Kami telah tiba di tengah, terseret-seret diselubungi rapuh, berpelukan mesra dengan takut menunggu hanyut. Sisi luar kami sudah koyak dan bagian depannya sudah banyak tambalan. Berapa lama lagi kami harus bertahan? Dimana kami bisa selesai? Jangkar kami sudah berkarat digerogoti amarah. Kami mencari liang pulang yang hangat. Di dalamnya ada sentuhan halus yang pernah ada. Dimanjakannya dengan penuh dan berlimpah. Adakah liang itu? Kami ingin kembali padanya.
Kami sudah dingin dan gelap. Jangan kemari meski tidak ada lagi tempat berlabuh. Terlalu banyak karam di dalamnya. Hati kami sudah lama ditenggelamkan asa, yang tersisa hanya percaya. Nahkoda kami hebat tiada tara. Ia meyakini kami melewati derasnya badai dengan arta berani. Ia membawa kami dengan kapal kertasnya. Terombang-ambing dengan harap. Kami ingin sampai. Kemana kami melaju?
Kami diberi peta, sedang tempat kami tidak ada di dalamnya. Lautan kami hampir mustahil ada muaranya. Mati menjadi jalan terakhirnya. Ternyata kami tidak akan selesai. Lautan ini namanya ‘dewasa’, ia menelan kata ‘siap’ pada siapapun yang terjun dengan bahagia. Bohong jika kami tidak menangis. Lautan ini semakin sesak dipenuhi olehnya. “tahan,” katanya. entah kata siapa.
Hanya pada nahkoda kami pintakan tolong. Jawabnya hanya “sebentar lagi,”. Setiap hari sebanyak lima kali tak pernah lupa. Jawabannya tetap sama. Beberapa kali badai serentak dengan petir. Kami sangat berusaha menambal sana-sini. Kami terbangun di pagi buta dengan suara di kepala. Katanya kami pecundang. Padahal kami sudah amat berdiri kokoh. Meski kapal kami kertas, kami masih bisa bangun.
Kami paling bersedia untuk dipilih. Katanya, bakar jiwanya yang terendam badai, tapi jangan sampai hangus. Kapal kami terlalu rapuh jika harus menjadi abu. Jangan pula terlalu dipercik, sinar terlalu sukar ditemui. Tunggu lah sampai benar-benar kering meski itu tidak akan pernah. Jangan khawatir. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” ucap kami si penipu handal.
ns 15.158.61.6da2