Tidak begitu, ia baik, bahkan terlalu baik. Ia selalu berusaha yang terbaik untukku. Ia bahkan telah memberi begitu banyak hal, saking banyaknya hingga terasa berat untuk ku terima. Sejauh ini suaranya yang paling meneduhkan, ia juga satu-satunya yang paling mengerti disaat dunia seisinya jahat. Sejauh ini juga, bersamanya lah yang paling aman. Ia yang paling terdepan dan paling tidak takut apapun soal menjagaku. Seharusnya aku amat senang akan hal itu. Tuhan memberikannya padaku dengan percuma. Namun aku selalu mencari celah agar aku masih merasa kurang. Padahal aku punya satu yang sudah amat cukup.
Aku menyadari satu hal, ternyata terlalu banyak ‘karena’ untuk satu pertanyaan ‘mengapa’ pada setiap baris yang seharusnya ditulis dengan ribuan kata indah. Juga begitu banyak kata ‘tapi’ dan ‘sudahlah’. Aku terlalu takut untuk ke depan, ke belakangpun aku harus sakit. Lantas aku harus bagaimana? Betapa menyenangkannya jika cerita ini aku buat berakhir baik-baik saja. Namun biasanya, yang tidak baik-baik saja akan memberi kenangan yang membekas. Entah untuk menjadi pelajaran atau untuk disesali. Namun dengannya, aku hanya menyesali keputusanku yang jahat ini.
Kataku saat itu “kita hanya perlu cari solusinya,”. Namun bodoh saja, aku lupa untuk mempertimbangkan sulit dan lelahnya. Pasti ini terlalu tiba-tiba untuknya. Pasti juga tidak mudah untuknya. Lantas jika memang berat, mengapa kita masih berusaha? Apa yang sedang kita kejar? Tidakkah lelah untuk terus berputar tanpa tahu harus kemana? Kataku saat itu "kita adalah rumah untuk masing-masing,". Namun bukankah sering kali rumah menjadi alasan untuk pergi? Entah akan pulang lagi atau tidak.
Pagi ini rasanya berat sekali, semalam begitu banyak yang berkecamuk. Tapi mungkin memang itu balasan yang pantas untukku yang tidak bersyukur. Aku terlalu penakut untuk menjadi lebih sulit dari ini. Aku tidak mau makin menyulitkannya. Ia memang tidak pernah bilang kalau dirinya kesulitan, namun aku tidak tega jika terus menempatkannya di posisi yang rumit. Benar, kita terlalu rumit. Aku yang membuatnya seakan rumit. Aku harap ia tidak akan merasa bersalah atas ini, karena aku yang salah. Aku yang salah karena memaksanya menjadi tokoh untuk ceritaku yang kesepian. Aku yang berekspetasi tinggi bahwa aku akan lebih baik jika bersamanya. Namun akhirnya aku sadar, aku terlalu semaunya. Akulah yang menjadikannya selalu berusaha memaksakan diri.
Untuknya yang baru-baru ini aku sayangi, tolong jangan terlalu memaksakan diri untuk sabar akan ku. Aku tidak keberatan jika setelah ini kamu marah, memang aku yang salah. Maafku mungkin memang tidak akan menutupi semua yang telah aku ambil kembali, namun semoga ia mengerti. Berpura-pura berani dan kuat, kini sudah tidak perlu kita lakukan lagi. Jadi, tolong berbahagialah.
ns 15.158.61.6da2