Mamaku Diperkosa Teman-temanku
Bagian 1
Aku tak pernah mengatakan bahwa 25 tahun pernikahanku adalah buruk, sejak malam pertama semua berjalan indah dan bahagia sampai kemudian 7 tahun terakhir kurasakan membosankan. Dari segi materi, kehidupan kami bisa dikatakan masuk kalangan menengah atas. Aku sendiri adalah pemilik sebuah butik dan salon yang cukup ternama. Suamiku, seorang marketing dari kantor cabang regional sebuah perusahaan internasional pemasok alat-alat medis, aktivitasnya seputar seminar dan presentasi pengenalan produk ke berbagai rumah sakit di berbagai daerah dan tentu saja menuntut untuk menciptakan hubungan personal dengan klien ,seperti golf bersama dan lain-lain. Menyebabkan ia sangat jarang berada di rumah, meskipun banyak memberikan kesejahteraan materi yang amat berlimpah. Kami tinggal di komplek perumahan mewah di pinggiran Jakarta. Kehidupanku mulai terasa sepi ketika anak-anak beranjak dewasa. Anakku yang tertua, Eva, baru saja menikah dan ikut suaminya ke luar negeri. Sementara anakku yang kedua, Rey, masih kuliah semester 4 di sebuah PT di Jogjakarta. Dulu, ketika suami mulai menanjak kariernya dan mulai jarang di rumah, aku masih terhibur dengan kehadirananak-anak, kini aku hanya ditemani pembantu lepas yang pulang kerja sore hari. Untunglah aku masih punya usaha untuk membunuh waktu dan sepi serta sesekali berkumpul bersama rekan-rekan sosialita atau ke gym dan spa. Lingkungan sekitar sangat jarang bergaul, mereka juga orang-orang kaya yang sibuk. Akhir-akhir ini aku merasa sering kelelahan, terkadang sepulang melihat butik dan salonku kudapati diriku tertidur di sofa. Entah karena faktor usiaku yang sudah 45 tahun atau karena terlalu banyak beraktivitas? Ya, dulu kegiatanku paling seputar bersosialita atau ke gym saja, kini semakin bertambah sejak kumulai usaha 4 tahun lalu. Esoknya kuperiksakan diri ke dokter langgananku, dokter mengatakan tidak ada masalah, hanya menyuruhku untuk banyak istirahat dan memberikan resep vitamin. Kuturuti saran dokter, aku mulai menunjuk manager untuk mengelola bisnisku. Aku lebih banyak berada di rumah, hanya sesekali keluar untuk aerobik di gym. Ya, aku memang rutin merawat dan menjaga postur tubuhku. Siapa yang tak khawatir suamiku berpaling ke wanita lain mengingat karier dan kemapanannya? Walau jujur, kecurigaan itu pasti ada. Namun, lama-lama bosan juga di rumah. Walaupun nasihat dokter ada benarnya, aku jadi kembali bugar. Aku tengah membaca majalah sore itu ketika tiba sebuah mobil parkir di carport depan garasi. Tak lama pintu di ketuk dengan cukup keras. Rey, pikirku senang. Sudah kebiasaannya, anak muda enerjik itu suka mengetuk pintu keras-keras walau sering dimarahi ayahnya. Aku beranjak membuka pintu, ”Rey, anak mama.” ujarku sambil memeluknya dan mencium keningnya. Rey balas memeluk, ”Mama,” ujarnya sambil menjatuhkan tas kopernya. ”Apa kabar anak mama? Kok pulang?” tanyaku seraya membimbingnya ke ruang tengah. “Ah, gimana sih mama? Udah pikun ya? Seminggu kemaren dah aku BBM kalau aku libur akhir semester kan?” jawabnya setengah menggerutu. ”Mama siapin makan ya?” tawarku. ”Gampang, ma. Rey mau ambil barang-barang yang masih di mobil, ada salak pondoh buat mama.” ujar rey seraya beranjak pergi. “Kamu kenapa gak naik pesawat aja sih, Rey? Ngapain capek-capek bawa mobil sendiri?” tanyaku pada Rey sekembalinya dari luar. “Terus siapa yang ngurus mobilku di jogja selama sebulanan? Dititipin teman bisa-bisa ancur tuh mobil. Lagian jalan-jalan pake mobil mama, Rey ogah, terlalu feminin.” jawab Rey. “Ya udah, makan sana, terus mandi dan istirahat.” kataku lagi. Hari-hari berikutnya kulalui bersama Rey. Kami shoping di mall, nonton bioskop, makan di luar dan sebagainya. Agak aneh juga, biasanya Rey keluar bersama teman-teman se SMA-nya dulu, atau pacarnya, Vita. “Rey, gimana Vita?“ tanyaku suatu hari. ”Dah bubar, ma…” jawab Rey tanpa ekspresi. ”Kenapa? Apa udah punya pacar lain di Jogja?” Rey hanya nyengir. ”Wajib dong, ma, tapi yang di jogja juga udah putus, si Vita udah jalan sama yang lain, lagian tuh anak kekanak-kanakan banget.” Aku tersenyum dan bertanya lagi, ”Terus tipe kamu yang kek mana, Rey?” ”Yang dewasa, ma. Males pacaran ma abege lagi.” jawabnya singkat sambil terus memainkan playstationnya. ”Lha kamu juga kekanak-kanakan gitu, udah gede juga masih main game, nggak keluar main sama teman-teman?” kataku lagi. ”Yah mama, gak seneng apa Rey ada di rumah? Lagian temen-temen Rey juga udah banyak yang kuliah di luar Jakarta, bahkan ke luar negeri.” jawab Rey. ”Hihihi… sorry, Rey. Mama seneng kok ada kamu di rumah,” ujarku. “Papa kemana, ma?” tanya Rey. “Papamu lagi ada kerjaan di Makassar, ada rencana pembangunan rumah sakit besar di sana, biasa, sedang melobi untuk menangin tender pengadaan barang, katanya sih sebulan di sana.” jawabku. Rey terdiam sambil matanya terus mengarah ke layar TV dan jemari memainkan stick playstation 3 nya. Aku melanjutkan membaca majalah wanita, Rey berhenti memainkan playstation lalu pergi ke belakang, munkin mencari kudapan. ”Ada blackforest di kulkas, Rey.” ujarku pelan. Beberapa saat kemudian, Rey datang dengan sepotong blackforest di atas piring dan secangkir teh. “Spesial buat mama.” ujarnya sambil meletakan teh di hadapanku. ”Tumben, Rey, sejak kapan kamu jadi baik begini?” tanyaku tersenyum. ”Ah, dari dulu kan Rey udah baik, ma. Cuma emang rada cuek aja,” jawabnya sambil nyengir. ”Ah, dasar kamu. Makasih ya, Rey…” ujarku sambil menyeruput teh itu. Rey memilih-milih piringan DVD lalu memutar sebuah film holywood koleksi lama kami. Layar 42 inchi tersebut tak lama kemudian menayangkan adegan film. Hari semakin gelap seiring terbenamnya matahari. Baru lima belas menit adegan berlangsung, mataku menjadi sangat berat dan aku tertidur. Jam 3 pagi aku terbangun, agak heran mendapati diriku sudah si atas spring bed di kamarku di lantai atas, munkin Rey mengangkatku tadi. Mataku samar-samar mendapati lampu tidur menyala dengan sinar redupnya. Aku melanjutkan tidur. Keesokan paginya, aku bangun. Menggeliat sebentar lalu bangun, mendapati diriku bahkan belum sempat mengganti blus santaiku dengan baju tidur. Aku bangkit menuruni springbed, mematikan lampu tidur dan membuka jendela supaya sinar matahari masuk. Mataku silau lalu duduk di depan cermin meja riasku, sedikit heran mendapati 4 kancing blusku terbuka dan sebelah bra terangkat meloloskan sebelah payudaraku, mungkin karena gerakan tidurku tadi malam. Kurapikan pakaianku lalu berjalan ke kamar mandi, dan kali ini kudapati celana dalamku teronggok di lantai kamar. Aku benar-benar kaget, segera kumasukkan tanganku ke dalam celana pendek yang kupakai, aneh… aku masih mengenakan celana dalam, hanya saja aku tak begitu yakin apakah yang kupakai sekarang sama dengan yang kupakai kemarin? Entahlah, aku segera ke kamar mandi, melepaskan seluruh pakaianku bersiap untuk mandi. Rey sudah dalam keadaan rapi bersiap untuk keluar, ketika aku turun ke bawah. “Kamu mau kemana, Rey?” tanyaku. ”Eh, mama. Keluar sebentar, ma. Barusan si Anto nelpon, lagi libur semester juga dia,” jawab Rey sambil memasang tali sepatu. ”Udah sarapan, Rey?” tanyaku. ”Udah, ma. Bi Inah udah datang, udah bikin nasi goreng sama roti bakar tadi. Rey pergi dulu, ma…” jawabnya. ”Hati-hati, Rey.” balasku. *** Sore itu aku kembali duduk di ruang keluarga, sedang browsing membuka-buka website fashion terbaru sambil sesekali melirik siaran TV kabel. Kali ini memakai gaun tidur tanpa lengan yang sedikit sexy. Kudengar suara mobil Rey masuk halaman rumah. “Mama…” sapa Rey sambil mendekatiku dan mencium keningku. ”Abis dari mana, Rey?” tanyaku sambil terus menatap laptop. “Biasa, ma, main. Besok mau main futsal bareng temen-temen.” ujar Rey dambil duduk di sebelahku memencet remote TV, sesekali matanya melirikku. ”Ada apa, Rey?” tanyaku. ”Nggak, ma. Mama kelihatan tambah cantik pake kacamata itu, baru ya, ma?” tanya Rey. “Ah, nggak. Mama beli 4 bulan lalu kok,” jawabku. ”Udah mandi sana, kalau mau makan di meja makan udah disiapin Bibik,” perintahku. ”Okay, boss.” kata Rey sambil mencium pipiku. ”Hush, kamu ini bas bos aja,” jawabku sambil mencubitnya ringan. Beberapa saat kemudian, Rey kembali dengan kostum basket dan celana pendek membawakan segelas teh hangat untukku. “Makasih, Rey. Hmm, kamu jadi agak dewasa ya sekarang? Gak kolokan dan ugal-ugalan kek dulu.” kataku sambil meminum teh tersebut. ”Orang kan pasti berubah, ma. Gimana sih mama? Liat apa sih, ma, kok asyik banget?” tanya Rey sambil kepalanya bersandar ke bahu lenganku yang terbuka. “Ah, cuma lihat mode fashion, cari inspirasi untuk koleksi butik mama.“ jawabku. Rey cukup lama bersandar di pundakku, entah menyaksikan laptop, atau… ups, aku tersadar gaun tidurku memunkinkan belahan dadaku terlihat. Sialan, pikirku, namun di sisi lain menyadari pemuda seusia Rey pasti sedang panas-panasnya mengalami puber. Segera kudorong kepalanya, ”Udah, pundak mama pegel neh.” kataku beralasan. Rey tersipu lalu beralih menyaksikan TV. Entah kenapa, kira-kira 10 menit kemudian kembali aku mengantuk berat. Dan kali ini pukul 2 dinihari aku bangun, mendapati diriku tertelungkup di atas springbed. Dengan mata masih agak berat aku menyapu ruangan kamar tidurku, lampu tidur redup, laptop di atas meja kecil sebelah meja rias telah tertutup, lalu melihat keadaanku sendiri. Kepalaku bukan mengarah ke posisi kepala springbed, tetapi menyerong ke samping. Aku mencoba mengangkat badanku sebelah atas, kudapati bra yang kupakai telah terlepas pengaitnya, mangkuk branya pun terdongak ke atas membuat kedua payudaraku tak tertutup. Gaun sebelah bawah tersingkap sampai sebatas pinggang, dan celana dalamku melorot sampai separuh pantat. Ohh… aku ketiduran lagi, pikirku, terduduk dan kemudian bangkit ke kamar mandi untuk buang air kecil. Usai meneguk beberapa teguk air, kembali aku mencoba untuk tidur. Di tengah rasa kantuk, aku berfikir, bagaimana jika Rey melihat tubuhku tadi? Munkinkah Rey bertindak kurang ajar? Kuragukan hal itu, aku tahu persis, Rey emang kadang slengekan, tapi sangat hormat dan menyayangiku. Akulah yang selalu dominan hadir dalam membesarkan anak-anakku, dibanding ayah mereka yang selalu sibuk berbisnis. Tak heran, anak-anak sangat dekat denganku. Hmm, agaknya aku kembali mengalami keletihan, besok aku akan ke dokter lagi. Pagi hari kembali aku bangun. Langsung menuju kamar mandi, kulepaskan satu persatu pakaianku, sambil menunggu bath tub dipenuhi air aku menuju meja rias. Dalam keadaan bugil kulihat tubuhku dicermin, masih sangat ideal untuk seorang wanita berkepala empat, payudara masih terlihat kencang dan kulitku masih sehalus wanita usia 20. Tak sia-sia aku rutin ke spa, aerobik dan ke pusat-pusat kecantikan, hanya sedikit gurat halus di ujung mata kiri. Aku ingat ketika rekan-rekan suami mengalihkan perhatiannya kepadaku pada suatu acara pesta. Dasar lelaki, pikirku. Tapi di sisi lain, terkadang aku kecewa, mengapa terlau sering suami meninggalkanku? Apakah murni karena bisnis atau dia punya affair? Kehidupan sex kami selama 25 tahun menikah memang monoton saja. Apalagi saat anak-anak kami mulai remaja. Bisa dikatakan aku sangat jarang disentuh suami, namun hal itu bukan suatu masalah. Aku seperti wanita normal kebanyakan, bahkan munkin konservatif. Sex tak lebih sekedar untuk memuaskan suami, bukan aku frigid, tak jarang suatu ketika hasrat itu muncul menggebu-gebu, namun kesibukanku membuat aku tak memikirkannya lagi. Godaan justru muncul dari rekan-rekan sosialita, aku tahu persis 2-3 orang diantara mereka mengaku terang-terangan sering memakai pria muda untuk kepuasan mereka. Sebagian lain aku yakin juga melakukannya namun secara diam-diam, informasi ini kudapat dari rekan sosialita yang mengaku terang-terangan. Bukannya aku tak tergoda, hanya saja aku tak punya cukup keberanian, bekal agama dan ajaran orang tua masih menjaga moralku. Aku tersadar dari lamunan dan bergegas ke kamar mandi. *** Kembali dokter mengatakan bahwa aku baik-baik saja, resep yang sama juga kuterima : banyak istirahat dan minum vitamin. Setelah dari dokter, aku meninjau tempat usahaku. Sore menjelang maghrib baru pulang ke rumah. Rey sudah di ruang keluarga bermain playstation ketika aku tiba. ”Dah pulang, Rey?” tanyaku sembari melepas sepatu. ”He-eh, darimana, ma?” tanyanya. “Biasa, lihat butik dan salon mama, anak mama udah makan? Neh mama bawain donat.” sembari meletakan sekotak donat di meja depan Rey duduk. “Wah, asyik nih. Tapi lebih mantep lagi kalau ditemani teh hangat, setuju ma?” tanya Rey. Aku hanya tersenyum dan duduk sementara Rey menuju ke dapur. Kami menghabiskan donat sambil minum teh mengobrol ngalor ngidul. Dan kembali… 15 menit kemudian mataku memberat, entah bagaimana aku kembali tertidur. Dan kembali lagi, jam 3 dini hari aku terbangun di atas spring bed-ku. Di tengah temaram lampu kamar, kukedip-kedipkan mata mencoba menghilangkan rasa kantuk. Kudapati tubuhku kembali tertelungkup, aku beringsut mencoba telentang, hmm… aku masih mengenakan blusku tadi, kancing semua tertutup hanya saja agak janggal mendapati beberapa kancing tidak berada pada tempatnya. Resleting rokku di belakang juga terbuka, dan ujung atasnya melorot sampai pinggulku, menampakan separuh pantatku yang masih terbungkus celana dalam. Aku terduduk. Aku ketiduran lagi, apa yang terjadi pada diriku? Aku bangkit menuju kamar mandi, rasanya kebelet buang air kecil, sampai tiba-tiba kakiku menginjak sesuatu. Samar-samar dalam temaram cahaya lampu kuambil, lho… celana dalamku, bukankah ini yang kupakai sore tadi? hatiku bertanya-tanya heran sambil meraba selangkanganku… aneh, juga masih pakai celana dalam. Kuletakan celana dalam hitam itu ke keranjang pakaian kotor, lalu aku pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil. Sesaat aku melepaskan rok di pintu kamar mandi, kemudian masuk ke dalam, melorotkan celana dalam sampai sebatas lutut, lalu jongkok untuk kencing. Srrrrrr… air seni mengalir deras dari kemaluanku, sampai mataku tertumbuk pada celana dalam yang kupakai… berwarna merah dari bahan seperti jaring dengan kain selubung vagina ke belakang sampai ke atas sangat tipis. Aku tak mengenali celana dalam ini, aku semakin heran. Usai buang air kecil dan membersihkan kemaluan dan melepas celana dalam merah itu. Kuhidupkan lampu kamar, di depan meja rias aku perhatikan baik-baik, kubalik-balik. Oh ya… aku ingat, aku pernah membeli celana dalam ini, hanya saja aku lupa kapan, tapi aku yakin sudah cukup lama, kubeli untuk menyenangkan suami dulu sekali. Hatiku mulai berdegup kencang, ini suatu keanehan, pikirku. Lalu kubuka laci paling bawah meja rias tempat aku menyimpan celana dalamku. Nampak teracak-acak, tidak seperti biasanya rapi teratur, karena aku adalah orang yang rapi. Hmm… aku mulai curiga pada Rey. Ini pasti ulahnya, memanfaatkan kesempatan saat aku terlelap. Oh… Rey, kurang ajar kamu. Emosiku bangkit, ingin segera aku melabraknya, namun aku masih bisa menahan diri. Hati kecilku berkata untuk sabar dan untuk tidak menuduh langsung, semua harus dibuktikan, pikirku. Ya… bukti. Tapi bagaimana? Dan hatiku yang lain justru berdesir sedikit… entah perasaan senang atau tersanjung… sulit kugambarkan… bahwa aku menjadi objek ketertarikan seksual seorang anak muda walau itu anak kandungku sendiri, tapi perasaan itu kutepis. Singkat kata, aku ingin memberi pelajaran pada Rey walau aku bingung bagaimana mengatur strateginya. Aku segera mengganti pakaian kerja dengan gaun tidur, mencoba tidur kembali. *** Pagi itu, Rey sama sekali tak menunjukan sikap rikuh, santai selengekan seperti biasa. Lalu pamit pergi. Agak malam Rey baru kembali, aku masih membuka laptop di ruangan tengah. Rey berkata, ”Tumben gak ketiduran lagi, biasanya langsung ngorok di sofa.” ujarnya sambil nyengir. Aku sedikit tersentak, benar juga ya. Kenapa sampai jam 7 malam ini aku belum merasakan ngantuk seperti biasa? Rey kembali membawakan teh hangat dan sekotak martabak telur yang dia beli tadi. Seperti biasa, terjadi obrolan ngalor ngidul. “Emm… ma, emang gak kesepian ditinggal papa terus?” tanya Rey. ”Ah… udah biasa, saking seringnya jadi gak terasa tuh.” jawabku. “Emm… maksud Rey anu…” ujar Rey terbata. ”Hhm… kamu mulai kurang ajar ya, mama tahu, maksudnya kehidupan seksual, gitu? Itu rahasia perusahaan, hubungan kami baik-baik aja… buktinya telah lahir manusia tengil seperti kamu di tengah keluarga ini.” jawabku agak ketus. ”Wow… gitu aja marah, Rey kan cuma tanya, ma.” ujar Rey lalu terdiam. “Boleh tanya lagi gak, ma?” tanya Rey lagi. ”Tanya apa?” jawabku sambil masih terfokus pada laptop. ”Mm… mama kok masih cantik yah… dan…” “Dan apa?” tanyaku sambil tersenyum. “Dan sexy… apalagi kalo pake piyama kek gitu.” ujar Rey. “Ah… kurang ajar kamu. Aku ini mamamu lho, kamu sejak putus pacaran jadi aneh-aneh deh,” jawabku, walau dalam hati ada benarnya juga, piyama yang kupakai berbahan agak tipis, bagian dada mengikuti bentuk payudara, sementara di bawah celana pendek sebatas lutut. Tak terlalu aneh sebenarnya, hanya saja dimata anak muda penuh gairah tentu jadi berpikir sesuai imajinasinya. Lalu… denggg! Kembali rasa kantuk menyerangku, kali ini aku bangkit menuju kamarku. ”Udah ah, Rey, mama mau tidur, dah ngantuk banget.” ujarku sambil membawa laptop menaiki tangga menuju lantai dua. Di dalam kamar, aku segera rebah dan menghilang dalam mimpi. Jam meja menunjukan pukul 02.30 ketika aku terbangun. Mataku mengedip-ngedip sesaat, memeriksa pakaianku. Tak ada yang janggal kecuali bra yang terlepas dari kaitannya, biasa kualami saat tidur. Celana pendek yang kupakai juga masih pada tempatnya. Demikian juga celana dalam, masih kupakai… hanya saja, kok terasa agak basah di bagian vagina sampai pantat? Apakah aku mengompol? Kurasakan aku memang serasa ingin menumpahkan isi kandung kemihku. Aku beranjak ke kamar mandi, melepas celana pendek dan celana dalamku lalu kencing. Usai membasuh vagina dan keluar, kuambil celana dalam merah muda yang kupakai tadi, kudekatkan ke hidung dan tercium bau yang kukenal… sperma!!! Jantungku langsung berdegup kencang, seseorang telah menumpahkan sperma ke celana dalamku… atau justru vaginaku? Kumasukan jariku ke dalam vagina, terasa tak terlalu basah, normal, dan tak ada rasa benda asing pernah memasukinya. Hmm… berarti kemungkinan dia menumpahkan di permukaan vagina atau celana dalamku. “Rey…” pikirku, aku harus memberinya pelajaran saat ini juga. Kukenakan pakaian lalu menuju kamar Rey di lantai 3. Tak terkunci, pintu agak terbuka, kudapati ia tengah tertidur dengan pulas, sepertinya tak tega aku bangunkan lalu memarahinya. Laptopnya masih menyala, kusentuh touchpadnya, sedikit terkejut kudapati sebuah website berisi gambar-gambar porno wanita setengah baya sepertiku, ada yang bule dan asia. Aneh, kok si Rey senang dengan wanita yang lebih tua, pikirku. Lalu kubuka tab sebelahnya, semacam sebuah forum, juga berisikan gambar-gambar wanita setengah baya setengah telanjang, namun punya satu kesamaan, semuanya tertidur. Dengan berdegup kencang, kutelusuri terus ke bawah. Dibawahnya ada komentar-komentar. ”Gue ambil pukul 20.00 malam, gimana, bos? Mantap gak? Gantian dong lu yang posting.” “Tanya, lu kasih apaan sampe gak sadar begitu.” ”Neh, lu kasih aja ******* campur ***** sebenarnya lebih cepat pake minuman bersoda dan lebih lama efeknya, tapi campur teh juga bisa kok.” ”Mang lu gak terangsang bos?” ”Gue lelaki normal brur, yang penting MILF bugil, biar kata emak gue sendiri juga.” ”Dah lu apain aja bos?” Tiba-tiba Rey bergerak, aku terkejut namun melihat ia masih tertidur. Kutinggalkan kamar Rey, di dalam kamar tidurku aku berfikir. Ohh, jadi Rey ikut semacam perkumpulan penggemar foto telanjang ibunya masing-masing. Aku semakin gusar, jangan-jangan Rey telah memotret diriku, sialan, dia telah mencampuri obat tidur dalam teh yang disajikannya. Aku harus buat perhitungan. *** Sore itu Rey kembali membuatkan aku teh. Namun kali ini aku tak tertipu, kutunggu kesempatan untuk membuang teh itu, namun Rey masih duduk bersamaku, hmm… munkin 3-4 teguk tak akan berefek apa-apa, pikirku, hanya seperempat gelas teh itu kuminum. Jam menunjukan pukul 8 malam ketika aku pamit pada anakku untuk tidur. Ternyata aku salah, seperempat gelas teh tadi tetap membuatku mengantuk tak tertahan, hingga tak mampu kucegah, aku pun tertidur. Aku bermimpi berjalan di suatu padang, tiba-tiba kilatan demi kilatan cahaya petir menyambar. Aku tersadar ini hanya mimpi, namun di tengah separuh kesadaranku kurasakan cahaya kilat itu tetap menyambar-nyambar membuatku silau, mataku menyipit menyaksikan kilatan demi kilatan cahaya, kulitku langsung merasakan dingin hawa AC. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang, oh… Rey sedang memotretku. Posisiku terduduk bersender di kepala ranjang jati berukir beralaskan bantal di punggung, kurasakan baju tidurku tersingkap ke atas, sementara kakiku tertekuk seperti jongkok… dan aku tak mengenakan sehelai benangpun di bawah. Nafasku nyaris berhenti. “Uhh… mama cantik sekali, uhh… mama!” ujar Rey setengah berbisik sambil terus memotretku yang aku yakini menggunakan kamera digital yang kubelikan sebelum ia berangkat ke jogja semester lalu. Rasanya aku ingin marah, namun rasa tegang mencegahku berbuat lebih jauh kecuali pasrah apa adanya. Rey berhenti memotret. Kurasakan gerakan springbed seperti ditimpa sesuatu. Aku semakin tegang menunggu sesuatu yang akan terjadi, dan tiba-tiba kurasakan sebuah benda di sisi-sisi luar mataku. Rey memakaikan kacamata bacaku. Lalu kembali kilatan-kilatan blitz menembus pelopak mataku. ”Oohhhh… mama wanita tercantik yang pernah aku temui.” bisik Rey lagi. Anak kurang ajar, sungguh teganya dia berbuat ini padaku, rasanya ingin kumenangis saat itu juga dan ingin mendampratnya habis-habisan, tetapi aku terlalu tegang untuk bergerak di samping kurasakan perasaan aneh menjalari setiap pembuluh darahku. Aku tak bisa menggambarkan entah itu peristiwa paling mengerikan dalam hidupku atau paling erotis yang pernah aku rasakan. Duduk telanjang di hadapan anak kandung yang menikmati tubuh indah ibunya dan… menyaksikan organ tubuh tempat ia lahir dulu. Aku merasa ada yang menggelitik vaginaku walau Rey tak menyentuhnya. Beberapa menit Rey memotretku sampai kemudian berhenti. Kembali mendekatiku, melepas kacamata bacaku, lalu kembali mendekat, mendekat, sampai kurasakan dengusan nafasnya di wajahku. Ia mengecup bibirku, dan… ahh… sentuhan jemarinya di payudaraku membuatku hampir meloncat, namun sekali lagi aku terlalu tegang untuk bertindak. Bulu kudukku mulai berdiri ketika ia memilin-milin pelan payudaraku lalu membetotnya pelan untuk kemudian dilepaskan, terus beberapa kali ia ulangi perbuatannya pada organ tempat dia semasa bayi mendapat gizi. “Ouh… tetek mama masih sekencang cewek abege,” bisiknya. Kini hanya sebelah tangannya yang memainkan payudaraku, tangan satunya terus menuruni dada, perut dan… hinggap di timbunan bukit bercelah bertumbuhkan bulu-bulu hitam keriting lebat. Vaginaku! Kali ini nafasku mulai tak beraturan, antara tegang, marah, kecewa dan… terangsang hebat bercampur aduk. Jemarinya mulai mengeramasi bulu-bulu pubisku, lalu menyentil pelan klitorisku, terus beberapa menit, sampai kemudian jemarinya membuka bibir vaginaku. Mengusap-usapnya, lalu perlahan memasuki diriku. Menggeliat-geliat di dalam lalu menariknya setengah keluar untuk kemudian didorongnya masuk kembali, terus seperti itu, semakin lama semakin cepat. Aku masih berpura-pura terdiam walau nafasku makin tak teratur, antara perasaan terhina dan marah sekaligus malu… malu mendengar suara vaginaku yang basah digarap jari jemari anak kandungku sendiri. “Ooh… mama, mama basah sekali!” ujarnya. Kurasakan ia menarik jemarinya dari liang senggamaku, dan kudengar suara hisapan dari mulutnya, ia tengah menikmati cairan dari pusat kewanitaanku, membuatku semakin terhanyut suasana erotik malam itu. Kembali ia hujamkan jarinya ke dalam liang dimana ia dulu lahir, untuk kemudian kudengarkan lagi suara hisapan mulutnya, terus beberapa kali sampai aksi terakhirnya menyetubuhi diriku dengan jemarinya sampai kemudian ia kurasakan berdiri di hadapanku. Tiba-tiba kurasakan ujung benda keras namun elastis menyentuh pipiku, kurasakan ujungnya agak basah. Lalu menyentuh hidungku, aromanya segera kukenali sebagai… penis lelaki!!! Apa yang dia lakukan padaku, dia benar-benar… Splas! Splas! Splas! pikiranku berhenti sesaat, merasakan cairan kental panas menyemprot wajahku, mata, hidung, pipi, bibir, leherku tak luput dari serangan cairan asing yang kupastikan adalah… cairan sperma anak kandungku! ”Ooh… mama, ssssshh…” bisik Rey seraya mendesis. Aku masih terdiam, sebagian sperma merembes ke dalam bibirku. Kembali kilatan-kilatan cahaya menembus pelopak mataku, anakku kini memfotoku dalam keadaan wajah bermandikan cairan air maninya. Beberapa kali ia ambil sampai akhirnya mendekatiku, melapkan kain basah ke wajahku. Mengangkat diriku untuk dibaringkan, merapikan bra menutup payudaraku walau kaitnya tak terpasang, memakaikan celana dalam dan celana piyamaku lalu kembali mengecup bibirku. Dan akhirnya keluar kamar. Perlahan aku membuka mata, mencoba mengatur nafas. Pikiranku menerawang tak karuan. Rey, apa yang kau lakukan? Tak terasa air mataku mulai berlinang… Oh Rey, kau telah menodai ibumu nak. Aku mulai menangis, lalu bangkit menuju kamar mandi, buang air kecil dan membasuh wajahku. Lalu melihat wajahku di cermin, sambil berkata dalam hati, mengapa kau tak mencegah anakmu mencabulimu, bodoh? Lama pikiranku berkecamuk sampai kuputuskan untuk tidur, pintu kamar kali ini kukunci rapat. *** Esok pagi kembali Rey tanpa beban bertemu denganku. Ia kembali pamit keluar.Sepeninggalnya pergi, aku termenung bingung memikirkan apa yang akan kulakukan. Kucoba memasuki kamarnya, namun terkunci. Cukup lama aku mengutuk diriku sendiri dan memendam amarah pada Rey, hanya saja yang aku heran kenapa akhirnya aku putuskan untuk mencoba menjebak Rey lagi nanti malam. Kembali menjelang maghrib Rey pulang, kali ini aku memakai gaun tidur tank top terusan yang cukup sexy. Mata Rey segera berbinar namun tak berani memujiku, takut kusemprot lagi mungkin. Ritual menyodorkan teh hangat buatannya kembali terjadi, kali ini aku punya ide. Menyuruh Rey mengambil laptopku di kamar lalu membuang semua teh yang dibuatnya tadi. Kami makan malam bersama, dan mata Rey tak pernah lama berpaling dari tubuhku, terutama tonjolan payudaraku yang berukuran 36 itu. Kami duduk di sofa menikmati tayangan TV sampai kemudian Rey ke dapur dan kembali membawa irisan buah apel. Kunikmati buah apel tersebut sambil mengobrol bersama Rey. Pukul 20.00 malam aku pamit ke kamar tidur. Kali ini aku gak mungkin ketiduran, pikirku.Kucoba menenangkan pikiran, menyiapkan mental untuk memberikan kejutan buat Rey.Tapi aku salah, aneh entah kenapa mataku kembali sangat mengantuk. Pukul 2 dinihari kembali aku terbangun, mataku menyipit silau dengan cahaya lampu kamar yang menyala terang ditambah kilatan-kilatan cahaya. Kudapati diriku tertelungkup, namun kurasakan lutut dan betisku merasakan dingin lantai marmer kamar, dan dingin udara ac kurasakan menyentuh semua kulitku dari wajah sampai mata kaki. Oh tidak, aku telanjang total dalam keadaan separuh tubuh berbaring di atas dada namun kaki menjuntai ke bawah ranjang, seperti orang merangkak. Kurasakan tangan seseorang… Rey mencoba melebarkan kakiku. “Nah begini, ma, sshhhh… so sexy.” bisiknya. Lalu kilatan demi kilatan cahaya menyinari dinding kamar. Rey memotretku lagi…dari belakang. Selintas aku membuka mata, menyaksikan bayangan diriku di cermin meja rias, telanjang pasrah, sementara kilasan bayangan tangan Rey menyentuh dan mengelus-elus pantatku yang menyembul. Oh… ibu macam apa yang membiarkan anaknya mengambil gambar tubuhnya yang telanjang untuk kemudian disebarkan di dunia maya? Sekali lagi entah karena rasa tegang, entah karena menikmati sensasi, aku diamkan ulah Rey. Tiba-tiba kilatan cahaya blitz itu berhenti. Aku tak bisa mendeteksi gerakan Rey, kecuali dengusan nafas hangatnya kurasakan meniup pantatku. Lalu… seolah nafasku berhenti saat merasakan benda lunak basah mengusap-usap pantatku. Lidah manusia… pikirku, membuat aku merinding dan gemetar. Lidah Rey mengusap-usap, menjilat semua permukaan bokong indahku, kanan dan kiri, sampai kurasakan seolah nyawaku melompat keluar tubuh ketika lidah Rey hinggap di… anusku. Tak sadar mulutku mengeluarkan suara rintihan halus. Rey tiba-tiba berhenti menjilati anusku, cukup lama… sampai kemudian kembali membasahi saluran pembuanganku dengan air liurnya. Sampai kemudian dengusan nafas panasnya menghembus vaginaku, dan tak memakan waktu lama sebelum kembali lidah hangat itu kini mengecap, menjilat dan mulut Rey menghisap- hisap lubang peranakan tempat ia dilahirkan dulu, Rey seperti orang kehausan mereguk saripati kewanitaanku. Reaksiku sendiri, tak mampu berbuat apa-apa kecuali mengejangkan kaki menahan rasa geli dan nikmat di tengah perasaan marah dan terhina. Cukup lama Rey membasuh permukaan vaginaku dengan lidahnya, sampai kurasakan jilatan itu berhenti, yang entah kenapa membuatku sedikit kecewa. Tiba-tiba kurasakan benda panjang keras menyusup belahan pantatku… lagi-lagi aku yakin itu penis seorang pria. Penis Rey. Rey mengusap-usapkannya dari pelan, pelan, hingga semakin cepat, sesekali ia berhenti, kudengar suara orang meludahi pantatku, dan seketika itu pula kurasakan cairan hangat mengalir ke bawah. Rey tengah melumasi pantatku dengan air liurnya, lalu kembali mengusap-usapkan penis kerasnya, jemari-jemarinya mencengkeram pantatku. ”Sssssh… mama, pantat mama sexy sekali… sshhh!” Lalu… Splash! Splash! Splash! Cairan kental panas hinggap di punggung, pinggang, pantat lalu mengalir ke bawah melewati vaginaku. Rey ejakulasi lagi, pikirku. Cengkeramannya mereda seiring redanya dengusan nafasnya, kembali kurasakan kain basah melap semua tubuh belakangku. Kembali ia angkat tubuhku ke ranjang, memakaikan gaun malam dan celana dalamku, kali ini ia tak memakaikan bh-ku, munkin terburu-buru, lalu mematikan lampu kamar, menghidupkan lampu tidur dan menutup pintu kamar. Aku menarik napas mencoba menggapai kembali oksigen yang nyaris tak masuk ke dalam tubuhku dengan peristiwa tadi. Pikiranku masih sangat tegang dan kembali mengutuk diri atas sikap diamku tadi, namun aku merasa amat malu karena… sedikit banyak aku menikmatinya, kususupkan tangan ke celana dalamku, tak begitu surprise mendapati bahwa… vaginaku teramat basah, bukan oleh cairan tubuh Rey, tapi tubuhku sendiri. Aku heran, bagaimana mungkin aku masih bisa ketiduran? Teh sudah kubuang, oh my… apakah mungkin buah apel tadi? Kulihat Rey sama sekali tak memakannya. Hmm… haruskah besok kutolak semua yang disuguhkan Rey? Tetapi apakah dengan tetap terjaga aku mampu menolak semua yang dilakukan Rey atas tubuhku, ibu kandungnya? Tanyaku lagi. Kembali menghadapi dilema… kembali perasaan malu teramat sangat menderaku. Aku bingung tak tahu berbuat apa. Apa yang dilakukan Rey sungguh tak patut, tetapi sungguh tak patut pula aku membiarkan prilaku itu. Satu poin penting yang membuatku menghargai Rey, dia tak pernah memasukan penisnya ke dalam vaginaku, artinya dia masih punya batasan. Baiklah, lebih baik aku dalam keadaan tidak sadar saja menerima perbuatan Rey… kendati kerap terbangun di tengah aksinya. *** Siang itu Rey pamit lagi, kali ini dengan alasan ingin menjemput kawan satu angkatannya kuliah yang akan liburan ke Jakarta dan meminta ijinku agar diperkenankan menginap di rumah kami. Aku hanya bisa mengiyakan, dulu semasa SMA sering juga rekan-rekannya menginap di rumah. Menjelang maghrib, mobilnya memasuki halaman. Aku sendiri tengah membaca majalah mengenakan gaun malam yang simple dan tak menampakan lekuk tubuh. ”Ma, kenalkan… temen Rey, Yudi.” ujar Rey memperkenalkan temannya. “Yudi, bu.” ujar Yudi menyodorkan tangannya sambil merunduk sopan dan tersenyum ramah. “Saya mamanya Rey, panggil aja tante Ratna.” jawabku setengah tertegun dengan tatapan Yudi yang teduh. “Ayo, Rey, diajak ke kamar sana, istirahat lalu makan malam.” pintaku pada Rey. ”Maaf ngerepotin, tante.” ujar Yudi sambil mengikuti Rey. Aku tersenyum, Yudi nampaknya pemuda yang sopan, bertubuh tinggi tegap sedikit melebihi Rey dan sangat tampan. Aku sedikit lega, kali ini Rey gak akan macam-macam denganku. Malam itu kami makan malam bersama, lalu ngobrol ngalor ngidul. Ternyata Yudi juga berasal dari keluarga pengusaha, ayahnya kontraktor property, sementara ibunya dosen di universitas tempat anakku dan Yudi juga kuliah. Rey, kembali membuatkan teh, kali ini untuk 3 orang, Rey sendiri, Yudi dan aku. Sempat sedikit curiga, namun untuk amannya, aku hanya meminum setengah gelas. Menjelang pukul 8 malam aku pamit untuk tidur, yakin aman kubiarkan diriku rebah dan tak lama kemudian terlelap. Dini hari, jam dua malam. Kukenali dari dentangan jam Junghans di ruang bawah. Kilatan-kilatan cahaya kembali menembus kelopak mataku. Ooh… apalagi ini? Kudengar gumaman-gumaman pelan seperti orang mengobrol disusul kilatan-kilatan cahanya menyambar, detak jantungku segera berdegup kencang. Dengan mata tertutup, segera kurasakan hawa sejuk AC menyentuh langsung kulitku tanpa pelapis… kembali aku ditelanjangi. Kudapati tanganku terentang lurus ke atas, di pantatku sesuatu yang empuk mengganjal, membuat tubuhku sebelah bawah terdongak, sementara kakiku terbuka lebar. ”Gimana, Yud?” suara Rey setengah berbisik. ”Luar biasa, men. Ibumu bener-bener cantik dan sexy,” ”Udah puas belum?” gumam Rey lagi. ”Ntar, men, beberapa shoot lagi,” Ooh… ternyata diriku jadi tontonan Rey dan temannya, sungguh kurang ajar. Untuk Rey aku masih bisa mentolerir, tetapi mengajak teman sudah kelewatan. Tetapi sekali lagi aku tak mampu bergerak, diantara perasaan dongkol terselip rasa tersanjung jika tubuhku ini masih dikagumi anak-anak muda seperti Rey dan Yudi. Aku merinding dan gemetar. “Boleh gak, Rey?” tanya yudi, entah apa maksudnya. ”Gak boleh, deal is deal, kecuali lu biarin gue dulu ngentotin nyokap lu.” jawab Rey keras. Aku semakin tegang, oh… ternyata Yudi ingin menyetubuhi diriku. “Trus gimana, Rey?” tanya Yudi lagi. ”Ya sesuai komitmen awal aja.” jawab Rey singkat. Diskusi kedua pemuda itu berhenti. Kurasakan derap langkah mendekatiku. Deg! Sebuah kecupan menimpa bibirku. Lalu jari jemari menyentuh payudaraku, meremas-remasnya pelan, memlintir-mlintir putingnya, membuatku meringis. Namun yang membuatku nyaris membelalakan mata mana kala sebuah rongga basah hangat menyelubungi puting payudaraku lalu menghisap-hisapnya dengan rakus. Sementara payudaraku yang lain diremas-remas, terus bergantian satu dihisap satu diremas, membuat kepalaku terlempar ringan ke kanan ke kiri. Sampai kemudian hisapan itu berhenti, tapi remasan-remasan terhadap payudaraku terus berlangsung. Kurasakan hembusan nafas hangat menyapu ketiakku yang terungkap karena posisi tanganku. Dan sebuah sentuhan, mungkin hidung seseorang, lalu diikuti suara hirupan nafas. Oh… dia yang kuyakini adalah Yudi tengah menikmati dalam-dalam aroma tubuhku. Terus menghirup beberapa menit sampai sesuatu membuatku nyaris terlonjak jika tidak mengejangkan pantatku, jilatan lidah di ketiakku dan hisapan mulut. Kali ini kurasakan vaginaku benar-benar basah. Beberap menit kemudian jilatan itu berhenti. Kali ini hembusan nafas hangat menciptakan badai kecil di permukaan vaginaku, dan ohhh… jilatan-jilatan liar kembali mengusap-usap, menghisap organ paling esensi seorang wanita, membuatku kembali menegangkan seluruh sendi-sendiku. Beberapa menit kualami siksaan kenikmatan itu sampai sesuatu memasuki diriku, menggeliat, mengait, menusuk… jemari-jemari Yudi menggali vaginaku dengan liar, satu jari, dua jari, tiga jari… thats it, sensasi puncak kenikmatan yang lama tak kurasakan kembali mengharu biru diriku, denyutan-denyutan vaginaku mengirimkan sinyal-sinyal sebuah kenikmatan tiada tara dalam otakku… aku orgasme… terus berlangsung sampai dua tiga menit, aku hanya bisa menggigit bibir dan menggenggam tangan erat-erat. ”Wah… men, mama lu sampe banjir begini. Masih sempit, men… sayang kalo gak…” ujar Yudi dengan suara bergetar. ”No way. Udah cepet sana, tuntaskan hajat lu.” ujar Rey. Yudi menggerutu pelan, lalu mengambil bantal di bawah pantatku. Kurasakan seseorang memelukku. Membuatku setengah terduduk dan meletakkan bantal di balik bahuku. Membuatku benar-benar setengah terduduk dengan kepala sedikit terdongak. Kudengar suara resleting berbunyi… oh Tuhan, wajahku akan bermandikan sperma lagi, pikirku. Kurasakan ujung benda keras memukul pelan pipiku, mataku, hidung dan bibirku. Cairan keluar dari ujungnya membasahi permukaan wajahku. Penis Yudi, pikirku. Kunantikan dengan tegang ejakulasi Yudi di wajahku, tetapi kemudian sepasang jari menjepit hidungku, membuat mulutku terbuka mencari nafas dan saat itulah sebuah benda silinder keras setengah elastis memasuki rongga mulutku, jepitan dihidungku terlepas. Aroma khas pria tercium keras hidungku, aku nyaris tersedak dan membuatku berlinangan air mata… aku dipaksa melakukan oral sex dengan teman anakku disaksikan anakku sendiri! Dengan kurang ajar, yudi memegang belakang kepalaku, memasuk keluarkan batang penisnya ke mulutku, sesekali meyimpang ke dinding pipi, membuatku merasa pegal. Sebagai wanita konservatif, aku tak pernah melakukan oral sex selama 25 tahun menikah, namun kali ini seorang pemuda memberiku pengalaman pertama oral sex. Keterpaksaan membuatku beberapa kali tersedak, namun lambat laun aku mulai menemukan ritmiknya, sedot lepas, sedot lepas. Sampai kemudian, yudi mencengkeram belakang kepalaku, mendorongnya ke depan, bersamaan dengan hujaman penisnya sampai kurasakan kepalanya menyentuh anak lidahku… lalu… cleguk, cleguk, cleguk…!!! “Oohhh… tante Ratnaaaa… hsssssshhhh…” desis Yudi, dan dengan terpaksa semburan demi semburan spermanya kutelan, lagi dan lagi, membuatku ingin muntah, sampai akhirnya ketegangan penis Yudi mereda dan ia melepaskan mulutku, airmata berlinangan membuat sungai kecil di pipiku. “Aduh, men… abis semua ditelen, mama lu emang oke, men.” ujar Yudi di tengah nafasnya yang belum teratur. ”Ya udah, cepet keluar, biar gue beresin.” ujar Rey. Terdengar suara pintu terbuka lalu tertutup. “Maafkan aku, ma.” ujar Rey berbisik. Kembali kuraskan springbed ditimpa seseorang, aroma khas lelaki kembali tercium. Dan kembali sundulan-sundulan benda tumpul keras setengah lunak mendera wajahku. Kembali sepasang jari menjepit hidungku… dan hap! mulutku menerima kembali infiltrasi benda asing, kali ini milik anakku, kembali aku tersedak-sedak hingga berlinangan air mata, namun tak seperti Yudi, Rey melakukannya dengan lembut. Mulutku kembali menyambut, sedot lepas, sedot lepas. “Mamaaah…” rintih Rey. Kembali sebuah dorongan belakang kepalaku ke depan, dan Rey menyorongkan penisnya pula. ”Mama… ssssshhhhhh…” kembali cairan putih sedikit terasa asin dan getir itu terpaksa kureguk. Luar biasa, pengalaman pertama oral sex terpaksa dua kali menelan sperma dari dua penis berbeda. Rey mencabut batang penisnya dari mulutku, lelehan sperma jatuh di daguku. Kembali ritual memakaikan pakaian dilakukan Rey. Beberapa menit setelah ia meninggalkan kamar, aku terbangun. Wajahku di cermin tak karuan, kali ini bukan wanita terhormat , tetapi wanita jalang yang membiarkan tubuhnya dinikmati dua pria dalam semalam, bahkan mengalami orgasme.Oh… apa yang kulakukan? dalam hati aku berkata, sambil menutup wajah. Aku mulai terisak menyesali yang terjadi. Namun kemudian bangkit menuju kamar mandi, badanku terasa linu-linu semua. Lantas buang air kecil… sial, si Rey tak memakaikan kembali celana dalamku. Menuju kamar dengan tertatih, kuminum segelas air untuk membersihkan kerongkonganku dari cairan lendir produk lelaki yang kutelan tadi. Malam itu aku tak bisa tidur hingga menjelang fajar, pikiranku berkecamuk hebat di dalam kamarku yang kini sangat beraroma sex. What next, pikirku. Haruskah kuhentikan juga sekarang? Namun badan yang letih akhirnya membuatku terlelap juga. *** Aku bangun kesiangan, bik Inah mengetuk kamar membangunkanku. Aku bangun dengan malas, memungut celana dalam di lantai kamar dan meletakkanya di keranjang pakaian kotor. “Iya, bik.” aku menjawab seraya membuka pintu. ”Si Rey kemana?” tanyaku. “Mas Rey udah keluar, bu, sama temennya tadi.” jawab bik Inah sambil membawa keluar keranjang pakaian kotor itu. Bi inah menuju kamar Rey… ternyata tak dikunci. Kesempatan, pikirku. Aku segera masuk, mencari-cari laptop si Rey. Ketemu. Kubuka, lalu kusambungkan ke internet, Perumahan kami menyediakan layanan wi fi broadband, tentunya tidak gratis, masuk iuran bulanan. Kubuka browser, lalu menelusuri browsing history… kutemukan sebuah web yang sama dengan yang kemarin kubuka, sialnya harus login dulu dan aku tak tahu paswordnya. Dengan kecewa kubuka file-file yang ada di laptop, kupakai menu search kode file gambar… dan jleb! serasa menusuk jantungku. Kulihat gambar-gambar tubuhku berbagai posisi, berkacamata jongkok bersender di ranjang, wajah belumuran sperma sampai yang terakhir tadi malam dengan pantat terganjal dan kaki membuka lebar menyebabkan vaginaku yang merekah. Wajahku memerah menyaksikan foto Yudi yang meremas-remas payudaraku, mengorek liang vaginaku dan kemudian memasukkan kemaluannya ke mulutku, agak berdesir melihat besarnya ukuran penis Yudi, membayangkan jika penis itu memasuki liang senggamaku. Namun bukan hanya foto-fotoku saja yang terlihat. Ada ratusan foto-foto wanita seusiaku dalam keadaan sama, tertidur. Kesamaan lainnya, semua masih sangat menarik baik wajah maupun tubuhnya. Dan aku terkejut mendapati beberapa foto di mana ada Rey di situ. Dengan aksi seperti yang dilakukannya padaku, meremas-remas payudara, menggali liang vagina, memasukan penisnya ke dalam mulut… dan aku terbelalak, melihat Rey di banyak foto terlihat benar-benar memasukan penisnya ke liang vagina beberapa wanita setengah baya cantik menarik Aku gemetar menyaksikan hal itu, anakku tak perjaka lagi, pikirku. Apa yang kau lakukan, nak? Terlibat dalam sindikat apakah dia? Pikirku. Setelah kututup kamar Rey, aku bergegas mandi, membuka seluruh pakaianku, membersihkan semua tubuh dari siraman noda tadi malam. *** Sore itu seperti biasa, aku duduk di ruang tengah, majalah, laptop, TV tak membuatku mampu mengusir rasa galau di hati. Apakah terus aku biarkan saja petualangan Rey atau kuhentikan sekarang? Apalagi Rey mulai melibatkan orang lain dalam aksinya, kendati… orang itu memberiku kepuasan setelah bertahun-tahun tak pernah mengalaminya. Deru mobil Rey menghentikan lamunanku, namun degupan jantungku mulai terpacu, apakah aku mampu menatap wajah Yudi, teman Rey tersebut? Namun aku agak heran, hanya Rey sendiri yang masuk. ”Kemana temanmu, Rey?” tanyaku. ”Emm, dia liburan ke bogor, ma. Emang kenapa?” balas Rey. ”Ah, nggak pa-pa, mama cuma tanya aja kok.” jawabku sedikit gugup. Rey hanya nyengir dan berlalu ke kamarnya setelah mengecup pipiku. Hmm… dia pasti akan memberiku sesuatu lagi neh, entah teh, buah, atau makanan kecil yang kuyakini diberi semacam obat tidur. Malam itu, tak satupun yang disajikan Rey aku telan. Lalu, tanpa menunggu larut, aku masuk ke kamar tidurku dan menguncinya. Rey pasti kecewa malam ini, pikirku, tersenyum atas kemenangan kecilku. Dengan tak sabar kunantikan apa usaha Rey untuk kembali mencabuli ibu kandungnya malam ini. Pikiranku kembali mengingat detik demi detik, detail demi detail peristiwa tadi malam. Rasa malu kembali menderaku, diikuti rasa tersanjung betapa tubuhku di usia 45 masih mampu membangkitkan hormon pria-pria muda. Aku kemudian berdiri di depan cermin, menanggalkan semua pakaian hingga aku berdiri bugil. Memutar-mutar badan, menyentuh payudaraku yang masih montok berisi, mengelus-elus pinggulku yang masih membulat sexy kontras dengan lingkar pinggang yang masih singset, kemudian menyentuh sudut v diantara dua paha. Mengelus-elus lipatan belahan vaginaku yang kurasakan… basah. Cukup lama kumainkan jari-jemariku di situ hingga kurasakan syaraf-syaraf sekitarnya mengirimkan sinyal-sinyal rasa nikmat, berefek pada semakin memburunya nafas dan memerahnya wajahku. Tubuh sensual ini telah lama disia-siakan, sudah sepatutnya aku mereguk rasa nikmat dari seorang lelaki. Jglek! gagang pintu mencoba dibuka seseorang. Aku terkejut dan menghentikan lamunan dan kegiatan jemariku pada organ paling intim milikku. Rey… pikirku. Sempat beberapa lama aku tertegun, lalu kuputuskan kembali ke ranjang. Mencoba tidur dalam keadaan telanjang. *** Tiga hari Rey tak mampu menggarap diriku. Tiga hari itu pula aku belum mengambil suatu sikap tegas terhadap Rey. Sampai kemudian suamiku menelpon, mengatakan bahwa seminggu lagi akan pulang. Membuatku galau, antara merasa berdosa, takut, sekaligus sedikit lega. Hati kecilku menguatkan suatu dorongan untuk aku segera bicara pada Rey. Malam itu, setelah kembali usahanya gagal membuka kamarku, aku keluar menuju kamar Rey. Kuketuk pintu kamarnya, Rey membuka pintu dan mempersilahkan aku masuk. Wajahnya sedikit gugup dan ia hanya bertelanjang dada dengan celana pendeknya. Laptopnya diputar sehingga monitornya membelakangiku. “Ada apa, ma?” tanya Rey kikuk. ”Ngga ada apa-apa, mama cuma ngasih tahu, ayahmu minggu depan pulang.” jawabku. ”Mmm… baguslah.” jawab Rey dengan raut wajah kecewa. ”Ada apa dengan laptopmu, Rey?” tanyaku. Rey sontak memucat menjawab dengan terbata-bata. ”A-anu, ma… gak pa-pa kok, cuma twiteran aja… ehh…” “Mama kira kamu lihat situs porno, Rey. Gak usah malu gitu, mama paham kok.” jawabku memancing. “Ee… anu… mama tahu aja, heh…” jawab Rey dengan senyum dipaksakan. “Situs yang kamu bisa upload foto telanjang mamamu kan? Kamu kok tega, Rey?” tanyaku dengan suara meninggi. Rey semakin pucat dan gugup, ”Nnngg… anu, ma… mama kok tahu? Rey ngaku salah, ma… Rey…” “Rey, coba kamu ceritakan semuanya dengan jujur… atau mama laporkan kepada papa,” ujarku dengan muka tegang dan percaya diri. Dan mengalirlah cerita itu, setiap bagian membuatku terhenyak, terkejut bercampur marah. Rey ikut perkumpulan rahasia para lelaki muda yang menyukai wanita yang lebih tua secara tak sengaja melalui internet. Dan yang aneh… wanita-wanita tersebut adalah ibu kandung mereka masing-masing, mulanya hanya ajang curhat.Ya… sedikit banyak aku belajar bahwa pada satu masa perkembangan emosi, seorang anak lelaki dapat jatuh cinta dengan ibunya, sesuatu yang disebut oedipus complex. Walau tak semua mengalaminya. Lantas dari ajang curhat terus berkembang menjadi ajang tukar menukar pengalaman mencabuli ibunya masing-masing yang tentunya dilakukan dalam keadaan si ibu tidak sadar, dilanjutkan tukar menukar foto. Terus meningkat menjadi ajang pertukaran mencicipi tubuh ibu kandung masing-masing. Dan apa yang kualami dengan Yudi adalah contohnya. Tetapi mereka juga mempunyai kode etik tertentu yang mereka patuhi, misalnya pertukaran itu harus seimbang, oral dengan oral, peting dengan peting, dan coitus langsung juga demikian. Rey mengaku hanya menggarap ibunya Yudi dengan cara oral saja seperti yang dilakukan Yudi kepadaku. Kuyakini wajahku memerah dengan amarah, namun yang membuatku bergidik adalah pengakuan Rey bahwa ia benar-benar telah menyetubuhi ibu kandung teman-temannya sebanyak… 6 orang! Itu artinya aku harus menerima untuk juga disetubuhi 6 orang pemuda. Belum lagi soal Rey menjelaskan bagaimana ia memberiku obat tidur, mulai dari teh hangat, jus hingga… air minum di kamarku!! “Kurang ajar kamu, Rey… mama gak akan menuruti kemauan 6 orang itu.” ujarku penuh emosi. “Tapi, ma…” kata Rey. ”Gak ada tapi-tapian, mama masih tega sama kamu untuk gak ngelapor ke Polisi…” jawabku ketus. Rey memutar laptopnya, makin mendidih emosiku menyaksikan fotoku dioral paksa oleh Yudi saat itu. “Jika mama menolak kemauan mereka, atau melapor ke polisi… mereka akan menyebarkan foto ini di dunia maya, dan mereka siap pasang badan sekalipun dipenjara,” jawab Rey lesu. Tubuhku merinding dan aku menelan ludah mendengar pernyataan Rey terakhir. Seketika lututku menjadi lemas. Ya, tentu saja aku tak bisa membayangkan apa kata dunia jika foto-fotoku tersebar? Penjara bagi mereka tak akan membuat aib yang akan kupikul seumur hidup tertutupi jika hal itu sampai terjadi. Dan tak terasa air mataku berlinang. ”Oh… Rey, apa yang kamu lakukan pada mama?” ujarku terisak. ”Ma… maafkan Rey, ma. Rey khilaf, Rey salah. Tapi bagaimana selanjutnya, ma?” ujar Rey. Ya… bagaimana selanjutnya? Tanpa berkata-kata lagi kutinggalkan kamar Rey. Kulanjutkan menangis di kamarku. Sampai kemudian ketika agak tenang, kupikirkan segala konsekwensi yang akan kuterima dalam setiap pilihan. Semua alternatif tak ada yang bebas resiko, hingga akhirnya kuputuskan sebuah pilihan. Dengan langkah gontai, aku kembali ke kamar Rey. Anak itu masih duduk termenung di tepi tempat tidur sembari memegang kepalanya. ”Rey…” panggilku. Rey menoleh. Aku duduk di sebelahnya. “Rey, mama… mama bersedia menuruti teman-temanmu dengan syarat…” kataku lalu mencoba mengatur nafas. ”Ma… jangan, ma, biar Rey coba bicara baik-baik pada mereka,” ujar Rey mencoba menjadi pahlawan dari kehancuran yang dia timbulkan. “Ini keputusan mama, Rey. Mama gak yakin mereka akan terima, kamu telah menyetubuhi ibu-ibu mereka.” ujarku. “Rey, ketika itu terjadi, mama gak ingin dalam keadaan sadar, maka tolong mama diberi obat tidur yang cukup, tapi bukan narkoba. Kedua, kamu gak boleh menyetubuhi mama, kamu gak pantes berbuat seperti itu pada mama, agama apapun dan norma masyarakat paling primitif pun menolak hal itu. Ketiga, setelah ini berakhir, mama ingin kamu keluar dalam kumpulan brengsek ini, masa depanmu masih panjang, Rey, jangan kamu sia-siakan usaha papa dan mama membesarkan dan membiayai kuliah kamu. Keempat… kamu simpan rahasia ini sekuat-kuatnya, jangan sampai papamu tahu. Kamu sanggup?” tanyaku. Rey mengangguk lemah, ”Maafkan Rey, ma. Rey telah membawa mama ke dalam masalah ini. Semua syarat Rey terima, ma, kecuali mungkin yang agak berat yang ketiga, ma. Rey gak serta merta bisa dengan mudah meninggalkan sindikat tersebut, mereka punya kartu truf…” jawab Rey. ”Ya, mama paham… tapi bukankah kalian punya kode etik dalam hal pertukaran mama masing-masing? Maka setelah ini, kamu jangan coba-coba menggauli mama teman-teman kamu lagi, dan hapus foto-foto mama di laptopmu, bisa nggak?” jawabku. “Mmm… bisa, ma.“ jawab Rey sambil menarik nafas. Kami lalu terdiam lama. “Sejak kapan kamu tertarik secara seksual terhadap mama?” tanyaku memecah keheningan. “Sejak Rey masih mandi sama mama sampe kelas 3 SD.” jawab Rey, membuatku sedikit tersenyum. Aku tak menduga, bagaimana mungkin anak usia 8 tahun masih menyimpan memori itu hingga usianya yang ke 21? Suasana kemudian mencair ketika kami bercerita nostalgia masa lalu. ”Rey… mama mau melihat foto-foto mama di laptopmu.” ujarku. ”Ja-jangan, ma.” ”Bawa sini!!!” ujarku memotong. Aku kemudian menyaksikan semua foto-foto tubuhku dalam keadaan telanjang dengan fragmen sedemikian rupa bak artis porno, aliran darah terasa mengalir ke wajahku, Rey sendiri memalingkan wajahnya dari laptop dan menghindari pandangan mataku. “Mama hapus semua, Rey, walau mama tahu yang kamu upload di website itu mungkin tak bisa dihapus.” kataku. Rey tak bisa berkata apa-apa, wajahnya masih tampak lesu dan menyesal. “Kamu masih ingin lihat tubuh telanjang mama, Rey?” tanyaku yang juga membuat aku bingung kenapa muncul pertanyaan seperti itu? Rey menggeleng pelan. Dan entah mengapa, aku bangkit berdiri… menarik ujung dasterku ke atas, terus sehingga kerah lehernya lewat di atas kepala. Mata Rey membelalak, antara terkejut dan bingung sekaligus berahi. Kini aku berhadapan dengan anakku hanya dengan bh dan celana dalam. Tanganku mengangkat mangkuk beha ke atas, meloloskan sepasang payudara montok dibelakangnya, lalu memutar bh tersebut untuk melepas pengaitnya. Rey melotot dan menelan ludah, nafasnya mendengus. Aku merunduk, melepaskan celana dalam melewati satu kaki dan membiarkan lubang satunya masih melingkari mata kaki kananku. Jantungku berdegup kencang. “Bagaimana, Rey?” tanyaku lirih. ”Mmm… mama… mama sungguh cantik dan sexy sekali.” jawab Rey, mulutnya setengah membuka.Tangannya tanpak mencoba menutupi pangkal pahanya. “Sekarang buka celana kamu, Rey.” perintahku. “Tapi Rey kan malu, ma.” jawab Rey. ”Apa? Malu? Padahal kamu sudah masukin penis kamu ke mulut mama dan kamu gosok-gosokan ke pantat mama, sekarang kamu bilang malu? Cepat buka!” ujarku sedikit galak. Rey bangkit berdiri dengan kikuk, lalu mulai menurunkan celana pendeknya yang dibaliknya ia tidak menggunakan sempak. Kusaksikan batang kemaluannya berdiri tegak mengacung ke atas, cukup besar bahkan lebih besar dibanding punya ayahnya, membuat nafasku memburu, padahal aku hanya berniat memberikan sedikit pelajaran. ”Hhm… anak mama sekarang sudah besar dan dewasa.” ujarku seraya mendekatinya. Tangan Rey bergerak hendak menangkap payudaraku, tapi kutepis…”Eiitt, jangan kurang ajar kamu.” ujarku. Aku semakin mendekat, hingga puting payudaraku menyentuh dada Rey dan kepala penisnya menyentuh perutku sebelah bawah yang sedikit membuncit. Tinggiku memang sedikit sama dengan Rey. Rey sampai meringis. ”Oohh… Rey, anak mama.” ujarku sambil memeluknya, payudaraku tertekan rapat di dada Rey. ”Mama…” Rey memelukku erat. Sulit kuduga sebelumnya, berpelukan dalam keadaan telanjang dengan anak kandungku sendiri di usianya yang kini dewasa, menciptakan suasana sensual tersendiri. Vaginaku pun mulai memproduksi lendir. Kuciumi wajah Rey, ia balas menciumku, bahkan berusaha melumat bibirku namun kucegah, Rey tak berani lagi berbuat lebih jauh sekarang. Tanpa sadar tanganku kini menggapai penis Rey, mengelus-elus dan menggenggamnya ringan. Rey mundur sejengkal menahan nafas menatap ke bawah. “Mama…” ujarnya. Tanpa dikomando aku kini mengonani anak kandungku. Tangan Rey memegang tanganku. ”Kamu boleh pegang susu mama, Rey.” ujarku dengan sedikit heran kenapa bisa keluar kata-kata itu? Dengan bernafsu Rey segera meremas-remas payudaraku, membuat aku mulai gelagapan menahan nafsu. Irama tanganku mengocok penis Rey makin cepat, cairan lendir yang keluar dari lubang penisnya kini membusa. Biji pelirnya yang kupegang pelan memukul-mukul ringan telapak tanganku. Dan semenit kemudian… crrrt… crrrrt… crrrt… crrrt… cairan putih kental menyembur hinggap di payudaraku, perut dan melumuri tanganku yang terus mengocok penis keras Rey ibarat memerah susu. Sampai kurasakan lagi tak ada cairan sperma lagi yang keluar. Kuseka tangan berlumur air mani itu ke dada dan perut Rey, mengecup pipinya, lalu memunguti pakaianku untuk kemudian keluar kamar… dalam keadaan telanjang berjalan menuju kamarku. Kukunci pintu kamar, berjalan ke depan cermin, menyaksikan tubuh bugilku dilumuri sperma anak kandungku sendiri. Mengalir dari dada ke perut hingga bersarang di tumpukan rambut di sekitar vaginaku. Aku mulai menyentuh vaginaku, mengelus-elus klentitnya, belahannya, sampai kemudian jari tengahku memasuki diriku sendiri. Yah… untuk pertama kalinya aku bermasturbasi. Nafasku memburu, mataku tampak sayu, lalu… ”Eehhhhhhhh… ehhhhhh…” mulutku meracau keras hingga terpaksa kututup dengan telapak tanganku ketika denyutan demi denyutan orgasme datang berombak di dalam liang senggamaku… aku orgasme. Aku rebah di atas ranjang, berbaring lemas mencoba mengatur nafas, sampai akhirnya aku tertidur tanpa sempat membersihkan diri dan berpakaian hingga keesokan harinya. Setelah bangun pagi, aku berangkat meninjau usaha milikku hingga sore hari. Sekembalinya ke rumah, baru beberapa menit beristirahat di ruang tengah dan belum sempat mengganti pakaian kerjaku, Rey tiba. Kali ini dengan dua orang rekannya. “Bram. Anton.” begitu mereka memperkenalkan diri, keduanya cukup tampan serta atletis, hanya saja Anton paling pendek diantara yang lain. Dengggg! Tiba-tiba keringat dingin keluar dari punggungku, apakah mereka diantara rekan-rekan Rey yang ibunya telah digarap Rey dan kini menuntut balas? Tatapan mereka berdua kepadaku memang agak lain walau tetap bersikap sopan. Rey lalu membawa mereka ke atas untuk kemudian kembali turun menemuiku, belum sempat ia mengatakan sesuatu, aku langsung menyebut namanya, ”Rey?” dan ia mengangguk lesu menandakan bahwa firasatku benar. Aku tertegun diam, lemas, tertekan namun di sisi lain seperti menantikan sesuatu yang antara diharapkan atau tidak. Rey berjalan pelan ke arahku lalu duduk disampingku. Lama kami terdiam, sampai akhirnya aku berkata setengah gemetar, ”Baiklah… kamu masih ingat pesan mama kan? Buatkan mama teh lalu antar ke kamar mama, mama mau mandi dulu.” ujarku seraya beranjak ke atas. Di dalam kamar, kembali perang Baratayudha terjadi dalam benakku… to be or not to be. Sambil melepas satu persatu pakaianku untuk kemudian mandi. Aku masih berbalut handuk usai mandi dan melihat segelas besar teh hangat di meja samping tempat tidurku. Setelah mengenakan gaun tidur yang modelnya biasa saja, kudekati meja tersebut, lagi-lagi pertentangan batin menderaku, diminum atau tidak. Membuatku akhirnya menangis terisak, cukup sudah siksaan ini, batinku. Baru setelah agak tenang, kuambil gelas itu, tanganku gemetaran memegangya. Isi gelas itulah yang akan menentukan siapa diriku malam ini, masih pantaskah disebut wanita terhormat? Bibirku bergetar ketika tepi gelas semakin mendekat, dan seteguk teh aku minum, menyusul 2-3 teguk lagi, lagi, lagi sampai akhirnya isi gelas itu habis berpindah ke dalam perutku. Aku menantikan reaksinya dengan tegang, sampai akhirnya kelopak mata ini makin terasa berat. Namun, kembali antara sadar dan tidak, kilatan demi kilatan cahaya menyilaukan mataku. Dengan masih sangat berat kubuka sedikit mataku, pandanganku sangat kabur dan kepalaku serasa masih melayang. Tetapi aku merasakan sesuatu menindihku, dan sesuatu memasuki selangkanganku, keras, basah dan licin. Pandanganku bertahap semakin pulih… dan tak menunggu lama jantungku segera berdegup, samar-samar kukenali wajah Bram di atas wajahku, tubuhnya tengah berkelojotan di atas tubuhku yang kuyakini dalam keadaan telanjang. Bram tengah menyetubuhiku!!! Mataku kembali kupejamkan dan mencoba mengatur nafas. Suara Bram melenguh dan nafasnya yang memburu jelas terdengar di telingaku, hembusan panas nafasnya kurasakan di pipiku. Tangannya meremas-remas payudaraku dengan kasar, lalu tiba-tiba wajahnya melekat di ketiakku yang baru kusadari tanganku terentang ke atas. Suara kecipakan yang timbul dari selangkanganku membuatku malu, bahwa aku telah basah… dan tanpa sadar mulai menikmatinya. Kemaluannya kurasakan sangat besar menyodok kasar vaginaku. Sementara gumaman suara orang bercakap-cakap pelan diiringi kilatan-kilatan cahaya kuyakini bahwa itu Rey dan Anton tengah memotret atau menshoot diriku dan Bram. Kurasakan Bram bangkit, namun hentakan pinggulnya menggali kenikmatan tubuhku tetap berlangsung. Lalu kurasakan dua tangan Bram memegang belakang lututku. Dan… dua kakiku kini terentang ke atas dan hinggap di bahu Bram yang masih dengan ganas memompa penisnya ke liang senggamaku. Tubuhku terguncang-guncang hebat. Lalu satu tangan hinggap meremas-remas dan memilin-milin sebelah payudaraku. Kuyakini itu bukan tangan Bram yang masih mendekap kedua pahaku, lalu satu tangan lagi hinggap di payudaraku yang lain, aku tak bisa memperkirakan apakah kedua tangan itu milik Anton atau Rey atau milik keduanya. Punggungku kurasakan basah oleh keringat, demikian pula sekujur tubuhku yang kini menjadi mangsa tiga orang pemuda. Tiba-tiba remasan di kedua payudaraku berhenti, namun kini sesuatu bergerak di atas dadaku, lalu sesuatu menyumbat hidungku… jari-jemari seseorang menjepitnya hingga aku sukar benafas lalu membuka mulut, namun seketika itu pula sebuah benda mendesak masuk ke dalam rongga mulutku, yang dari aroma dan tekstur berbulu yang menyentuh bibir dan hidungku adalah… penis seorang pria, yang kini setengah menjambak rambutku, mendesak-desakan batang penisnya ke mulutku. Membuatku terbatuk-batuk dan berlinangan air mata. Kembali aku dipaksa oral sex, sementara di bagian bawah, tanpa ampun vaginaku menerima pula tusukan demi tusukan benda keras panjang. Kini lengkaplah sudah runtuhnya harga diriku, dari wanita terhormat dan seorang ibu, kemudian bak pelacur harus melayani dua orang pria sekaligus. Dan kedua pria itu sama kasarnya. Sementara kilatan demi kilatan blitz kamera terus berlangsung. Dan aku hanya menerima pasrah diriku dieksploitasi menjadi objek pelampiasan nafsu, karena… pelan tapi pasti suatu perasaan nikmat mulai mengalir di setiap pembuluh darahku, mulai dari selangkangan hingga ke sekujur tubuh, sementara perlahan pula siksaan kecil yang mendera mulutku mulai berkurang ketika aku mulai bisa mengikuti iramanya, menghisap ketika masuk dan melepas ketika ditarik keluar. Lalu rongga basah tiba-tiba menghisap puting payudaraku… Rey, anakku sendiri kembali mencabuli tubuh ibu kandungnya sendiri, diriku. Membuatku tak mampu lagi mencegah keluarnya desahan dan rintihan dari mulutku, walau masih mampu berpura-pura dalam keadaan tertidur. Tiba-tiba, batangan penis dalam kunyahanku dicabut, hampir bersamaan dengan dicabutnya batang kemaluan keras dari vaginaku, mengeluarkan suara ’plop’ ketika udara yang masuk akibat aktivitas persetubuhan keluar. Aku tak tahu apa yang terjadi sampai akhirnya kembali mulutku dipaksa membuka untuk melahap batang penis yang… berbau aroma vaginaku sendiri! Ternyata mereka saling bertukar posisi, hampir bersamaan kembali benda keras mendesak liang senggamaku dan mulai gerakan memompa. Rey juga terus menghisap puting payudaraku dan meremas-remasnya bergantian. Tubuhku kembali berguncang-guncang hebat diiringi suara musik bergeseknya dua organ kelamin yang diselubungi lendir. Aku tak bisa menebak mana Bram mana Anton kecuali mendengar desahan mereka masing-masing, yang menceracau cukup kurang ajar, ”Oouhh… Rey, mamamu masih sempit… sshhhh!” ”Mmmhhh… tante… terus sedot, tante… uuuhh!” ”Enak gak, tante… sssh!” sebuah jemari mulai mengutil klitorisku, membuatku semakin terbang tinggi di alam kenikmatan. Lalu aku hanya bisa mengejang ketika denyutan-denyutan dahsyat orgasmeku tiba, membuatku tak sadar, nyaris menggigit batang penis yang menggali kenikmatan dari mulutku, yang efeknya adalah semburan-semburan lahar panas menyiram kerongkonganku dimana aku tak punya opsi lain selain menelannya habis. Dan pemiliknya mengeluarkan lenguhan keras, ”Oohhhhs… telan, tante, telannnn… sshhh…” sambil menjambak keras rambutku. Dia terus mendesak-desakan batang kemaluannya sampai semakin menyusut dan lembek, lalu meninggalkanku dengan nafas terengah-engah. ”Jizzz… Rey, mamamu mantap.” ujarnya dan terdengar suara kursi digeser, agaknya ia kemudian duduk. Tetapi tusukan-tusukan batangan keras masih mendera vaginaku, kurasakan kemudian pergelangan kakiku dipegang kemudian diangkat tinggi-tinggi lalu disandarkan ke dada yang penuh keringat sambil didekap. Gerakannya menyetubuhi diriku makin cepat, ganas dan kasar sampai akhirnya satu tusukkan terakhir dihujamkan dalam-dalam ke vaginaku lalu kembali tsunami kecil cairan sperma kental menyiram mulut rahimku… dan tak lama ia pun mencabut batang penisnya, mengembalikan kakiku kini setengah tertekuk membuka lebar. Kembali pujian terhadap diriku dilontarkannya pada Rey yang masih terus menetek ibunya. ”Dasar anak mami lu, Rey, nyusu terus.” ujar rekan Rey sambil tertawa kecil. Kembali kilatan lampu blitz dan suara dengingan kamera digital kudengar, dari arah depan dimana vaginaku terbuka lebar, kali ini mungkin mereka memfoto deposit sperma yang mengalir keluar dari vaginaku. Rey bangkit dan berkata, ”Hey… udah-udah, ayo keluar.” ujarnya mengusir rekan-rekannya keluar. “Ntar, Rey, ini pemandangan langka neh…” ujar rekannya yang masih sibuk dengan kameranya. Namun akhirnya pergi juga setelah masing-masing mereka mengecup bibirku, dan pintu ditutup Rey dari dalam. Sebuah usapan handuk basah terasa di permukaan vaginaku, Rey tengah membersihkannya, ia terus mengusap sampai yakin bersih, aku sendiri hanya mampu menggigit bibir menahan rasa geli. Namun berubah merinding ketika merasakan bahwa kini bukan handuk basah lagi yang mengusap-usap kewanitaanku, tapi lidah panas basah yang mengambil alih. Rey lagi, pikirku. Memang sedari tadi hanya Rey yang belum menuntaskan hajatnya. Aku pasrah mengikuti kemauannya, selama perjanjian yang kubuat bahwa ia tak boleh menyetubuhi organ tempat dimana ia lahir masih dipenuhinya. Tubuhku sendiri lambat laun mulai bereaksi, kembali mempoduksi cairan lubrican pelicin dalam rongga vaginaku, Rey menjilat-jilat dan menghisapnya dengan rakus, menimbulkan suara seperti orang menghirup sup panas. Puas mereguk cairan lendir ibunya, Rey beranjak ke bagian atas tubuhku, setengah terduduk meletakkan batang keras penisnya di antara payudaraku, lalu merapatkan payudaraku hingga menjepit penisnya dan mulai bergerak maju mundur. ”Mama… Mama… sshhh…” desis Rey. Mataku membuka perlahan, Rey menghentikan aksinya sejenak karena kaget, namun karena aku tersenyum kecil, Rey kembali bersemangat. “Mama…” bisiknya lirih. ”Rey,” ujarku setengah berbisik pula. Tanganku hinggap di gunungan pantatnya, meremas-remasnya pelan. Rey makin bersemangat bergerak maju mundur di atas dadaku, namun remasan-remasan jemariku di sekitar anus dan pangkal penisnya membuatnya mengejang dan… srrrrt… srrrt…srrrt… semburan spermanya hinggap di wajah, dahi, mata, hidung, mulut, dagu, leher dan belahan dadaku. Rey bangkit ketika tak ada lagi tetesan sperma yang keluar dari kepala penisnya. Dia kembali mengambil handuk dan melap wajahku. Kami lama bertatapan tanpa tahu berbuat apa. Aku bangkit bersandar di kepala ranjang. “Sudah dua orang, Rey, berarti masih punya hutang empat orang lagi?” tanyaku. Rey mengangguk tersipu, lalu bertanya, ”Sebenarnya mama tadi sadar gak sih?” tanyanya. Aku tak tahu harus menjawab apa kecuali terdiam dan kuyakin wajahku memerah saat itu. “Mama mau ke kamar mandi, Rey, kamu mau ikut?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. Rey kembali mengangguk. Aku lalu bangkit berdiri berjalan ke kamar mandi, dan tanpa kusadari kembali cairan sperma mengalir keluar dari vaginaku, membuat aliran sungai di paha terus hingga betis. Rey mengikutiku di belakang dan hanya tertegun melihatku berjongkok kemudian buang air kecil. Rey akhirnya juga buang air kecil di toilet. Kami kemudian mandi air hangat bersama malam itu, saling menyabuni, saling mengusap mengingatkanku ketika dulu memandikan Rey saat kecil dulu, sambil bercakap-cakap ringan. Namun kali ini Rey telah dewasa, menjadi seorang pemuda dengan hormon berlebih sesuai usianya, maka tak menunggu waktu lama penis Rey kembali menegang, dan kembali kutuntaskan hasratnya dengan kocokan tanganku di bawah siraman shower. Usai saling menghanduki, kami kembali ke ranjang yang kudapati masih santer tercium aroma sex di situ. Tidur bersama anakku di bawah satu selimut dalam keadaan telanjang. Masih ada sisa hari untuk menghadapi empat orang pemuda yang tengah berahi lagi sebelum suamiku datang. Kelelahan membuatku segera terlelap.
ns 15.158.61.6da2