483Please respect copyright.PENANAH8gkgLvJyF
Malam itu keramaian mulai terasa. Pribadi itu pun mulai terasah. Kekhawatiran juga ikut mengambil bagian dalam kisahnya, juga imajinasi. Dia yang lebih suka hidup dalam imajinasi. Dunia nyata dijadikan hanya sebatas pelajaran dan pengalaman untuk dibawa ke alam nya. Alam mimpi dan imajinasinya.
Dia berusaha membaur dengan riuhnya suasana. Terlihat memang dia telah berbaur dengan baik. Tapi dia belum berdamai dengan alam yang selalu dibawanya setiap saat. Dia mulai mendengarkan banyak cerita yang membuat gadis 21 tahun itu seperti tak tahu apa-apa tentang usia nya. Usia yang secara teori dan psikologi sudah cukup dalam merasakan semua pengalaman-pengalaman itu. Nyatanya tidak. Dia hanya mendengar, kemudian membayangkannya dalam alamnya. Alam imajinasi dengan visual yg dibuatnya sendiri. Lebih dramatis, jelas, penuh kebahagiaan, kadang kesedihan dan humor. Tak lantas ia lebih sering banyak berfikir, menghayal, suka kesendirian.
Terkadang ia menempatkan dirinya dikeramaian dan melanjutkan aktivitas sendiri. Lebih banyak mendengarkan, mengamati, menganalisis tingkah orang-orang sekitarnya. Mengarungi cerita-cerita mereka untuk membayangkan apa yang akan terjadi padanya dikemudian hari. Mengamati mereka-mereka yang kata orang pria baik-baik, wanita ceria, anak komunitas, perempuan karismatik (kata orang).
'Kata orang' membuatnya tergangu. Orang-oranga banyak bercerita pengalamannya dan seakan langsung menilai pengalaman itu adalah yang paling benar faktanya. Dia tak menolak itu, tak juga menerimanya. Yang ada hanya tanda tanya. Menunggu untuk dikonfirmasi. Namun kadang hanya sekedar mengajak bercanda di tempat yang sama. Dia tertawa. Tertawa diatas sesuatu yang tentu saja tidak lucu. Dia tak banyak dipahami dan tak pula banyak memahami. Kadang tak mau tahu. Aneh memang. Dia juga menganggap dirinya begitu. Dia tak terlalu naif untuk mengakuinya. Tak pula sombong karenanya. Hanya saja dia berada di dunia yang nyata. Dunia yang tak seperti apa yg dibayangkan. Dunia yang tak bisa diaturnya. Hanya bisa berharap bahwa suatu saat dia akan mengerti dan dimengerti.
Sore itu dia melakukan aktivitas seperti biasa. Berkelompok dan bekerjasama. Nalurinya tak padam dalam dentuman yang mungkin akan terjadi. Sejak tiga hari yang lalu, ia sungguh penasaran dengan sosok seorang pria. Terlihat berwibawa memang, namun pria itu merokok. Suatu perbuatan yang tak disukainya. Namun tak lantas menutup pandangannya terhadap pria itu. "Dia memiliki sesuatu yang berbeda". Suara desiran itu terbesit dihatinya. Mulai menciptakan sebuah alur cerita dialam imajinasinya. Cerita yang cukup panjang hanya dengan sebuah pertemuan tanpa pendekatan.
Dia tahu bahwa perasaan itu hanya sekedar ingin tahu. Tak akan berharap lebih. Tidak akan pernah. Dia tahu apa yang harus dilakukan. Berjalan sendiri membuatnya lebih kuat. Dia memang memiliki banyak teman. Namun dia tak cukup bisa mempercayai. Hanya ada satu orang yang dipercayainya. Hanya satu dan tak ingin ditambah nya. Hatinya mudah terketuk, dia sangat sensitif terhadap suatu perasaan. Namun, dia menolak untuk mengetahui itu, lantas diabaikan dan terkadang dibuangnya.
Tak ayal, dia tak pandai mengingat sesuatu. Hadangan memori ciptaanya yang kadang menyusahkan dirinya sendiri untuk mengingat. Dia memilih untuk mengingat sesuatu yang lebih bisa dipikirkan dengan baik dan rasional. Tanpa telalu banyak melibatkan perasaan yang menurutnya itu sangat menyusahkan dan merepotkan. Yang membuat hal mudah menjadi sulit, "baik-baik saja" menjadi "tidak baik-baik saja", "Tak apa-apa" menjadi suatu masalah.
Tapi begitulah, fakta yang sebenarnya yang tak ia inginkan. Menjadi bagian dari dunia yang sudah biasa dengan hal seperti kaum hawa menanggung doktrin bahwa mereka adalah sosok yang suka lebih menggunakan perasaan dan lebih mudah tersakiti. Sedangkan kaum adam adalah sosok yang kuat, yang tak tertebak bujuknya, bisa membahayakan, bisa menyakitkan, bisa sebagai pelindung dan imam tentunya. "Sayang, di zaman seperti ini apa masih ada yg seperti di dalam bayanganku ? Dalam imajinasiku? Dalam mimpiku ?" Ucapnya dalam diam.
Dia tahu bahwa semua yg dianggapnya tak sepenuhnya salah maupun benar. Dia hanya ingin mencari pembenaran. Akhirnya pikiran rasionalnya bekerja mengenyampingkan perasaannya.
"Perasaan itu kadang menipu. Tak sepenuhnya datang dariku. Bisa jadi dari iblis yang senantiasa membisikkan ku bujuk rayu manis 1x24 jam setiap harinya." Gumamnya. Aura dingin seakan keluar darinya. Sangat dingin bahkan sampai tak mengizinkan cahaya matahari menghangatkan nya. Dia takut, kehangatan itu yang akan menjebaknya. Ketakutan yang beralasan, kejelasannya sungguh sangat jelas.
"Kamu setuju tidak ?" Tanyanya padaku. Aku tertegun. Sebagai orang yang begitu visioner, aku percaya bahwa setiap kesalahan itu perlu kita alami. Setiap orang pernah tersakiti, tapi itu bukan alasan untuk tidak membuka diri terhadap dunia. Aku hanya diam mendengar pertanyaan itu.
Lantas dia melempar pertanyaan lagi "Kamu juga pernah perasakan apa yang kurasakan. Kamu juga mengerti apa yang aku maksudkan. Sementara yang lain tidak. Aku tidak yakin kalau hal yang sama tidak akan terulang. Kau ingat tidak masa2 kita merasakan kesedihan? Bukankan itu akan terus terulang jika kita menggunakan perasaan yang sama dalam menghadapi hal yang berbeda. Aku memilih ini dan kau juga. Apa masih ragu ?" Seruannya itu aku iyakan. Pikiranku semakin liar tak terarah, semua pernyataan itu kubenarkan. Namun masih ragu. "Iya. Aku masih ragu."
Jiwa dingin itu tak memberiku kesempatan lagi. "Sudah. Toh, perasaan ini siapa yang menciptakannya? Kamu kan?! Kita!! Kamu adalah aku dan aku adalah kamu. Kita satu. Bisakan kau berhenti memperdebatkan ini? Kita perlu fokus ke tujuan."
Kali ini aku hanya menaggapinya singkat. "Benar. Kau adalah aku dan aku adalah kau. Tapi jujur, tidakkah kau merindukan matahari ?"
To be continued
ns 15.158.61.46da2