Awan biru berubah hitam pekat. Dinding setinggi 200 kaki dikira dan seharusnya melindungi sudah runtuh rata dengan tanah. Langit memerah semerah darah yang masih segar. Udara sangat gersang kering dan panas meski hanya sekadar untuk dihirup. Semua itu seketia terjadi karena pasukan berisikan kurang lebih 300 ribu tentara dengan perlengkapan senjata lengkap, mengendarai kendaraan berlapis baja yang mampu menghancurkan apa saja. Mereka datang entah dari mana dan kedatangannya seperti badai yang menyapu dan hanya meninggalkan kesengsaraan.
Gerakan mereka diiringi dengan suara jeritan kesakitan di mana-mana. Mayat yang tubuhnya berlubang serta hangus terbakar tergeletak menyisiri jalan. Bau daging dan tulang yang terbakar tercium sangat menyengat sampai bisa menusuk hidung. Orang-orang itu dengan kejamnya membakar seisi kota milik orang-orang tak berdosa dan menjatuhi kota mereka dengan bom dari pesawat yang terbang di angkasa.
Hari itu benar-benar terasa seperti hari akhir. Segala macam keburukan dari neraka seakan datang ke dunia untuk membinasakan para warga di balik dinding sekaligus menuntut pembalasan dari mereka semua. Tak ada yang tersisa sama sekali, rumah-rumah rata dengan tanah. Hanya beberapa yang masih berdiri, namun tinggal menunggu waktu saja pasti rumah itu akan hangus terbakar dan runtuh menyatu dengan tanah. Kebanyakan orang juga sudah menjadi abu dan tersapu dengan tanah. Pulau itu seperti sedang dibumi hanguskan. Hal itu diperkuat dengan perkataan beberapa tentara yang membakar dengan senjata pelontar apinya. Mereka seperti sangat kesal dan menyimpan dendam kesumat kepada para warga yang tinggal di balik dinding. Mereka berteriak saling bersahutan sambil membakar diiringi suara teriakan orang-orang.
“Bakar mereka semua, jangan sisakan satupun dari mereka. Mereka tak layak dibiarkan untuk hidup.”
“Jadikan tempat ini lautan api neraka dan biarkan rajanya tenggelam di dalamnya. Suasana seperti inilah yang cocok untuk keturunan iblis seperti mereka!”
“Jangan biarkan diri kita tertindas dan perempuan kita dijadikan mesin pembuat bayi lagi untuk mereka!”
Entah apa permasalahan yang sebenarnya sedang terjadi. Namun, pastinya mereka memiliki dendam tersendiri pada mereka, orang-orang yang tinggal di balik dinding. Suara kayu dan batu yang terbakar bergemeletuk dimakan api. Asap yang mengepul semakin membuat langit gelap. Tetapi, di tengah bencana semacam itu ada seorang pria dengan perawakan tidak begitu tinggi berkisar sekitar 23 tahun bermata biru dengan rambut melebihi kuping berwarna coklat gelap dan bibir tipis yang merah merona berlari menerjang kobaran api di sekitarnya. Dia batuk karena terlalu banyak menghirup asap dan hidungnya panas sebab udara pada saat itu memang sangat kering untuk dihirup.
Meski begitu, dia tak mengendurkan larinya dan justru malah lebih mengencangkan lagi laju larinya. Dia memikirkan Ibunya yang sedang sendirian di rumah. Dengan gagah beraninya yang menyatu juga dengan rasa takut. Pria itu menghindari kobaran api dan ledakan bom. Dirinya juga menebus asap tebal hasil pembakaran. Di tengah larinya ia meneteskan air matanya. “Ibu…, bertahanlah!” batin pria itu.
Perasaan takut akan terjadinya hal yang tak bisa terbayangkan olehnya membuat larinya semakin kencang tak memedulikan apapun di sekitar. Benar saja, karena terlalu fokus untuk berlari ke depan tanpa memerhatikan jalannya pria itu terkena ledakan dari bom yang meledak tepat di sampingnya. Membuatnya terpental dan setengah badannya serta seragam pasukan gagak berwarna serba hitam yang ia kenakan terbakar. Selain itu juga serpihan kaca dari rumah yang meledak mengenai mata sebelah kirinya. Membuat matanya cidera dan mengalirkan darah.
Karena terpental menghantam tembok dengan keras untuk beberapa saat ia tergeletak. Menutup matanya dan tak sadarkan diri. Awan tak terlihat seperti langit lagi, terlalu gelap untuk menyebutnya awan. Langit tak terlihat seperti langit juga, karena warnanya merah darah bukannya biru pada umumnya. Udara tak lagi menyejukkan saat menorpa wajah. Hanya untuk dihirup saja sangat panas. Di saat berbagai hal semakin parah, pria itu mulai mendapatkan kesadarannya kembali dan membuka satu matanya yang masih normal dengan pelan. Mata kanannya sedikit kabur dan buram dampak dari hentakan yang ia terima saat menghantam tembok. Mata kirinya tertutup dan darah mulai mengalir dari situ. Dengan menahan rasa sakitnya sembari memegangi mata kirinya dengan telapak tangan pria itu berdiri. Bersamaan dengan itu, ia terus-menerus batuk karena terlalu banyak menghirup asap kebakaran. Ia kemudian kembali berusaha untuk meneruskan langkahnya menuju ke rumah dengan tertatih-tatih.
Rasa sakitnya berubah menjadi rasa takut yang semakin menjadi sesaat dirinya sampai ke komplek rumahnya dan melihat rumah tetangga di sekelilingnya sudah hangus termakan api. Ia semakin khawatir dengan ibunya, laju kakinya seketika berhenti tersentak mematung saat terkejut melihat rumahnya sudah amblas hanya menyisakan atapnya. Asap mengepul tinggi menyumbangkan warna hitam untuk awan. Meskipun begitu pria itu tak menyurutkan langkah ’tuk mencari ibunya.
Puing-puing atap dan reruntuhan dinding rumah yang tergeletak di jalanan tak membutnya berhenti. Meski ada rumah yang terbakar ambruk ke jalan dia berhasil menghindar dan terus berlari. Suara ledakan dan tembakan terdengar di berbagai sudut serta asap semakin tebal. Ia merasakan sesak di dada sebab sudah tak ada lagi yang bisa digunakan untuk bernapas. Hingga akhirnya, ia harus menerima kenyataan mendapati setengah badan Ibunya tertimpa atap rumah. Tubuhnya berkedik dan kakinya mematung. Air mata terkucur deras membasahi wajahnya terlebih mata kirinya menjadi semakin menimbulkan rasa perih karena darahnya harus bercampur dengan air matanya.
Ibu anak itu tak berdaya untuk menggerakkan anggota tubuhnya yang masih utuh. Dia tergeletak dengan rambut panjang berwarna coklatnya menutupi wajahnya. Tak mau diam seketika pria itu berlari dengan kencang meski hampir terjatuh karena licinnya jalan dan saking syoknya dia. Dengan napas tersenggal-senggal pria itu langsung menggelincirkan dirinya sendiri dan berteriak.
“Ibu! Bertahanlah!” tangis anak itu meledak. Ia berusaha mengangkat balok yang menimpa badan ibunya sekaligus mengais puing-puing reruntuhan rumahnya. Sayangnya ia tak kuat untuk mengangkat balok besar itu sendirian. “ARGGGHGHGHGHGHG!!!!!” Teriak anak itu sekali lagi berusaha mengangkat balok kayu itu.
Karena teriakannya Ibu pria itu sedikit mendongakkan kepalanya dengan lemas tak berdaya. Dengan lirihnya ia memanggil nama anaknya. “Adler….”
Pria itu bernama Adler. Mendengar suara Ibunya membuat Adler berhenti sejenak dan menoleh menatap mata Ibunya yang berwarna biru sebiru langit sama seperti matanya. Hanya dengan satu mata anak itu mengusapkan isak tangisnya dan sedikit tersenyum, walaupun sesungguhnya dalam dirinya sendiri bingung harus menunjukkan wajah apa. Apakah ia harus senang atau sedih. Tapi, tetap yang terpenting di pikirannya adalah mengeluarkan ibunya dan menyelamatkannya. Namun, percuma saja tangan Adler tak kuat jika harus sendirian mengangkat balok kayu. Terlebih lagi balok itu sedikit panas karena terbakar. Karena itu, ibunya berusaha menghentikan Adler dengan berbicara lemas tak lancar serta napas yang tersenggal-senggal sama seperti Adler.
“Sudah Adler, kamu tidak akan kuat mengangkat balok ini sendirian. Lagipula, setengah badan Ibu sudah remuk. Tak ada kemungkinan Ibu bisa mampu berjalan.”
“Gak…! Aku gak bakal ninggalin Ibu sendirian. Aku bakal menggendong Ibu. Sekarang, Ibu hanya perlu tenang. Uarrgghghgghhh!!!” Adler kembali mengerahkan tenaganya sangat kuat, namun sama seperti tadi balok itu sama sekali tidak bergerak.274Please respect copyright.PENANA20hCXruSkn
Tangan Adler memerah melepuh akibat harus mengangkat balok kayu yang panas dan tangannya juga terluka karena terkena serpihan kayu. Ia tertunduk berlutut lemas sudah kehilangan semua tenaganya diperparah dengan sesak napas yang membuatnya pusing. Ada dalam benaknya untuk pasrah dan menyerah. Tapi, dirinya tak kuasa saat harus melihat wajah Ibunya yang sedang berada di posisi sangat memprihatinkan. Adler sama sekali tak ingin kehilangan Ibu yang sangat disayanginya. Ia rela melakukan apa saja hanya demi agar bisa menyelamatkan Ibunya. Dalam kepalanya terlewat pikiran meskipun seandainya ia harus menjual jiwanya untuk melakukan perjanjian dengan iblis ia tak peduli. Tanpa pikir panjang dengan pasti hal itu akan ia lakukan. Di saat yang mengharukan itu tiba-tiba Ibu Adler yang seakan sudah tak punya harapan lagi memberi pesan terakhir kepada anaknya. Meski, sebenarnya dalam hatinya ia memiliki perasaan untuk bebas bersama Adler dan melihat anaknya akan tumbuh menjadi apa.
“Adler…, dengarkan Ibu,” icap dengan lirih Ibu Adler berusaha memberi pesan terakhir kepada anaknya. “Saat ini sudah tak ada harapan lagi bagi Ibu untuk bebas dari atap sialan ini.274Please respect copyright.PENANAMUHOKfyG81
”Adler paham kemana arah perkataan Ibunya ini menuju dan hal itu membuat air matanya seketika kembali mengalir deras. Tatapannya terfokus pada mata sayu Ibunya yang menunjukkan betapa tak berdaya dirinya. Adler memasang telinganya untuk mendengarkan perkataan Ibunya dengan baik.274Please respect copyright.PENANA5gHyjwoc3u
“Waktu Ibu sudah tidak banyak lagi dan kamu harus pergi dari sini. Tak perlu kamu menghiraukan Ibu. Kamu masih punya masa depan yang panjang Adler meski jalanan untuk itu akan penuh dengan duri dan rintangan. Tolong jagalah Ai dan selalu dengarkan perkataan Ayahmu. Andai saja di saat seperti ini aku masih bisa melihat mereka berdua untuk yang terakhir kalinya.”274Please respect copyright.PENANAymWrxsvNRR
Air mata Adler berderai mendengar pesan terakhir ibunya, namun ‘tuk terakhir kalinya dengan sisa tenaga yang ada dia berusaha mengangkat balok kayu itu. Tangannya tak kuasa menahan panas dari kayu tersebut dan langsung melepaskannya. Di saat seperti itu dia melihat wajah Ibunya yang memberi senyum ke arahnya meski sedang di ambang ujung tanduk kehidupannya. Melihat wajah Ibunya membuatnya terpaku tak dapat berucap maupun bergerak dan wajahnya semakin dibanjiri air mata.274Please respect copyright.PENANAMTX7pSiBfd
Suara gemeretak dari benda-benda di sekitarnya yang mulai runtuh terdengar. Di belakang Adler pun sama terdengar ada suara sepatu dengan kencang berjalan ke arahnya. Adler menengok ke belakang dan terkejut mendapati ada salah satu dari orang yang menjadi dalang kekacauan ini berada di belakangnya. Orang itu menodongkan senapannya dan tanpa pikir panjang dia langsung menarik pelatuk senapannya menembak Ibu Adler. Tepat di hadapan matanya sendiri Adler melihat sebuah kehilangan yang sangat besar. Jiwa Ibunya terangkat seketika meninggalkan raganya di dunia ini dengan kepala yang berlubang. Setelahnya orang itu menodongkan senapannya ke kepala Adler dan seketika langsung terjadi perselisihan cukup sengit di antara keduanya.
Adler berusaha untuk melindungi dirinya. Ia menahan senapan orang itu yang berusaha menembaknya. Tapi, sayang dikarenakan rasa sakit yang sebelumnya sudah ia terima dan juga badannya sudah melemah ia tak memberikan perlawanan berarti bagi orang itu. Adler sudah sangat kelelahan saat ini. Hingga akhirnya karena tubuhnya sudah sangat lemah tak mampu lagi untuk berdiri, ia pun terjatuh tepat di depan orang tersebut dan…, DARRRR!!!274Please respect copyright.PENANAaZhueIuBqN