Budeku sudah lama menjanda. Dia punya seorang anak laki-laki. Setelah anak laki-lakinya menikah dan pindah ke seberang pulau, karean dipjndahtugaskan, Budeku meminta kepada Bapak dan Ibuku, agar aku ikut dia. Bude akan menyekolahkan aku ke sebuah sekolah swasta ternama di kotanya. Begitulah, aku pindah ke sekolah yang lebih bagus setelah aku naik ke kelas 2 SMA. Aku pun dibelikan sebuah sepeda motor. Walau sepeda motor bekas, tapi masih sangat bagus dan aku sangat senang sekali. Rumah Bude ku sedikit masuk ke gang dari jalan raya. Halamannya sangat luas, dirimbuni pepohonan, seperti manggis, jambu dan bunga-bungaan. Aku senang tinggal di sana. Budeku pun sayang kepadaku, karena aku suka membantu membersihkan rumah dan pekarangan sepulang sekolah. Sore hari, Bude mengirimkan SMS padaku agar aku menjemputnya ke suatu tempat. Terkadang aku menjemputnya ke kios serba adanya. Walau Budeku berusia 44 tahun, dia masih cantik. Pantatnya besar, pinggulnya besar dan yangterpenting buah dadanya juga sangat besar. Mungkin melebihi ukuran normal. Bude selalu saja memelukku dari belakang saat aku memboncengnya dan terus terang, buah dadanya selalu menempel rapat di punggungku, terlebih saat jalanan sepi. Lama kelamaan aku mikir juga, kenapa kalau di jalanan sepi, Budeku selalu demikian rapat menempelkan buah dadanya dan memelukku erat dari belakang, sementara di area ramai, dia sepertinya menjaga jarak. Hampir setiap tidur aku memikirkannya. Sebagai laki-laki 18 tahun, aku tidak mau munafik. AKu rerangsang setiap kali aku membonceng Buda dan aku ketagihan untuk memboncengnya. Terlebih laghi arioma tubuh Budeku yang harum denga parfumnya y ang mahal. Uangnya banyak sekali. Bude memang seorang pedagang tangguh dan seorang rentenir. Kami pulang dari memungut bunga uang ke sebuah desa. Hujan baru saja turun dan kami harus pulang kalau tidak mau kemalaman. Saat itu jalan sangat licin dan kami melintas dari perladangan. Bude memelukku sangat erat dari belakang dan dadanya yang besar menempel di pungungku. Hujan masih gerimis dan jalan sepeda motor demikian lambat dan sesekali tergelincir di atas tanah liat yang basah. Suara sepeda motor juga selalu meraung-raung. Dan sudah pula terdengar suara adzan mahgrib di kejauhan. Aku mendengar dengus nafas Budeku. Aku yakin Bude juga pasti sedang terangsang, setiap kali aku memboncengnya. Saat sepeda motor tergelincir, tangannya terlepas atau sengaja atau tidak, tampi terasa olehku telapak tangannya seperti mengelus kontolku yang masih ditutupi celanaku. “Kenapa Bude?” tanyaku. “Oh gak… gak apa-apa,” katanya tersipu seakan dia tersadar dan mengetahui, kalau aku merasa terelus kontolku. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku yang sudah beberapa kali bersetubuh dengan tetangga da mengajariku bersetubuh, kubernaikan diri untuk menggodanya. “Gimana Bude, lumayan besar kan?” kataku sembariu terus menyetir sepeda motor. “Maksudmu gede apanya?” tanya Bude seperti marah. Kalau tiada apa-apanya, kenapa harus marah. Cepat kutangkap tangan bude dengan tangan kiri dan tangan kananku masih memegang stang seped amotor dan kuletakkan ke kontolku yang mengeras. “Gimana, besarkan?” tanyaku. “Kamu ini anak kurang ajar. Nanti kulaporkan kepada Bapakmu. Bapakmu itu adikku, mengerti,” kata Bude membentak. Saat itu sepeda motor tergelincir dan Bude kembali memelukku erat sekali dari belakang. “Aku hanya bertanya, apa benar, burungku besar atau tidak,” kataku tenang seakan aku tidak mendengar, kalau dia mau melaporkan diriku pada Bapakku. “Ikh… kamu masih anak sekolah, sudah mikir yang enggak-enggak,” katanya. “Kalau masih sekolah apa tidak bisa. Kan aku laki-laki normal,” kataku. “Kamu ini, seperti sudah dewasa aja. Menerti apa kamu?” Bude bertanya lirih. “Semuanya akau sudah mengerti lho Bude,” “Mengertti apa hayo…” “Mengerti segala-galanya. Dan aku sebenarnya sudah lama menaruh hati pada Bude,” kataku terus terang, tenang dan tanpa rasa takut. “Naruh hati bagaimana?” “Ya naruh hati. AKu mau Bude jadi pacarku,” kataku. Husss! Kamu ini ada-ada saja,” katanya. “Sungguh lho Bude.” Bude tidak bersuara, sepeda motor terus melaju dengan terseok-seok. Dia semakin mempererat pelukannya dari belakang. Saat jalan sepi dan tiada cayaha lampu dari depan dan belakang, Bude mengelus kontolku. Nafasnya mendesah-desan. “Betulkan Bude,. Besarkan?” kataku. “Ah… sudah ah. Lihat saja jalan, nanti kita jatuh katanya, tapi tidak menggeser telapak tangannya dari kontolku. AKu menekan tangannya dan meremas tangannya. Bude membiarkan remasan tangannya. Hujan malah menderas. Akau memberhentikan sepeda motorku dan mengeluarkan mantel. Kami berjalan kembali setelah mantel hujan menutupi tubuh kami. Sebelum sepeda motor berjalan, aku lebih dahulu melepas resleting celanaku dan mengeluarkan kontolku dari celana, kemudian sepeda motor berjalan kembali dibawah guyuran hujan. Berkisat 12 KM lagi, kami baru sampoai di rumah. Sebagian besar tubuh kami tertutup mantel. Saat Bude memelukku, kutangkap tangannya, lalu kuarahkan tangannya ke kontolku. AKu tahu Bude terkejut dan menarik tangannya. “Kamu ini gimana sih. Kelihatan orag bagaimana kamu?” AKu diam saja Sepeda motor terus melaju. Kembali kutangkap tangan Bude dan kubawa ke kontolku. “Kamu ini bagaimana sih?” Bude bertanya, tapi kutahan tangannya tetap berada pada kontolku. Setelah dia mulai mengelusnya, baru aku melepas tangannya. Sepoeda motorpun terus berjalan di kegelapan malam. Lampu-lampu rumah penduduk sudah menyala. Pintu semua tertutup karean hujan. Kami tiba di rumah dan Bude turun dari boncengan membuka gerbang pagar rumah dan aku memasukkabn sepeda motor ke teras rumah. Kemudian aku menutup pintu gerbang pagar rumah dan kami masuk ke dalam rumah. Aku melepas mantel dan aku tidak sadar, kalau aku belum mengandangkan kontolku ke tempatnya. “Kamu ini bagaimana, masa kamu tidak menyem,bunyikan Tititmu ini,” kata Bude dan mendekatiku, lalau memasukkan kontolku ke dalam celanaku, kemduian dia menutup resleting. Aku gembira, karean aku berhasil menaklukkan Budeku. Dengan pakaian agak kuyup, kami ke belakang. Bude melap tubuhnya yang basah dengan handuk laklu memberikan handuk itu kepadaku untuk melakukan yang sama. Setelah kulap bagianh tertentu, aku langsung mendatangi Budeku dan tidak menyia-nyiakan kesempatan. Aku memeluknya dan menciumnya. Kulumat bibirnya. Saat itu Bude langsung memelukku dengan nafasnya yang memburu. Di dapur itu, perlahan kulepas semua pakaiannya, dimulai dari pakaian atasnya. Saat aku melepas bra-nya, huuuu…. buah dada yang sangat besar itu demikian kenyal. Pentilnya hitam dan besar. Tapu Budeku beropinggang ramping walau dia sudah pernah melahirkan. Bude mnembalas ciumanku dan aku juga mempreteli pakaianku satu persatu, hingga tinggal celana dalam. AKu juga melepas pakaian Budeku, tingal celana dalam. Mungkin ukuran celana dalamnya itu 42. “Kita telanjang saja Bude,” kataku, sembari melepas celana dalamnya. Bude diam saja dan menutup matanya. Setelah BUde telanjang dan aku telanjang bulat, aku kembali memeluknya dan menciumnya. Kami berciuman dalam keadaan berdiri. “Bude, kita ke kamar yuk…? Tak ada jawaban. Diam. Akua memeluknya, seperti sepadang anak ABG sedang berjalan ditaman bunga, kamu memasuki kamar dan mengunci pintu kamar, sementara di luar udara semakin dingin oleh pengaruh hujan lebat.
ns 15.158.61.6da2