Prolog
Hujan selalu membawa mu pada ku. Meneduhkan yang sedari tadi bergemuruh riuh di pikiranku. Bagaimana jadinya bila hujan berikutnya tak ada kamu?
Begitu banyak ‘bagaimana’ untuk dapat dijawab satu persatu. Aku begitu khawatir akan hal yang sebenarnya belum tentu menakutkan. Semuanya menjadi mengkhawatirkan bila soal kamu pergi. Menjadi hal yang menakutkan bila soal tak ada kamu.
-
Sudah lima belas menit aku berdiri di pinggir gerbang kampus untuk sejenak meneduh. Biasanya aku pergi ke taman untuk sekadar duduk-duduk di bangku kayu bercat putih, namun tanah becek menahanku untuk tidak ke sana, waspada jas lab ku kotor. Banyak orang yang lalu-lalang, datang dan pergi, berlari terburu menginjak genangan yang airnya merebak kemana-mana. Orang-orang itu didominasi oleh mahasiswa tingkat akhir yang membawa tumpukan revisi skripsi dibaluti almamater guna melindunginya dari rintik.
Mas : tunggu ya, lampu merah macet.
Kabarnya turun beriringan dengan hujan yang semakin menjadi. Bajuku sudah separuh basah, sedang jika aku kembali ke dalam tak menjamin basahnya mengering. Dingin perlahan menyusup ke dalam balutan kemeja hitam, menggerogoti lapisan epidermisku. Aku masih mematung sendirian, sesekali mengecek ponsel menunggu kabarnya lagi.
Aya : mas posisi dimana ?
Mas : sebentar lagi. Depan toko akong.
Toko akong, sebuah toko buku tua yang jaraknya sekitar dua kilometer dari kampusku. Penjualnya sudah paruh baya, namanya Koh Akong, cindo muslim yang kini tinggal hanya berdua dengan istrinya. Anaknya merantau ke Negeri Jiran, bekerja sebagai karyawan swasta di sebuah perusahaan ternama di sana. Di toko ini, beliau masih menjual buku-buku yang sudah tak dijumpai di pasaran. Aku kerap beberapa kali ke sana untuk membeli koleksi novel ciptaan Handayani Sintia, penulis lawas yang karyanya dapat membuat siapapun jatuh cinta pada dunianya. Dunia yang disebut surga oleh seorang pengidap skizofrenia yang kini sudah genap 20 tahun meninggalkan orang-orang yang mencintainya akibat kecelakaan beruntun.
Panggilan masuk memecah lamunanku yang sedari tadi tertuju pada trotoar yang ramai oleh para penyebrang jalan. Panggilan masuk itu hadir dari seseorang yang sejak tiga tahun silam masih konsisten membuatku berdebar bahkan untuk sekadar mengangkat panggilannya.
“halo..” suara paraunya membuat kedap bising klakson motor di jalan.
“halo, sudah sampai?”
“lihat arah jam sembilan,” ia membuka jendela mobilnya sembari melambaikan tangan malu-malu.
Senyumku melengkung sempurna dibuatnya, membuat semi seketika. Genangan yang sedari tadi ku hindari, akhirnya ku pijak saking terburunya. Sudah satu caturwulan kami tak bersua. Akhirnya aku kembali ke sebuah dekapan terhangat yang pernah ada. Jalanan dua arah yang membatu seperti sengaja memberikan kesempatan untukku memecahkan bendungan rindu yang sudah lama diisi. Ia mengelus pelan rambut lepekku yang terurai berantakan karena berlari dan terkena air hujan. Ia masih seperti dulu, hanya saja, kini ia memakai kemeja cokelat, bukan hoodie hitam polos kebanggaannya itu. Harum yang sudah bersahabat dengan indera penciumanku benar-benar membuatku hanyut tak mau diselamatkan.
“masih lama? Sudah jalan yang depan,” guraunya sambil menjauhkan tubuh yang masih ku lingkari.
Aku hanya membalas dengan tawa kecil. Betapa bahagianya aku sore ini. Sengaja kami pamerkan semi, membuat mendung akhirnya mengalah dan kembali menghadirkan terang. Percakapan yang sudah berganti topik beberapa kali ini masih tak ada habisnya. Kami menikmatinya seakan hari esok tidak pernah ada. Kami menyudahi obrolan di topik ‘dosen galak yang sering lupa membawa kacamata bacanya’. Kami sampai di sebuah restoran cepat saji di daerah Jakarta selatan. Kami berusaha memutar kembali apa yang sebelumnya kami lewati bersama. Dapat dibilang, tempat ini menjadi saksi bisu kisah kami. Di tempat ini pertama kali aku mendedikasikan diri untuk membuka hati pada seorang pengelana hati perempuan yang katanya ingin mencoba menjadi lelaki yang lebih baik. Bagaimana ya akhirnya jika saat itu aku tak mengiyakannya karena rasa iba dan panik. Mungkin hari ini aku akan tetap menunggu di kelas, menanti ojek online datang membawakan helm hijaunya. Atau mungkin aku sedang duduk di taksi burung biru untuk pulang ke rumah. Aku ingin berterima kasih pada diriku tiga tahun yang lalu karena memilih untuk menerimanya.
Tempat ini belum berubah. Berdiri kokoh dengan dua lantai. Lantai pertama didominasi oleh keluarga yang menghabiskan waktu bersama, sedangkan lantai dua dihuni oleh remaja-remaja yang kebanyakan masih berseragam putih abu-abu. Saat itu kami pun juga menempati lantai dua ini. Kami melanjutkan obrolan yang tadi terjeda sambil menunggu pesanan datang, menu favorit kami, paket hemat berdua. Ia menceritakan bagaimana hebatnya ia yang kini dikelilingi orang-orang terkenal yang mahir menghitung berdigit-digit uang di lembaga negeri. Ia juga bercerita bagaima ia hampir pusing tak kepayang karena kesulitan membagi waktu untuk kuliah, organisasi dan mengurus bisnis kecil-kecilannya di sana. Ia pernah hampir dua minggu tidak membersihkan kamar indekosnya karena sibuk. Namun yang membuatku amat terpukau adalah caranya menyempatkan diri mengabariku disela kesibukannya itu. Seperti saat ia mengabari hari ini akan kemana atau hari ini makan apa. Hal sederhana yang selalu membuatku merasa begitu berarti. Bagaimana ia mewarnai hariku meski raganya berjarak, menepis semua keraguan yang sedari awal kepergiannya menghantuiku setiap malam. Ia berhasil meyakinkanku bahwa jarak bukan lah alasan untuk menyelesaikan apa yang sudah ada, meretakkan apa yang sebelumnya utuh.
Kulihat tangannya kini menjadi keras dan berurat. Nampaknya ia makin rajin berolahraga di sana. Rambutnya juga semakin urakan, membuat citra kemeja yang rapih tak ada harga dirinya lagi. Akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke tukang potong rambut di ujung jalan. Tempatnya tak terlalu besar. Bukan untuk menghindari harga yang lebih mahal, namun sepi menjadi alasan utama kami memilihnya. Malas menunggu masih melekat di dirinya hingga kini. Ku amati dari jauh ia. Wajahnya tegas dan matanya tajam. Postur tubuhnya tegap dan berbidang. Ah, aku benar-benar jatuh cinta padanya. Ia menunduk saat sadar aku mengamatinya dengan teliti.
“kamu ngapain ngeliatin aku tadi?” tanya nya sambil membukakan pintu untukku.
“nggak apa. Suka aja,”
“nggak suka banget aja?” negonya menggemaskan.
“iya, suka bangetttt,” Jawab ku goyah mengakui.
Kami mengakhiri perjalan hari ini dengan mengitari daerah Senayan yang padat merayap, kemudian pulang. Ia mampir untuk sekadar bertemu dengan mama. Salim dan berbasa-basi bertanya kabar seputar Jojo, kucing kampung yang dianggap sebagai adikku. Selain aku, mama juga dibuatnya antusias dengan cerita-cerita menyenangkannya itu. Ia benar-benar karya Tuhan yang begitu hebat. Mengenalnya sejak lama membuatku yakin bahwa ia lah rumahku. Memilih untuk bersamanya adalah suatu kesempatan yang paling langka, rasanya hoki seumur hidupku sudah aku pakai.
Akupun tersanjung pada setiap tuturnya yang seperti mantra ajaib, yang selalu terwujud dan berhasil. Jatuh dan keluhnya yang tak pernah aku ketahui ia tutup rapat untuk membuktikan bahwa ia mampu melebihi siapapun. Aku sudah meyakinkannya tak akan pergi meski ia menunjukkan sesekali bahwa ia juga dapat lelah dan tak bisa. Namun ia selalu berusaha membuktikannya padaku. Melisiskan semua kekhawatiranku terhadapnya.
Ia akhirnya pamit setelah satu jam setengah berbincang dengan mama di ruang tamu. Tawaran kopi hitam menjadi trik andalan untuk menahannya berlama-lama di sini. Ia benar-benar payah untuk menolak tawaran mama soal kopi hitam. Namun jam sudah menunjukan pukul dua belas malam. Untuk sampai ke rumahnya membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit. Jadi ku paksa berhenti, khawatir ia lelah karena separuh hari pergi bersamaku. Untung, ia orang yang penurut.
“aku pulang ya,”
“rumahmu kan di sini?”
“nanti kita bangun rumah sama-sama ya, ngga enak numpang sama mama mu,”
“ih, maksudnya aku rumahmu,”
“tapi ajakanku yang tadi serius,”
“ah masih lama, sudah sana pulang,”
“katanya kamu rumahku, artinya aku sudah pulang,”
Aku terdiam kalah argumen. Sepuluh detik. Lima belas detik. Tiba-tiba ia memelukku erat. Seperti merasa rugi jika sekian detik dihabiskan hanya untuk sekedar berdiam diri. Ku balas melingkarkan tanganku. Tubuhku yang mungil membuatnya terpaksa merendahkan tubuhnya. Ia masih bertahan dengan lingkar yang sengaja ku eratkan. Namun akhirnya lepas juga karena mulai sulit bernapas.
“sudah, hati-hati ya,” ucapku tak rela.
“iya, kamu istirahat ya. Maaf kalo hari ini kamu jadi capek,”
“aku seneng kalo capeknya sama kamu,”
“yasudah besok kita nguli proyek ya,”
“tapi bayaran ku mahal lho, besok juga ada praktik,”
Setelah basa-basi yang tak ada habisnya, ia akhirnya memutuskan untuk pulang. Meninggalkan jejak di kening dan bibirku. Mengakhiri hari kamis dengan amat manis. Sesuatu yang sudah lama aku rindukan, akhirnya kembali. Aku tak sabar untuk menyambut hari-hari berikutnya. Menghabiskan waktu dengannya seperti akan mati esok. Aku bahagia sekali, terima kasih ya, Mas Daru.
-
Paginya badanku benar-benar segar. Suasana hatiku amat baik karena menerima pesan ‘selamat pagi’ darinya. Mengawali hari dengan sedikit olahraga kemudian bersiap untuk berangkat ke kampus. Hari ini adalah jadwalku untuk praktik di lab. Aku berangkat naik bus transjakarta dari arah rumah sakit harapan bunda. Butuh sekitar dua puluh menit untuk sampai ke kampus. Di perjalanan, aku teringat untuk mengirim pesan ke rekan praktikku, Risa Amanda, yang nantinya akan bertukar sampel darah denganku.
Aya : Ris, jangan lupa lembar laporan minggu kemarin dibawa.
Risa : Oh iya! Untung kamu ingatkan.
Meski memiliki otak super jenius, Risa termasuk golongan orang yang ceroboh. Bahkan ia bisa lupa meletakkan kacamata yang ternyata ada di atas kepalanya sendiri. Ia tinggal di indekos dekat kampus, padahal rumahnya masih di daerah Jakarta. Katanya agar mudah pulang dan pergi, wajar saja ia adalah badan pengurus harian BEM di kampus. Jadwalnya amat padat sepadat batu. Hebatnya nilai praktiknya selalu aman dan tak pernah mengulang. Risa adalah satu-satunya teman dekatku di kampus. Sifat protektifnya entah mengapa membuat kami menjadi akrab.
Tak terasa bus transjakarta ini melaju begitu cepat. Sudah sampai langkahku di kampus yang gedungnya macam rumah susun. Terbangun dengan cat cokelat susu dan hiasan batuan hitam di pinggirnya, membuat kesan kuno nan estetik. Gedung fakultasku lumayan jauh dari pintu masuk, letaknya di samping perpustakaan dan berhadapan dengan aula Badianto, tempat berkumpul mahkluk-makhluk sibuk untuk membahas problematika dunia perkampusan.
Ku lihat Risa sudah duduk manis di bangku baris ke-empat dekat jendela. Kami memang biasa duduk bersebelahan, namun seleranya amat bertolak belakang karena aku tak suka terang, sedang duduk di dekat jendela adalah alternatif akses cahaya masuk. Namun lambat laun aku menjadi terbiasa dan tak masalah akan hal itu. Membuat Risa belajar dengan nyaman menjadi salah satu bahasa cintaku padanya. Halah, Bahasa cinta.
Sudah separuh hari kami menghabiskan waktu di lab, hampir mati membeku karena pendingin ruangan yang baru saja diservis. Untungnya praktik hari ini berjalan dengan lancar. Semangatku mendadak membara karena kelas telah berakhir, sebuah pertanda bahwa aku akan masuk ke jam-jam dimana aku akan bermusim semi. Ku buka ponsel kuno yang masih ku pakai hingga sekarang, ponsel kuat yang tahan pancaroba dan marabahaya.
Aya : Mas…. Aku sudah selasai kelas!
Mas : iya-iya, aku jemput sebentar lagi.
Selagi menunggu ia sampai, aku mencari beberapa destinasi perjalanan selanjutnya. Pikatku jatuh pada sebuah tempat dimana air amat tenang dengan jembatan kayu di atasnya. Jelas sekali terekam diingatanku betapa ia jatuh cinta pada laut luas. Namun bagiku lautan adalah tempat yang amat menakutkan. Gelap dan tak ada jalan kembali, semakin dalam laut semakin mustahil kata ‘kembali’.
Aku memiliki trauma yang cukup besar akan laut lepas. Kakak ku, Kadika Paraswira, menjadi salah satu dari dua ratus orang yang tenggelam di selat bali pada januari 2004 silam. Tanggung jawabnya kepada Negeri membuatnya harus pergi amat jauh tanpa berpamitan terlebih dahulu. Cecenguk yang tidak sopan karena membuat mama seminggu penuh tidak nafsu makan, bahkan mama sampai menolak untuk makan mie ayam Budeh Asih, makanan favoritnya sepanjang masa. Papa yang berusaha tegar sudah bersiap diri dari lama soal konsekuensi suatu hari akan kehilangannya. Ia sudah ikhlas bahkan sejak pertama kali melepasnya untuk karatina pasca seleksi. Sedang aku, terus mencoba mengisi kekosongan tempat si anak sulung untuk terus mewarnai rumah yang kala itu amat redup. Menghidupkan kembali yang ikut mati seperti dirinya. Perlahan traumaku akan laut hilang, berubah menjadi cinta karena seseorang yang amat ku cinta juga mencintainya. Seseorang itu meyakinkan ku bahwa laut bukan membawa kakakku pergi, namun menjaganya dengan begitu aman di bawah sana. Memeluknya dari sakit dan sulit di atas sini.
Lamunanku dipecah dering ponsel, memperlihatkan panggilan masuk dari seseorang yang tadi ku ceritakan membuatku ikut jatuh cinta pada laut.
“lima menit lagi sampai,” ucapnya singkat. Sedikit terdengar lagu lawas milik chrisye samar-samar.
“aku ke depan gerbang sekarang ya,” jawabku bergegas.
Saat aku sampai di depan gerbang, ternyata ia sudah sampai terlebih dahulu. Ku hampiri mobil hitamnya yang parkir di depan gerbang, namun tak ada siapapun di dalamnya. Kemana anak ini? Baru saja ingin ku hubungi, ku lihat ia sedang berlari kecil dari arah barat daya, membawa sekantung plastik kue rangi dan bakpau.
“hey maaf ya, tadi aku lihat ada yang jualan ini di sana, kesukaanmu,” ucapnya agak terengah-engah.
Senyumku melambung tinggi dibuatnya, ia masih mengingat hal kecil tentangku, soal kesukaanku.
“terima kasih banyak sayang.. hihi,”
“itu hanya kue rangi dan bakpau,”
“kalau kamu yang kasih, itu nggak cuma ‘hanya’,”
Telinganya menjadi merah kalau malu. Wajahnya begitu menggemaskan kalau sedang salah tingkah. Lelaki yang sedang banting tulang dan mengerjar skripsinya ini tampak seperti anak baru masuk SMA kalau sudah diberikan gombalan receh. Entah mengapa dihadapan teman-temannya ia begitu berwibawa, namun begitu di depanku ia jadi tak jauh berbeda dengan anak kecil yang rewel karena mau tidur.
Ia amat bersemangat saat aku bilang ingin ke laut. Hari ini rasanya jalanan amat bersahabat, membuat waktu di perjalanan menjadi singkat. Kami sampai saat hari sudang petang. Warna jingga yang begitu nyentrik membuat suasana begitu hangat, terlebih lagi di dekapannya. Kami duduk di pasir cokelat yang agak kasar, tidak seperti di novel sebelah yang pasirnya putih dan halus. Bersandar padanya benar-benar membuatku merasa ingin menghentikan waktu. Tangannya mengelus halus rambutku, kali ini aku sudah berkeramas dan tak lepek lagi. Tangan satunya lagi menopang pundakku, mengeratkan dekapan yang ia tahu aku amat menyukainya. Sepi menghanyutkan kami, dipersatukan sebuah peluk, diikuti sebuah bibir yang sedari tadi tak dapat kesempatan bahkan untuk berbicara sepatah katapun. Ku pejamkan mata, menikmati segala sentuhan lembut darinya. Jingga malu sehingga membuat gelap datang. Degubnya dan degubku saling adu. Aku berterima kasih karena aku tak merasakannya sendirian. Angin yang semakin dingin membuat kami harus menyudahinya. Kami menyusuri jembatan kayu sambil berbincang. Tawaku pecah, bahagiaku porak-poranda.
Separuh malam kami habiskan di laut, membuat kami rasanya sayang untuk menyudahi hari ini. Kami memutuskan untuk menginap semalam di suatu penginapan kecil di pinggir pantai. Ia menyuruhku masuk terlebih dahulu karena katanya ia dapat telepon penting dari kawannya. Aku mengiyakan dan bergegas pergi sendirian, kemudian melanjutkan untuk bersih-bersih. Saat aku selesai, ia baru masuk ke kamar. Wajahnya terlihat agak muram. Ia tak mengeluarkan sepatah katapun dan masuk ke kamar mandi tanpa melihat ke arahku sama sekali. Aku duduk terdiam di kasur sembari mengeringkan rambut yang masih basah, mencoba memahami situasi yang dingin seketika. Namun entah mengapa aku tiba-tiba merasa gugup.
Setelah sepuluh menit, ia keluar kamar mandi dengan keadaan rambut masih amat basah. Raut wajahnya sudah kembali ceria, tidak seperti tadi saat masuk ke kamar. Ia menyodorkan handuknya padaku, memberikan isyarat meminta dikeringkan rambutnya. Dasar anak kecil! Belum aku iyakan, ia sudah mengambil posisi dan menundukkan kepalanya. Aku amat lemah dengan hal-hal yang menggemaskan, jadi mau tak mau aku melakukannya dengan senang hati.
“tadi telepon sama siapa?” aku buka suara.
“temen ku, temen organisasi,” jawabnya singkat.
“ada apa? Tadi mukamu sampai seram,”
“biasalah masalah organisasi,” suaranya memelan.
“hmm begitu, sekarang masih bete?”
“mana mungkin bete kalau sama kamu,”
“ah masa?” tanya ku agak curiga.
Aku berhenti mengeringkan rambutnya. Ku angkat wajahnya.
“beneran udah nggak bete?”
Ia menatapku dengan kaget. Wajahnya amat dekat dengan wajahku hingga membuatku spontan menjauh. Kami masih saling bertatapan, entah maksudnya apa, entah selanjutnya apa. Aku membuang semua pikiran anehku. Aku tidak pelu memikirkan apa-apa, aku hanya perlu mengikuti alurnya saja kan? Tiba-tiba ia bangkit dari duduknya, mendorong badanku ke tengah kasur. Sial jantungku benar-benar tak sehat. Tatapannya yang tajam nyaris membunuhku. Ia melemparkan ciuman ke dahiku, turun ke pulupuk mataku, hidungku, lalu ke tempat seharunya ia terjun. Naluriku sudah tak dapat menolaknya. Suasana mendadak menjadi panas. Akhirnya, malam itu kami melakukannya. Aku rasa aku tak perlu menjelaskannya lebih detail lagi. Kalian juga sudah paham.
-
Aku terbangun karena matahari sudah berkali-kali menusuk mataku. Ku lihat sekeliling yang sudah berantakan. Aku menutup wajahku dengan selimut, memastikan apakah aku sedang bermimpi, apakah semalam aku benar-benar melakukannya. Aku bergegas kekamar mandi dengan menutupi badan dengan selimut. Entah bajuku kemana, entah ia melemparkannya kemana. Setelah mandi, aku menemukan ia di balkon sedang menerima telepon dari seseorang. Ia sudah rapih sedari tadi. wajahnya begitu serius. Tak sengaja aku mendengar pembicaraannya.
“aku juga sayang kamu, tapi aku tak bisa ke sana sekarang, aku sedang bersama Aya,”
Sontak aku kaget, apa yang barusan aku dengar? Aku mencoba memasang telinga lebih tajam lagi, berpura-pura membaca buku kuliah yang ada di tasku.
“tunggu aku kembali, kamu sabar ya, Nis,”
Tanganku gemetar. ‘nis’ ? siapa ‘nis’? aku mencoba menjernihkan kepala, berusaha memperkuat benteng kepercayaanku, menenangkan api yang tiba-tiba berkobar dengan gragas. Kami pulang. Aku tak membuka suara sedikitpun, menunggu ia menjelaskan sesuatu. Namun tak ada satu katapun yang ia lontarkan bahkan untuk menanyakan mengapa aku tiba-tiba terdiam. Saat sepuluh menit lagi akan tiba, ia baru membuka suara.
“kamu takut dimarahi mama ya?”
Apa-apaan pertanyaannya. Dia pikir aku anak membangkang yang tak izin untuk pergi? Dia pikir aku kabur dari rumah? Konyol sekali.
“nggak,” jawabku agak ketus.
Sontak ia melihat ke arahku dengan seksama.
“kamu kenapa?”
“tadi kamu telepon sama siapa?”
Wajahnya berubah pucat pasi.
“kawan ku, satu organisasi. kamu kenapa sih?”
Aku tak menjawabnya, membuang muka sambil memeluk erat tas ranselku. Kami tiba di rumahku, mama dan papa sedang pergi ke super market untuk belanja bulanan. Aku pergi begitu saja, masuk ke dalam. Ia menarik tangan ku.
“lepas!” bentakku.
“kamu kenapa, Ya? Aku salah apa sama kamu? Bilang kalau aku ada salah,”
Tiba-tiba tangisku runtuh. Apa yang sedari tadi aku tahan akhirnya lepas tak karuan.
“nis siapa? Kawan organisasi apa yang sampai sayang-sayangan? Kamu main belakang?”
Ia melepaskan genggamannya dan menunduk.
“kamu menguping pembicaraanku, Ya? Aku paling tidak suka kalau kamu—“ belum selesai kalimatnya, aku menyela.
“apa? Kamu tidak suka kalau aku memergokimu dengan perempuan lain?”
Ia terdiam membatu.
“jawab, Mas..” aku memegang erat lengannya. Memaksanya menjawab dengan keadaan sudah terisak.
“maaf, Aya.. aku—“
“sejak kapan, Mas?”
“setahun yang lalu, tapi aku lebih sayang ka—“
“selama ini aku nggak pernah khawatir soal kita, ternyata aku terlalu percaya kamu ya, hebat banget setahun kamu main di belakang aku,”
aku meninggalkannya di luar. Mengunci pintu rumahku kemudian masuk ke kamar. Menangis memeluk boneka hiu pemberiannya tiga tahun lalu. Aku hancur sejadi-jadinya.
-
Aku terbangun, kepalaku pusing bukan main. Mata ku sembab dan rambutku berantakan. Ku lihat jam menunjukan jam tujuh malam. Mama masuk ke kamarku membawakan air dan obat sakit kepala. Ia tak menanyakan apapun soal apa yang terjadi padaku. Ia merapikan rambutku.
“tadi mama masuk lewat pintu belakang,” katanya sambil tersenyum.
“maaf, Ma, tadi aku kunci soalnya—“
“nggak apa-apa..” jawabnya lembut.
Air mataku turun tiba-tiba, membuat mama sigap memelukku.
“nggak apa-apa, Aya.. nggak apa-apa kalau kamu mau menangis,”
Mama tak keberatan bajunya basah karenaku, tak keberatan aku memberontak dan masih terus memelukku dengan erat. Mama membuatku lebih tenang. Aku sungguh kacau, Ma. Aku pikir Mas Daru adalah yang terbaik. Aku pikir Mas Daru adalah yang paling tepat untukku. Tapi mama benar, untuk sebuah mahkluk Tuhan, Mas Daru terlalu tanpa celah. Ternyata ini celahnya, Ma. Celah yang ikut melubangi hatiku begitu dalam.
Sudah sepuluh hari aku mengunci diri. Membatasi semua interaksi di dunia nyata dan dunia maya. Berusaha menyembuhkan yang entah kapan sembuhnya, apa yang entah dapat sembuh atau tidak. Berusaha melanjutkan kembali hidupku meski aku tidak tau apakah aku akan baik-baik saja meski tidak bersama lagi dengannya. Aku terbang begitu tinggi kemudian tenggelam begitu dalam. Masih terpajangan foto kebersamaan kami di dinding kamar. Kemarin mama sempat menawarkan untuk mencopotnya, namun ku tahan. Aku pikir aku hanya perlu melupakan sosoknya, bukan memori indah bersamanya. Aku pikir, setidaknya ia pernah menjadi bagian terbaik dalam hidupku meski pada akhirnya menjadi alasanku kini bermimpi buruk setiap malamnya.
Ku coba menghidupkan ponsel yang sudah seminggu lebih mati. Ku lihat begitu banyak pesan dari Risa yang menanyakan bagaimana kabarku setiap hari. Ia menjadi perhatian sekali, apakah aku jadi mengganggu waktunya karena ia jadi membuang-buang waktu karena mengkhawatirkan aku. Pesanku juga penuh dengan list tugas yang tidak aku kerjakan selama seminggu. Bagusnya mereka mengira aku izin tak hadir karena sakit. Terlihat pula pesan dari satu kontak yang satu-satunya aku sematkan. Aku memberanikan membukanya.
Mas : Aya, aku tau kamu amat kecewa padaku. kepercayaanmu yang kamu berikan seutuhnya aku patahkan karena keserakahanku. Aku bodoh, Aya. Aku bodoh karena membagi cintaku yang seharusnya hanya milikmu seorang. aku juga bodoh karena aku masih tak berani untuk melepaskanmu. Aku terlalu takut untuk tidak bersama denganmu lagi. Mungkin kamu akan mengira aku adalah orang yang beromong kosong. Tapi aku sungguh masih amat menyayangimu seperti saat aku menyatakannya pertama kali. Tapi Aya, aku begitu mengalami kesulitan, sungguh sulit sampai rasanya begitu berat untuk aku bagikan padamu. Jadi selama ini aku menutupinya.
Mas : aku sudah terima, Ya, kalau kamu akan pergi setelah ini. Tapi aku mohon, tolong baca pesanku ini, setidaknya di sini lah aku berani menjelaskannya padamu. Aku tak kuat hati jika aku harus melihatmu menangis lagi, sakit rasanya kalau harus melihatmu sedih, lebih sakit lagi karena aku sendirilah yang membuatmu bersedih.
Mas : setahun yang lalu adalah waktu tersulitku, Ya. Aku kalut, aku mencari pundak lain untuk bersandar. Aku mencari peluk lain untuk pulang. Aku bertemu seorang wanita di bar, namanya Nisrina. Ia memiliki kesulitan yang sama denganku. Aku merasa kami begitu saling mengerti karena memiliki luka yang sama. Akhirnya aku berpacaran denganya, Ya. Aku kelewat bodoh karena aku menghamilinya. Sekarang sudah tiga bulan, Ya. Aku harus tanggung jawab karena mau tidak mau ada darahku di tubuhnya yang bersemayam tak bersalah. Ada sebuah nyawa yang harus aku lindungi. Aku minta maaf, Aya. Aku sudah menikahinya. Aku tak bisa membiarkannya lahir tanpa seorang ayah.
Mas : mungkin ini sulit untukmu, tapi bagiku ini juga tidak mudah. Aku berusaha memperbaiki apa yang rusak. Tapi ternyata aku makin memperparah kerusakannya. Sekali lagi aku minta maaf padamu, Ya. Aku harap kamu tidak terlalu bersedih soal aku. Aku harap kamu akan baik-baik saja karena aku yakin kamu akan mendapatkan yang jauh lebih baik dari aku. Seseorang yang dapat membuat mimpi-mimpi hebatmu terwujud. Seseorang yang pasti bukan aku, karena aku telah begitu membuatmu hancur.
Mas : tolong jaga diri baik-baik, Aya. Tolong jaga dirimu, karena aku sudah tidak bisa melakukannya lagi. Tolong hiduplah dengan baik. Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku. Setelah ini aku akan pergi, pulang ke keluarga kecilku di sana. Maaf, aku terlalu payah tak berani berpamitan denganmu. Aku pergi, Ya. Aku sayang kamu, terima kasih untuk segalanya. Terima kasih karena pernah menjadi tempatku pulang.
-
Pesannya berakhir, hubunganku pun berakhir. Aku memeluk ponselku, menangisi segala hal yang meski ku tangisi tak akan merubah apapun. Aku benci diriku sendiri karena aku tak bisa membencinya. Aku benci diriku sendiri karena sampai kini aku masih menyayangi si bajingan ini. Sebuah akhir yang tak pernah aku sangka akan sesulit ini. Akhir yang tak pernah aku pikirkan akan sepahit ini. Dan kini, aku masih mengharapkan kebahagiaannya. Meski bukan namaku lagi alasannya.
Aku kembali menjalani kehidupan normalku dengan penuh balutan luka dan tumpukkan topeng. Berlagak tak ada sesuatu yang terjadi. Risa selalu membantuku untuk bangkit, menemaniku di saat-saat aku merindukan sosok Mas Daru. Sudah lewat satu semester setelah hari itu, sepertinya ia sudah menjadi seorang ayah sekarang. Seorang ayah dan seorang sarjana yang hebat. Ku hirup udara panjang, menghembuskannya perlahan. Mencoba tersenyum dengan ikhlas karena mendengar kabarnya dari seorang kawan Mas Daru yang aku kenal. Katanya, Mas Daru dan istri memutuskan untuk pindah ke Bali. Anaknya laki-laki dan sehat, wajahnya mirip sekali dengan Mas Daru. Mimpi hebatnya masih terwujud meski ceritanya sudah berbeda. Aku salut padanya.
-
Hujan amat deras saat aku sampai di rumah. Dingin menusuk sampai ke tulang. Aku bergegas mandi dan bersiap belajar karena sudah masuk pekan ujian. Ku sempatkan membuka ponsel, berniat melihat beberapa kisi-kisi yang dikirim melalui via grup kelas. Namun perhatianku salah sasaran. Perhatianku tersasar ke sebuah chat dari Mas Wisnu, kawan Mas Daru yang dua hari lalu memberitahukan kabar Mas Daru yang akan ke Bali.
Mas Wisnu : Aya, maaf aku lancang menghubungimu lagi. Aku hanya ingin menyampaikan bahwa kapal yang Daru dan istrinya tumpangi tenggelam karena hujan badai. Masih dalam pencarian, mohon doanya semoga cepat ketemu.
Jantungku hampir copot. Pikiranku kacau kemana-mana. Semua kemungkinan yang tak aku harapkan berputar-putar membuatku amat resah. Aku memang agak acuh soal berita, jadi aku tak tau apapun soal ini. aku limbung, mencari jawaban, mencari kabar Mas Daru. Berkali-kali ku hubungi Mas Wisnu bertanya bagaimana progres pencariannya, sejauh apa pencariannya. Namun masih tak ada jawaban. Ya Tuhan, aku ikhlas Mas Daru pergi, tapi tidak untuk pergi selamanya.
Hari ke-empat pencarian, Mas Wisnu masih sering ku hubungi untuk mendapatkan setitik kabar Mas Daru. Aku tidak mau berharap lebih, cukup ia ditemukan. Aku ingin melihatnya untuk yang terakhir kali. Hari-hariku menjadi berantakan. Tidak cukupkah aku hanya kehilangan cintanya? Mengapa aku harus kehilangan raganya juga?
Mas Wisnu : Aya, jasad Daru sudah ditemukan. Sudah tidak berbentuk. Akan dikuburkan di Jakarta, dekat rumahnya. Aku harap kamu datang ya siang ini.
Melihat pesannya, aku terburu pergi. Masih memakai jas lab dan menggendong tas ransel. Aku berlari memasuki gerbang pemakaman. Ku lihat banyak teman semasa SMA kami. Ada bundanya di sana sedang terkapar tak berdaya. Anak satu-satunya yang kuat dan hebat sudah beristirahat dengan tenang. Perlahan ke dekati makamnya, masih tak percaya bahwa cintaku ada di dalam sana. Bunda yang melihatku datang, langsung memelukku. Aku ikut terkapar, menangis di peluk bunda. Kami sama-sama kehilangan sosok Mas Daru. Kini aku benar-benar sudah tak dapat melihat tawanya lagi. Lagi-lagi hatiku kamu patahkan, Mas. Lagi-lagi kamu menghancurkan aku. Aku kira permintaan maafmu sungguh, ternyata kamu ulangi lagi dengan lebih kejam.
Hujan turun dengan tak berperasaan. Tidak sedikitpun merasa iba sedang ada yang berkabung. Tolong izinkan aku berlama lagi di sini. Dipikir-pikir, benar juga, hujan selalu membawamu padaku. Menumpahkan segala kenangan yang telah aku simpan, airnya menyatu dengan air mataku. Kenangan yang sampai sekarang masih terselip nyata di setiap sudut kota. Di setiap persimpangan jalan yang pernah kita lewati. Begitu banyak hal yang tak kau bawa saat kau pergi meninggalkanku.
Laut lagi-lagi membawa orang yang aku sayangi. Membuatku kembali membenci laut. Mengapa kalian begitu mencintai laut yang kejam? Mengapa masih saja kalian cintai meski tau kalian dapat mati karenanya. Mengapa kalian egois sekali pergi tanpa berpamitan? Aku cemburu pada laut yang kasar memaksa memeluk kalian. Laut lepas yang kelepasan membenciku. Mengambil semua bahagiaku.
–
“Mas, ini Aya, Soraya Agista, mantan pacarmu. Maaf aku terburu datang dengan pakaian seperti ini. Aku tidak sempat ganti baju. Mas, aku merindukanmu. Meski semuanya telah selesai, sampai sekarang aku masih saja menyayangimu, tidak berkurang sedikitpun, masih sama seperti dulu. Aku sudah berusaha keras membencimu. Aku pikir aku akan bahagia setelah membencimu, namun ternyata aku makin terluka karena gagal melakukannya, gagal benci kepadamu. Hari ini kamu pulang, tapi kenapa pulang seperti ini? Sebegitu takutkah kamu menunjukan bahkan seujung rambutmu padaku? Mas, bantu aku untuk mengikhlaskanmu sekali lagi. Aku sungguh tak bisa kali ini. Bantu aku ya.. Bantu aku untuk bisa bahagia lagi. Mas, semoga tak rasa yang kau sesali karena pernah mengenalku. Semoga selama ini kamu bahagia karena bersamaku. Aku akan merasa lebih baik kalau kamu merasa seperti itu. Jadi setidaknya, ada aku di cerita bahagiamu dulu. Mas, aku pamit ya, besok aku masih ujian. Doakan aku. Selamat tinggal, Daru Bahtara Gian.”
ns 18.68.41.175da2