Ketika teman-temanku menghabiskan waktu istirahat antara jam pulang hingga jam ekstrakurikuler di kantin, aku lebih memilih untuk pergi ke perpustakaan untuk belajar menghadapi ujian kelulusan. Tempat itu selalu sepi. Siapa juga anak SMA waras yang suka menghabiskan waktu di perpustakaan?
Suatu hari, seorang cowok datang dan duduk di depanku. Dari seragamnya, dia adalah anak satu tingkat di bawahku. Sebetulnya semua kursi lain kosong namun entah mengapa dia justru memilih untuk duduk tepat di meja tempat aku belajar. Dalam hati aku menggerutu. Akan tetapi, karena dia hanya membenamkan wajahnya di balik buku dan sama sekali tidak mengeluarkan suara, aku memutuskan bahwa cowok yang baru itu bukan gangguan dan tetap melanjutkan kegiatanku membaca dan merangkum pelajaran.
Beberapa waktu kemudian, akhirnya aku paham alasan mengapa cowok itu memilih duduk di depanku. Ketika aku membungkuk untuk mengambil penghapus dari tasku yang kuletakkan di lantai, saat itulah aku bisa melihat sebuah cermin kecil di di tangannya.
Dari tadi cowok ini mengintipku!4369Please respect copyright.PENANAgMZOlYWITt
Secara refleks aku merapatkan kedua kakiku. Ingin rasanya aku mengumpat dan menampar cowok kurang ajar itu. Di sisi lain, ada sedikit rasa penasaran dalam hatiku. Karena itulah aku memutuskan untuk diam dan tidak berteriak. Cowok itu merasakan bahwa dirinya tertangkap basah dan dalam sekejap mata dia sudah setengah berlari keluar perpustakaan.
Awalnya aku berniat untuk melaporkan kejadian ini ke guru BP. Namun rasa penasaranku sepertinya lebih besar. Dalam hati aku bertanya-tanya apa cowok tadi gak punya pacar sampe sebegitu desperate buat ngintip celana dalamku pake cermin. Yang beginian mah kerjaan anak SD.4369Please respect copyright.PENANAPKQruJq7KJ
Dan aku memutuskan untuk menantang cowok tadi. Minggu depannya, di hari dan waktu yang sama, aku kembali duduk di meja yang sama. Setelah beberapa menit berlalu, aku hampir menyerah menunggu cowok yang mengintipku minggu lalu. Tiba-tiba seorang cowok kembali duduk di depanku. Meskipun dia kembali menutup wajahnya dengan buku, dari gesturnya aku bisa memastikan bahwa ini adalah cowok yang sama dengan minggu lalu.4369Please respect copyright.PENANArpShuTnTt2
Aku pura-pura tak acuh dan fokus dengan buku di depanku. Diam-diam aku berusaha mengintip tangannya. Dan ternyata dia masih membawa cermin! Berani juga cowok ini. Tapi kali ini aku tidak mau kalah. Aku membuka pahaku sedikit. Ada sedikit perasaan geli di sekujur tubuhku saat aku membayangkan apa yang dia lihat dari sudut pandangnya. Kemudian aku menggeser posisi dudukku sedikit ke belakang sehingga dia bisa lebih jelas mendapatkan apa yang dia inginkan. Apa cowok ini bisa melihat vaginaku yang mulai berkedut di balik celana dalamku? Setelah beberapa saat, akhirnya aku mengambil langkah lebih berani. Aku menarik sedikit rokku hingga ke atas paha, memberikan dia pesan bahwa aku tahu apa yang dia lakukan.
Selama seminggu kami berkutat pada rutinitas yang sama. Duduk di tempat yang sama, dia mengeluarkan cermin yang sama, dan aku sedikit mengangkangkan kaki serta menarik rok hingga atas lutut. Itulah ritual yang kami lakukan hingga salah satu dari kami keluar dari perpustakaan lebih dulu.
Selama seminggu itu juga aku selalu bermasturbasi di rumah. Sambil memelilit vulva, aku membayangkan apa yang dia lihat. Aku membayangkan skenario-skenario seandainya dia ternyata adalah cowok dengan inisiatif kuat. Selain itu, aku juga bertanya-tanya apakah dia juga onani menggunakan bayangan di cermin sebagai imajinasinya.
Minggu depannya aku tidak tahan lagi. Status quo ini harus segera dihentikan. Hari itu, aku sengaja datang terlambat. Saat aku datang, dia sudah duduk menunggu di tempatnya.
Aku membuat dia menunggu. Kutumpangkan paha kananku di atas paha kiri, membuat cowok itu tidak memiliki pemandangan sama sekali untuk dilihat. Satu per satu aku mengeluarkan buku-buku besar dari dalam tas kemudian membolak-balik halaman secara asal halaman. Dengan santai aku menambahkan sesi meraut pensil, memperhatikan ujungnya, kemudian meraut lagi berulang-ulang hingga benar-benar runcing. Dalam hati aku tersenyum jahil, membayangkan betapa frustasinya dia menunggu semua sesi pembukaan ini hanya untuk melihat celana dalamku.
Aku menarik nafas panjang tanpa suara, bertanya pada diriku apakah aku ini sudah sinting. Namun jantungku yang berdegup kencang membuat pendengaranku tuli dari suara akal sehatku. Dan aku menjalankan rencana yang sudah kususun dengan rapi semalaman.
Aku mendeham kecil, kemudian berdiri sedikit dan mengangkat rokku sebelum duduk. Akan tetapi, kali ini aku mengangkatnya hingga mendekati pangkal paha. Tanpa kata-kata, sepertinya sudah ada kesepemahaman di antara kami berdua. Dari sudut penglihatanku, aku bisa melihat dia menurunkan tangan kirinya. Dan aku juga melihat kepalanya menunduk ke bawah mencari pantulan celana dalamku di dalam cerminnya. Sayangnya, dia tidak akan mendapatkan apa yang dia cari.4369Please respect copyright.PENANAgb1wTHgBR8
Klang!4369Please respect copyright.PENANAHv1bTr5x2q
Cermin yang dia bawa terjatuh. Dia beruntung cerminnya tidak pecah. Dengan gugup dia mengambil cermin itu. Kemudian sambil salah tingkah dia membuka-buka halaman buku yang dia pasang vertikal di depan wajahnya. Mungkin dia gugup. Mungkin dia malu. Mungkin juga dia bingung. Entahlah, aku tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan. Yang jelas, selama dia panik, aku setengah mati menahan diri untuk tidak tertawa.4369Please respect copyright.PENANA80Mrh2R0IM
Beberapa saat kemudian keadaan kembali kondusif. Cowok itu sudah kembali tenang. Sekarang giliranku yang menjadi tidak tenang. Betapa tidak? Pagi ini aku meluangkan waktu untuk mencukur seluruh jembutku hingga kulit di sekitar vaginaku mengkilap licin. Dan sebelum masuk ke perpustakaan, aku sengaja melepaskan celana dalamku dan menyimpannya di tas.4369Please respect copyright.PENANATzmNZZnARp
Cowok itu kini dapat melihat vaginaku dengan jelas dari cerminnya!
Nafasku menderu. Seluruh tubuhku berkedut kecil karena gelora yang tidak tertahankan lagi. Aku sengaja memajukan pinggulku dan mengangkangkan pahaku lebih lebar lagi. Bibir vaginaku merekah seperti kuncup bunga yang mekar. Dan aku yakin bahwa cowok di depanku bisa melihat dengan jelas dinding vaginaku yang sudah mengkilap basah karena lendir.
Aku memejamkan mata. Kali ini aku setengah mati menahan tanganku untuk tidak turun dan masturbasi. Gairah ini benar-benar menyiksaku. Aku tidak tahan lagi. Seandainya cowok itu datang menghampiriku, aku yakin tubuhku tidak akan bisa menolak apabila tiba-tiba dia menghujamkan penisnya ke dalam vaginaku. Oke, sekarang aku jujur. Sebenarnya aku justru berharap dia datang dan menggagahiku saat itu juga.
Ketika aku membuka mata, betapa kagetnya aku kulihat cowok itu sudah tidak ada di mejanya. Hanya tinggal cermin yang ditumpangkan di atas secarik kertas yang ada di meja.
Aku kesal bukan kepalang. Mau apa sih cowok itu? Dia ngintip aku diem aja. Dia mau lihat celana dalam kukasih vagina. Malah sekarang aku ditinggal begitu saja.
Dengan perasaan berkecamuk, kurapikan rokku dan kurebahkan kepalaku di meja. Aku merasa jijik dengan diriku sendiri. Bahkan dengan menggadaikan harga diriku seperti ini pun dia malah pergi. Apa aku sama sekali tidak menarik? Bahkan cerminnya pun dia tinggal. Mungkin dia juga merasa bahwa aku itu perempuan murahan. Bahwa aku tak layak untuk dikejar lagi. Setelah cukup lama aku menata hati dan mengatur nafasku, akhirnya aku bangkit dan meraih cermin beserta kertas di bawahnya.
Besok, di waktu yang sama dengan skenario yang sama, izinkan aku untuk membalas kebaikanmu.4369Please respect copyright.PENANAFXfvBrF0uT
Entah mengapa beban berat yang tadinya ada di hatiku kini hampir seluruhnya telah menguap. Aku sadar bahwa seharusnya aku menghentikan semua ini. Mungkin bahkan aku harus memeriksakan kondisi kejiwaanku. Tapi entah mengapa hatiku berbunga-bunga, tidak sabar menunggu datangnya esok siang.
Esoknya, sebelum masuk ke perpustakaan aku meraba dahiku dengan telapak tanganku. Panas. Mungkin aku memang sudah benar-benar gila.4369Please respect copyright.PENANA43BDf8P0Vt
Sambil bersikap seolah-olah aku tidak peduli, aku masuk ke dalam perpustakaan dan segera menuju ke meja tempat kami janjian. Cowok itu sudah di sana. Dan kalau mau, aku sebenarnya bisa mengintip wajahnya dari posisi berdiri. Namun sepertinya anonimitas cowok itu sudah menjadi aturan tidak tertulis dari permainan kami, sehingga aku sengaja memalingkan pandangan dari wajahnya ketika duduk di kursi.
Kali ini aku tidak berbasa-basi. Hanya satu buku pelajaran, satu buku tulis, dan satu bolpoin yang aku keluarkan. Kemudian aku melakukan hal yang sama seperti kemarin: menaikkan rokku dan membuka pahaku.
“Pejamkan matamu.”
Setelah sekian lama kami berinteraksi, baru kali ini aku mendengar suaranya. Suaranya sebenarnya biasa saja, tipikal anak SMA pada umumnya. Namun entah mengapa suara itu membuat seluruh bulu kudukku berdiri. Aku sudah lama menanti suara ini.
Mencoba tenang, aku menghirup nafas dan menuruti permintaannya. Aku mendengar dia bergerak dari kursinya. Dan degup jantungku semakin tidak teratur. Apa yang akan dia lakukan selanjutnya?
Aku tersontak saat merasakan sentuhan tangan di kedua pahaku. Cowok itu kini berada di kolong meja. Dan wajahnya kini tepat berada di depan vaginaku!
Dengan lembut dia mendorong pahaku agar lebih terbuka. Aku menuruti kemauannya. Dan aku bisa merasakan labia minoraku terbuka dan memperlihatkan vulva vestibular yang mengkilat karena berlendir.
Dia mendekatkan wajahnya. Dan aku bisa merasakan deru nafasnya menghangatkan seluruh bagian vaginaku. Seluruh tubuhku bergetar. Mungkin sudah sampai tahap kejang. Entahlah, yang jelas aku bisa memastikan bahwa aku kehilangan kontrol hampir separuh dari otot-ototku.
“Mainkan vaginamu.”
Seperti robot tanganku bergerak sendiri dan mulai menggerayangi kemaluanku. Jariku mengusap-usap dinding vagina. Kemudian dengan jari telunjuk dan jari tengah, aku membuka labia minoraku, memperlihatkan jalan menuju rahimku yang masih tertutup sebagian oleh selaput keperawananku.
Aku mau memberikan keperawananku. Dan vaginaku kembali berkedut ketika aku menyampaikan pesan tersirat itu.
Kemudian tanganku yang lain memainkan klitorisku. Awalnya aku mengusap-usap pelan, semakin kencang, hingga aku sendiri tidak bisa mengatur kecepatan jariku yang sudah dikontrol oleh nafsu.
Tiba-tiba tangannya menggenggam tanganku. Dan bahkan sebelum aku sempat memprotes di dalam hati, tiba-tiba aku merasakan lidah lelaki itu menggantikan pekerjaan tanganku. Dengan cepat dia menjilati klitorisku. Kemudian dengan lihai dia menyapu seluruh permukaan vaginaku dengan lidahnya.
Aku sendiri tidak bisa mengingat dengan jelas apa yang aku rasakan saat itu. Yang jelas-jelas aku ingat adalah tanganku merenggut rambutnya dan membenamkan kepalanya dalam-dalam ke dalam selangkanganku. Kemudian aku menggelinjang dengan hebat. Kaki-kaki kursi ikut bergeretak saat aku mengalami orgasme yang belum pernah aku alami sebelumnya. Dan aku juga masih mengingat jelas bunyi ketika cowok itu menyeruput cairan cintaku yang keluar tak terkendali.
Selanjutnya semuanya samar. Ketika kesadaranku kembali sepenuhnya, rokku sudah dirapikan dan kepalaku dalam posisi rebah di meja dengan buku tertangkup di atas kepalaku, persis seperti orang yang ketiduran waktu di kelas.
Cowok itu kembali pergi. Namun kali ini dia tidak meninggalkan pesan. Dan ketika hari-hari berikutnya aku kembali ke perpustakaan, dia tidak pernah muncul lagi. Hanya cermin kecil yang kini selalu aku bawa di kantong make-up yang menjadi memento semua yang terjadi di ruangan itu. Hingga kini, setiap kali aku pergi ke tempat yang sepi untuk membaca buku—entah di perpustakaan umum, warung kopi, atau di tempat lainnya—aku selalu menyimpan celana dalamku di dalam tas. Aku ingin vaginaku selalu siap untuk kalau kebetulan aku bertemu dengan cowok itu lagi.
4369Please respect copyright.PENANAhDxzi5lNd6