Namanya Suakatara Putra, panggil saja Tara. Ia sahabatku sejak tiga tahun lalu di bangku sekolah menengan atas. Ia seorang yang pintar dalam akademik dan memiliki kesabaran di atas rata-rata. Ia pendengar yang baik, senang bernyanyi dan suka makan ayam bakar. Ia juga pandai berorganisasi dan memiliki aura positif bagi orang-orang di sekitarnya. Aku mengenalnya dengan amat baik, ia tak pernah meninggalkan jejak buruk di hipokampus otakku. Begitu pula orang lain terhadapnya. Di antara kami memang tidak ada pernyataan untuk saling berteman baik, namun dengan menghabiskan separuh waktu bersamanya tanpa sadar membuatku menggalih sebuah lubang, yang apabila digalih semakin dalam akan membuatku terluka.
Aku baru menyadari ternyata ada satu waktu dimana aku ragu akan diriku. Dengannya aku tak perlu menjadi siapapun, cukup menjadi aku. Dengannya aku selalu merasa pulang, menumpahkan segala kata yang tak bisa aku tumpahkan. Saat itu aku bertanya-tanya, apakah benar ia hanya sahabatku? Atau mungkin aku yang mulai lancang menjadikannya lebih dari itu? Berkali-kali aku berusaha menyadarkan diri untuk tidak membuat suatu harap yang sia-sia. Namun seringkali logika mengalah dan akhirnya kalah. Aku menikmati sebuah rasa yang salah.
Bagaimana tidak, di tahun tersulitku, ia hadir bak penyelamat. Tangisku kala itu tak dapat dibendung apabila bersamanya. Seperti menemukan muara untuk sukarela dialiri. Seperti kehilangan kendali karena tuasnya sengaja dilepas. Ia tak pernah keberatan dengan aku yang begitu. Aku benar-benar dibuatnya menjadi lancang. Ada sebuah rasa yang lebih dari seharusnya. Rasa yang seharusnya tidak ada diantara kami. Rasa yang entah ku rasakan sendiri.
Hal yang sebelumnya kami lewati, berubah menjadi berseri. Bahkan suaranya kala itu tiba-tiba meneduhkan malam yang ringkih. Apakah dosa bila aku mendadak mencintainya? Garis yang memisahkan kami terlalu nampak hingga rasanya sulit untuk ku lewati barang sedikit.
Keegoisanku menjadikan segala yang aku punya hilang. Pada akhirnya, ku telan mentah segala cinta yang aku ciptakan untuknya. Aku melepaskannya karena aku tak mau kehilangannya pula. Aku menyerah karena aku tau tak mampu untuk menjadi sendirian. Apakah dengan kehilangan semuanya aku akan mendapatkanmu? Aku rasa tidak juga. Apakah dengan mendapatkanmu aku akan bahagia? Aku rasa tidak juga. Pada akhirnya, aku merelakan rasaku lisis dimakan waktu. Ada beberapa cerita yang memang diciptakan tidak sempurna. Namun sang penulis bukan tidak sengaja bermaksud begitu, ia berniat mengajarkan kita untuk mengerti bahwa hidup bukan hanya tentang memilih, namun juga untuk menerima.
Sudah cukup bagiku kini meihatnya tumbuh menjadi seseorang yang hebat. Ia makin bersinar di tempatnya berada, aku sudah yakin akan hal itu. Meski ia semakin jauh dari pandangku, cahayanya masih sering kali menerangi hari gelapku yang tidak datang sekali. Aku bersyukur melupakan rasaku kala itu. Kini, aku dan dia masih dapat bersama tanpa saling menyakiti. Tidak, maksudnya aku yang tidak tersakiti akan harapku.
Aku rasa ini pilihan yang tepat untuk tetap menjadi sahabatnya. Setidaknya aku merasa bahagia karena aku ada didalam cerita hidupnya. Saling mengisi bagian yang kosong namun tidak untuk saling melengkapi. Sudah, aku sudah benar-benar melepaskannya. Untuk tahun-tahun yang tidak dapat aku prediksi jalan ceritanya, aku harap ia selalu menjadi bagian darinya. Tidak perlu selalu hadir, cukup tidak hilang saja.
Semoga harimu selalu baik, Tara. Terima kasih karena telah menjadi bagian terbaik dalam ceritaku yang aku buat tak sempurna.
ns 15.158.61.6da2