“Jadi gimana?” tanyaku kepada istriku.
“Gak tau, Mas. Aku juga bingung,” kata istriku sambil memeluk tubuhku. Aku menghisap rokok dalam-dalam sambil menatap kosong televisi yang terpampang di depan kami.
“Tapi uangnya …,” kataku. Istriku menoleh ke arahku. Wajahnya mengiyakan perkataanku, namun aku bisa melihat ketakutan di matanya. “Aku gak bakal mau tanpa persetujuanmu,” kataku sambil mengecup keningnya. Istriku tidak menjawab. Dia hanya memeluk tubuhku lebih erat.
“Mas…,” akhirnya dia mulai membuka suara. “Mas tetap sayang, kan sama aku?” tanyanya berusaha mencari kepastian.
“Ya iya, lah. Mana mungkin aku berani main hati sama Leona? Kamu tau sendiri kan, dunia kita dan mereka berbeda? Gak sanggup, lah aku kalau harus ngurusin Leona. Apalagi Leona itu istri Ronald,” kataku.
Istriku kembali diam.
“Aku tolak aja, ya. Daripada kita malah jadi nggak enak seperti ini?” kataku memutuskan sambil mengambil handphone di meja.
“Mas,” Prita menyela. “Ya udah, gapapa. Tapi yang penting mas jangan tinggalin aku,” jawab Prita sambil membenamkan wajahnya di dadaku.
“Just business, nothing personal,” kataku sambil membelai rambutnya.
“Mas, sini aku bisikin,” Prita mendekat ke telingaku dan berbisik. Aku tersenyum mendengar bisikannya.
“Kita lihat kondisi ya nanti. I love you, Honey,” kataku sambil mengecup bibirnya.
Tiga hari yang lalu.
“Adam!” seru Ronald sambil melambaikan tangan. Aku membalas melambai kemudian menuju ke arah mejanya.
“Tumben lu dateng cepet,” sahutku sambil duduk di depannya.
“Sekali-kali, lah. Pesen dulu, gih. Gue udah pesen,” katanya sambil menyodorkan menu. Sambil melihat-lihat menu, dari sudut mata aku bisa melihat ada yang aneh dari tingkah laku Ronald. Kalau kami makan bersama, rutinitasnya ada dua: dia tak henti-hentinya bercerita tentang dirinya, atau tak berhenti melontarkan pertanyaan tentang diriku. Sikapnya yang diam seperti ini berarti ada hal penting yang ingin dia bicarakan dengan diriku. Dan aku membenci harus menduga-duga apa yang akan Ronald ucapkan.
Aku memanggil pelayan dan memesan makanan. Setelah pelayan itu pergi, aku mulai menyulut rokokku dan menghisap dalam-dalam.
“Istri sama anak lo sehat?” tanya Ronald basa-basi.
“Sehat,” kataku sambil menghembuskan asap rokok. “Tapi lo kagak sehat, kan?” tanyaku balik.
Ronald memandangku dan tersenyum getir. Dia mengambil sebatang rokok punyaku dan mulai menyulutnya. “Nah, beneran gak sehat berarti,” kataku sambil tertawa. Ronald bukan perokok. Dia mengklaim dirinya sebagai social smoker yang hanya merokok sebagai pencair suasana ketika sedang nongkrong.
“Dam, lu masih inget kapan gue nikah sama Leona?” tanya Ronald.
“Dua belas Oktober lima tahun yang lalu,” jawabku. “Perlu gue sebut tempatnya juga?”
“Tahun pertama gue sama istri gue masih menikmati pernikahan kami,” Ronald mulai bercerita. “Tahun kedua, gue sama Leona udah bikin program untuk punya anak. Tahun ketiga, Leona mulai resah. Gue sama dia pergi ke dokter dan ternyata masalahnya ada di gue. Tahun kemarin—lu tau sendiri—kami nyoba program bayi tabung dan gagal…,” Ronald membiarkan kalimatnya menggantung. Aku bingung harus menjawab apa. Aku benci ketika Ronald menjadi mellow begini.
“Tahun ini, gue ngerasa hubungan kami jadi gak sehat. Entah kenapa gue ngerasa jarak emosional kami berdua menjadi jauh,” lanjut Ronald. Dia kembali menghisap dalam rokoknya. “Sekitar sebulan yang lalu, gue coba membicarakan hal ini. Leona bilang, dia sudah gak tahan ditanya terus ‘kapan hamil’ sama orang-orang, terlebih lagi kalau ditanya sama orang tua kami berdua.”
“Derita hidup di Indonesia,” sahutku singkat.
“Masyarakat +62,” katanya mengiyakan. “Gue udah bilang ke Leona kalau pertanyaan kaya gitu jangan didengerin. Tapi akhirnya kemarin dia udah mulai menyinggung buat minta cerai,” kata Ronald sambil menunduk.
Aku diam beberapa saat, kembali tidak tahu harus menimpali apa. “Ron…?”
Ronald mengangkat tangan memintaku untuk jangan menyela. “Kami sudah berdiskusi panjang lebar. Akhirnya kami berdua mengambil keputusan….” Aku tidak berani menyela ceritanya kali ini. “Kami akan tetap mencoba, tapi dengan cara yang lebih radikal. Karena lu tau sendiri, berharap hal yang luar biasa dengan cara yang biasa itu suatu kegoblokan,” katanya. Matanya kemudian lurus menatap mataku.
“Gue mau minta tolong lu buat menghamili Leona.”
Aku termangu. Perlu waktu beberapa detik bagiku untuk mencerna perkataan Ronald. Ronald-memintaku-untuk-menghamili-Leona?
“Pesanannya, Kak,” pelayan datang di waktu yang tepat untuk memecah momen awkward yang terjadi di antara kami berdua.
Aku mengucapkan terima kasih kepada pelayan dan menunggu hingga dia berada di luar radius pendengaran. “Gue gak salah denger?” ujarku setengah berbisik.
“Gue bilang tadi, ini keputusan kami berdua.”
“Kenapa gue?”
“Karena satu, lu adalah orang yang udah gue anggap seperti saudara. Dua, lu kenal baik sama Leona. Tiga, Prita juga kenal baik sama Leona. Empat, sori kalau gue terkesan stalking—gue dapet hasil lab lu dan sperma lu sangat sehat. Dan yang kelima, secara pribadi, dalam kondisi di mana gue harus membesarkan anak yang bukan keturunan gue, gue memilih membesarkan anak lu karena poin satu sampai tiga tadi.”
Aku tidak tahu apakah aku harus terharu atau tidak mendengar penjelasan Ronald. Ronald, yang sudah aku kenal sejak SD memang sudah kuanggap seperti saudara sendiri. Kami besar bersama, tumbuh bersama, dan nakal bersama. Tapi poin terakhir yang dia ucapkan membuatku tersadar betapa dia menghargai diriku.
“Sebenernya ada poin keenam. Jangan tersinggung. Katanya, siapa berlebih harus memberi. Gue tau meskipun gaji lu gak sedikit, tapi karena lu harus nanggung adik kandung dan adik ipar, utang lu banyak. Minimal gue bisa bantu….”
“Iya, anjing. Gue tau,” sergahku. Ronald sedikit terkejut mendengar perkataanku namun menahan diri untuk tidak berbicara. “Gue miskin tapi subur, lo tajir tapi mandul. Tapi gak usah cerita sambil mewek gini juga, lah. Lama-lama lu gue kasih bedak sama gincu juga kalau mewek begini. Udah, lah. Makan dulu,” sahutku sambil mulai makan. Ronald tersenyum dan mengangguk. Ada kelegaan di raut wajahnya ketika dia menyadari bahwa aku tidak marah mendengar permintaan anehnya.
Kami berdua makan bersama seperti biasanya, seolah-olah pembicaraan sebelumnya tidak pernah terjadi. Ronald kembali menjadi sosok yang kukenal, yang dengan santai melontarkan umpatan dan makian. Kami berdua makan sambil sesekali tertawa. Hingga pada suatu titik kami berdua sadar bahwa keputusan harus diambil.
“Gue ngomong sama bini gue dulu. Nanti gue kabarin,” sahutku sambil menaruh uang patungan di meja. Ronald ingin menolaknya sebelum buru-buru aku cegah, “Nanti, kalo jadi—kalau jadi, ya—lu yang traktir gue terus-terusan,” kataku sambil terkekeh. Ronald hanya tersenyum dan mengangguk paham.
Aku melihat ke arah jam di ponselku. Angka menit belum berganti sejak terakhir aku melihatnya. Prita juga melakukan hal yang sama. Entah sudah berapa kali kami mengecek jam kami masing-masing dalam keheningan.
“Hai,” sapa Ronald mengagetkan kami berdua. Tangan kirinya menggandeng Leona. Leona itu adalah wanita yang cantik. Dia adalah gadis keturunan tionghoa dengan kulit putih bersih. Umurnya hampir tiga puluh tahun. Dia mengenakan atasan putih dan celana jins ketat, memperlihatkan lekuk tubuh yang sangat menggoda.
Kami menjabat tangan Ronald dan Leona sebelum mereka duduk di kursi di seberang meja. Ronald dan Leona memanggil pelayan untuk memesan makanan. Sementara itu, aku dan Prita hanya duduk dalam diam.
“Serius amat, lu,” sahut Ronald sambil tersenyum.
“Eh …, ummm,” aku tidak tahu harus berkata apa untuk membuka pembicaraan.
“Biasa aja, Mas. Hahaha,” sahut Leona.
Kami berempat melanjutkan makan dalam kecanggungan. Ronald dan Leona berusaha mencairkan suasana. Akan tetapi, aku dan Prita hanya menjawab sekenanya. Sepertinya masih ada yang mengganjal dalam hati kami berdua.
“Anu …, jadi nanti rencananya gimana?” akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya setelah kami selesai menyantap makanan.
“Awalnya gue pingin biar lu nongkrong sama Leona dulu biar gak canggung—ya, kan, Beb?” Leona mengangguk mengiyakan. “Tapi tadi, Leona bilang kalau hari ini dia sudah mulai masuk masa subur. Jadi, kalau hari ini kita langsung mulai aja gimana?”
“Hari ini?” Aku melihat ke arah Prita. Dia tidak menjawab.
“Bisa, kan?” desak Ronald.
“Emmm …. Oke, deh.”
“Oke, habis ini lu pulang sama bini gue, ya. Biar gue anterin Prita pulang dulu,” kata Ronald sambil berdiri.
“Aku … aku mau ikut …,” kata Prita tiba-tiba. Dia kemudian mengangkat wajahnya dan menatap kami bertiga satu, per satu, “… sambil main sama Mas Ronald,” lanjutnya.
Ronald dan Leona tercengang mendengar permintaan istriku. Detik berikutnya, Ronald tertawa terbahak-bahak. “Nah! Kalo gini kan jadi fair! Gimana, Dam?” ujar Ronald.
“Emmm …, kamu yakin, Prit?” tanyaku memastikan ke arah Prita. Ia menjawab dengan anggukan. “Ya udah, lah. Tapi gue gak nanggung ya nanti jadinya kaya gimana,” sahutku sambil menatap dan menggeleng kecil ke arah istriku.
Sesampainya di rumah Ronald, kami berempat duduk di sofa ruang tamu. Aku duduk di samping Leona, Ronald duduk bersama istriku. Ronald yang melihat kami berdua masih canggung segera merangkul bahu Prita. “Canggung amat, hahaha. Santai aja lah.” Dengan santai tangannya menggapai payudara Prita dan mulai meremasnya perlahan. Nafsuku mulai naik melihat istriku digerayangi lelaki lain. Penisku mulai terasa sesak di dalam celanaku. Leona yang menyadari hal tersebut segera melepaskan resletingku. Ia membebaskan penisku yang sudah mulai menegang dari kurungan celana dalam sambil mengusapnya pelan.
“Mbak Prita, Mas Adam biasanya suka diapain?” tanya Leona.
Sambil dicumbui lehernya oleh Ronald, istriku menjawab. “Coba dikasih blowjob, Mbak. Ekspresinya lucu.”
“Oke,” Leona mengambil posisi bersimpuh di depanku dan mulai menyusuri penisku dengan lidahnya. Aku merasakan sensasi yang tidak pernah kudapatkan selama dua tahun pernikahanku, merasakan penisku dijilati sambil melihat istriku digerayangi lelaki lain. Leona mulai mengulum penisku dan menggoyangkan kepalanya maju mundur sambil menyedot.
“Enakan mana?” tanya Leona sambil tersenyum menggoda di sela-sela permainannya.
“Secara objektif, aku bilang Prita lebih jago,” ujarku sambil mengangkat bahu dan mengedip ke Prita. Prita tertawa kecil dan mengambil posisi sama seperti Leona. Dia membuka resleting Ronald dan mulai melakukan hal yang sama.
“Aaaah! Aaah!” Ronald mulai mendesah merasakan permainan mulut istriku. Tangannya mulai meremas rambut Prita.
“Istriku jago, kan? Hahaha,” ada sebersit kebanggaan melihat istriku bisa memberikan kenikmatan kepada Ronald.
“Aaaah! Beb …, aaah! Coba hisap pelan-pelan sambil goyangin lidahmu,” seru Ronald kepada Leona.
Leona melakukan hal yang diperintahkan suaminya. Dia mulai memainkan lidahnya ke kiri dan kanan sambil sesekali menghisap lembut penisku. Secra teknik, Prita jauh lebih jago. Akan tetapi suasana orgy membuat semuanya berbeda. Libidoku dengan cepat naik dibandingkan kondisi normal.
“Lumayan, lah. Masih kalah tapi sama Prita,” kataku sambil menjulurkan lidah.
“Oh, ya?” Leona sepertinya tidak mau kalah. Dia membuka dan bra yang ia kenakan, membebaskan dua gunungan daging yang segera tumpah menggantung indah. Leona memain-mainkan pelirku, mengusap ujungnya menyusuri kulit payudaranya yang sangat lembut. Aku seperti terkena sengatan-sengatan listrik kecil ketika ujung penisku menyapu putingnya yang berwarna cokelat muda.
“Hsssss! … Aaaah! Anjir!” mulutku mulai meracau karena permainan Leona.
Selanjutnya, Leona menjepit penisku di antara kedua susunya dan mengoncangkan kedua payudaranya, mengocok penisku.
“Kalo yang ini gue yakin Mbak Prita gak bisa, hahaha!”
Aku menoleh ke arah Prita. Dia melirik ke Leona dan mengangkat sebelah alisnya sambil tersenyum. “Ayo taruhan, Mas Ronald bakal keluar duluan.” Kemudian dia mulai menjilati biji pelir Ronald sambil sesekali diisapnya. Tangan kanannya tak tinggal diam, dia mengocok pelir Ronald dengan tempo yang agak cepat.
Ronald tampak mulai gelisah. Dia menggeliat-geliat merasakan nikmatnya usapan lidah istriku di buah zakarnya. Sesekali tangannya berusaha menjauhkan kepala Prita dari selangkangannya. Akan tetapi, Prita begitu licin, dengan lincah dia menghidari tangan Ronald dan melanjutkan serangan ke buah zakar Ronald. Sementar itu, tangan kiri Prita mulai merasuk ke dalam baju Ronald dan memainkan puting Ronald.
“Aaah! … Aaaah! … Priiiit! … Aaaah!” Prita menghentikan kulumannya di buah zakar Ronald. Tangan kanannya mengocok semakin kencang, tangan kirinya mulai meremas-remas buah zakar Ronald, sementara menjilati ujung penis Ronald. Tepat ketika Ronald akan ejakulasi, Prita menghentikan gerakannya.
“Anjing! Prit! Please!” seru Ronald frustasi.
“Hahahaha!” aku tertawa terbahak melihat kelakuan Ronald. Leona yang sedari tadi berusaha untuk membuat aku ejakulasi pun menghentikan kocokannya dan ikut tertawa.
Prita mengecup bibir Ronald kemudian meletakkan jari telunjuknya, meminta Ronald untuk bersabar. Dia mulai melucuti pakaiannya satu per satu, memperlihatkan tubuh yang seksi. Di dalam hati, aku bersyukur memiliki istri seperti Prita. Payudaranya tidak terlalu besar namun entah mengapa ukurannya terlihat sangat sesuai dengan lekuk tubuhnya yang ramping dan kencang. Memberikan kesan erotis namun tidak vulgar.
Dia merebahkan tubuhnya di atas sofa dan mengangkangkan kedua kakinya. Dengan telunjuk, dia memberi tanda kepada Ronald untuk mendekat, kemudian melirik ke arah vaginanya yang sudah basah.
Ronald yang sepertinya merasa dilecehkan kejantanannya segera menjawab. Dia langsung menyambar vagina Prita dan mengobel menggunakan lidahnya. “Hmmmh …. Sssshhhh …,” Prita mulai mendesah pelan ketika lidah Ronald menyapu seluruh vaginanya. Namun yang membuat jantungku berdesir adalah ketika dia memandang ke arahku sambil tersenyum dan menjilati bibirnya. Sepertinya dia merasakan sensasi yang sama denganku, bahwa seks dengan lelaki lain sambil dilihat oleh suaminya sendiri sangat menggairahkan.
Aku berdiri dan melepaskan celanaku, kemudian membelai kepala Leona yang sedari tadi diam tersihir adegan di depan matanya. Aku membimbingnya untuk kembali mengulum penisku, namun kali ini aku yang memegang kendali. Aku mulai mengarahkan kepalanya maju mundur dengan gerakan memutar. Leona yang mulai dilanda berahi mulai meraba-raba vaginanya sendiri.
Aku menghentikan gerakanku dan perlahan menghunuskan penisku masuk ke dalam mulutnya. Ketika hampir mencapai ujung, Leona tersedak dan terbatuk-batuk. “Sori,” kataku sambil mengecup bibirnya lembut. Kemudian aku kembali memasukkan penisku dalam-dalam. Kali ini dia berusaha untuk mengontrol dirinya untuk tidak menghindar. Ketika sampai ujung, aku menahannya beberapa saat sebelum mengeluarkan penisku.
“Nih, hadiah buat Mbak Leona yang udah bisa nelan penisku bulat-bulat,” kataku sambil menyodorkan biji zakarku yang segera dilumat oleh wanita itu.
Sementara itu, Prita disetubuhi oleh Ronald. Dengan menggebu dia memompa istriku. Satu per satu, istriku membuka kancing baju Ronald dan mengusap puting Ronald, membuat kawanku itu bergidik saat menggenjot.
“Jangan kenceng-kenceng, entar cepet keluar, hahaha,” canda istriku.
Akau tetapi Ronald sepertinya tidak peduli. Kejadian sebelumnya membuat dia frustasi dan ingin segera menumpahkan lahar mani ke dalam tubuh istriku.
“Wah, kayanya Mas Ronald udah kepingin banget ya,” kata Prita. Tiba-tiba dia menjepitkan kedua kakinya di punggung Ronald, membuat Ronald tidak bisa lagi memompa. Prita menggoyangkan pinggulnya maju mundur dengan tempo cepat.
“Aaaah! … Priiit!” seru Ronald sambil menggeliat.
“Keluarin yang banyak, yah, Mas Ronald,” pinta Prita. Jemarinya kembali menggerayangi puting Ronald.
“Priiiit! Aaaah! Aaaah! Aku …!” Belum sempat Ronald menyelesaikan kalimatnya, Prita mencubit kedua puting Ronald dan menariknya. Ronald mengejang, seluruh tubuhnya bergidik ketika menumpahkan cairan maninya ke dalam rahim Prita. Kemudian Prita melepaskan jepitannya dan membiarkan tubuh Ronald lunglai di lantai.
Dengan jari telunjuk dan tengah, mulai menyendoki sperma dari vaginanya untuk kemudian dia masukkan ke mulutnya. Sambil melirik ke arahku, dia menjilati kedua jarinya memastikan tidak ada sperma yang tersisa di jarinya. Kemudian dia mendekat ke arah Ronald yang masih rebah dan membuka mulutnya, menunjukkan cairan putih yang baru saja keluar dari penis sahabatku itu.
“Dibagi dua, yah,” kata Prita sambil menelan sebagian sperma. Ronald kebingungan mendengar perkataan Prita.
“Prit! Jangan!” seruku.
Namun semua sudah terlambat. Detik berikutnya, dia menyambar mulut Ronald dan mendorong sisa sperma di mulutnya untuk masuk ke mulut Ronald. Ronald gelagapan karena baru kali ini dia dipaksa menelan kembali spermanya namun akhirnya dia menyerah dan menelan cairan yang diberikan Prita.
“Good boy,” kata Prita sambil mengecup manis bibir Ronald.
Aku hanya menepuk jidat melihat kelakuan istriku. Tapi ya sudahlah, entah Ronald akan marah atau tidak dipikir nanti saja. Yang penting sekarang aku harus memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya.
“Nah, sekarang saatnya kembali ke tujuan utama,” kata Prita sambil menengok ke arahku. Aku mengangguk dan memberi tanda Leona untuk menghentikan kegiatannya menjilati biji pelirku.
Aku merebahkan Leona secara terbalik di sofa, membuat kepalanya di tempat duduk sementara kakinya berada di sandaran sofa. Dari atas, aku dapat melihat lubang vaginanya yang sudah banjir dan berkedut, memohon ingin segera dimasuki penisku.
“Tahan, ya. Biar spermanya langsung masuk ke rahim, hahaha,” kataku bercanda. Leona mengangguk pasrah mengikuti kemauanku.
Aku mulai menggesek-gesekkan penisku sebelum akhirnya menghujamkannya ke dalam vagina Leona. Dinding vagina yang sangat licin membuat penetrasiku sangat mulus. Aku mulai menyodok-nyodokkan penisku dengan tempo lambat.
“Aaaaah! Aaaah!” Leona yang sudah dilanda berahi bahkan ketika penisnya baru saja mulai digenjot pelan.
Prita tidak tinggal diam. Dengan segera dia berjongkok dan menempatkan vaginanya di wajah Leona. Leona segera menjilati vagina yang masih berbau sperma suaminya itu dengan lahap. Sementara itu, kedua tangan Prita mulai meremas-remas payudara Leona, pelan tapi dengan cengkeraman yang cukup kuat.
“Aaaaah! Uuuuh! Mas Adam …! Mbak … Prit! Aaah! Enaaak!” Leona meracau. Aku mulai merasakan dinding vagina Leona mencengkeram lebih kuat, pertanda dia mulai mengarah ke arah klimaks.
“Cepetin, Mas,” kata Prita. Tanpa menjawab, aku segera menyodok lebih dalam dan cepat.
“AAAAH! AAAAH! AAAAAAAAAAAHHHH!” Prita tiba-tiba menggelinjang. Seluruh tubuhnya bergetar tak terkendali. Aku menghentikan gerakanku sambil menikmati dinding vagina yang berkedut meremas pelirku.
Ketika tubuhnya sudah berhenti bergolak, aku kembali memompa lagi dengan cepat. Prita juga kembali memainkan payudara Leona, namun kali ini salah satu tangan Prita mengobel klitoris Leona.
“Aaaaah! … Jangaaaan … di … situ! Aaaaaah! … Aku masih! Aaaaah!” Leona tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya karena tubuhnya masih sensitif dan mendapat serangan yang lebih gencar dari kami berdua. Dia mulai menggelinjang berusaha melepaskan diri, namun karena diimpit oleh dua orang, Leona hanya bisa pasrah mendapatkan kenikmatan yang membuat seluruh tubuhnya merinding.
“Haaaah! Haaah! Pritt! Prita!” seruku sambil menggenjot sekuat tenaga. Istriku paham bahwa ejakulasiku sudah di ujung tanduk. Dia mendekatkan wajahnya dan menjulurkan lidahnya ke arah buah zakarku.
Aku tidak dapat menggambarkan sensasi yang aku rasakan karena tindakan Prita. Akal sehatku hilang, yang bisa kulakukan hanya membiarkan tubuhku dikontrol oleh nafsuku dan terus menggenjot Leona dengan sekuat tenaga.
“Pritaaaa! … Aaaaah!”
Beberapa detik sebelum ejakulasi, Prita mencondongkan tubuhnya ke arahku. Dia meremas pantatku dan mulai menjilati anusku. Sontak aku tidak bisa menahan diri. Aku menghunuskan penisku dalam-dalam ke dalam liang garba Leona.
“AAAAAAAAAAAAHHHH!!!!! … HNGGGGH … AAAAH!”
Sambil berpegangan di sofa, aku menyemburkan seluruh spermaku ke dalam rahim wanita itu. Satu kali, dua kali tiga kali … hingga aku tidak dapat menghitung lagi berapa kali penisku menyemburkan air mani dalam jumlah besar. Meskipun tidak bersuara, Leona ikut menggelinjang. Dinding vaginanya berkedut-kedut memerah penisku agar mengeluarkan sperma sebanyak mungkin.
Selama beberapa saat kami berada dalam posisi itu, Leona yang terbalik, aku yang bersandar di sandaran sofa, dan Prita yang masih sibuk menyusuri lubang anus hingga buah zakarku dengan lidahnya. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk mencabut penisku dan merebahkan diri di samping Leona.
“Anjing! … Gilaaa!” Kataku menutup mata sambil mengatur nafas. Sementara itu, aku bisa merasakan lidah Prita menjilati sisa-sisa sperma yang menempel di penisku.
Ketika membuka mata, aku melihat Leona yang masih dalam posisi terbalik. Prita masih berada di selangkanganku, dan Ronald sudah mengocok batang penis yang sepertinya kembali tegak berdiri setelah melihat permainan kami bertiga.
Kami berempat saling memandang satu sama lain dan merasakan hal yang sama.
“HAHAHAAHAH!” meledaklah tawa kami berempat.
“Mau lagi?” Ronald menawarkan sambil mengacungkan penisnya yang tegak berdiri.
“Boleh juga,” jawabku. Sambil iseng, aku meraba-raba vagina Leona yang masih mempertahankan posisinya.
“Eh, Nald,” aku berkata di tengah desahan Leona, “lu udah pernah pernah ngerasain double penetration belum?” tanyaku sambil melirik ke arah Prita. Prita menggeleng kecil sambil tersipu. Tapi aku tidak mengindahkan gelengannya. “Gue kasih bonus lu dapet jatah anal, deh.” Jawabku sambil tertawa.
Istriku tertawa kecil sambil menutup mulut. Wajahnya memerah malu mendengar perkataanku. Ronald masih ragu dengan tawaranku sebelum Prita menoleh ke arahnya dan mengangguk. Dia pun tersenyum dan mendekat ke arah kami berdua
ns 15.158.61.54da2