[ Tian Gong Alley – Luofu Complex, Eridu City, Eridu Regency ]
Jalan Tian Gong atau lebih mudah dikenal dengan gang Tian Gong ini merupakan area pusat perbelanjaan tradisional yang di mana semua tokonya menjualkan barang-barang klasik. Meskipun hanya seluas sehektar saja, namun gang Tian Gong selalu saja ramai oleh pengunjung pada pagi dan malam hari. Untuk pagi hari kebanyakan para ibu-ibu yang selalu berbelanja bahan-bahan memasak, seperti daging, bumbu-bumbu masak, sayur-mayur dan buah-buahan. Sedangkan untuk malam hari lebih diperbanyak oleh jajanan pasar tradisional. Tapi tentu saja ada banyak yang jual berbagai macam pernak-pernik otentik dan butik kerajinan lokal. Apalagi puncaknya adalah hari jumat dan sabtu malam. Sangat ramai oleh anak-anak muda dan turis asing, baik mancanegara maupun interlokal. Terutama bagi mereka yang merasa lapar dan butuh makan besar, tentu saja bisa mampir ke restoran keluarga yang namanya saja sudah terkenal secara mancanegara. Restoran tersebut selalu ramai pada jam 05.30 sore sampai 07.30 malam. Namun ramainya lebih banyak para pelanggan yang selalu melakukan repeat order dan mereka adalah pelanggan lokal yang tempat tinggalnya pun tak jauh-jauh dari gang Tian Gong—kebanyakan mereka dari Komplek Luofu. Nama restoran tersebut adalah Tian Xiu Depot. Sebuah restoran keluarga tradisional dari turun-temurun sejak 100 tahun yang lalu. Hanya saja untuk keturunan yang terakhir, yang sudah berjalan selama 15 tahun, bukanlah keturunan langsung dari keluarga Xiu. Dikarenakan pada keturunan terakhir, mereka tidak bisa mempunyai keturunan. Otomatis mau tidak mau, restoran Tian Xiu harus diturunkan oleh orang lain di luar keturunan keluarga besar. Mereka menurunkannya kepada keluarga Liu, yang notabene adalah keluarga seniman, bukan keluarga yang ahli di bidang kuliner. Hanya saja pemilik restoran Tian Xiu yang baru sangat memiliki potensi dan gairah untuk menjadi tukang masak yang andal. Dan ternyata terbukti sukses besar. Berkat kerja keras dan semangatnya, si pemilik yang baru yang sekaligus seorang kepala koki Tian Xiu, berhasil membangkitkan kembali nama besar Tian Xiu Depot. Beliau bernama Tuan Wang Liu. Sekarang ini, dia mempunyai 20 pelayan dan 8 koki terbaik. Jam kerjanya tentu saja dibagi dua shift. Yang berarti setiap shift-nya ada 10 pelayan dan 4 koki. Mereka semua bekerja dengan penuh semangat dan gairah yang tinggi. Hampir semua para pelanggannya merasa sangat puas dengan pelayanan mereka, baik dari segi hospitality dan juga kulitas masakan mereka. Tian Xiu Depot pun sudah pernah mendapatkan berbagai penghargaan baik lokal maupun interlokal. Semua piagam dan bukti-buktinya disimpan dengan baik dan rapi di dalam lemari kaca di kantor.
Salah satu pelayan terbaiknya bernama Sushang. Ia adalah seorang perempuan muda yang energik dan sangat sigap terhadap pelanggan. Apalagi jabatannya bukanlah jabatan biasa. Ia adalah seorang manager dari semua pelayan yang ada di Tian Xiu Depot. Terutama dirinya sangat digemari oleh grup oma-oma elit. Habisnya, Sushang dan para oma-oma bisa nyambung kalau mengobrol. Cerita mereka sudah terkenal sampai ke mana-mana. Namun tentu saja hal itu menjadi ‘bumbu’ bagi suasana di dalam Tian Xiu Depot.
Untuk seragam yang dikenakan oleh Sushang sedikit berbeda dari para pelayan lainnya. Kalau pelayan lain memakai atasan hitam dengan motif bunga-bunga berwarna merah, bawahan rok lurus hitam untuk yang perempuan, untuk yang laki-laki celana panjang hitam. Sedangkan Sushang memakai atasan warna merah dengan motif bunga-bunga warna emas, bawahannya memakai rok lurus warna hitam.
Selain Sushang, ada seorang laki-laki yang sudah tak asing lagi bagi kita semua. Dia pun ikut bekerja sebagai pelayan di Tian Xiu. Sebagai pekerja lepas? Tidak. Dia sudah ditetapkan sebagai pelayanan tetap sudah cukup lama.
“Caelus, bisa tolong antarkan menu dan minuman ini di meja delapan?”
“Siap, Manager Sushang.”
Ia pun mengantarkan nampan yang berisi masakan dan teko minuman dengan sigap.
“Ini beberapa tambahannya. Silakan dinikmati selagi hangat.”
Caelus pun membungkuk sedikit untuk memberi hormat kepada pelanggan. Itu sudah menjadi ciri khas dari para pelayan di Tian Xiu setiap habis mengantarkan masakan atau minuman. Setelah itu, ia kembali menghampiri pelangan lain untuk mencatat menu pesanan mereka.
Selain Caelus dan Sushang, ada juga seorang pelayan baru yang bertugas sebagai doorkeeper. Ia baru bekerja selama kurang-lebih 4 bulan, sehingga masih ditugaskan untuk menjamu tamu dan mengantarkan mereka ke meja yang kosong. Seorang perempuan berambut sebahu yang dikuncir ekor kuda pendek. Rambutnya berwarna pink muda, dengan warna mata yang sangat unik. Sangat berbeda dari mata orang pada umumnya. Yaitu gradasi ungu dengan biru di bagian bawahnya. Justru warna matanya itu sangat menarik perhatian banyak pengunjung restoran dan memberikan kesan berwatak selalu ceria.
“Selamat datang di Tian Xiu Depot, untuk berapa orang, kah?”
“Untuk tujuh orang.”
“Baiklah, saya bisa antarkan untuk pengunjung ke 37. Silakan ikuti saya.”
Gadis berwajah ceria tersebut dengan semangatnya mengantarkan para pelanggan ke meja kosong yang ada di pojokan. Namun si pelanggan merasa kurang puas karena dirasa cukup bising.
“Kalau begitu, gimana kalau di lantai dua? Di sana juga ada meja kosong. Tetapi maksimal hanya bisa diisi empat-lima orang saja. Jadi duduknya pisah.”
“Tidak masalah, asalkan bisa berdekatan dengan keluarga kami.”
“Baiklah. Mari, saya antarkan ke lantai dua.”
Tian Xiu juga memiliki bangunan lantai dua. Namun yang dipakai hanya setengah dari luasnya saja, karena selebihnya dipakai sebagai kantor, ruang rapat dan ruang ganti seragam. Jadi untuk area makannya hanya bisa memakai meja bundar yang lebih kecil yang berjumlah maksimal enam meja saja. Dan suasana di lantai dua jauh lebih remang karena memakai lampu berwarna hangat dengan dinding sekelilingnya berwarna coklat tua—kalau di lantai satu memakai lampu terang kebiruan dan dindingnya polosan saja berwarna krem pastel. Sarung mejanya saja berbeda. Di lantai satu memakai sarung warna putih, sehingga memang dapat menimbulkan kesan terang. Sedangkan di lantai dua, sarung mejanya berwarna kuning keemasan. Untuk semua warna kursinya berwarna merah tua, alias merah marun.
“Baiklah, untuk pemesanannya saya serahkan kepada teman saya, Qingzu.”
Rupanya di sebelah gadis itu sudah ada rekannya sembari membawa papan menu yang sangat besar. Kemudian untuk pencatatan pesanan diserahkan kepada rekannya tersebut, sedangkan gadis berambut pink itu kembali ke lantai bawah dan kembali berdiri di sebelah pintu masuk.
“March, kenapa dengan pelanggan tadi?”
Tanya rekannya yang juga baru saja kembali dari mengantarkan pelanggan lansia masuk ke dalam mobil.
“Oh seperti biasa, mereka enggak mau kalo kebisingan.”
Jawab si gadis berambut pink tersebut yang bernama March dengan ekspresi yang selalu ceria.
“Emang beberapa pelanggan lebih suka suasana keheningan kok, ya?”
“Betul sekali, Qingyue!”
“Wah, belum-belum ada yang datang lagi.”
“Baiklah … aku selalu siap menyambut pelanggan datang!”
***
Ketika sudah melewati jam tutup restoran, Sushang dan yang lainnya beristirahat di ruang pertemuan yang berada di lantai dua. Ruangannya terpisah dari area pengunjung dan kantor, dan untuk ruang pertemuan sendiri sebetulnya bersebelahan dengan kantor direksi dan pemilik restoran. Seperti biasa, sehabis jam buka habis, para karyawan berkumpul di ruang pertemuan untuk evaluasi singkat.
“Wah puasnya … ini sudah hari ke 27 ku bekerja di sini! Rasanya masih baru 2 hari saja!”
Ucap March yang terlihat sangat bahagia sembari duduk pada kursi di ruang pertemuan.
“Ya bagus, lah .… Pertahankan aja terus, March,” sahut Qingzu yang duduk di sebelahnya.
“Jarang-jarang ada pelayan yang punya sifat periang seperti dirimu, March. Kami pun sangat beryukur punya kamu,” Qingyue ikut menanggapi dengan senang.
“Eh? Benarkah?? Emangnya ada pelayan sebelumnya yang gak sesenang aku??”
“Yah, bukan dikatakan senang juga sebenarnya. Tapi juga gak bisa dikatakan selalu murung. Hanya saja, dia memang punya sifat yang kurang baik. Jadinya sering cek-cok dengan Manager Sushang.”
“Oh, begitu rupanya?”
Sembari mereka bercakap-cakap, datanglah Sushang dengan Caelus serta seorang perempuan satu lagi bersama mereka. Jika dilihat dari seragamnya, atasan dari perempuan tersebut berwarna kuning-emas dengan motif bunga warna merah. Bawahannya tetap memakai rok lurus warna hitam. Dia berperawakan tinggi, sama tingginya dengan Caelus. Dia duluan yang masuk ke ruang pertemuan baru diikuti oleh Sushang dan Caelus.
“Salam semuanya. Terima kasih banyak atas kerja keras kalian malam ini.”
Ucapnya sembari sedikit membungkukan badan.
“Terima kasih kembali, Manager Yongnian.”
Semua karyawan menjawab serentak. Kemudian perempuan tersebut yang bernama Yongnian, duduk di sudut meja paling ujung agar dirinya dapat dilihat oleh semua pelayan. Rapat evaluasi singkat pun segera dimulai.
Sebenarnya, yang namanya singkat benar-benar singkat. Rapat evaluasi berlangsung hanya selama 20 menit saja. Karena bukan akhir minggu maupun akhir bulan. Kalau akhir bulan baru seringnya lebih dari 1 jam. Sesudah rapat selesai, Manager Yongnian segera meninggalkan ruangan. Ia menyerahkan kembali kepada Sushang jika dirasa masih ada hal yang perlu disampaikan kepada para pelayan. Namun Sushang tak ada pesan lain yang perlu untuk disampaikan. Jadi semuanya bisa langsung berganti pakaian sebelum pulang ke rumah masing-masing.
“Manager Sushang, aku mau bertanya sesuatu, nih ….”
March datang menghampiri Sushang yang sama-sama sedang mengarah ke ruang ganti.
“Ya? Katakan saja, March.”
“Hehe, sebenarnya udah dari dulu aku penasaran sih dengan sosok Manager Yongnian ….”
“Oh, ada apa emangnya?”
“Anu… meskipun sama-sama dipanggil Manager, tapi kenapa seragam yang dia pakai kenapa berbeda dengan dirimu?”
“Sebetulnya jabatan beliau berada di atasku sebagai Manager Umum. Tetapi biar lebih singkat manggilnya, jadinya disamakan saja panggilannya menjadi ‘Manager’. Dan untuk membedakannya adalah dari seragam kami. Meski begitu, beliau juga tidak mau dianggap ‘tinggi’ oleh kita-kita, loh.”
“Begitu, ya? Berarti dia berhati tulus, dong?”
“Iya, betul sekali, March!” “Dan faktanya … usianya juga hampir sama dengan kita.”
“Oh, iya?!”
“Betul sekali.”
“Pantas aja kalo diamat-amati … wajahnya memang sangat berseri-seri …. Bahkan lebih pantas kalo jadi seorang idol!”
“Yah enggak ‘idol’ juga, kali ….”
Waktunya untuk berpamitan bagi mereka yang tidak sejalan arah pulangnya. Caelus, Sushang, March dan Qingzu pada searah. Akan tetapi sampai di perempatan jalan, Qingzu pun berpamitan dengan mereka bertiga. Untuk Caelus, Sushang dan March, meneruskan perjalanan mereka lalu tiba di tujuan yang sama, yaitu rusun yang sesungguhnya sudah ditinggali oleh Caelus. Rupanya, yang tinggal di rusun tersebut tidak hanya Caelus saja, tapi juga Sushang dan March—sepertinya untuk Sushang sudah ditunjukkan pada cerita sebelumnya.
Cekrek
Bukan Caelus, bukan Sushang, bukan pula March yang sedang membuka pintu.
Ngeek~
“Oh? Kalian barusan pulang??”
Yang keluar adalah si Fu Xuan. Dengan timing yang pas, ia berpapasan dengan mereka bertiga.
“Iya nih,” sahut Sushang.
“Tumben hari ini lebih cepat dari kemarin-kemarin?”
“Apa iyah?? Perasaan sama-sama aja deh jam pulangnya …. Kecuali kalo di akhir bulan, baru jam pulangnya enggak umum.”
“Yah, kalo itu sih aku tau juga.”
“Ngomong-ngomong … mau ke mana kamu malam-malam gini, Fu Xuan?”
Tanya Caelus yang penasaran. Soalnya Fu Xuan kali itu berpakaian rapi, seperti hendak bertemu dengan kliennya.
“Aku mau bertemu dengan temanku sebentar di kafe dekat sini.”
“Teman? Bukan klien, kan?”
“Tentu saja bukan, dong. Seperti yang udah aku katakan padamu, aku tidak mau bertemu klien malam-malam gini, iya kan?”
“Ya kalo kamu mikirnya gitu ya baguslah ….”
“Kalo gitu, aku permisi dulu, teman-teman.”
“Hati-hati di jalan, Fu Xuan ….”
March menanggapinya sambil ‘dadah-dadah’ dengan ceria.
“Jangan sampai lewat jam malam, loh,” ucap Caelus sebelum Fu Xuan melewati dirinya.
“Iya … aku tau …,” tanggap Fu Xuan singkat.
“Jadi gimana? Mau mampir sekalian?” tanya Sushang kepada Caelus.
“Ini sudah malam. Tidak baik kalo aku mampir, dong.”
“Kamu ini, ngeluarin alesan kaya gitu lagi ….”
“Lah, aku emang … sudahlah, pokoknya aku gak mau mampir ke kamar cewek malam-malam ….” “Sampai jumpa besok lagi, Sushang.”
Caelus seketika berbalik badan dan berpamitan dengan Sushang.
“Woi Caelus, tunggu dulu!”
“Kenapa lagi??”
“M—Memangnya kita ini apaan??”
“Kita kan teman? Terlihat aneh, to?”
“Makanya, jangan kaku-kaku, dong …! Ayo, mampir aja, mumpung belum akhir bulan ….”
“Heh… malah maksa. Pokoknya aku gak mau.”
Grab!
“Oi, oi Sushang lepasin!!”
Malahan Sushang menarik baju Caelus dan memaksanya untuk masuk ke dalam ruangannya.
“S—Sushang … kalo emang Caelus enggak mau ya jangan dipaksa begitu, dong ….”
Saran yang baik dari March. Tapi sarannya itu tidak didengarkan dengan baik.
“Aku enggak memaksanya, March. Aku hanya ingin mengajaknya mampir ke kamarku aja!”
Dengan polosnya Sushang berkata begitu.
“Eh?! K—Kamar …?!”
“Jangan salah denger! M—Maksudku kamar rusun ini!!”
“I—Iya, tapi …”
“Ayolah, jangan diem aja! Ayo ikutan masuk, March!!”
“Lah? K—Kenapa aku ikut dipaksa??”
***
Di hari kerja yang lain, Sushang, Caelus, March, bekerja keras seperti biasanya. Mereka melayani para pelanggan dengan ramah dan gesit. Setiap pelanggan-pelanggan yang datang langsung diarahkan oleh March ke tempat meja yang kosong. Jikalau masih penuh, para pelanggan dihimbau untuk duduk sambil menunggu antrian. Biasanya yang mengantri adalah mereka yang membawa keluarga lebih dari empat orang. Kalau hanya cukup empat orang saja, langsung diantarkan ke lantai dua. Akan tetapi bagaimana dengan orang yang mau makan hanya berdua saja? Mereka tetap diarahkan ke lantai dua.
Sama seperti dua orang yang datang di Tian Xiu Depot petang hari itu. Seorang laki-laki berperawakan tinggi dan seorang gadis berbadan mungil. Meskipun badannya mungil tapi rambutnya panjang sekali, berwarna ungu pastel. Makanya rambutnya tidak digerai melainkan dikepang menjadi dua bagian. Untuk warna matanya berwarna biru seperti biru samudra. Sedangkan untuk lelaki tersebut berambut pendek berwarna hitam, bermata sedikit tipis berwarna hijau giok.
“Ooh …! Selamat datang Danheng dan Bailu!! Tumben kalian ke sini??”
“Iya, March. Karena aku pikir sekali-kali makan di restoran ini. Dan aku rasa, memang tidak ada salahnya berganti suasana.”
“Danheng, kamu emang enggak pernah ganti suasana, sih. Untuk itu, sudah tepat keputusanmu untuk datang ke Tian Xiu Depot! Dan kamu juga mengajak dokter Bailu bersamamu. Mari, aku antarkan ke lantai dua!”
“Ayo, dokter.”
“Eh, jangan pakai kata ‘dokter’ kalo lagi di luar. Lagian aku emang enggak suka dipanggil begitu. Udah berapa ratus kali aku bilang padamu, Danheng …!”
“Mau dokter mau terapis sama aja. Mereka kan sama-sama melayani pasien.” “Ya sudah, semuanya ayo ikut aku ke atas!”
March mengantarkan dua pelanggan yang rupanya adalah temannya March sendiri. Mereka berdua adalah Danheng dan Bailu. Bailu adalah seorang terapis otot dan tulang, atau bahasa ilmiahnya chiropractor. Namun singkatnya sebut saja terapis otot saja. Namun Bailu tak hanya praktek sebagai terapis otot, ia juga ahli terapi tusuk jarum—akupuntur dan menangani juga terapi bekam—tapi jarang-jarang saja. Dan sebetulnya Bailu tidaklah praktek sembarangan, karena sejatinya ia sudah terverifikasi dan terafiliasi sebagai dokter nasional, tekniknya saja yang pakai cara tradisional. Ia disebut dokter juga tidak salah sebenarnya, hanya saja Bailu sendiri yang tidak mau disebutkan begitu. Bailu praktek di rumah kakeknya yang bernama Kuan Liu, tak jauh dari Tian Xiu Depot. Sedangkan Danheng adalah karyawannya yang bekerja sebagai penjaga toko obat—karena Kuan Liu juga menjual berbagai macam obat-obatan tradisional.
Setelah Danheng dan Bailu dilayani oleh March dalam memesan makanan dan minuman, March langsung bergegas memberikan kertas pesanan kepada orang dapur. Sembari menunggu, mereka berdua bercakap-cakap membahas mengenai perekrutan karyawan baru, karena Bailu merasa masih kurang jika yang jaga hanya Danheng saja untuk dua shift, pagi dan siang.
“Jadi mau karyawan seperti apa yang ingin kamu rekrut?” tanya Danheng kepada Bailu dengan polos.
“Hmm … ketika aku melihat sepak kerja March, aku ingin karakteristiknya seperti dia. Tapi aku rasa tidak mungkin deh mengingat kita kerja di toko obat tradisional, otomatis enggak terlalu diperlukan orang yang setangap itu.”
“Jangan berkata begitu, dok—Bailu. Justru kita membutuhkan orang yang semacam March. Atau setidaknya, ada orang yang tidak seperti diriku.”
“Oh, kamu mengakuinya juga, ya? Yah, aku juga mikir begitu. Tapi mau cari ke mana lagi? Kita udah cari-cari sampai seluruh pelosok Komplek Luofu, iya kan?”
“Bagaimana kalau kita ke pulau di seberang?”
“Pulau Belobog? Ih, enggak deh! Terlalu jauh! Masak nyarinya sampai ke sana segala, sih?? Cari yang deket-deket aja!”
“Kalau begitu, mau cari di Cloudfort Village?”
“Hmm … masuk akal juga sih, tapi emangnya ada peluang?”
“Peluang tentu saja ada. Tapi besar atau kecilnya kita belum tau.” “Tapi gimana? Mau coba cari?”
“Hahh … sejauh pengamatanku, Cloudfort Village sangat sedikit sekali buat cari orang yang tertarik dengan pekerjaan ‘tradisional’ semacam ini. Kalaupun mereka seorang lulusan farmasi, mereka pasti lebih memilih bekerja di rumah sakit besar. Atau puskesmas ternama yang ada di sana.”
“Jangan pesimis dulu, dong. Kalau kita tidak cari dulu, mana bisa ambil kesimpulan begitu?”
“Ya sudah, ya sudah, gini aja … kita cari peluang di Pulau Belobog dulu, baru terakhir ke Cloudfort Village!”
“Nah, aku juga berpikir gitu. Tidak ada salahnya dari penjelasanmu tadi kalau orang-orang di Cloudfort Village lebih suka bekerja di sebuah perusahaan besar atau instansi seperti rumah sakit ternama. Namun tentu saja tidak bisa semuanya. Karena persaingan di sana sangatlah ketat. Apalagi untuk menjadi seorang apoteker dan dokter.”
“Terus?”
“Baiklah, aku setuju dengan keputusanmu yang terakhir. Kita akan cari ‘calon’nya di Pulau Belobog.”
“Okeh! Kita tinggal tetapkan hari dan waktunya saja.”
“Hari minggu.”
“Hmm … iya juga, sih. Satu-satunya hari yang tutup.” “Oke, aku setuju. Tapi enaknya jam berapa? Pagi atau siang?”
“Tentu saja pagi, biar makin efektif.”
“Tapi … kalo harus bangun pagi di hari minggu itu …”
“Semua demi karyawan baru, kan? Hanya untuk sekali aja, kok.”
“Ah … iya juga …. Ya baiklah … bangunkan aku kalo udah jamnya!”
“Sepertinya aku harus meminta kakekmu untuk membangunkanmu. Sepertinya lebih efektif begitu.”
“J—Jangan sama kakekku, dong …! Meski beliau tampak ramah dan baik hati, tapi sebenarnya dia bisa jadi ‘ganas’ kalo bangunin aku!”
“Ah, seperti dirimu saja, iya kan?”
“Jangan samakan aku dengan kakekku!!”
Danheng hanya terkekeh kecil saja.
Sesudah itu, menu pesanan mereka keluar lengkap. Begitu dihidangkan di atas meja, mereka berdua segera menyantap makanan mereka. Bailu melahapnya dengan cepat. Sepertinya dari tadi, ia sedang merana menahan rasa laparnya. Tapi untungnya ada Danheng. Coba kalau dia makan sendirian, pasti sejak tadi sudah jadi ‘naga’ mungkin. Tapi sepertinya Bailu memang tidak akan makan ke restoran dengan sendirian.
***
Pada pagi hari, kebetulan Caelus dan March sedang berkumpul di rumah Sushang hari itu. Mereka semua berkumpul di ruang tengah. Sushang dan March duduk lesehan di lantai, sedangkan Caelus dengan santainya selonjoran di atas sofa sambil memainkan ponselnya.
“Wah, hari ini kita sangat beruntung, nih! Bisa libur bertiga begini!”
Sushang tampak senang sekali berkata kepada mereka semua.
“Ini baru pertama kalinya ya kita bisa sepaket libur begini?” tanya March.
“Betul, March.”
“Tapi apa restoran enggak kekurangan orang, toh?”
“Kayaknya justru kita diliburkan karena kebanyakan orang? Mungkin ….”
“Atau bisa jadi, jam kerja kita dikurangi.” Caelus seketika nyeletuk.
“Eh! Jangan ngomong gitu, dong! Kalo jam kerja dikurangi, berarti kan gajinya juga ikutan ….” Sushang langsung membalas begitu.
“Apalagi aku yang belum ada 3 bulan, masak gajiku mau dipotong? Lagian aku belum diangkat sebagai pelayan tetap.” Begitu pula dengan March.
“Betul juga katamu, March.”
“Tapi aku pikir, sepertinya memang akan ada pemangkasan pelayan, deh.” “Sushang, apa kamu pernah dengar desas-desus dari pimpinan kalo ada beberapa pelayan dan karyawan lain yang kinerjanya kurang begitu bagus akan dirumahkan?” ucap Caelus yang jadi penasaran.
“Ya, aku malah tanya sendiri sama Manager Yongnian, kalo emang beneran ada pemangkasan para pelayan. Gampangnya, pemilik resto memang mau mengefektifkan kinerja dari para pelayan dan karyawannya.”
“Jadi memang benar adanya, ya?”
“Yah, kurang lebih seperti itu. Tapi untuk aslinya masih kurang begitu jelas.”
“Lalu, apa ada hubungannya dengan hari libur kita sekarang ini?” tanya March dengan polos.
“Mungkin si pemilik resto mau melihat kinerja dan keefektifitas dari para pelayan di sana. Apakah mereka masih bisa diandalkan atau tidak kalo kuantitas para pelayan dikurangi.”
“Hm, cara seperti itu boleh juga buat diterapkan. Metode yang cepat tapi cukup efektif sebagai bahan penilaian dan pertimbangan.”
“Tian Xiu Depot memang pada awalnya membutuhkan para pelayan yang banyak untuk shift pagi dan siang. Hanya saja makin ke sini, memang aku lihat juga, beberapa pelayan kurang begitu efektif kinerjanya. Sampai-sampai aku enggak enak lagi buat menegur mereka. Terutama untuk shift pagi, sih. Mereka kebanyakan sudah berusia di atas 40 tahun.”
“Tapi seharusnya mereka bisa menjadi contoh buat yang muda-muda, iya kan?” ucap March.
“Nah, masalahnya mereka enggak bisa jadi contoh yang baik. Meskipun masih menunggu pelanggan untuk datang, tapi setidaknya yah … mereka enggak ngobrol terus, betul kan?” Sushang menoleh ke arah Caelus.
“Betul juga.” “Orang yang usianya sudah senior, kalo ditegur nantinya mereka bisa ngambek. Tapi kalo enggak ditegur, juga salah juga. Kalo menurutku sih, emang tetap harus ditegur tapi juga diarahkan mereka harus ngapain di saat menunggu pelanggan datang. Misal cek kondisi meja dan kursinya lagi, apakah sudah benar-benar bersih atau masih ada noda. Atau mencatat meja dan kursi dan peralatan resto mana aja yang sekiranya dibutuhkan perawatan lagi atau waktunya untuk diganti. Seenggaknya begitu, menurutku.”
“Ah benar juga, ya? Aku belum sempat kepikiran sedetail itu, Caelus. Besok akan aku coba menegur dan mengarahkan mereka semacam itu. Hmm … tapi ngomong-ngomong … sepertinya salah satu dari kita akan dipindahkan shift pagi.”
“Kalo untuk dirimu bukannya dua kali shift, ya?” tanya March.
“Iya, sih … aku emang pagi dan siang. Tapi kata Manager Yongnian, bulan depan aku akan ditugaskan hanya di shift siang. Sedangkan salah satu dari kalian, akan dipindahkan di shift pagi.”
“Berarti siapa yang mengawasi semua para pelayan selain Manager Yongnian di pagi hari?” tanya Caelus penasaran.
“Mungkin hanya di-handle sama beliau sendiri. Kemungkinannya begitu, pikirku.”
“Begitu, yahh ….”
“Kalo emang beneran gitu, satu dari kita akan berpisah, dong?”
March tampak cemas mendengar hal itu. Sepertinya dia tidak mau berpisah dari mereka berdua.
“Iya, begitulah …,” jawab Sushang.
“Berarti … kita gak bisa berangkat dan pulang bareng-bareng, dong??” ucap March kembali.
“Iya … emang begitu, March. Tapi tenang aja, kan kita masih bisa kumpul bareng di sini, betul kan, Sushang?” Caelus melirik ke arah Sushang.
“Yess …! Karena kamarku akan selalu terbuka lebar bagi kalian semua, hehehe ….”
“Sudah kukatakan … pakai kata ‘rumah’ aja. Jangan selalu bikin salah paham orang lain, Sushang.”
“Lah, kan yang denger juga kalian sendiri … bukan orang luar.”
“Ya tapi kan … March risih kalo denger kata ‘kamar’ begitu ….”
“Mulai sekarang biasakan kalo ini adalah ‘kamar’ rusunku, March!”
Sushang sambil menepuk pundak March dengan penuh semangat.
“Hei, dilarang mengeksploitasi dia, Sushang!”
“Ini bukan eksploitasi, Caelus …! Ugh!”
“Sudah, sudah … kalian tenang dulu …. Aku sih enggak keberatan kalo selama kata ‘kamar’ ini cuma berlaku di sini aja.”
“Nah! March sendiri sentuju, kok!”
“Gak usah cari pembenaran darinya ….”
Tak lama kemudian, pintu ‘kamar’—maksudnya rumah—Sushang diketok. Sushang seketika berdiri dan ngacir untuk membukakan pintu.
“Ah! Selamat datang, psikolog tercinta!”
“Sushang, gak usah lebai. Caelus di dalam?”
“Tentu saja, ya!”
“Sudah kuduga.”
Maka masuklah si Fu Xuan. Pada tangannya, ia membawa tas belanja yang cukup penuh dan berat.
“Caelus, besok lusa akan ada jadwal ketemuan sama dua klien cowok. Lokasinya di dalam supermall di Cloudfort Village. Kita berangkat jam 9 aja.”
Fu Xuan sembari mengeluarkan beberapa barang belanjaannya ke atas meja dapur Sushang. Ia mengeluarkan aneka bumbu masak, tepung, serta dua pak daging babi yang sudah terbungkus rapi dengan mika bening.
“Jam 9?? Pagi amat? Kenapa enggak jam setengah 10 aja berangkatnya? Kan mall bukanya jam 10.”
“Kata klien pertama, dia mau menunjukan orang yang dia sukai sebelum orangnya masuk kerja.”
Sushang pun ikut membantu Fu Xuan untuk membuka semua bungkus daging itu. Sepertinya Sushang sudah tahu mau ngapain sehabis itu.
“Oh, gebetannya seorang karyawan mall, ya?” balas Caelus sembari bermain ponsel sejak tadi.
“Iya. Makanya dia mau kita datang lebih awal.”
“Kok kayaknya agak gimana ….”
“Yah, namanya juga klien anak muda yang masih labil. Begitulah jalan pikiran mereka.”
Fu Xuan menggunting ujung bungkus tepung lalu dituangkannya sebagian ke dalam sebuah wadah plastik bening yang sudah disiapkan Sushang sebelumnya.
“Oke, kita berangkat jam setengah 10 pagi,” ucap Caelus dengan santai.
“Oi, jam 9 pagi.”
Fu Xuan sembari mengambil sehelai demi sehelai daging itu untuk dicampurkan ke dalam tepung.
“Iya, iya … jam 9 pagi ….”
“Awas kalo kamu bangunnya ngepas. Jam 9 pagi adalah BERANGKATNYA! Tolong ingat itu, Caelus!”
“Apa perlu aku panggil kamu ‘siap, Madam Fu Xuan!’ gitu?”
“E—Enggak perlu!!”
Seketika Fu Xuan menoleh ke arah Caelus dengan kedua pipinya yang agak memerah.
“Makanya, santai aja kalo ngomong. Dilarang ngegas kalo lagi di rumah orang.”
“Huh! Riwil sekali kamu!”
Kemudian Fu Xuan kembali fokus untuk meratakan semua daging itu dengan tepung sampai tak ada yang tak ketutupan.
“Hehehe … sepertinya kalian berdua emang selalu begini ya kalo di sini ….”
“Hanya perasaanmu aja, March.”
Fu Xuan dan Caelus menjawab bebarengan. March pun langsung terdiam, pura-pura melupakan ucapannya barusan.
“Sejak tadi aku mau bertanya padamu.”
“Kenapa, Sushang?”
“Kenapa bawa daging babi sebanyak ini ke rumahku? Apa kamu habis gajian gede?”
“Bukan gitu …. Soalnya daging ini mumpung diskon hari terakhir, makanya langsung aku borong aja. Daripada harus dibuang sama supermarketnya.”
“D—Diskon hari terakhir …? Berarti—”
“Jangan remehkan indera penglihatanku, Sushang! Aku engak mungkin beli daging mentah ini kalo enggak bagus. Daging-daging ini kondisinya masih sangat layak untuk dimasak dan dimakan. Makanya aku beli. Tapi daripada aku simpan sendiri, lebih baik kalian semua juga ikut kebagian. Biar cepat habis.”
“Ooh …. Emangnya kali ini mau bikin apa? Stik?”
“Mana ada steak pakai tepung? Yah, meskipun ada sih tapi itu steak murahan. Sekarang ini aku mau bikin tonkatsu. Nanti bisa kita makan pas siang hari.”
“Wah, udah lama aku enggak makan tonkatsu …!”
“Tapi jangan ngiler sembarangan dong, Sushang! Nanti masuk ke adonannya!”
“Ah, maap!”
Sushang langsung mengusap ilernya yang hampir saja jatuh ke dalam adonan dagingnya.
Sembari menunggu Fu Xuan memasak, Sushang dengan March pergi ke minimarket untuk membeli beberapa aneka minuman botol yang dingin. Soalnya Sushang sendiri juga ingin makan masakan dari Fu Xuan sambil meminum minuman yang menyegarkan. Kemudian setelah berbelanja beberapa minuman di minimarket, mereka pun kembali ke rumah.
Klotak-klotak!
“Hoi, jangan keras-keras bawanya! Kalian beli minuman botol kaca, ya?”
Tegur Caelus karena mendengar suara hentakan botol kaca dari dalam tas belanja Sushang. Takutnya kalau pecah, gitu.
“Iya! Kami beli lima macam minuman botol kaca,” jawab March dengan spontan.
“Elit sekali ….”
“Terus minuman lainnya apa?” tanya Fu Xuan yang penasaran.
Sushang seketika mengeluarkan semua minuman botol yang dibeli.
“Aku sampai gak bisa sebutin satu-satu, nih …,” ucap Sushang.
“Hehh … kenapa banyak sekali …? Bukannya terlalu berlebihan, toh?” tanggap Fu Xuan lagi.
“Gak masalah, dong … kan bisa disimpan hingga berhari-hari?”
“Ya tapi… habis berapa duit itu….”
“Enggak sampai ngabisin gajiku juga, kali ….”
“Ya tapi seenggaknya beli yang cuma dipengenin aja dong, Sushang ….”
“Aku … lagi kepengen semua ini, ehehe ….”
“Haiyah, kamu ini ….”
Tepat di jam makan siang, masakan yang dimasak oleh Fu Xuan sudah tersajikan dengan rapi di atas piring lonjong. Begitu pula dengan nasi yang sudah jadi di dalam penanak nasi. Peralatan makan pun sudah disiapkan sebelumnya oleh Sushang. Mereka semua tinggal mengambil sendiri-sendiri mangkuk, sumpit, nasi dan lauknya.
“Sebelum kita menikmati hidangan siang hari ini, aku mau mengucapkan terima kasih banyak buat kalian semua yang sudah turut membantu untuk melengkapi hidangan makan siang kita ini. Caelus yang sudah membantuku memasak. Sushang dan March yang sudah membelikan minuman dingin. Aku hargai bantuan kalian semua.”
Begitulah ‘pidato’ Fu Xuan yang cukup formal dan singkat itu. Belum ada angin besar maupun hujan, entah karena alasan apa dia berkata-kata seperti itu. Karena itulah, mereka bertiga tampak bingung.
“Fu Xuan, emangnya hari ini ulang tahunmu, ya? Bukannya masih jauh, kan?” Sushang hendak memastikannya.
“Emang bukan ulang tahunku. Tapi aku emang mau bikinin masakan ini buat kalian aja. Gak ada maksud apapun dan perayaan apapun.”
“Tapi, kenapa pake pidato segala? Malah kesannya terlalu formal ….” ucap Caelus.
“E-hem! Emang terdengar terlalu formal, tapi seenggaknya aku mau mengatakan itu aja.”
Meskipun Fu Xuan menjawab begitu, dari ekspresi mukanya, sebenarnya dia sedang grogi menanggapi perkataannya Caelus. Tidak hanya Caelus saja yang sadar, Sushang dan March juga tahu kalau Fu Xuan sedang grogi.
“Fu Xuan, santai aja kali …. Kalo kamu emang mau bagi-bagi berkah, enggak perlu pidato segala. Cukup sampaikan apa yang memang ingin kamu sampaikan aja, seperti biasanya,” ucap Caelus kembali.
“Ah, oke. Aku cuma ingin coba hal baru, sih ….”
“Hal baru?” ucap Sushang.
“Kayaknya emang gak penting. Sudahlah, mari kita makan sekarang aja! Keburu tonkatsunya dingin.”
“Hmm … aku udah gak sabar buat menyantapnya!”
Sushang sepertinya benar-benar ingin menyantap semua tonkatsu yang ada di atas piring. Ilernya kembali merambat ke bibirnya.
Semuanya pada mengambil satu-satu, tapi tidak dengan Sushang yang mengambil dua langsung. Fu Xuan seketika memberi peringatan padanya kalau jangan sampai mengambil lagi sebelum yang dua itu dihabiskan dan sebelum semuanya menghabiskan tonkatsunya masing-masing. Sushang pun menurut.
Kress!
“Umhh… rasanya bener-bener berasa MELAYANG DI SURGA …!!”
Kedua mata Sushang sekejap berubah menjadi bintang Gejora. Di sekeliling kepalanya tampak ‘malaikat’ Sushang-Sushang kecil melayang memutari kepalanya. Dan ilernya makin lama makin meluber sampai ke dagunya.
“Oi, gak usah lebai, Sushang!” tanggap Fu Xuan.
“Sushang ilermu, loh …,” sambung March.
Tapi Sushang terus-terusan ‘ber-utopia’ di dalam fantasinya. Mereka bertiga sampai tertegun melihat dia.
“Biarin aja dulu. Biarkan dia berfantasi ria bersama imajinasinya,” ucap Caelus untuk mereka berdua.
“Iya nih, kalo dia lagi makan makanan yang enak menurutnya, jadi susah buat diajak bicara.”
“Tapi memang, aku sendiri pun belum pernah makan tonkatsu seenak ini. Tonkatsu buatan Fu Xuan benar-benar enak!”
“Hehe, syukurlah kalo kamu suka, March. Tapi di luar sana masih ada banyak yang lebih enak dari ini, kok.”
“Padahal cuma pake daging diskonan, yah? Luar biasa teknik memasakmu, Fu Xuan.”
“Kamu lagi ngejek atau gimana??”
“Asli, ini pujianku untukmu, Fu Xuan …. Aku juga baru pertama kali makan tonkatsu seenak ini ….”
“Ah, y—ya baguslah kalo kamu juga suka ….”
“Apa aku boleh ambil lagi?”
“Ambil aja gak masalah, kok.”
“Aku boleh ambil juga??” tanya March.
“Silakan, silakan …. Ambil aja sebelum Sushang kembali sadar!”
“Wah, bener juga ….”
“Mumpung dia masih masuk ke mode halunya,” tanggap Caelus.
Sesudah Caelus, March, dan juga Fu Xuan puas makan, tentu saja mereka tidak serta-merta menghabiskan semuanya. Mereka menyisihkan satu helai tonkatsu untuk Sushang yang sejak dari tadi, cara makannya melambat. Dia benar-benar menikmati tonkatsu itu sampai-sampai cuek dengan teman-temannya yang sudah selesai makan. Meskipun Sushang mulai menghabiskan makanannya, namun sebetulnya dia masih berada pada mode ‘utopia’—karenanya dia makannya sangat lambat. Begitu yang lain sudah pada puas minum, Sushang baru tersadar kalau daging tonkatsunya tinggal satu.
“Eh! Masih ada satu lagi, nih! Gimana kalo kita suit aja??”
“Ngapain pake suit segala? Tonkatsu ini emang untukmu, Sushang,” balas Caelus sambil menikmati minumannya.
“Ooh … yang bener?!”
“Kami emang sengaja menyisihkan satu buatmu, Sushang …. Makanya sadar dari awal dong, jangan masuk ke mode ‘utopia’ mulu,” tanggap Fu Xuan dengan muka datarnya.
“Oh, begitu ya?” “M—MKASWIH BWANYAKK TWEMAN-EMAN!!”
Seketika saja ia menangis lebai di tempat dan sedikit ‘membanjiri’ mangkuknya.
“Oi, oi, jangan nangis sembarangan gak jelas gitu, woi!” teriak Caelus sambil melotot di hadapan Sushang.
Begitu diberi izin oleh yang masak, Sushang dengan cepat melahap tonkatsu yang tinggal satu helai itu dengan kecepatan tinggi. Tidak ada 2 menit, daging babi dan nasi di dalam mangkuknya langsung lenyap. Memang, Sushang sekalinya ‘sadar’, makannya langsung ngegas tanpa ada rem.
“Lain kali aku mau request masakan ke Fu Xuan, ah!”
Begitulah yang diucapkan Sushang setelah menelan semua apa yang ada di dalam mulutnya.
ns 15.158.61.20da2