[ Moon Coast Region, Eridu City, Eridu Regency ]
Sebuah pesisir pantai dekat pelabuhan, di sana terdapat banyak bangunan rumah warga pinggir pantai. Salah satu di antaranya, ada sebuah rumah kecil dengan atap berwarna biru laut yang difungsikan sebagai barbershop. Kemudian tak jauh dari situ, ada seorang perempuan memakai sepatu ungu, berpakaian putih dan kepalanya mengenakan topi pantai sedang berjalan mengarah pada barbershop tersebut. Ia berhenti sejenak begitu tepat di depan kaca, menengok ke arah dalam. Kebetulan sedang kosong dari pelanggan. Lalu perempuan itu melanjutkan langkah kakinya untuk memasuki barbershop.
Krincingg~
Suara bel ‘selamat datang’ menyambutnya. Kemudian disusul oleh sambutan hangat dari si penjaga meja—resepsionis. Namun sebelumnya, dia terkejut singkat saat melihat pelanggan yang masuk.
“Selamat datang …,” ucapnya penuh dengan keramahan.
Si penjaga meja adalah seorang wanita berambut ungu tua dengan mengenakan kacamata hitam di atas kepalanya. Tak hanya dia saja, dirinya ditemani oleh seorang capster laki-laki yang berambut hitam pekat panjang tergerai. Dirinya semenjak tadi sudah memakai pakaian capster. Namun si laki-laki tersebut diam-diam saja. Dia hanya mempersiapkan kursi dan juga peralatan memangkasnya. Sedangkan wanita tersebutlah yang mengarahkan si pelanggan.
“Mau cuci dulu atau langsung potong?” tanya wanita berambut ungu itu.
“Lebih baik cuci dulu saja.”
“Baiklah. Silakan menuju kemari.”
Pelanggan diarahkan pada kursi khusus untuk mencuci rambut. Wanita itu seperti memberi sebuah tanda isyarat kepada capster-nya. Seperti berbicara ‘kali ini aku saja’, dan laki-laki tersebut mengangguk dan langsung menyiapkan sebuah handuk bersih.
Wanita itu menggulung kedua lengan bajunya, menyalakan air keran, dan langsung mengerjakan bagiannya, mencuci rambut pelanggannya berwarna ungu terang dan yang terlihat sangat panjang dan berat.
“Anda memelihara rambut sepanjang ini sudah berapa lama?” tanya si resepsionis.
“Sepertinya sudah 2 tahun.”
“Ooh … lama juga ternyata.”
“Dulunya pernah sampai selutut. Tapi aku putuskan untuk memotongnya sedikit.”
“Begitu, ya? Tapi … kenapa Anda memutuskan untuk datang ke tempat potong rambut pria?”
“Ya. Karena saya mau tampil dengan rambut pendek.”
“Hmm … memang jawaban yang benar. Akan tetapi kenapa Anda tidak datang ke tempat potong rambut wanita saja? Kami khawatir kalau selera kami kurang cocok dengan Anda.”
“Hehe … bertanya seperti itu sesudah kamu mencuci rambutku, ya?”
“Hehe … saya kira, Anda hanya ingin merapikan saja. Kalau untuk potong tipis-tipis, kami masih bisa, sekalipun untuk seorang wanita sekalipun.”
“Justru itulah aku mau kemari. Karena aku membutuhkan seorang capster yang paham dengan selera rambut pria.”
“Jadi begitu, ya?” “Baiklah … sudah selesai.” Si resepsionis membungkus rambut wanita itu dengan handuk kering.
Sehabis itu, ia dibawanya ke kursi pangkas rambut dan diambil alih oleh si capster. Dia mengeringkan rambut sambil merapikan rambut wanita itu dengan perlahan. Setelah agak kering, si capster mulai bertanya.
“Mau dipotong pendek, ya?”
“Betul.” “Aku pasrahkan semuanya pada keahlianmu.”
“Hmm ….”
Pertamanya si capster sempat bingung. Ia terdiam sejenak memikirkan sebuah ide. Si wanita itu mau menunggu dengan sabar. Dan ketika si capster menoleh ke arah poster yang berisi berbagai macam model rambut pria, ia memandang pada salah satunya. Maka terbesitlah sebuah ide bagus dari dalam kepalanya.
“Ah, aku mengerti.” “Baiklah, akan aku mulai sekarang.”
“Ya.”
Maka si capster mengambil gunting sisir dan mulai untuk memotong rambut si wanita itu dengan cukup cepat namun tetap berhati-hati.
***
Beberapa waktu kemudian, selesailah si capster memotong rambut wanita itu. Ia mengambil sebuah cermin bundar dan mengarahkannya pada bagian belakang dan samping kanan-kiri dari rambut wanita itu.
“Bagus. Semuanya sudah pas,” ucapnya sembari mengangguk senang.
Lalu si capster mempersilakannya untuk kembali ke tempat cuci rambut yang sudah dijaga oleh si wanita resepsionis. Rambutnya akan dicuci sekali lagi. Baru sesudah itu, dikeringkan sesuai dengan selera pelanggannya.
“Mau dikeringkan sendiri atau aku saja?”
“Aku percaya dengan pekerjaan tanganmu.”
“Uh, baiklah.”
Memang lebih baik bertanya lebih dulu daripada langsung dikerjakan. Namun si wanita itu benar-benar mempercayakan seutuhnya kepada capster yang memang sudah ahli dalam hal potong-memotong rambut.
“Mau ditambah vitamin?”
“Sepertinya tidak perlu. Cukup dikeringkan saja tidak masalah, kok.”
“Baiklah. Sudah selesai.”
“Terima kasih banyak, ya.”
“Ya.”
Wanita itu menuju ke meja resepsionis untuk membayar.
“Mau pakai kartu atau cash?”
“Kartu saja.”
Tentu saja metode pembayaran sudah modern. Jadi tidak hanya dapat memakai pembayaran cash saja.
“Oh ya, bisa minta tolong untuk isikan survey penilaian kami sebentar?”
Si wanita resepsionis menyodorkan sebuah kertas seperti kartu yang berisi nama, asal domisili, email, dan pilihan survey kepuasan.
“Boleh.”
Wanita itu mengisi sesuai dengan keterangan yang ada. Dan tentu saja, dia mencentang kotak dengan tulisan ‘sangat puas.’
“Sudah selesai.”
“Terima kasih banyak untuk kunjungannya.”
“Ya, sama-sama.”
Wanita itu tersenyum puas. Lalu ia hendak berjalan meninggalkan barbershop itu. Tapi sebelum ia membuka pintu …
“Nona Vollerei, tunggu dulu ….”
“Ya, ada apa?”
“Apa Nona ingin berkunjung ke Pulau Belobog?”
“Iya. Kebetulan aku sudah memesan tiketnya. Tinggal masuk ke dalam kapal saja.”
“Kalau begitu …”
Si wanita resepsionis mengambil secarik kertas kecil dari mejanya, kemudian diberikannya kepada wanita berambut ungu terang itu.
“Terimalah ini. Jika Anda ingin belanja berbagai macam barang, toko ini wajib untuk Anda kunjungi. Di sini jauh lebih lengkap dari toko-toko lainnya.”
“Wah, terima kasih banyak ya. Sepertinya kamu sudah tau kalau aku memang mau ke Pulau Belobog ….”
“Karena Anda sudah tampak jelas bukan warga sini. Makanya saya ingin memberikan ‘petunjuk’ ini kepada Anda.”
Wanita itu tersenyum lembut.
“Kalau begitu, aku permisi dulu.”
“Ya. Kami juga berterima kasih atas kepercayaan Anda kepada capster kami. Hati-hati di jalan dan selamat menikmati hari liburan, Nona Vollerei.”
Ia berpamitan dengan wanita resepsionis dan mengucapkan terima kasih kepada capster menggunakan bahasa tubuh. Lalu beralih dari barbershop yang bernama Rèn tersebut untuk melanjutkan berjalanannya menuju ke dermaga, tempat persinggahan kapal kecil atau kapal wisata antara wilayah Eridu dengan Pulau Belobog di sebelah barat.
“Bladie, gimana perasaanmu saat pertama kali menangani pelanggan wanita?” tanya wanita resepsionis itu.
“Biasa saja,” jawabnya sembari menyapu sisa rambut di lantai.
“Ooh … begitu, yah …?”
Tetapi si wanita resepsionis itu mengamati bahwa capster-nya mengambil sebagian potongan rambut dari pelanggan tadi. Kemudian disimpannya ke dalam kantong pakaiannya.
“Katakan padaku, Bladie … untuk apa kamu mengambil potongan rambutnya?”
“Sekalipun dia bukan warga pesisir sini, tapi dia juga bukan warga dari kota ini.”
“Berarti asumsimu mengatakan kalau Nona Vollerei bukan warga asli wilayah Eridu?”
“Ya.”
“Mungkin saja … yah … dia memang berasal dari luar kota dan merupakan seorang wanita dari keluarga terhormat.”
“Bisa saja.”
Bruakk!!
Tiba-tiba saja muncul suara ‘rusuh’ dari lantai atas yang kedengaran cukup keras.
“Heh, apa yang sebenarnya dia lakukan??”
Kemudian, wanita resepsionis itu menengadah ke atas.
“Silver Wolf! Kamu main game itu lagi, ha?!”
“E—Enggak, Kafka …! Aku lagi cari artikelku di atas lemari, tapi enggak sampai jadinya aku jatuh!”
“Dasar dia itu ….”
Lalu ia naik ke lantai dua untuk menghampiri seseorang bersuara perempuan yang dipanggil dengan sebutan ‘Silver Wolf’. Begitu sampai di lantai dua dan memasuki sebuah kamar, dihampirilah perempuan tersebut yang masih rebahan di atas lantai kayu.
“Silver Wolf, mau sampai kapan kamu tiduran di situ, ha?”
“Aku gak tiduran, kali. Punggungku beneran sakit, nih ….”
“Hah, makanya gak usah aneh-aneh.”
“Aku gak aneh-aneh, Kafka …! Aku emang mau ambil kertas artikelku di atas situ!”
Seorang perempuan yang berambut perah berpilin-pilin itu sambil menunjuk ke arah atas lemari. Di pinggir sana sudah tampak sedikit bagian dari kertas putih yang dimaksudkan Silver Wolf.
“Ya sudah, aku ambilkan.”
Kafka mengambil secarik kertas yang bahkan sudah ‘lecek’ itu. Kemudian dibacanya perlahan.
“Hoi Kafka, bawa sini padaku ….”
Tapi Kafka tak meresponnya. Dia tetap serius membaca semua tulisan dan gambar yang terpampang.
“Kenapa kamu menulis dan menggambar panduan semacam ini? Kuno sekali, padahal bisa cari di internet, kan?”
“Itu panduan yang mau kubuat kenyataan.”
“Maksudmu?”
“Ya, aku mau membuat game sejenis itu. Tapi karena aku masih butuh bahan-bahan yang lain, makanya untuk sementara aku taruh di atas lemari. Biar aku tetap ingat.”
“Apa yang sedang kamu pikirkan, Silver Wolf? Bukannya bisa kamu ketik dan simpan ke dalam laptopmu?? Ada-ada saja kamu ini.”
“Justru kalo aku menulisnya di kertas, aku bisa langsung ingat ….”
“Di dunia sekarang ini sudah ada yang lebih praktis, tapi kamu masih saja memakai cara kuno semacam ini. Gimana kalo aku buang saja ini?”
“Hoi, jangan!! Sembarangan aja!” “Bawa sini!” Silver Wolf seketika menarik kertas itu dari tangan Kafka.
“Mau ditaruh di atas lagi?”
“Enggak! Lebih baik aku simpan di dalam laptop saja!”
“Hahh … aku punya usul tempat yang bagus untuk menyimpan kertas dan buku-buku.”
“Apa?”
Kafka berjalan mendekati lemari cermin. Ia membukanya. Di bagian bawahnya ada sebuah laci. Ia membukanya, lalu mengambil sebuah kotak logam yang cukup besar. Dan ia buka dengan cepat.
“Taruh aja di sini. Lalu kotaknya kamu simpan di bawah meja. Jadi kalo kamu menggerakkan kakimu, langsung terasa.”
“Oh begitu, yah? Boleh juga.”
“Kamu ini …. Ada hal yang mudah tidak pernah kamu pakai.”
“Ngomong-ngomong … kotak ini milik siapa?”
“Dulu milikku, tapi sekarang tidak pernah aku pakai.”
“Buat apa?”
“Buat menyimpan buku-buku favoritku. Tapi sekarang buku-bukunya sudah termakan usia. Makanya aku ganti bacaanku menjadi digital. Tapi tentu saja … sensasi membawa buku fisik itu … memang menyenangkan.”
“Cih, masih juga suka cara tradisional.”
“Khusus untuk membaca buku saja, Silver Wolf. Kalo soal tulis-menulis ya tetap pakai laptop, lah.”
“Hah, alasan kamu aja.”
Krincingg~
“Ah, pelanggan datang lagi. Aku harus turun.”
“Ya sana-sana, hush-hush ….”
“Hei, jangan panjat-panjat lemari lagi, mengerti?”
“Iya, iya.”
Seperti sebelumnya dan seperti yang sudah-sudah, Kafka menyambut pelanggan yang datang dengan ramah dan penuh perhatian.
Sementara di tempat lain, di pinggir dermaga, Nona Vollerei sudah mengantri untuk masuk ke dalam kapal wisata yang akan menuju ke Pulau Belobog. Begitu tali pengait dilepaskan, maka segeralah kapal wisata itu melaju perlahan. Nona Vollerei sedikit kebingungan mencari tempat duduk yang kosong.
“Nona, kursi di sebelah sini kosong,” ucap seorang lelaki yang sedang duduk santai yang memakai topi koboy pada kepalanya.
Nona Vollerei langsung menoleh ke arah lelaki tersebut. Kemudian memutuskan untuk duduk tepat di sebelahnya.
“Apa yang sedang kamu lakukan di tempat ini?” tanya Nona Vollerei secara langsung.
“Jalan-jalan. Mencari suasana baru.”
“Lalu, gimana dengan adikmu?”
“Tenang aja. Dia sudah dewasa kok, sudah pasti bisa mandiri.”
“Hm, begitu rupanya.”
“Dia punya ‘misinya’ sendiri. Aku pun juga punya ‘misi’ sendiri.”
“Apa dia sendirian seperti dirimu?”
“Tidak. Untungnya dia punya beberapa teman yang dekat dengannya dan bisa dipercaya.”
“Baguslah.”
“Apa jangan-jangan kamu sedang mengkhawatirkan diriku?”
“Mana mungkin …. Untuk apa aku mengkhawatirkan dirimu, Wise. Aku cukup percaya kalau dirimu mampu mengatasinya.”
“Haha, begitu pula dengan dirimu. Benar kan, Seele?”
Ia pun langsung menatap kedua mata lelaki itu.
“Hehh … sebaiknya jangan panggil nama depanku, oke.”
“Cuma ingin tau saja dengan reaksimu. Dan ternyata … masih sama saja.”
Nona Vollerei menghela napas cukup panjang.
“Baiklah …” sambil menarih kedua tangannya ke atas, “kita nikmati saja dulu perjalanan ini. Bukankah begitu, Nona Vollerei? Iya, kan?”
“Jangan coba-coba menggodaku terus, Wise ….”
“Eh? Siapa yang menggodamu, Vollerei??” “Oh ya, apa kamu enggak merasa kepanasan, toh?”
“Enggak.”
“Apa kamu gak pakai payung aja?”
“Gak bawa.”
“Losion?”
“Gak.”
“Sayangnya … aku gak tega kalo kamu gosong ….”
“Aku bukan ikan bakar, Wise. Lagipula aku sudah terbiasa terpapar sinar matahari berjam-jam di luar rumah. Kulitku enggak selemah itu.”
“Luar biasa ….” “Tapi Vollerei ….”
“Apa?”
“Sebenarnya aku lebih suka kalo kamu berambut panjang ….”
“Apa potonganku ini jelek di matamu?”
“Ah, bukan itu maksudku. Tapi kalo disuruh memilih … aku lebih suka kalo rambutmu panjang. Asal enggak seperti dulu yang sampai selutut itu. Kasihan lehermu yang menanggung beban seberat itu.”
“Masa lalu janganlah dibahas lagi.”
“Oke.”
Wise langsung terdiam. Dan beberapa waktu kemudian sebelum sampai di dermaga Pulau Belobog, Vollerei menanyakan suatu hal kepada Wise dengan cukup serius.
“Apa kamu betulan menyukai rambut panjangku, Wise?”
“Iya.”
“Kamu menyesal kalo aku potong pendek?”
“Tidak.”
Kapal sudah sampai di dermaga. Tali tambang pun dikeluarkan lalu diikatkan ke batang kayu yang ada di sana. Para penumpang lainnya mulai bersiap untuk keluar dari kapal.
“Memang aku lebih suka kalo kamu berambut panjang. Tapi dengan rambut pendek seperti itu … bukan berarti aku tidak suka. Aku pun juga suka dengan model rambut pendekmu itu, Vollerei.”
Mereka berdua masih duduk di tempat duduk masing-masing, sembari mereka dilewati oleh para penumpang lain.
“Begitu, ya?”
“Ya.”
Baru setelah itu, mereka berdua berdiri dan berjalan ke luar dari kapal. Namun sebelum mereka berdua memutuskan untuk berpisah, Vollerei mengucapkan sesuatu kepada Wise.
“Terima kasih ya, Wise ….”
“Untuk apa?”
“Untuk ucapanmu tadi.”
“Oh, oke. Sama-sama.”
Kemudian Wise berpamitan dengan Vollerei. Ia bergi mengarah ke arah selatan. Akan tetapi sebelum dirinya berjalan jauh, Vollerei memanggilnya sejenak.
“W—Wise!!”
“Ya?”
“Hati-hati dengan misimu!”
“Kamu juga, Vollerei!”
Kembali melambaikan tangan serta tersenyum hangat satu sama lain. Lalu berpisahlah mereka berdua masing-masing ke jalan yang mereka tuju. Vollerei melanjutkan perjalanannya menuju ke utara kemudian naik ke jalanan yang menanjak.
***
Dok-dok-dok
Suara pintu diketok oleh seseorang.
“Tunggu sebentar.”
Dari dalam sudah ada balasan suara perempuan yang terdengar cukup halus. Lalu terdengarlah suara hentakan sepatu mendekati pintu.
Jegrek
Ketika dibukanya pintu, maka tampaklah seorang laki-laki yang berhadapan langsung dengan perempuan itu. Laki-laki itu berambut pendek berwarna perak.
“Kamu??”
Ekspresi wajah perempuan itu seketika terkejut.
“Ya, ini aku,” jawab laki-laki itu.
“Sejak kapan kamu ada di daerah ini?”
“Hehe, akan aku ceritakan nanti.”
“Oke. Masuk aja, Wise.”
“Terima kasih banyak, Himeko.”
Pintu pun seketika ditutup.
ns 15.158.61.15da2