam hati. Matanya menangkap sosok yang belum lama ini mengisi hari-hari kosongnya. “Bah! Lihat saja nanti, tak ada perbedaan diantaranya dengan yang lain.” Pikiranya tak terlalu menanggapinya sehingga perkataan itu tak pernah hinggap di hatinya. Hanya keluar ketika saat-saat tertentu.
Menunggu dosen yang telatan, menyebalkan! Dia sudah berpengalaman dalam mengikuti kelas dosen yang selalu membuat mata pandanya kembali tertutup. Bagaimana tidak? Dengan suaranya yang pelan dan materi yang membosankan, juga orang-orang di kelas itu. Tidak memperbaiki suasana. Melihat lagi ke pintu masuk, ah orang itu. Kembali lagi berpaku pada meja hitam.
“Selamat pagi, anak-anak!” entah sudah berapa detk berlalu, muncul suara tak asing. Berdiri di depan kami. Mulai pembelajaran dengan sangat—lambat. Orang itu terus memberikan pembukaan di awal yang panjang. Pagi yang membosankan, membuatnya terbangun. Tapi tidak sebentar, cukup lama sampai detik-detik di mana kesepian kembali merayapinya.
“Kalau begitu, sebelum mengakhiri pembelajaran di pagi ini, bla-bla-bla… Bagaimana kalau kita membentuk kelompok yang nantinya untuk bekerja sama dalam tugas maupun tugas besar. Dengan jumlah 3-4 orang. Nanti, 2 orang termasuk ketua berhak memilih. Jadi, sekarang pilih ketua masing-masing dan ketuanya juga berhak memilih 1 atau 2 orang. Nanti sisanya biar saya random.”
“Bagus!” otak itu kembali memproses kata-kata selanjutnya yang keluar dari mulutnya yang terkunci rapat. “Random saja Bu dari awal, ah! Tentu tidak mungkin…” toh sekarang semua orang di sebelahnya sibuk memperdebatkan siapa yang jadi ketua. Tak perlu diragukan lagi. Pihak kursi belakang sudah punya aliansi sendiri. Tinggal 2 bangku termasuk deretannya. Dia tak perlu menunggu, hanya perlu melihat.
“Aku sama kamu ya?” kata si Mawar, “Iya, tapi aku udah sama Melati.” Kembali si Mawar melempar pertanyaan pada Wina. Wina hanya menganggukan kepala, dan “Bentar deh, mendingan kamu sama Melati.”
“Tapi Melati sudah sama Rannah. Dan kita ga mungkin berdua. Soalnya ntar kan di random.” Ujarnya memelas. “Baiklah, sepertinya aku juga tak mungkin berdua sama Rannah.”
“Gini aja, kita berempat berpisah. Kamu ketuanya Mawar. Biar aku ketuanya. Ya?” dengan mantap seperti berkata “Aku ketuanya, Melati.” Melati yang tersenyum hanya berkata ya. Bereka berempat setuju untuk terbagi menjadi dua kelompok karena pikir nanti di random pula. Dengan begitu mereka bisa berempat.
“Baguslah kalau begitu, tinggal menunggu tangan ibu itu bergerak. Dengan begitu aku pun dengan senang hati…mati di tengah-tengah kebisingan ini.”
Begitulah pikirannya kembali berputar. Dan tak perlu waktu lama. Setelah diskusi yang tak pernah dia ikuti. Dia pulang dengan perasaan kosong. Kambuh lagi, saat waktunya ke kelas berikutnya? Tidak. Kali ini dia lebih santai. Mengingat hanya ada 5 jari kecuali si jempol, yang duduk di kelas dosen yang telah dia bantu beberapa semester yang lalu.
Tak ada yang istimewa, semua berjalan lancer tidak seperti biasanya. Kini, tawa meskipun palsu berhasil dia taruh di wajahnya yang bengkak. Sekalipun dia tak merasakannya, tapi hatinya tergerak untuk tak hanya diam di tempat.
Semua berakhir ketika dia kembali ke kandangnya yang berwarna merah. Dengan tubuh yang direbahkan begitu saja. Dia tak bergerak sama sekali, hanya tangan dan matanya yang berlari hingga telinganya lelah. Dan kemudian, semuanya hadir dalam mimpinya. Begitu tiba pagi harinya. Dia merasa tak perlu lagi menyembunyikan topeng pertamanya. Dia hanya perlu berpura-pura menjadi anak kecil. Dan waktu terus berjalan sampai saat tulisan ini di tulis oleh jemarinya yang baru terbangun usai 48 jam terlelap di atas dipan milik orang yang merasa bahagia dengan pulang ke rumahnya.
Dan begitulah tulisan ini hadir. Entah mungkin kelak dia merasa sanggup untuk menulisnya tanpa berpikir 2 kali lagi. Lebih cepat, lebih berperasaan. Seperti pagi ini, si buta yang selalu membangkitkan tubuhnya yang sudah lemah. Dan terus bersembunyi dengan berganti topeng tiap waktu. Itulah dirinya.
***
ns 15.158.61.12da2