Sulistiana, demikian nama ibuku. Tetangga sekitar memanggil ibuku dengan sebutan Bu Sulis. Sehari-hari ibuku membuka toko kelontong kecil-kecilan yang menjual kebutuhan sehari-hari dan sembako seperti beras, kopi, gula, minyak goreng, rokok dan lain-lain. Sedangkan ayahku telah meninggal 3 tahun yang lalu. Tepatnya ketika aku lulus SMA. Ayahku meninggal karena sebuah kecelakaan kerja yang terjadi di pabriknya.
Sepeninggalan ayahku, ibuku masih belum mau menikah lagi. Padahal menurut pandanganku sebagai lelaki normal, ibuku masih terlihat menarik. Wajahnya masih cantik meski usianya hampir menyentuh separuh abad. Bentuk tubuhnya juga masih terbilang aduhai. Tak kalah dari ABG jaman sekarang karena semasa muda dulu, ibuku gemar berolahraga seperti senam aerobik serta jogging.
Oleh karena itu. Tak sedikit lelaki, baik tua maupun muda yang datang ke toko kadang menggoda ibuku. Dan tak sedikit pula yang menjurus ke arah jorok. Dan sepertinya semua guyonan dan candaan itu tak mempan. Sebab, ibuku tak sedikit pun bergeming. Ia malah menanggapi semua guyonan dan candaan itu dengan santai dan biasa saja.
Dan itulah yang membuatku salut dengan ibu. Tapi terkadang, terlintas sebuah pikiran di benakku. Mungkin jika saja aku bukan anak kandungnya, sudah kunikahi ibu kandungku itu. Yah, memang gesrek otakku ini. Bisa-bisanya punya pikiran mengawini ibunya sendiri. Bukan main!
Suatu hari, aku pulang larut malam karena harus lembur bekerja. Dan seperti biasa. Begitu aku memasuki rumah, suasana begitu sepi karena ibuku sudah istirahat di kamarnya. Seusai mandi, aku langsung melahap makan malam yang disiapkan ibuku sebelum aku datang. Setelah makan, aku tak langsung tidur. Aku pergi ke ruang tamu untuk duduk-duduk sebentar sembari menonton TV.
Mata yang mengantuk serta tubuhku yang lelah, membawa diriku ke dalam posisi antara sadar dan tidak. Entah aku salah dengar atau apa, sayup-sayup aku mendengar suara seperti orang merintih dari arah kamar ibuku. Aku langsung mematikan TV lalu menajamkan pendengaranku untuk memastikan kalau apa yang kudengar itu tak salah. Dan benar saja! Aku mendengar suara seperti merintih dari kamar ibuku.
Diliputi rasa penasaran, aku pun bangkit dari tempatku duduk lalu berjalan mendekati kamar ibuku. Dalam pikiranku, aku hanya takut kalau ibuku kenapa-kenapa. Dengan amat pelan, aku memutar kenop pintu kamar ibuku. Dari celah pintu yang terbuka sedikit itu aku mengintip apa yang sebenarnya terjadi.
DEGH!
Astaga! Alangkah terkejutnya diriku melihat apa yang tengah dilakukan ibuku di malam itu.
Meski remang, tapi aku bisa melihat apa yang tengah ibuku lakukan. Ia berbaring telentang dengan posisi kedua kakinya mengangkang. Bagian bawah dasternya tersingkap hingga ke perutnya. Tangan kanannya tengah mengelus-elus kemaluannya sendiri yang berbulu lebat. Sementara tangan kirinya meremas payudaranya sendiri sambil memilin-milin putingnya
Sebenarnya aku sudah terbiasa melihat tubuh telanjang ibuku ketika aku masih kecil. Tapi aku lebih sering memalingkan mukaku karena malu sendiri. Dan kupikir rasanya tak pantas saja seorang anak kandung menatap tubuh telanjang ibunya sendiri.
Namun kali ini berbeda. Aku menatapnya tanpa berkedip sama sekali. Bahkan aku tak memalingkan pandanganku seperti ketika aku masih kecil.
"Aaah...aaah..sshh..aah.." rintih ibuku sembari tangan dan jarinya melakukan rangsangan pada kemaluannya sendiri.
Sayup-sayup rintihan itu terdengar begitu erotis di telingaku. Membuat gairah lelaki dalam diriku mulai bangkit. Cukup lama aku menatap apa yang sedang dilakukan ibuku itu. Hingga tanpa sadar, tanganku menyusup ke dalam celana boxer yang kukenakan lalu mengeluarkan kejantananku yang mulai menegang.
"Aaaahh..sssh..enaaak banget sayaaang...." desah ibuku lagi.
Aku yang mulai dikuasai oleh nafsu mulai mengocok sendiri kejantananku yang sudah mengeras. Ah, ibuku pasti membayangkan sedang dientot oleh Ayahku karena ia terus menerus meracau dengan kata "sayang".
"Aaah...naak banget sayaaang...iya Toonn...terussinn...puasiiinn ibu Tooonn.."
DEGH!
Aku kembali dibuat tersentak saat ibuku menyebut namaku. Aku sampai tak percaya hingga terpaku di tempatku berdiri. Bahkan aku sampai menghentikan kocokan pada kejantananku karena masih tak percaya.
Kepalaku kini mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Apakah telingaku tak salah dengar? Apakah ibuku sebegitu berhasratnya sampai ia menyebut namaku? Atau itu cuma sepintas bayangannya saja? Entahlah. Yang jelas setelah ibu menyebut namaku tadi, aku jadi tak berhasrat lagi untuk beronani. Akhirnya aku pun memutuskan untuk menutup pintu kamar ibuku dan membiarkan ia menuntaskan hasratnya.
Di dalam kamarku sendiri. Aku tak bisa tidur karena masih terbayang dengan apa yang dilakukan ibuku barusan. Meski apa yang dilakukan ibuku adalah hal yang wajar, tapi semua itu mengerucut pada satu pertanyaanku.
Meski pada akhirnya aku tak menuntaskan hasratku saat itu, apa aku sudah memandang ibuku bukan sebagai ibuku sendiri melainkan sebagai lawan jenis?
Sekali lagi entahlah. Aku bingung dan tak harus bagaimana aku bersikap. Yang jelas malam itu, aku mencoba mengalihkan pikiranku dengan memejamkan mata. Berharap agar aku bisa tertidur karena besok aku masih harus bekerja. Dan untungnya aku bisa tidur dengan pulas malam itu.
2 hari setelah kejadian di malam itu. Semua tampak berjalan normal dan biasa saja. Ibuku juga bersikap seperti biasanya. Seolah tak terjadi apa-apa di malam itu.
Tapi tidak denganku. Sejak kejadian di malam itu, aku jadi gelisah karena terbayang-bayang bagaimana ibuku sendiri menyebut namaku ditengah masturbasinya. Tak berani rasanya aku menatap matanya. Bukan karena takut, tapi hanya menjaga marwahku sebagai anak kandung. Itu saja.
Saat ini aku sedang makan malam berdua dengan ibuku. Kami makan dalam diam tanpa ada pembicaraan sedikitpun. Padahal biasanya aku yang paling cerewet dan lebih banyak bercerita.
Tapi perasaan ibuku begitu peka. Ia seolah menangkap tanda-tanda kegelisahanku malam ini. Ia pun langsung bertanya padaku, "kamu kenapa Ton? Biasanya kamu banyak cerita kalo lagi makan gini. Sekarang kok diem?"
"Ng..ngga apa-apa kok Bu. Anton cuman capek aja," jawabku dengan gugup.
"Oooh.. kalo memang ada masalah, cerita aja sama ibu. Ibu siap ndengerin kok," ucapnya dengan menyunggingkan senyum kecil padaku.
Seusai makan malam dan membereskan piring sisa makan, kami menuju ruang tamu untuk bersantai sambil menonton TV. Kebetulan toko ibuku sudah tutup dan aku besok libur bekerja. Jadi setidaknya aku bisa begadang malam ini.
Di kala santai di ruang tamu, aku diam menonton acara yang sedang ada di TV. Yah mungkin mataku lurus menghadap ke layar kaca. Tapi sesekali mataku melirik ke arah ibuku yang berada di sampingku.
Gila! Cantik sekali ibuku malam ini. Meski tanpa polesan make-up wajah ibuku juga masih terlihat cantik. Malam ini ibu mengenakan sebuah tanktop hitam serta celana pantai pendek yang memperlihatkan kulit pahanya yang mulus.
"Aaah bu.. coba kalau aku bukan anak kandungmu. Sudah pasti akan kunikahi dan kukawini saat ini juga," ucapku dalam hati.
"Ton.. kamu kenapa liatin ibu kayak gitu? Ada yang salah sama ibu?" Tanya ibuku ketika ia sadar kalau kuperhatikan.
Ah..ngga kok bu. Ngga apa-apa," jawabku gugup.
"Bu..kenapa sih, ngga nikah lagi? Padahal ibu masih cantik loh?" Tanyaku balik.
"Halah kamu ini Ton..Ton..orang ibu tua gini kok dibilang cantik. Ngga lah Ton. Ibu udah ngga mikir kesitu. Ibu takut kalo ibu nikah lagi, bapak tirimu ngga sayang sama kamu," jawabnya.
"Ya kalo nikah lagi kan enak bu. Tiap malem ada yang meluk kalo mau tidur. Kalo mau ngentot juga tinggal sat set. Ngga perlu colmek lagi tiap malem," kataku blak-blakan.
Mendengar kata-kata jorok seperti itu dariku, ibuku langsung tersentak dan menoleh ke arahku dengan mata yang melotot. Aku memang berencana memancing dirinya agar jujur mengenai kejadian di malam itu. Dan malam ini dalah eksekusinya.
"Anton! Ih, bahasamu itu loh! Ngga enak banget didengernya. Risih tau."
"Lah? Kenapa risih? Kan kita udah sama-sama dewasa loh," cetusku.
"Lagian..ibu sih. Keasikan banget colmeknya. Kedengeran tuh ampe ruang tamu. Lagian ngapain pake nyebut nama Anton segala," cetusku lagi.
Terang saja ibuku langsung terdiam dan tak bis berkutik lagi. Terbukti, setelah ucapanku tadi ibuku langsung terdiam sambil menunduk. Mungkin dirinya malu karena rahasianya malah terbongkar oleh anaknya sendiri.
"Ja...jadi kamu udah tau ya Ton?" Tanyanya gugup.
Melihat kesempatan itu, aku mencoba untuk menenangkan dirinya. "Iya sih. Tapi ibu tenang aja. Anton ngga akan cerita siapa-siapa kok."
"Daripada ibu tiap malem colmek terus, Anton mau kok nggantiin tugas ayah buat ngentotin ibu," lanjutku.
Mendengar itu ibuku tersentak. Lalu tiba-tiba...
PLAK..PLAK..PLAK...
Beberapa kali pukulan mendarat ke pundak, lengan serta pahaku. Namun pukulan yang dilakukan ibuku itu bukan seperti pukulan orang yang sedang marah. Melainkan lebih ke pukulan sayang atau gemas. Akan tetapi rasanya tetap sama saja. Sakit dan panas di kulitku.
"ADUH.. ADUH! Kok Anton malah dipukul sih Bu?" tanyaku sambil mengaduh.
"Mulutmu itu loh! Kamu gila ya! Masak ibumu sendiri kamu kawinin juga?!" tanyanya setengah membentak.
"Aku kan cuman kasih saran bu. Kalo emang ngga mau, ya ngga masalah," jawabku.
"Emang kalo ibu ngga mau, ibu terus kuperkosa gitu? Kan ngga. Lagian daripada pake jari, mending pake kontol asli. Lebih enak," lanjutku tanpa tedeng aling-aling.
Ibuku kembali terdiam beberapa saat. Aku tahu ia menatapku dengan begitu lekat namun aku tak berani menatapnya balik. Lalu tak berselang lama, ia kembali berkata padaku.
"Memangnya kamu nafsu ya sama ibu?"
Aku menatap ke arah ibu. Tanpa sepatah kata apapun, aku berdiri di hadapannya tanpa melepas pandanganku darinya. Lalu entah mendapat keberanian darimana, aku memelorotkan celanaku. Memperlihatkan kejantananku sendiri yang tegak mengacung sedari tadi.
Untuk sejenak, aku bisa melihat ekspresi terhenyak dari ibuku. Hal itu cukup wajar. Mengingat ukuran penisku yang berada diatas rata-rata orang Indonesia. Yaitu dengan panjang 17 cm dengan diameter 3 cm. Aku tak tahu anugerah ini asalnya dari keturunan siapa. Tapi ibuku pernah bercerita bahwa kakek buyutnya berasal dari keturunan blasteran Arab. Jadi sedikit banyak, kejantananku ini membawa gen dari sana, begitu pikirku. Ekspresi terhenyaknya itu hanya terjadi beberapa saat sebelum akhirnya ia tenang kembali dan menatap mataku.
"Ya gimana Anton nggak nafsu. Wong ibu aja cantiknya kayak gini," kataku jujur.
"Trus maumu sekarang gimana?"
"Aku siap untuk ngawinin ibu. Pokoknya ibu jangan colmek-colmek lagi. Ngga baik bu colmek terus-terusan. Lama-lama ibu bisa ketagihan, trus jadi ngga suka ama yang asli," jawabku dengan asal-asalan.
"Trus kalo misal ibu hamil gimana? Trus apa kata tetangga nanti kalo ibu punya anak sedangkan ibu ngga punya suami? Kalo sampe punya bayi trus nangis kedengeran kemana-mana gimana? Ah...ibu ngga pengen sampe hamil Ton.."
"Ibu ngga usah pikirin itu. Anton akan tanggung jawab buat ngebesarin bayi itu nanti. Peduli setan sama tetangga. Kita akan pindah dari sini kalo sampe ibu bener-bener hamil anakku," jawabku dengan lugas.
"Justru aku malah bersyukur bisa punya anak dari ibu. Kapan lagi bisa punya anak dari wanita secantik ibu heheh," lanjutku sambil cengengesan.
"Ih gombal.." balasnya dengan ketus
"Loh..beneran ini Bu. Masak Anton bohong. Kalo bohong ngga mungkin Anton sampe naksir," sahutku.
"Sinting! Naksir kok sama ibu sendiri," balasnya lagi dengan ketus.
Aku tersenyum lalu duduk kembali tepat di samping ibuku. Tanpa banyak kata-kata lagi, aku memegangi belakang kepala ibuku, lalu menariknya pelan-pelan agar mendekati wajahku.
Kurasakan tak ada perlawanan darinya. Begitu pula ketika aku mulai melumat bibirnya. Aku yang sudah terangsang terus saja mengelomoh bibir ibuku hingga basah semua oleh air liur. Sementara ibuku cuma mengatupkan bibirnya. Mungkin ia belum terbiasa karena baru kali ini ia bercium bibir dengan anak kandungnya sendiri.
-bersambung-
ns 15.158.61.5da2