[ Eridu City (Capital of Eridu), Eridu Regency ]
Pada waktu itu, langit sedang mengguyurkan air hujan yang sangat berlimpah. Membuat setiap pinggir jalanan tergenang karena saking derasnya aliran air yang masuk ke dalam selokan. Beberapa orang yang sedang menunggu bus di depan halte makin tampak cemas melihat cuaca yang ekstrim, terutama bagi mereka yang tak membawa payung. Kebanyakan dari mereka sepertinya ingin segera pulang ke rumah sehabis pulang kerja. Kelihatan jelas dari seragam formal yang mereka pakai. Sepertinya mereka tak mau seragamnya terlalu banyak kena air, apalagi air yang dari pinggir jalan. Di situ pula, ada seorang gadis berpakaian kasual sedang duduk, sambil memegang sebuah payung ungu yang cukup besar. Ia tampak tenang menunggu bus datang karena jika dilihat cara memegang payungnya, berbeda dari orang-orang di sekitarnya. Ia mengarahkan payung itu ke depan dan hampir seluruh badannya ketutupan. Meskipun kanopi halte bus sudah lumayan lebar, akan tetapi gadis itu benar-benar ingin melindungi bagian depannya yang tentu saja… dari cipratan air ketika ada kendaraan atau bus datang. Sebuah cara antisipasi untuk meminimalisir pakaiannya dari basah kuyup.
Selang waktu 3 menit, bus yang ia nanti-nantikan datang. Hanya saja karena tubuhnya termasuk kecil, jadinya ia mengalah agar masuk agak terakhir. Membiarkan orang-orang ‘dewasa’ masuk duluan dengan buru-buru. Padahal yang namanya pintu bus hanya terbuka selama 20 detik saja. Ya mau tidak mau, tiap orang yang masuk maupun keluar harus cepat-cepat—kecuali kalau ada lansia, baru si sopir menahan pintu otomatis bus lewat tombol khusus. Dengan waktu yang terbatas, si gadis kecil yang membawa payung besar itu mulai melangkahkan kakinya ke anak tangga. Namun karena payungnya terlalu besar baginya, jadinya ia kurang bisa cepat menutupnya. Ia mulai sedikit panik. Countdown pintu bus hampir habis, saatnya untuk menutup. Lalu ada suara hentakan kaki cukup keras yang terdengar sampai di area halte bus. Ketika sudah berada tepat di depan pintu bus belakang, dia menghentikan langkah kakinya.
Sreeet~
Dia adalah seorang laki-laki yang memakai kerudung jaketnya. Kemudian dengan cepat, ia segera membantu gadis itu menutupkan payungnya. Tiba-tiba dengan cepat pula, lelaki itu naik mendahului gadis itu dan menarik tangannya agar dapat masuk ke dalam bus.
Jlab!
Maka pintu belakang bus itu pun tertutup rapat. Mereka berdua masuk ke dalam bus di waktu yang tepat. Lalu mereka berdua saling tatap-menatap heran.
“Caelus? Kenapa kamu narik tanganku tiba-tiba?! Sakit, tau!”
Teriak gadis itu di hadapan lelaki yang bernama Caelus itu. Meski teriakannya dapat didengar orang lain, namun sepertinya orang-orang situ enggak mempedulikannya. Mungkin sudah biasa kali ya ada teriakan-teriakan di bagian belakang bus kota.
Lelaki itu memiliki mata berwarna kuning keemasan, rambut pendek keabu-abuan, dan dirinya berperawakan tinggi. Sehingga membuat gadis yang memang sudah bertubuh kecil, jadi makin tampak mungil.
“Kalo enggak aku tarik, nanti bakal terjepit. Kamu bakal jadi perkedel udang, Fu Xuan.”
“Ugh! Kan pintu otomatisnya buka lagi kalo masih ada orang ….”
Sedangkan untuk gadis yang sedang diledek Caelus itu, memiliki rambut panjang tergerai terbelah dua sisi berwarna pink, poni belah tengah seperti tirai, dengan kedua mata berwarna pink juga.
“Iya kalo mau buka. Kalo enggak?” tanggap Caelus dengan mata datar.
“Ih, nyebelin!!”
Sesudah lewat sesi bercandaannya, mereka berdua duduk bersebelahan. Tetapi Fu Xuan, si gadis mungil itu, memilih untuk duduk lebih jauhan. Apa betul kalau perempuan lagi ngambek sama teman laki-lakinya memang suka begitu, ya? Kemudian tanpa ucapan apapun, Caelus menawarkan satu pack tisu untuk dia. Fu Xuan hanya memandanginya ketus.
“Napa?”
“Kakimu basah, kan?”
“Iya. Tapi aku bisa pakai tisuku sendiri.”
“Ah, ya sudah.”
Caelus hendak menyimpan tisunya kembali. Akan tetapi …
Grab!
Tiba-tiba saja tisunya direbut.
“Ini semua gara-gara kamu!”
Fu Xuan ngambek sambil menyobek segel dari tisu itu dengan cukup kasar. Untungnya, tisunya enggak pada keluar semua.
“Gak perlu sekasar itu kali bukanya ….”
“Sepatuku jadi ikutan basah, nih!”
Fu Xuan mengomel terus sambil menyeka kedua kakinya yang basah itu gegara Caelus berlari ke arahnya tadi. Sedangkan Caelus sendiri tampak tenang-tenang saja karena ia memakai sandal. Kalaupun basah bisa dikeringkan dengan praktis.
“Sini aku bantu buat mengelap sepatumu.”
“Gak perlu.”
“Kan aku yang bikin basah sepatumu, jadi biarkan kubantu.”
“Enggak perlu! Aku sendiri aja udah bisa.”
“Atau … kalo udah sampai rumah, berikan seputumu padaku, biar aku laundry-kan sekalian.”
“Heh?? Udah kukatakan enggak perlu, Caelus …!”
Fu Xuan sedikit menatapnya tajam. Tapi itu karena terkejut sedikit.
“Katamu, aku yang bikin basah sepatumu, kan? Ya … makanya aku mau menawarkan buat cuci sepatumu.”
“Huh …. Makasih banyak buat tawaranmu. Tapi khawatirnya kalo kamu bawa ke laundry, bisa-bisa sepatuku malah jadi rusak.”
“Aku punya laundry langganan, kok. Semua hasil cuciannya benar-benar memuaskan. Termasuk sepatu dan sandalku juga sering aku bawa ke sana. Tapi kalo kamu enggak mau dibawa ke laundry, bisa aku cuci sendiri, sih. Untuk bahan-bahan pencucinya aku pasti pakai produk yang berkualitas.”
“Ah, repot amat …. Sekali lagi, terima kasih buat tawaranmu, Caelus …. Aku bisa mencucinya sendiri.”
“Hmm … ya sudah kalo maumu begitu ….”
Kedua kaki dan sepatu Fu Xuan lumayan sudah kering. Namun ada satu hal yang dibingungkan olehnya. Dikarenakan di dalam bus tidak ada tempat sampah, maka mau tidak mau, ia harus mencari akal buat menampung semua tisu bekas itu.
“Gimana nih? Kalo emang gak ada tempat sampah, ya mau gak mau ketika turun nanti … ya harus dibawa juga, nih ….”
“Sebenarnya aku punya ide, sih.”
“Wah ide apaan, Caelus?”
Fu Xuan menatapnya penuh dengan harapan.
“Gimana kalo semua barangmu itu, kamu taruh ke dalam kantung belanjaku? Soalnya kantung belanjamu itu kan dari plastik daur ulang. Makanya, buat tempat tisu basah itu aja.”
“Eh? Apa kantungmu itu cukup?”
“Cukup dong … kantung kain ini lumayan besar, kok.”
Caelus sambil menunjukkan kantungnya yang cukup besar itu.
“T—Tapi …”
“Kenapa?”
“J—Jangan kamu yang ambil barang-barangku!”
Caelus sempat mikir sejenak. Tapi kemudian ia paham dengan apa yang dimaksudkan oleh ucapan Fu Xuan barusan.
“Ooh … aku paham.” “Ya udah, kamu sendiri aja yang taruh semua barangmu.”
Caelus sambil menyerahkan kantung belanjaannya kepada Fu Xuan.
“O—Oke ….”
Fu Xuan mulai mengambil semua barang belanjaannya dan dimasukkan cepat-cepat ke dalam kantung milik Caelus. Sepertinya ada barang ‘pribadi’ di dalamnya. Makanya Caelus dilarang buat ambil langsung. Setelah dimasukkan semuanya, Fu Xuan mengikat pegangan kantung itu dengan erat hingga tiga kali.
“Oi, Fu Xuan … jangan banyak-banyak ikatannya …! Nanti kalo gak bisa dibuka gimana …?”
“Ya tinggal potong aja kantungnya!”
“Ini kantung kain, Fu Xuan …! Bisa dipakai berulang-kali …. Kamu ini ….”
“Ini!” Fu Xuan menyerahkan kantung itu kembali kepada Caelus. “Biar kamu enggak mengintipnya!”
“Kalo udah diikat begini gimana caraku buat ngintip? Susah, kali.”
“Ya tapi kan lebih aman ….”
“Iya, iya ….” “Ya udah, itu tisu-tisunya bisa kamu masukan ke kantung plastikmu.”
“Iya, aku tau.”
“Oh ya, kalo udah masuk semua, aku bawa pembersih tangan, nih. Bisa kamu pakai biar makin bersih tanganmu.”
“Aku juga bawa, kok.”
Semua tisu bekas sudah dimasukkan semuanya ke dalam kantung plastik daur ulang. Ia mulai membuka tas kecilnya untuk mencari pembersih tangan miliknya. Tapi sepertinya … dia kelupaan bawa.
“Loh? Pembersih tanganku di mana, ya??”
Fu Xuan mulai membayangkan apakah dirinya lupa menaruh pembersih tangannya ke dalam tas atau ada hal lain yang ia lewatkan saat di rumahnya.
“Yah … pembersih tanganku ada di tas satunya ….”
Mendengar bisikan itu, Caelus kembali nyeletuk.
“Ketinggalan, ya?”
“Iya. Tertinggal di tas satunya.”
“Nih, pakai punyaku aja.”
Fu Xuan mau menerimanya dan memakainya sebanyak dua kali. Setelah diusap-usapkan dengan cepat, ia langsung mengembalikannya.
“Terima kasih ….”
Ucapnya yang tanpa sama sekali memandang ke arah Caelus. Ia masih memperhatikan apakah kedua kaki dan sepatunya masih kotor atau tidak.
“Sama-sama ….”
Caelus sepertinya memakluminya.
“Kenapa? Masih kotor, kah?”
“E—Enggak, sih ….”
“Ohh … oke ….”
***
Tibalah bus tersebut berhenti di depan halte pada komplek perumahan yang cukup luas. Komplek perumahan tersebut dinamakan Luofu Complex—ada tulisannya di kanopi haltenya. Dan pada waktu itu, kebetulan hujan sudah mereda. Mereka pun dapat menyeberang jalan tanpa harus membuka payung atau tanpa harus pakaian mereka menjadi basah. Mereka berdua memasuki sebuah gang yang tak terlalu lebar tapi juga tak terlalu sempit. Pas untuk dibuat lewat dua mobil kecil dan dua sepeda. Dari situ mereka terus berjalan sekitar beberapa meter hingga sampai di depan sebuah bangunan bertingkat. Sepertinya bangunan itu sebuah apartemen sederhana, atau bisa disebut rumah susun. Caelus dengan Fu Xuan memasuki area depan—lobi—dari bangunan itu yang tanpa pintu kaca. Di kanan-kirinya ada banyak sekali kotak surat—loker barang kecil—menempel pada dinding. Tiap-tiap kotak ada nomor kamar dan juga nama penghuninya. Fu Xuan berhenti di depan loker miliknya dan sedikit mengintip ke dalam lewat celah kecil. Dirasanya, sepertinya ada beberapa surat yang terkumpul. Kemudian ia membukanya dengan memakai kunci fisik. Begitu dibukanya, ternyata benar, ada empat amplop surat putih yang sudah terkumpul di situ. Caelus yang melihatnya ikut penasaran.
“Surat-surat apa itu? Apa semuanya dari calon klien?”
“Umm … kayaknya, iya ….”
“Jadul sekali caranya. Tapi mungkin bisa saja, mereka semua adalah orang-orang tua.”
“Hmm… seperti yang kamu duga. Mereka semua memang para orang tua yang enggak ngerti cara main medsos.”
“Makanya mereka enggak konsultasi lewat medsos punyamu, ya?”
“Ya sudah, tetap harus kita tanggapi. Toh, hal kaya gini udah sering terjadi, kan?”
“Iya. Kita tetap harus melayani mereka dengan tulus hati.”
“Heem, betul sekali ….”
Fu Xuan sedikit tersenyum manis sambil menatap Caelus.
Sesudah mengambil semua amplop surat itu dan mengunci lokernya, mereka berdua melanjutkan perjalanan mereka untuk naik sampai ke lantai tiga melalui tangga. Iyap, tak ada elevator di bangunan itu. Namanya juga sebuah bangunan atau rumah susun yang sederhana. Mau biaya berapa lagi buat pasang elevator yang sangat boros listrik?
Tiba di lantai tiga, mereka berdua berpisah. Caelus berjalan ke arah kirinya, sedangkan Fu Xuan berjalan ke arah kanannya. Namun sebelum makin jauh, Fu Xuan mengatakan sesuatu pada Caelus.
“Caelus jangan lupa, besok pagi kita ketemuan sama klien loh, ya ….”
“Iya … siap laksanakan, Ibu Fu Xuan ….”
“Serius, loh. Kamu jangan sampai ketiduran lagi. Udah dua kali loh ya kamu ketiduran.”
“Oke, oke … aku bakal pasang alarm dua kali, deh ….”
Kemudian mereka berdua sama-sama membuka pintu kamar dengan kunci fisik, lalu masuk ke dalam dengan tenang. Caelus menyalakan lampu ruangan, maka terlihatlah keseluruhan dari ruangan tersebut. Dapur berada di sebelah kiri sejajar, ada dua sofa ukuran sedang, satu menghadap dinding sebelah kanan, satu lagi menghadap ke luar jendela beranda jemuran. Tengah-tengah sofa, ada meja kecil persegi panjang yang mempunyai selimut pada keempat sisinya. Benda itulah yang dinamakan kotatsu, sebuah meja dengan pemanas elektrik. Ada sebuah meja kayu panjang dengan laptop di atasnya, laci kecil, dan kursi hidrolik. Tidak ada televisi maupun perlengkapan sound system di situ. Yang ada hanya speaker nirkabel saja di atas kotatsu. Di balik dinding tersebut, terdapat sebuah ruangan kecil yang dipakai untuk kamar tidur. Tidak ada AC sepanjang ruangan tersebut. Yang ada hanyalah dua kipas angin berukuran sedang yang terletak di dalam kamar dan area tengah. Di dalam kamar pun tak ada meja maupun kursi. Yang ada hanyalah kasur gulung dan perlengkapannya, lemari pakaian kecil dengan cermin tambahan, dan gantungan baju beroda. Terakhir tak ketinggalan adalah kamar mandi yang berada di sebelah kanan dari pintu masuk. Kamar mandinya pun sudah pasti tidak begitu luas. Hanya bisa dimasuki oleh satu orang saja. Tidak ada bak mandi apalagi bath tub. Tapi tentu saja ada klosetnya, dong … tapi jadi satu dengan area shower.
Lumayan lengkap untuk fasilitas yang diberikan oleh rusun tersebut. Tapi kalau sudah berkeluarga dan punya dua anak… sudah pasti tidaklah cukup. Setidaknya membutuhkan dua kamar yang cukup luas. Kalau buat para single, ya masih cukup-cukup saja.
“Aku taruh belanjaanku di lemari es dulu kali ya, baru mandi.”
Lemari es berada di pojok sudut kiri ruangan, berdampingan dengan sofa area tengah. Karena lemari esnya kecil, maka tak akan memakan banyak ruang. Namun begitu Caelus membuka kantung belanjaannya, ia seketika tersadar bahwa barang-barang belanjaan Fu Xuan masih ada di dalam situ. Tapi apa daya, Caelus sudah terlanjur membukanya.
Srett~
“Oh, udah terlanjur kebuka.”
Jebret!
“CAELUS!!”
Tiba-tiba suara keras dari pintu yang terbuka lebar, yang diikuti suara Fu Xuan dengan lantang. Dengan mukanya yang sangat panik, ia langsung berlari menghampiri Caelus yang sedang berjongkok membelakangi pintu sembari melihat isi dari dalam kantung.
“BARANGKU KETI—”
Mendadak ucapannya terhenti ketika melihat ke arah kantung yang terbuka.
“AH, TIDAK!!”
Fu Xuan seketika merebut kantung itu dari tangan Caelus dan langsung bergerak mundur agak jauhan.
“Berisik, woi! Aku belum sempat ngelihat semuanya, loh!”
“BOHONG!! PASTI KAMU UDAH NGELIHAT SEMUANYA!!”
Pasang muka Fu Xuan panik plus berpandangan sinis terhadap Caelus.
“Kalo emang aku udah ngelihat semuanya, coba suruh aku buat nebak!”
“YA GAK GITU JUGA, KALI!!” “Haduh … m—memalukan sekali…!”
Fu Xuan langsung tertunduk lesu.
“Tadi, aku cuma ngelihat ada lipstick atau lipgloss, atau apalah itu namanya. Yang lain beneran aku enggak tau. Tolong, percayalah padaku, Fu Xuan ….”
Fu Xuan pun terduduk lemas sambil menundukkan kepalanya melihat semua barang di dalam kantung itu.
“Hah … baiklah …. Karena baru ketahuan satu, ya sudah, aku maafkan ….”
“Kaya abis aku nyiksa dia aja, jirr ….”
Caelus pun mengernyitkan dahinya.
“Kalo gitu, aku ambil barang-barangku, ya?”
“Ya, silakan saja.”
Begitu tangan Fu Xuan masuk, ia jadi teringat sesuatu.
“Eh?”
“Apa lagi?”
“Anu, apa kamu ada kantung plastik lagi?”
“Ada. Aku ambilin bentar.”
Caelus beranjak dari situ untuk mencari kantung plastik yang berada di kemari dapur. Ia mengambilnya, lalu diberikannya kepada Fu Xuan.
“Ini.”
“Gada yang kecilan, toh?”
“Adanya ini.”
“O—Oke.”
Dengan begitu semua barang Fu Xuan sudah aman dimasukkan ke dalam kantung plastik yang baru.
“Nih, aku balikin barang-barangmu.”
“Ya.”
Caelus menerima kantung barangnya sendiri.
“Ya udah, aku balik dulu.”
Caelus hanya mengangguk aja. Tapi sebelum Fu Xuan pergi dari situ, ia mengucapkan dua patah kata.
“T—Terima kasih, ya.”
Mukanya sedikit tersipu malu.
“Buat apa?”
“Y—Ya buat nyimpen barang-barangku tadi ….”
“Halah, biasa aja. Enggak usah terlalu formal gitu.”
“Ih, aku cuma mau ngucapin makasih aja!”
Dalam sekejap, Fu Xuan lari meninggalkan Caelus dan dengan cepat masuk ke dalam ruangannya sendiri.
“Ya ampun … kenapa mesti bentak-bentak begitu? Kalo ngomongnya halusan dikit bisa kan, yah …?”
Sebelum Caelus hendak masuk, pandangannya teralihkan dengan sebuah benda kecil yang ada di dekat pintu. Ada sebuah dompet mini berwarna pink tergeletak di atas lantai. Caelus pun memungutnya.
“Kok bisa-bisanya dompetnya jatuh di sini, loh? Hmm … tapi dompet apa ini? Mini banget …. Koin 1 perak aja mungkin kaga muat, nih.”
Sebenarnya ia sangat penasaran dengan isi dari dompet itu.
“Ah, mendingan aku simpan dulu aja.” “Dan aku enggak mau ngebukanya. Mungkin isinya adalah … sesuatu yang sangat ... sangat privasi!”
Caelus menutup pintu. Lalu ia berjalan menuju ke sebuah laci. Maka diletakkannya dompet mini itu ke dalamnya.
“Semoga aja dia enggak lupa, yah. Dan semoga aja aku juga enggak lupa nyimpennya di sini.”
Pintu laci ditutup. Kemudian Caelus melanjutkan aktivitasnya dengan memasukkan sejumlah barang belanjaannya ke dalam lemari es.
***
Pagi hari yang cerah, angin berhembus sepoi-sepoi. Cukup dingin memang, tapi pastinya tak sedingin musim gugur nanti. Caelus bersiap-siap untuk berangkat bersama dengan Fu Xuan seperti yang sudah dijanjikan hari kemarin, bahwa dirinya mau menemaninya untuk bertemu dengan seorang klien. Ia kali itu berpakaian sangat rapi, seperti mau pergi ke kondangan saja. Memakai kemeja kotak-kotak warna biru, celana panjang warna krem, sepatu kets hitam-putih, tas selempang hitam, dan wajahnya dibuat bergaya dengan memakai kacamata hitam.
“Gimana? Udah pasti lokasi ketemuannya di sana?”
“Ya. Dia udah fix mau bertemu di sana.”
“Baiklah …. Ayo kita berangkat.”
Kalau untuk Fu Xuan sendiri, dia memakai kaos polos warna putih, kardigan ungu tua, rok lipit selutut warna pink. Untuk sepatu, dia memakai sepatu kets dengan warna putih. Tak ketinggalan ia memakai tas selempang kecil berwarna pink. Jika diamati lebih lagi, rupanya Fu Xuan mengikat sedikit rambutnya agar terlihat lebih pendek. Ia memakai pola pita melingkar yang ditusuk dengan tusuk konde. Meski diikat, geraian rambutnya tetap membelah dua sisi seperti korden, hanya terlihat lebih pendek saja. Tidak seperti penampilan hariannya.
“Tunggu bentar ….”
“Ada apa?”
“Btw, modis banget kamu hari ini? Pakai kacamata hitam segala.”
“Biar enggak silau. Soalnya mataku sensitif sama cahaya terang.”
“Alasan.”
“Heh, ini beneran, kali ….” “Udah, yuk cabut sekarang.”
“Oke.”
Mereka pun berangkat dengan jalan kaki dulu sampai menuju ke halte yang agak jauhan. Bus datang tepat waktu. Lalu bus tersebut pergi ke arah barat menuju ke suatu komplek lain. Lebih jelasnya, mereka akan ketemuan dengan klien di kawasan atau komplek orang-orang yang lebih berduit. Saking luasnya, komplek tersebut dinamakan Cloudfort Village. Yah, anggap aja seperti sebuah desa super modern dengan fasilitas terlengkap di kelasnya.
Untuk lokasi pertemuannya berada di outdoor salah satu kafe besar yang ada di sana. Kafe tersebut identik dengan warna hijau. Dan selang 10 menit, mereka pun sudah sampai di lokasi tujuan. Mereka tinggal menyeberang jalan saja.
“Orangnya pakai baju apa?” tanya Caelus.
“Dia bilang pakai baju biru sama celana panjang hijau.”
“Duduk di luar, kan?”
“Iya.”
“Ciri-ciri fisiknya?”
“Katanya pakai kacamata.”
“Hitam apa bening?”
“Nah, itu yang kurang tau. Kalo mau lebih jelasnya, ya kita harus hampiri dia, dong.”
“Hum-hum, betul, betul ….” Caelus mengangguk-angguk pelan.
Sesudah menyeberang, mereka langsung mencari-cari orang yang dimaksudkan. Seharusnya orang tersebut mengenakan pakaian yang sama dengan yang sudah disebutkan ciri-cirinya oleh Fu Xuan. Namun sejauh mata memandang, tak ada satupun orang yang memakai baju warna biru dengan celana panjang warna hijau. Yang ada baju biru, celana pendek hijau. Baju biru, celana panjang abu-abu. Baju hijau, celana panjang biru. Mereka jadi bingung.
“Kenapa bisa ada banyak yang pakai baju warna biru, sih? Apa mereka semua janjian??”
“Sekalinya pakai baju biru dan celana hijau, eh ternyata celananya pendek. Apa jangan-jangan … celananya pakai pendek, kali?”
“Apa dia salah ngetik? Aku bacanya juga udah bener, kok. Dia pakai celana panjang warna hijau.”
“Tapi buktinya gak ada satupun ciri-ciri yang masuk.”
Lalu Caelus mencoba untuk memfokuskan pandangannya jauh ke ruangan dalam.
“Eh ada sih yang pakai baju biru celana panjang hijau.”
“Mana, mana, mana??”
“Tapi dia cewek.”
“Gzzz!”
Mata Fu Xuan langsung jadi tipis.
“Gini aja, kita masuk dulu, yuk! Pesan sekalian ngadem, lah ….”
“Yang bener itu ngadem sekalian pesan….”
“Ya, ya, terserah kamu aja ….”
Di dalam, Fu Xuan lah yang mengantri untuk pesanan mereka berdua. Sedangkan Caelus mencarikan tempat duduk di luar. Sesudah ketemu, ia memberi tunjuk kepada Fu Xuan agar dia paham kalau tempat duduknya berada di sana. Kemudian Caelus menempati tempat duduk itu dan memberi tanda untuk kursi satunya dengan memakai kotak tisu agar kursinya tidak diambil oleh orang. Lalu belum cukup untuk meyakinkan Fu Xuan, Caelus malah memfoto diri Fu Xuan yang sedang mengantri di sana. Dan foto itu dikirimkan kepada Fu Xuan dan diberi tagline ‘duduknya di sini ya’.
{Ngapain foto aku segala?? Hapus!} balasnya lewat chat.
{Oke}
Caelus menghapus pesan foto pada chat barusan.
{Bukan foto yang ini kali! Hapus foto aslinya!}
{Iya, nanti aja kalo kamu udah kemari}
{Huff! *emoji ngambek*}
Sebenarnya Caelus sudah paham yang dimaksudkan oleh Fu Xuan. Tapi dia memang iseng saja buat hapus foto yang di dalam chat.
Lalu setelah menunggu selama 2 menit, Caelus tiba-tiba didatangi oleh seorang pria yang cukup tinggi namun kurus. Pria tersebut mengenakan baju biru dan celana panjang hijau.
“Anu, permisi ….”
“Eh!”
Caelus agak kaget karena orang itu tiba-tiba aja muncul dari belakang saat dirinya sedang fokus sama ponselnya.
“M—Maaf … apa aku mengganggu Anda?!”
“Ah, tidak, sih ….” “Tunggu dulu … bukannya ini klien yang dimaksudkan Fu Xuan?? Baju biru, celana panjang hijau. Gak salah lagi, pasti ini dia!”
“Emm … b—bolehkah saya mengambil satu kursi di sini?” tanya lelaki tersebut.
“Kenapa diambil?”
“Soalnya, saya membutuhkan satu kursi lagi buat orang yang mau datang nanti.”
“Oh, kalo gitu, bapak duduk di sini saja. Bapak tidak perlu repot-repot bawa kursi kosong, karena bapak akan segera bertemu dengan orang yang bapak maksudkan. Sekarang ini, dia sedang memesan minuman di kasir. Mungkin sebentar lagi akan selesai pembayaran.”
“K—Kenapa Anda bisa sangat yakin??” tatap bapak tersebut dengan tidak yakin.
“Bapak yang bernama Alexander?”
“I—Iya, betul …. Kenapa bisa tau??”
“Maafkan saya baru memperkenalkan diri. Nama saya Caelus. Saya adalah asisten kerjanya psikolog Fu Xuan.”
Bapak tersebut justru tercengang melihat dan mendengarkan kata-kata dari Caelus.
“K—Kenapa, bapak Alex? Apa ada yang kurang berkenan bagi bapak Alex?”
“T—Tidak… tidak ada, kok … ehehe …. A—Aku hanya sedikit melamun saja, ehehe-ehehe ….”
“Waduh, kayaknya bapak ini agak ‘sesuatu’, deh ….” “Oh begitu, ya? Hehehe …. Tapi santai saja, bapak Alex. Karena sekali lagi, saya hanyalah asistennya saja. Untuk perihal konsultasi, tetaplah tugas dari psikolog Fu Xuan.”
“I—Iya, b—baiklah ….”
“Hmm … makin ke sini, makin mencurigakan nih si bapak …. Kalo dilihat-lihat, kayaknya dia sekitaran usia 40 tahun lebih … tapi dari gelagat dan cara berpakaian… seperti anak yang baru masuk kerja jadi budak korporat ….” Caelus mencoba mengamat-amati bapak tersebut dengan hati-hati.
Beberapa saat kemudian, datanglah Fu Xuan sembari membawa dua minuman pada tangannya. Yang satunya itu punya Caelus.
“Oh, jadi Anda yang bernama Alexander?”
“Betul …. Saya Alexander yang ingin konsultasi di tempat ini.”
“Terima kasih sudah mau menunggu.”
“Iya, tidak masalah, Ibu Fu Xuan.”
“Ah, sebaiknya jangan panggil saya ‘Ibu’. Panggil nama saya saja tidak masalah.”
“B—Baik …! M—Maafkan sebelumnya.”
Sebelum Fu Xuan duduk, Caelus menawarkan diri untuk memposisikan kursinya Fu Xuan, agar dia bisa berhadap-hadapan dengan klien. Ia pun langsung menyetujuinya. Untuk Caelus, ia duduk di antara mereka berdua, seperti seorang juri permainan catur saja.
Maka dimulailah sesi konsultasi antara bapak Alex dengan Fu Xuan yang sebagai psikolog berpengalaman. Dikatakan berpengalaman sebetulnya belum terlalu lama. Fu Xuan memang sudah menempuh sarjana psikolog. Namun untuk buka praktik konsultasinya sebetulnya baru 2 tahun. Padahal kelulusannya sudah sejak 5 tahun yang lalu. Hal tersebut dikarenakan ada beberapa kendala baik secara internal maupun eksternal yang tidak bisa disebutkan semuanya sekarang ini. Satu hal yang bisa dijabarkan adalah… karena Fu Xuan membutuhkan sejumlah dana modal untuk membuka praktik usahanya tersebut sebagai seorang konsultan kejiwaan. Jadinya, ia bekerja sebagai pegawai swasta dahulu sebelum benar-benar membuka praktik sendiri. Untuk perizinannya, Fu Xuan juga sedikit dibantu oleh satu-dua orang temannya. Untungnya, kedua temannya sudah teman kepercayaannya, sehingga segala macam urusan dapat diurus dengan lancar—pakai kekuatan orang dalam.
Jadi, yang dinkonsultasikan oleh bapak Alex ini—yang sebenarnya bukan seorang bapak-bapak sih—adalah soal dirinya yang menyukai seorang artis penyanyi yang cukup tersorot publik akhir-akhir ini. Penyanyi—atau lebih mudahnya disebut idol—juga berasal dari Cloudfort Village, Ibukota Eridu. Tuan Alex ini ingin mengucapkan rasa sukanya kepada idola tersebut. Tapi dia juga tidak berharap besar untuk berpacaran dengannya, karena dia merasa hal tersebut sepertinya mustahil. Mengungkapkan rasa sukanya kepada idolanya sudahlah sangat cukup baginya. Hanya saja dia bingung bagaimana caranya. Pikirnya, dia akan menyatakan rasa sukanya itu saat idolanya sedang ada live streaming menyanyi. Atau pada saat idolanya ulang tahun, dia bisa menyatakan perasaannya. Namun hari ulang tahun idolanya masih sangatlah lama. Jadi, sepertinya tak mungkin karena terlalu kelamaan.
Dengan bantuan Fu Xuan, ia menyarankan sebelum memberanikan diri untuk menyatakan rasa sukanya, tuan Alex ini harus tahu jelas apa alasan dirinya ingin menyatakan perasaannya. Apakah ada hal yang ingin dia raih atau dia capai ketika perasaannya tersampaikan kepada idolanya. Tetapi tuan Alex hanya bisa menjawab, kalau dia hanya ingin sekedar menyatakan rasa sukanya saja. Fu Xuan membalas, tidak mungkin tidak ada alasan apapun di dalam benaknya. Karena setiap pengungkapan perasaan, selalu akan ada alasan di baliknya. Kemudian Fu Xuan memberikan contoh-contoh alasan apa saja yang bisa dijabarkan. Seperti, alasan menyukai idola tersebut karena mukanya, karena senyumannya, karena kedua matanya, karena bibirnya yang seksi, karena bentuk tubuhnya yang menawan, karena bentuk kakinya yang menyita perhatian, karena suaranya, karena kostumnya, karena kharismanya, karena kecantikannya ketika bernyanyi lagu sendu, dan lain sebagainya.
Setelah dijabarkan banyak sekali contoh alasan, tuan Alex pun akhirnya mengerti kenapa dia menyukai idola tersebut. Alasannya karena dia suka dengan gaya dan cat rambut yang diterapkan oleh idolanya. Tentu tak hanya itu saja. Alasan lainnya adalah sifat kebaikannya yang selalu menyapa para penggemarnya dengan tulus hati. Membuat semua penggemarnya tersentuh dengan sifatnya itu. Nah, dari alasan-alasan tersebut, Fu Xuan kembali menyarankan agar tuan Alex segera mencari waktu yang pas untuk bisa mengungkapkan perasaannya. Tentu saja akan ada perasaan gugup. Maka dari itu, dia harus menuliskan setiap kalimat yang akan diungkapkan nantinya. Tidak untuk dihafalkan, melainkan untuk dihayati lalu dicoba dipraktekkan sendiri di dalam rumah. Berlatih di depan fotonya atau posternya. Begitu sudah PD, mulailah cari waktu untuk mengungkapkannya.
Fu Xuan menggiring agar tuan Alex bisa ketemuan langsung dengan idolanya ketika sedang manggung. Jika ada sesi foto-foto, kesempatan itulah yang harus dimanfaatkan. Namun ada kendala lagi, tuan Alex tidak seberani, atau senekat itu. Iya kalau ada sesi foto-foto, kalau tidak ada? Pada awalnya memang tuan Alex tidak mau mengungkapkan perasaannya secara ketemuan langsung. Cukup lewat layar ponsel atau layar komputer saja, bagi dirinya sudah sangat puas. Kalau memang begitu faktornya, hal tersebut bisa saja diatur. Tinggal ungkapin aja perasaan lewat pesan langsung di media sosialnya. Hanya saja, greget-nya sudah pasti bakal berbeda kalau tidak ketemuan secara langsung. Yah, tapi memang, tidak bisa dipungkiri kalau tidak ada sesi foto-foto, ya tidak bisa ketemuan langsung dengan idolanya.
Jadi kesimpulan yang paling mendekati kenyataan adalah … dengan mengungkapkan perasaannya sewaktu dia sedang live streaming di salah satu platform media sosial dan Fu Xuan memberitahukan kalimat ungkapan perasannya itu lebih baik dikirim ke ‘super chat’ atau pesan sebagai pendukung. Karena kalau lewat social chat, kemungkinan besar 98% kalimat pesannya tidak akan terbaca. Jadi, pakai yang berbayar biar bisa kebaca. Lagipula, perlu berapa duit sih buat pakai fitur ‘super chat’ atau kirim pesan sebagai pendukung? Tidaklah mahal. Tidak sampai menghalanginya untuk makan tiga kali sehari.
Begitulah saran Fu Xuan yang sampai kepada kesimpulan, bahwa tuan Alex harus berlatih menulis dengan tulus hati dahulu sebelum dikirimkan pesan ungkapan perasannya kepada idolanya tersebut. Bagi orang yang super tertutup memang perlu latihan dulu sebelum benar-benar dipraktekkan. Namun sekali lagi, Fu Xuan mengarahkan tuan Alex untuk bertemu langsung dengan idolanya jikalau ada sesi foto-foto selepas melakukan konser pribadinya di dalam kota. Kalau kesempatan emas itu ada, tanpa pikir panjang langsung saja beli tiketnya. Kalau sesi foto-fotonya hanya ada di tiket VIP, langsung sikat saja. Begitulah yang disarankan oleh Fu Xuan.
“Akan tetapi sekali lagi, semuanya hanyalah saran terbaik dari sdri. Fu Xuan saja. Keputusan akhir tetap ada di dalam tangan tuan Alex.”
Caelus ikut memberi seucap kalimat setidaknya untuk membantu memantapkan hati dan keputusan dari tuan Alex.
“Baiklah, saya sudah mengerti. Terima kasih banyak saran yang sangat membantu ini, sdri. Fu Xuan. Mulai sekarang, saya akan mencari-cari jadwal konsernya di kota ini. Akan saya kabari juga nantinya kalau saya berhasil mendapatkan tiketnya.”
Orang tersebut wajahnya mulai tampak lebih ‘bersinar’. Tidak seperti sebelumnya yang tampak murung dan lesu.
“Ya, tidak masalah. Kabarkan saja lewat pesan seperti biasanya,” tanggap Fu Xuan dengan santai.
“Baiklah. Kalau begitu, saya mohon pamit dulu, sdri. Fu Xuan.”
“Ya. Hati-hatilah di jalan, tuan Alex.”
Mereka berdua saling tersenyum ramah. Tuan Alex berpamitan lalu keluar dari kafe tersebut melewati area dalam dulu, baru keluar sepenuhnya dari situ.
“Bagaimana menurutmu, Caelus?” tanya Fu Xuan secara mendadak.
“Maksudmu gimana? Aku harus jawab apa ini?”
“Gimana dengan performaku? Apakah sudah cukup lebih baik dari sebelum-sebelumnya?”
“Tentu aja seperti biasanya, dong … kamu emang paling bisa diandalkan soal begini-beginian.”
“Yah, jawabanmu itu emang udah pasti-pasti, sih …. Tapi aku minta, gimana dengan bahasa tubuhku tadi? Apakah sudah pantas atau masih ada yang perlu diperbaiki?”
“Sepertinya gak ada, deh. Semuanya sudah sangat cukup. Tapi aku bisa berkomentar dengan klien barusan. Aku curiga, sepertinya dia bukanlah orang yang murni tertutup. Dalam artian, dia bisa saja sedang bersandiwara di hadapan kita berdua.”
“Apa?! Kamu bisa mikir sampai situ juga ya, ternyata?”
“Emang ada yang keliru?”
“Hmm… memang kayaknya kalo aku bayangkan lagi, aku sedikit setuju dengan pengamatanmu, Caelus. Kalo dilihat dari gelagat dan pergerakan kedua mata orang itu … memang sepertinya, dia sedang waspada terhadap dirimu.”
“Oh begitu, ya? Kalo dari sudut pandangku, kayaknya dia lagi memperhatikanmu lebih detail lagi.”
“Hmm … entah kenapa aku juga merasakannya juga. Dia … sangat memperhatikanku …. Makanya aku terus menegakkan tubuhku dan satu tanganku terus berpangku pada daguku, bukan?”
“Wah, kayaknya aku enggak perlu ngomong lebih lanjut lagi, deh …. Yang kamu katakan barusan semuanya tepat seperti yang aku pikirkan.”
“Emangnya kamu mau ngomong apa lagi ke aku?”
“Kayaknya … kita bahas nanti aja ya sewaktu pulang. Soalnya … aku udah laper banget, nih …. Butuh asupan gizi yang banyak sekarang ini.”
Caelus sembari mengelus-elus perutnya yang mulai bersuara itu.
“Ah, oke …. Kalo gitu, kita cari makan di sekitar sini aja, gimana?”
“Gimana kalo di dalam mall sebelah sana? Dulu aku pernah masuk ke sana sih, tapi dulu sewaktu masih belum sebesar sekarang …. Itupun udah lama banget, sampai-sampai aku gak inget usia berapa aku waktu itu.”
“Ya sudah, yuk kita langsung ke sana sebelum kamu jadi resek gegara laper ….”
“Hahaha … tau banget kamu, Fu Xuan.”
“Habis, kamu nyebelin banget kalo lagi kelaperan ….”
Tanpa berlama-lama lagi, mereka pun masuk ke sebuah mall besar yang ada di belakang kafe tersebut.
***
Glek-glek~
“Hahh … kenyangnya …. Untungnya masakan rumahan di tempat ini enggak berubah. Sama seperti dulu sewaktu aku kecil.”
Caelus sambil mengelus-elus perutnya.
“Emangnya kamu masih ingat yah rasanya?”
“Khusus buat nasi mangkok ini aja, sih. Kalo buat menu lainnya jelas udah lupa. Lagipula tujuanku emang mau makan nasi ini, kok.”
“Tapi harga makanan di sini cukup lumayan juga, yah …?”
“Ya jelas dong, soalnya kan ini di dalam mall. Lagian semakin bertambahnya tahun, enggak mungkin harganya bakal sama terus.” “Oh ya ngomong-ngomong … tumben makanmu cepet banget. Apa dari tadi kamu juga nahan laper, ya?”
“Y—Yah, mungkin … bisa jadi ….”
Fu Xuan langsung tampak malu-malu kucing.
“Enggak apa, orang kalo emang lagi laper bawaannya langsung makan cepat aja. Mungkin aku tadi lagi menikmati makananku, makanya agak lama abisnya, hehehe ….”
“Kalo aku sih … biasa aja, ya. Aku lebih suka makan makanan daging.”
“Bukannya yang kita makan ini berdaging, yah? Emangnya daging apa yang kamu maksudkan ini? Steak?”
“U-hum! Y—Yah … kalo itu mah … sekali-kali aja makannya, ehehe ….”
“Hah, dasar …. Ngaku aja apa susahnya ….”
“Caelus!”
“Hei, biasa aja manggilnya. Kenapa?”
“Tadi, katanya kamu mau ngomong sesuatu kan? Katanya mau ngomong abis makan?”
“Ah, iya, ada yang mau aku katakan tadi. Tapi … sepertinya udah gak penting lagi, deh.”
“Lah? Kok gitu?? Plin-plan, deh!”
“Bukan pembahasan yang begitu penting, kok. Mendingan tidak perlu aja.”
“Kok? Hemm … katakan aja dong, daripada membuatkku penasaran!”
“Hmm … oke, oke, aku katakan …. Ini tuh soal klien kamu tadi yang di saat dia sedang menjabarkan persoalannya padamu. Katamu dia kan sedang bermain sandiwara, nah pandangan matanya tidak fokus kepada kata-katanya dia sendiri, kan? Malahan menatap wajahmu terus.”
“Lebih tepatnya, dia ngelihatin mataku terus. Yah, meski aku enggak terintimidasi juga sih, karena aku udah tau triknya buat ngatasin hal itu.”
“Emang, kamu lebih kuat dari dia. Hanya saja …”
“Apa? Apa ada sesuatu yang lain dari pandangannya?”
“Iya. Dia juga memandangi bajumu terus. Kamu nyadar, gak?”
“Hemm … aku nyadar juga, sih. Tapi dia cuma sebentar-sebentar aja ngelihatinnya. Itu kan kalo dia lagi mengarang ceritanya, karena enggak bisa orang yang mengarang, arah pandangannya tetap sama terus.”
“Untunglah aku berada di sebelahmu, Fu Xuan. Karena kalo dari sudut pandangku, sembari mengarang cerita, dia juga sedang mengamati bagian dadamu.”
“…”
Fu Xuan sepintas terdiam.
“B—Betulkah??”
“Katanya kamu udah menyadarinya sejak awal? Kenapa reaksimu begitu?”
“E—Eumm….”
Kedua pipinya tampak sedikit kemerahan sembari ia menundukkan sedikit wajahnya.
“I—Iya, sih … aku udah nyadar sejak awal …. Makanya aku berusaha untuk menutupi bagian tengahku ….”
“Nah, kamu udah punya triknya bahkan. Aku pun juga mengamati kalo trikmu itu cukup ‘menutupi’ pandangan dari dia. Tapi sepertinya … klienmu itu cukup berusaha untuk bisa … yah, begitulah… kamu udah ngerti apa yang kumaksud. Soalnya dia gerak-gerak terus, naik ke atas, miring ke kiri dan ke kanan, dan sebagainya.”
“Caelus… apa menurutmu … aku perlu merubah cara berpakaianku?”
Fu Xuan menatapnya dengan ekspresi sedikit bingung.
“Hm, enggak perlu, deh. Cara berpakaianmu itu udah bener, kok. Tak ada yang perlu dirubah. Hanya saja, setiap kamu menghadapi klien laki-laki, aku perlu ada di sampingmu. Jangan sampai kamu sendirian menghadapinya seperti pada waktu itu.”
Fu Xuan tertunduk kembali.
“Tenang saja, Fu Xuan. Selama aku jadi asistenmu, pekerjaan ini tidak akan kamu yang kerjakan sendiri. Kita akan selalu bekerja bersama-sama.”
Caelus tersenyum hangat kepadanya. Fu Xuan pun ikut menjadi lega karenanya.
“Kamu ini … sok-sokan banget …. Tapi … terima kasih ya, Caelus ….”
“Hehe … santai aja, bos ….”
Wekk~
Fu Xuan seketika mencubit pipi Caelus.
“Jangan panggil aku pakai julukan aneh-aneh, tau …!”
“Bukannya kamu ibu bos-nya? Hahaha ….”
Fu Xuan makin keras mencubitnya.
“Adu-duh …!”
“Aku bukan bosmu, tau!”
“Hehe, iya, iya ….”
Caelus mengelus-elus pipinya yang dicubit itu. Kelihatan cukup merah ternyata.
Sesudah makan-makan dan mengobrol di sana, mereka berdua kembali ke Komplek Luofu. Namun sebelum benar-benar masuk ke rusun, mereka mencoba mampir ke minimarket di dekat situ. Caelus sepertinya ingin beli kuota internet. Soalnya dia langsung datang ke kasir.
“Permisi, apa aku bisa top up saldo di sini?”
“Oh, bisa.”
Caelus mengeluarkan ponselnya dan dua carik kertas dari dalam dompetnya. Lalu ia mulai bertransaksi dengan mbak-mbak di kasir.
“Terima kasih, kakak. Sampai berjumpa kembali.”
“Terima kasih juga.”
Namun begitu Caelus dan Fu Xuan membuka pintu minimarket …
Bress!!
Hujan deras pun langsung turun.
“Eh? Yang bener aja …!” panik Fu Xuan.
“Emang dari tadi udah kelihatan mendung, sih. Tapi gak nyangka kalo hujannya baru sekarang,” tanggap Caelus dengan nada santai.
“Wah, gimana nih?? Mana tinggal nyeberang pula.”
“Hmm ….”
Di saat Caelus sedang mencoba memikirkan solusinya, ada seorang perempuan semabil membawa payung, datang mendekati mereka berdua.
“Ah! Kalian berdua …!”
Sapa perempuan itu dengan cerianya. Dia mengenakan kaos v-neck kuning dengan sablon bergambar anak ayam putih, atau mungkin bentuk burung—memang ambigu gambarnya antara anak ayam atau burung, celana pendek warna coklat dan memakai sandal japit. Rambutnya berwarna coklat, bermata coklat pula, dengan model rambut yang dikuncir twintail, ikat rambutnya berbentuk… anak ayam atau burung. Pokoknya bentuknya sama persis dengan gambar sablon pada kaosnya—memang unik kok bisa sama.
“Sushang … mau apa kamu kemari?” tanya Caelus pada perempuan yang selalu terlihat ceria itu.
“Ya mau beli sesuatu yang dibutuhin, lah …. Emangnya kalian berdua habis ngapain?”
“Ya beli sesuatu yang diperlukan juga, dong …. Tapi entah kenapa tiba-tiba hujan deras, jadinya kami enggak bisa pulang, hehehe ….”
“Oh, kalo gitu … kalian bisa pulang denganku! Tapi temani aku beli beberapa barang dulu, ya?”
“Oke baiklah … tidak masalah.”
Kemudian Caelus dengan Fu Xuan kembali masuk ke minimarket itu hanya untuk menemani si perempuan yang bernama Sushang. Sepertinya mereka bertiga sudah kenal akrab. Bahkan gaya bicara mereka tak ada satu pun yang terlihat formal.
“Hei, Sushang … bukannya kalo mau belanja banyak-banyak, mending di supermarket yang ada di pojokan gang sana? Kalo belanja di sini bukannya lebih mahal, ya?” tanya Fu Xuan dengan heran.
“Ya … ini karena darurat aja, sih. Sekali lagi, karena hujan deras, hehehe ….”
“I—Iya juga, ya? Rasanya malas kalo harus jalan sampai ke sana. Bisa-bisa kaki jadi basah.”
“Kalo basah enggak masalah, toh perlunya cuma belanja aja. Yang bikin males itu kalo payungku sampe tertukar punya orang. Makanya sebisa mungkin, jangan sampai kalo mau ke supermarket pas hujan.”
“Ya ampun … ternyata alasanmu gitu banget ….”
“Eh? Emang salah, ya??”
“Ya … enggak, sih …. Gapapa, tiap-tiap orang punya alasannya masing-masing kalo ingin bepergian sewaktu hujan.”
“Hehe, betul juga.”
“Hei, Sushang … adakah minuman yang ingin kamu beli?” Caelus bertanya padanya.
“Ada sih … tapi emangnya kenapa?? Apa jangan-jangan …”
“Ya, aku mau membelikanmu satu minuman kesukaanmu.”
“Hah? Serius?!”
“Tapi cukup satu botol aja, ya.”
“Wah … asyik!!”
Kedua mata Sushang seketika berbintang-bintang.
“Kalo gitu aku mau ini aja!”
Apa yang ditunjuk olehnya adalah sebotol susu berkapasitas 1 liter. Muka Caelus langsung lesu.
“Sushang, jangan yang 1 liter juga, kali. Aku beliin yang versi kecilnya aja, ya?”
“Heh, katanya mau beliin aku minuman?? Tapi kenapa aku gak boleh nunjuk??”
“Kecuali yang literan. Apa gini aja, gimana kalo kopi ini? Kamu juga suka kopi, kan?”
“Aku sukanya susu.”
“Kalo teh ini?”
“Aku sukanya susu!”
“Hahh … oke, oke …. Aku beliin susu ini, yang 600 ml aja, ya?”
“Hmm … boleh juga. Aku belum pernah nyoba merek ini. Oke, aku setuju!”
“Begitu aku tunjukin yang mahal dia mau terima. Padahal sebenernya aku mau beliin yang agak murahan dikit ….” Muka Caelus makin lesu.
“Kamu lagi kesurupan apa, Caelus? Kenapa tiba-tiba kamu mau beliin dia minuman segala?” tanya Fu Xuan penasaran.
“Yah, ini gegara hujan, makanya aku gak mau keluar dengan tangan kosong.”
“Huff … kirain apaan … ternyata cuma alasan receh, doang.”
“Habis bakal enggak enak kalo masuk tapi enggak beli apa-apa. Apalagi tujuan kita cuma menemani si anak ini, bukan? Eh? Ke mana perginya tuh bocah??”
“Dia udah di kasir duluan.”
“Cepat kali … kayak anak ayam tersesat aja ….”
Dengan begitu, Caelus pun menyusul ke kasir untuk membayarkan minuman botol itu. Sedangkan Sushang sudah membawa belanjaannya sendiri. Lalu mereka bertiga keluar dari minimarket itu dan kembali menatap hujan yang masih kelihatan cukup deras. Sushang mengambil payungnya dari rak payung. Kemudian diberikannya kepada Caelus.
“Ini payungku, pakailah!”
“Eh? Terus kamu gimana??”
“Aku mau lari aja, kan deket.”
“Hei jangan, dong!”
“Gapapa, kan aku udah biasa lari-lari.”
“Bukan begitu, Sushang …. Apa gini aja, belanjaanmu aku bawakan. Dengan gitu kamu bisa lari dengan bebas tanpa beban.”
“Oh, boleh-boleh. Tapi jangan sampai basah, ya.”
“Iya, iya, aku tau.”
“Kalo gitu, cabut dulu!”
“Woi, woi, hati-hati! Di sana banyak genangan air!”
Sat-set-sat-set!
Tapi Sushang sudah terlanjur ngacir duluan tanpa mempedulikan perkataan Caelus. Namun memang, Sushang sangat jago sekali menghindari genangan-genangan air dengan kedua kaki lincahnya, kayak ninja yang lagi kebelet boker.
“Macam belalang sawah aja dia.”
“Sushang memang diberkahi tubuh atletis sih, makanya gak heran kalo dia jago lompat sana lompat sini.”
“Iya. Tapi bukannya badannya masih terlalu kurus, ya?”
“Ah, enggak juga. Itu cuma penglihatanmu aja.”
“Ooh …. Tapi dia itu selain hobi olahraga, dia juga hobi banyak gerak. Percuma kalo di rumah disediakan kursi dan sofa. Bakal mubasir semua tuh.”
“Ya enggak sampai begitu juga, kali ….”
“Habis, terakhir ke ruanganku, dia sukanya terlentang di atas karpet. Apalagi pas mulai musim gugur. Dia bakal tidur sampai ngigau gak jelas.” “Oh ya, aku masih punya fotonya.”
“Benarkah??”
“Mau lihat?”
“Nanti aja kalo kita udah sampai di rusun.”
“Oke …. Aku jamin kamu bakal ngakak.”
“Haha! Gak sabar aku pengen lihat!”
Setelah itu, mereka berdua kembali ke rusun dengan membawa payung beserta belanjaan Sushang yang ditinggalkan pada tangan Caelus. Namun tentu saja, Caelus mengembalikan belanjaannya dan mengucapkan terima kasih sudah dipinjamkan payung. Sushang yang masih tampak gembira itu, juga mengucapkan terima kasih sudah mau direpotkan olehnya.
“Sekali lagi aku ucapkan terima kasih banyak ya, Caelus, Fu Xuan …!”
“Ya.”
Sushang pun menutup pintu. Lalu Caelus langsung mengeluarkan ponselnya dan membuka galeri foto.
“Ini dia fotonya!”
Fu Xuan mengamati sampai benar-benar detail. Kemudian ia terkekeh kecil.
“Dasar anak ini …! Kelakuannya masih aja kayak anak SD!”
ns 15.158.61.20da2