Selamat membaca!
.
.
.
Dua mangkuk menu sarapan tersaji cantik di atas sebuah meja makan minimalis retro modern mengkilap berbahan kayu jati. Juga dua orang yang duduk berseberangan menatap menu sarapan pagi itu dengan tatapan yang berbeda. Si Perempuan yang menatap dengan binar bangga—karena akhirnya ia berhasil menyajikan makanan itu di atas mangkuk. Lalu, Si Pria dengan tatapan penuh tanda tanyanya.
Si Pria, Hagla Fathar Ghazalah, memiringkan kepalanya, "Menu sarapan hari ini namanya apa, Sayang?" matanya sedikit menyipit tetap memandang masakan istrinya itu.
"Ini bubur goreng," jawab sang istri antusias, "Jadi, cara buatnya itu bawang putih sama bawang merah ditumis, terus masukin hati ampela sama paha ayam. Lanjut masukin kaldu, bubur yang udah mateng, bayam, sama jamur kancingnya. Tambah garam sama merica juga. Taburannya ada pangsit, daun bawang, cakwe. Ada kecap asinnya juga sedikit," ia mengeluarkan senyuman yang manis, "gitu loh, Mas."
Mendengar jawaban istrinya, Nayyara Nazifa, Hagla mengangguk dan ikut tersenyum. Perlahan tapi pasti ia mulai menghabiskan sarapan paginya dengan sang istri di hadapannya yang masih setia memandang lekat dirinya suapan demi suapan. Setelah mangkuknya kosong, ia mulai mengeluarkan komentarnya untuk masakan istrinya—seperti yang selalu istrinya minta.
Ia menatap istrinya dalam, "enak, tapi mungkin agak kurang cocok di lidahku. Menurutku kalo kamu mau masak ini lagi garamnya dikurangin sedikit, Sayang."
"Gitu, ya?" Ara mengerucutkan bibirnya kecewa karena setelah proses menakar bahan dan bumbu yang ia lakukan secermat mungkin, ternyata belum bisa menghasilkan masakan yang benar-benar enak.
Hagla tersenyum, "udah enak, kok, ini. Nanti bisa belajar lagi, coba menu baru."
Ara tersenyum kecil dan mengangguk. Sudah hampir satu tahun usia pernikahan mereka dan dirinya masih belum bisa memasak dengan benar. Meskipun suaminya tidak pernah mempermasalahkannya sejak awal, namun rasa tanggung jawabnya sebagai istri terus menggebu. Ia ingin memberikan yang terbaik untuk suaminya. Untuk imamnya—pria terbaik nomor tiga miliknya.
Setelah mengantar kepergian suaminya ke kantor dari depan pintu rumah, ia kembali ke meja makan. Sejenak menatap bubur goreng buatannya sendiri dan kemudian tanpa ragu mulai menyuapkan ke dalam mulutnya. Ia cukup percaya diri dengan dengan masakannya hari ini. Toh, suaminya bilang ini enak.
Ia terdiam beberapa saat menahan sesuap bubur goreng di mulutnya, "Ini, sih, asin banget namanya," ia menggigit ujung lidahnya menahan rasa garam setelah bersusah payah menelannya.
"Mas Hagla........." Pada akhirnya ia hanya merengekkan nama suaminya itu kepada aroma bubur goreng yang masih setia menguar di atas meja makan, “bisa-bisanya Mas Hagla bilang ini enak dan dia abisin sampe mangkuknya bersih.”
Ara mengeluarkan ponsel dari saku cardigan yang ia kenakan dan mulai mengetikkan pesan dengan nama penerima ‘Mas Hagla’. Ada gambar hati berwarna merah di belakangnya. Ara mengirim pesan bernada kesal kepada suaminya karena mengatakan bahwa bubur goreng buatannya enak padahal sangat asin. Ara juga meminta suaminya untuk berjaga-jaga apabila kembung atau sakit kepala. Sedikit berlebihan? Eum..sayang suami!
Ara ke dapur mulai memanggang dua lembar roti tawar. Setelah warna keduanya berubah kecoklatan, ia segera memindahkannya ke atas piring putih porselen dan mengolesinya dengan selai kacang untuk asupan paginya. Tidak lupa tambahan beberapa irisan pisang yang ditata hampir menutup seluruh permukaan selai kacang. Ara membawanya ke kamar dengan satu gelas susu UHT juga. Akhirnya ia bisa menikmati sarapan pagi ini sambil menggulir layar laptop dan mengetikkan balasan untuk beberapa pesan kerja sama endorsement yang masuk ke akun email miliknya.
Ara termasuk perempuan yang aktif di media sosial. Ia memiliki akun hampir di semua media sosial teratas. Karena sudah lama dia menekuni hal ini, pengikutnya pun sudah tidak bisa dibilang sedikit. Konten-konten yang ia unggah adalah seputar make-up dan fashion. Beauty influencer? Hanya dua atau tiga unggahan tentang kehidupan pribadinya, termasuk tentang pasangan hidupnya, Mas Hagla-nya.
Tentang pria terbaiknya—nomor tiga setelah ayahnya dan pamannya, Ara masih belum bisa berhenti untuk menanyakan beberapa pertanyaan kepada dirinya sendiri. Apakah ia benar-benar pantas mendampingi Hagla? Apakah Hagla merasa bahagia dengan memilikinya sebagai istri? Apakah dirinya adalah istri yang baik? Apakah Hagla sudah merasa cukup bersama dirinya?
Jawaban yang selalu muncul adalah jawaban yang akan membuat suasana hatinya menurun. Karena Hagla yang tampan, cerdas, karismatik, bisa melakukan banyak hal, memiliki istri dengan kapasitas otak pas-pasan, tidak (belum) jago masak, lumayan sering mengacau, dan belum mengandung juga.
Di mata Ara, setelah lebih mengenal Hagla melalui suatu hubungan pernikahan, Mas Hagla-nya terlihat normal. Banyak tersenyum, tertawa, bercanda, sesekali menjahili dirinya. Terkadang suaminya itu menemaninya memasak—lebih seperti mengajari dan Ara hanya menonton. Beberapa kali juga suaminya membereskan kekacauan yang ia lakukan, seperti lupa membawa sesuatu ke lokasi photoshoot, lupa menaruh kunci rumah atau kunci kendaraan, lupa merek pasta gigi saat belanja bulanan, tidak sengaja keluar akun media sosial tanpa mengingat kata sandi, lantai yang tergenang air karena katanya selesai dipel, vacuum cleaner baru yang tiba-tiba tidak berfungsi dengan benar, dan tentu saja kekacauan di dapur.
Hagla terlihat baik-baik saja. Tidak ada beban kecuali beberapa pekerjaan kantor yang memaksa ikut pulang ke rumah dan membuatnya terus-menerus menghela nafas. Suaminya tidak pernah mengeluhkan apapun, semuanya, termasuk pertanyaan orang-orang tentang ‘isi’.
Orang-orang bilang Hagla beruntung bisa menjadikan seorang beauty influencer yang terkenal dengan kecantikan dan attitude-nya yang mengagumkan sebagai pendamping hidupnya. Jika semesta ingin mendengar, maka sebenarnya Ara adalah yang merasa sangat beruntung dengan memiliki Hagla di sisinya.
Mas Hagla-nya yang cerdas tanpa pernah membuatnya merasa bodoh. Mas Hagla-nya dengan sekian banyak kemampuan tanpa pernah membuatnya merasa tidak berguna. Mas Hagla-nya yang mempesona dengan air wudu yang menetes dari wajahnya. Mas Hagla-nya yang mengagumkan saat sedang khusyuk berdoa setelah salatnya. Mas Hagla dengan suara merdunya yang melantunkan ayat-ayat al-Qur’an. Mas Hagla yang selalu bersabar tentang apapun. Apapun.
986Please respect copyright.PENANAuwO89fpHBi
Author note:
Thank you, karena udah baca bagian pertama “Hai, Imam!”. I truly hope the second part can be released the following week. So please look forward to it.
Free to vote, comment, and follow []~( ̄▽ ̄)~*
Terima kasih
986Please respect copyright.PENANA1GIjIrQM4l
-September 3rd, 2022986Please respect copyright.PENANACQZHkldvTT
986Please respect copyright.PENANAyobxWIguD8
(picture by: pinterest)