Pagi ini Kang Si-ra bangun pagi dari biasanya. Dengan buru-buru ia keluar dari apartemennya dan keluar dari area tempat tinggalnya. Melebarkan langkahnya agar kakinya cepat menggapai halte bus, ia tak ingin terlambat dihari penting ini. Ia merogoh tas kecilnya dan mengeluarkan cermin kecil sambil menatap bayangan dirinya, ia tersenyum sembari memperlihatkan seyum yang ia buat-buat. Lalu ia kembali merapikan rambutnya. Ia terhentak lalu memasukkan cermin kecilnya kedalam tas lagi, dan ketika pintu bus terbuka ia dengan cepat menghamburkan diri seperti beberapa orang yang menanti sepertinya untuk masuk kedalam bus tersebut.
Kang Si-ra mengeluarkan kartu dari selipan dompetnya dan mulai mengscan kartu tersebut. Lalu setelah ia rasa selesai ia melemparkan senyuman kepada si sopir bus tersebut, “selamat pagi Ahjussi.” Sabil memberi hormat dengan membungkukkan badannya 90 derajat sebuah bentuk kesopanan yang dilakukan yang muda kepada yang tua.
Sopir bis itu mengubah letak kacamatanya dan tertawa kemudian dan tak lupa membalas sapaan anak muda di depannya tersebut, “oh, Agassi, selamat pagi juga.” Senyumnya, “sepertinya kau akan menghadiri sesuatu yang penting,” tebak si sopir itu.
Kang Si-ra melirik bagian dalam bus yang dimana orang saling berdesakan.
“Aku rasa riasanmu akan hancur Agassi, jika saja ada yang macam-macam denganmu kau bisa berteriak padaku.” Saran si sopir itu yang merupakan teman baik Ayahnya di Busan.
Sekali lagi Kang Si-ra membungkuk, “terima kasih atas perhatian anda Ahjussi.” Katanya.
“Oh, iyya satu lagi.” Kata si sopir dan membuat Kang Si-ra kembali menoleh. “jangan malas mengangkat telpon dari Ayahmu, kau tahu Tuan Kang sangat-sangat mencemaskanmu.”
“Aku akan menghubunginya jika segala urusanku telah selesai.” Timpal Si-ra untuk meyakinkan si sopir bus tersebut. Lalu ia melangkah masuk kedalam bus, sambil berharap agar ia menemukan tempat yang baik atapun posisi yang baik.
Benar kata Ahjussi itu sepertinya riasannya yang ia rapikan sedemikian rupa pada akhirnya mungkin akan berantakan. Ia menghela nafas singkat dan menuju ke satu tempat yang dirasa aman, walaupun sebenarnya itu bukanlah tempat yang baik. Sama sekali tidak ada tempat untuk duduk, ataupun ia tak mendapatkan handel grip agar bisa menahan dirinya jika sewaktu-waktu terjadi goncangan.
Kang Si-ra yang memiliki tinggi 165cm dan berat tidak seberapa harus pasrah ketika dirinya diapit oleh satu wanita bertubuh gemuk dan di samping dan belakangnya adalah seorang laki-laki yang wajahnya agak menakutkan. Si-ra menoleh kebelakang alih-alih untuk memeriksakan diri ataupun mengecek jika pria yang ada di belakangnya tidak macam-macam padanya. Ia tak ingin dipagi ini moodnya hancur karena perlakuan yang tidak baik oleh lelaki hidung belang.
Ia menepis pikiran buruknya itu. Tapi tungggu, Si-ra perlahan diam keningnya mengerut perasaan apa yang dirasakannya ini. Ia menelan ludah susah payah, perasaannya tidak salah bukan? Jika saat ini ia merasakan bokongnya seperti di raba-raba, menjijikkan. Keringat dingin dikening Si-ra mulai timbul secara perlahan. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Haruskah ia minta diturunkan di sini juga tapi itu tidak mungkin, lalu apakah ia harus berteriak kepada teman Ayahnya? Itupun tidak mungkin. “Mungkin hanya perasaanku.” Lirihnya pada diri sendiri.
Kang Si-ra kembali merasakan jika ia benar-benar dilecehkan. Dengan cepat ia menoleh dan mendapati seorang pria kurus dengan wajah mesum sedang memandanginya. “Bisakah anda tidak melakukan hal itu, itu sangat menjijikkan aku bisa saja melaporkanmu kepada polisi.” Ketus Si-ra naik pitam, wajahnya yang putih terlihat memerah yang pertanda ia benar-benar marah.
Lalu sekelabat matapun mulai tertuju padanya, entah kenapa nyalinya mulai turun lagi. Apa yang harus ia lalukan bukan ini yang ia inginkan, membuat semua orang melihatnya dan bahkan dari tempat ia berdiam ia melihat beberapa orang mulai bergosip sambil meliriknya, lalu ia tak ingin jika ia masuk kedalam internet dengan caption yang aneh-aneh itu yang ia takutkan. Apa yang harus ia lakukan?
“Oh, jadi kau menuduhku jika aku melecehkanmu Agassi?” lirik pria yang kurus itu pada Kang Si-ra yang terlihat mematung dan terpojok. “bukan kah begitu?” tambahnya. Suara pria kurus itu sengaja ditinggikan agar orang mengalihkan perhatiannya kepada mereka. Lalu pria ini tersenyum picik.
Kang Si-ra memilih mengalah sambil berbalik badan, ia memajukan dirinya sambil mengatur jarak dirinya berdiri dengan orang yang duduk di depannya. Ia perlahan menurunkan roknya yang diatas lutut dan memeluk erat tasnya, harusnya ia tidak memilih bus sebagai transportasinya hari ini. Ia sangat-sangat menyesal, dan jika diingat-ingat ia sama sekali tak pernah memakai rok pendek jika naik bus umum, “ah, sial” desis si-ra di dalam hati.
“Oh, tidak. Jangan lagi,” sahut Si-ra di dalam hati, ia kembali merasa jika ia disentuh. Dengan berat hati Kang si-ra memajukan dirinya hingga membuat lutut orang yang tertidur di kursi tepat di depannya bersentuhan dengan dirinya. ia merasa jika ia bagaikan telur di ujung tanduk. Di sisi lain ia tak ingin dilecehkan dan di sisi lain ia tak ingin mengganggu orang yang tertidur pulas di depannya. Kang Si-ra menahan diri sembari mengatur nafasnya dan menahan kekesalannya, ia menutup mata sampai tiba-tiba ia merasakan wajahnya berbenturan dengan sesuatu yang bidang tetapi sama sekali tak merasakan sakit di keningnya. Apa yang baru saja ia darati?
Bus yang berhenti tiba-tiba mebuat dirinya dan seisi bus menjadi terdorong ke depan mereka masing-masing. Kang Si-ra tak bisa dan takkan berani membuka matanya sebab ia takut jika apa yang ia darati itu adalah orang, apalagi hidungnya bisa menangkap bebauan parfum yang beraroma blackbarry serta bay, bebauan seperti jus buah tetapi sangat maskulin dan memikat.
****
“Bagaimanapun kau harus menggantikan Ayahmu.” Kata seorang wanita paruh baya kepada anak sulungnya. Yang tiba tiga minggu yang lalu dari London. Ia mengangkat cangkir bening yang berisi teh melati dan menyesapnya pelan. “Aku tak memiliki pilihan lain.” Katanya lagi sambil meletakkan gelas bening itu diatas piringannya.
Anak laki-lakinya itu menyandarkan punggungnya dan mendesah pelan pertanda ia tak menerima rencana ibunya itu, “kenapa harus aku?” pintanya, “bagaimana dengan Hyung? Hyungkan berpengalaman daripada aku”
“Min Yoon-gi, Hyungmu sibuk akhir-akhir ini dan lagian dia juga telah mengatasi satu induk perusahaan dan tiga anak perusahaan ayahmu, dan kamu hanya harus mengatasi satu induk toko permen yang ditinggalkan Ayahmu.
“Ibu,” tatap Min Yoon-gi, “bukannya aku menolak permintaanmu dan wasiat Ayah, tetapi apakah masuk akal jika sarja musik menangani toko permen yang sama sekali tidak menyukai permen?”
“Hyungmu sarjana kedokteran ahli dalam dan dia bisa mengambil alih situasi, kenapa kamu tidak?”
“Astaga ibu...” gumamnya lagi, “kenapa ibu tidak menjual saja toko itu atau kenapa ibu tidak menyerahkan saja kepada wakil direktur? Lagian toko itu sudah kekanak-kanakan.”
“Ibu bisa saja menyuruh Hyungmu menjual perusahaan lainnya dan tidak untuk toko itu atau lepas tangan dari perusahaan permen itu, tapi kamu harus tahu bagi Ayahmu toko itu sangat berarti untuknya.” Ucap Ibunya tanpa membalas tatapan Min Yoon-gi yang sejak tadi sama sekali tak menerima keinginannya.
Sebenarnya jika ia diajak bernostalgia ataupun menyebut suaminya ia sangat merasakan dadanya sesak dan menahan diri untuk tak menangis, dan ketika ia mengatakan jika toko permen suaminya berarti dari apapun ia sangat merasakan detakan jantungnya berdebar lebih cepat. Perlahan pandangannya diarahkan keluar jendela yang tak jauh dimana tempat ia dan Min Yoon-gi duduk sambil ditemani teh melati kesukaannya, ia demikian agar anak sulungnya tak melihat raut wajahnya yang dirasanya agak memanas mana kala matanya mulai dirasa berembun. Ia sangat merindukan suaminya. Suaminya yang merupakan cinta pertamanya sekaligus cinta terakhir dalam hidupnya. Tempat ia bersandar ketika kepenatan melandanya dan tempat ia menerima segala kasih dan cinta yang tak pernah ia rasakan. Suaminya yang menjadikan ia dewasa dan selalu bersikap tegar apapun itu dan suaminya yang menjadi tempat ia bergantung. Semuanya sudah tertinggal kenangan yang membekas di memorynya dan sebuah foto yang sama sekali tidak akan pernah memeluknya ataupun memberikan saran kepadanya. Min Yong-sun, suaminya telah pergi untuk selamanya sejak tiga minggu yang lalu dikarenakan suatu penyakit.
Kepergian suaminya bukan saja membuatnya terpuruk melainkan membuat harta warisan yang terbengkalai. Dan kali ini anak bungsunya tak ingin mempertanggung jawabkan peninggalan ayahnya, dan ia tak tahu harus bagaimana jika saja ia bsa terhubung dengan suaminya pasti suaminya akan memberikan masukan bijak padanya. Sebenarnya ia bisa saja mengambil alih toko kesayangan suaminya itu tetapi anak bungsunya agak tidak menginginkan ia bekerja dan merasa terbebani ditambah kesehatannya dirasa sangat menurun.
Min yoon-gi menyesap teh yang dituangkan ibunya tadi padanya, “Baiklah.” Putusnya. “Aku akan menangani toko itu untuk ibu. Tapi aku hanya bisa menanganinya selama 5 bulan setelah itu aku akan kembali ke London untuk melanjutkan proyekku dan studyku.”
Shim Chae-rin tersenyum hangat kepada putra keduanya, “semoga keputusanmu membuahkan hasil yang baik.” Perlahan ia melanjutkan menyesap tehnya dan meletakkannya lagi diatas piringan, “setelah itu aku akan lepas alih dan menyuruh wakil perusahaan untuk menanganinya atau aku akan melepas toko itu degan sukarela.”
Min Yoon-gi mengerutan keningnya. Ia mencerna ucapan ibunya yang mengatakan akan melepas toko kesayangan ayahnya padahal tadi ia mengatakan jika ia rela menjual perusahaan lain kecuali toko itu. “Bukannya ibu bilang kalo toko permen yang di tinggalkan Ayah sangat berarti bagimu?”
Wanita itu menatap anaknya, “karena kamu sudah mengambil keputusanmu itu maka semuanya kuserahkan padamu dan menjadi milikmu. Dan aku rasa 5 bulan sudah cukup untukku menjaga tempat kesayangan Ayahmu itu. Karena aku yakin daripada rumah ini mungkin ayahmu lebih memilih berdiam disana selagi menjadi ruh 4 bulan lamanya. Dan aku harus mencoba mengikhlaskannya.” Jawab wanita itu dengan senyum dan mencoba menegarkan diri sendiri dan meyakinkan Min yoon-gi bahwa ia tidak apa-apa. “Kurasa semuanya sudah rampung.” Wanita itu berdiri dari duduknya, “besok adalah hari dimana tes akhir penerimaan karyawan baru dan besok kamu harus kesana agar para karyawanmu tahu siapa atasan baru mereka dan wakil direktur toko permen itu adalah teman Hyungmu dan aku rasa kalian saling kenal, dia bisa membantumu.” Jelas ibunya, “baik-baiklah padanya.” Pesan wanita itu lalu iapun pergi berlalu dari hadapan anaknya.
Melihat ibunya seperti demikian membuat ia merasa bersalah atas penolakan kerasnya waktu diawal. Tetapi ia bisa apa ketika hatinya sama sekali tidak menerima sesuatu yang sama sekali tidak sejalan dengan hatinya, dan mungkin Ibunya tau mengenai sikap kerasnya ini.
Min Yong-gi adalah anak kedua dari pasangan Shim Chae-rin dan Min Yong-sun. Dan kakak laki-lakinya bernama Min Yeon-seok. Ia sebentar lagi akan menjadi sarjana musik disebuah universitas musik ternama di London. Ia adalah mahasiswa yang berpengaruh di perkampusannya tak ada yang tidak tahu siapa Min Yong-gi. Berkat ketenaran Min Yoon-gi, ia kadangkala dipilih untuk menciptakan beberapa lagu dan musik dari beberapa lebel musik di Eropa dan Amerika. Ia pernah mendapat tawaran kerja sama dengan seorang artis pencipta lagu yang sangat terkenal. Dan alasannya untuk kembali lagi ke London ialah ingin melanjutkan proyeknya dan menyelesaikan studynya.
Karena sikap Min Yoon-gi yang dingin dan jenius maka ia kadangkala susah untuk mendapatkan teman, bagaimana tidak, entah kenapa ia tidak ingin berteman dengan orang yang jiwa musiknya rendah. Maka dari itu di London ia kadangkala di sebut sebagai lelaki sombong tetapi beberapa orang ia dikenal sebagai lelaki memikat di kalangan gadis-gadis.
Sepeninggalan Ayahnya ia sebenarnya sangat-sangat terpukul namun karena ia tak ingin membuat orang lain cemas kepadanya, dengan cara apupun ia dapat menutupi kesedihannya.
*****
ns 15.158.61.6da2