Malam itu, aku lagi duduk di sofa, mata fokus pada layar ponsel sambil sesekali scroll media sosial, mencoba mencari hiburan di sela-sela penat setelah seharian kerja. Di sampingku, Anindya, istriku yang cantik dan ceria, dengan khusyuk melihat video kajian di ponselnya. Hijabnya masih melilit anggun di kepala, meskipun kami sudah di rumah. Aku tahu, dia sedang semakin dalam mendalami agama. Sejak menikah, memang dia jadi lebih sering mengakses konten-konten religi.
“Mas, kamu udah sholat Isya belum?” tanyanya tiba-tiba, suaranya lembut tapi sedikit tegas.
Aku terdiam, menoleh ke arahnya sebentar. “Nanti aja deh, sayang, aku masih cape habis pulang kantor.”
Dia menghela napas, lalu menunduk sebentar sebelum menatapku lagi dengan tatapan yang mulai kukenal, tatapan seriusnya. “Jangan ditunda-tunda, Mas. Kamu tahu kan, katanya sholat tepat waktu itu pahalanya lebih besar?”
Aku mengangguk kecil, meskipun dalam hati mulai muncul rasa nggak nyaman. Sejak makin religius ini, sepertinya dia selalu punya komentar, nasehat, atau saran dalam setiap hal yang aku lakukan. Bukan nggak sayang sama dia, justru aku bangga dengan perubahan positif ini. Tapi, kadang aku merasa risih, seolah segala tindakan harus dinilai dari sudut pandang agama. Semua harus begini, harus begitu. Semua dia dapatkan dari kajian agama di sosmed, meskipun aku tahu, nggak semua sumber itu benar.
Aku coba meredam rasa itu, tapi malam ini, perasaan itu makin mengganggu.
“Ya, bentar lagi juga aku sholat, kok,” kataku akhirnya, sedikit mengalihkan fokus ke layar ponsel.
“Mas, kamu jangan gitu. Aku ngingetin ini buat kebaikan kita, lho.” Nada suaranya terdengar kecewa. Aku nggak tega juga, tapi jujur, aku mulai capek dengan nasehat yang muncul terus-menerus.
Aku teringat pada Sofya, istrinya Arman, salah satu adik iparku. Dia wanita yang cantik, pakai hijab kalau keluar rumah, tapi nggak terlalu rewel soal agama. Jarang melihat dia sholat saat kami sempat tinggal bersama di rumah mertua, bahkan dia sering menemani suaminya ke acara minum-minuman keras dengan teman-teman kerja. Nggak ada teguran, nggak ada nasehat, dan Arman tampak bahagia dengan itu. Rasanya kok mereka santai saja, nggak berasa tegang atau penuh nasehat. Sofya berprinsip gak apa-apa suaminya peminum asal bukan tukang selingkuh.
Pikiranku kemudian melayang pada Syahnaz, istri Adrian, adik bungsu istriku. Sama seperti Sofya, Syahnaz juga berpenampilan sopan dan pakai hijab, tapi nggak terlalu mempermasalahkan kebiasaan suaminya yang suka nongkrong malam-malam dan bahkan minum miras sesekali. Kalau Arman dan Adrian bisa punya istri yang asik begitu, kenapa aku malah merasa seperti dipojokkan dengan aturan dan nasehat?
“Mas, kamu kenapa?” tiba-tiba Anindya menatapku dengan kening berkerut. “Kamu ngelamun? Lagi mikirin apa sih?”
Aku tersentak. “Ah, nggak, nggak mikir apa-apa kok.”
Dia menghela napas lagi, lalu berkata dengan nada lebih lembut, “Aku cuma khawatir aja, Mas. Kamu tahu kan, dunia ini cuma sementara. Aku mau kita sama-sama bahagia, bukan cuma di sini, tapi juga di sana.” Matanya menatap penuh harap.
Aku mengangguk pelan, tapi dalam hati ingin berbisik, Kenapa aku nggak bisa kayak Arman dan Adrian aja sih, nggak diceramahi setiap hari. Gak ribet dan terlalu banyak peraturan?
2379Please respect copyright.PENANAJPMKqhpxxW
****
Setiap kali kumpul keluarga di rumah mertua, aku merasa seperti mendapatkan momen sejenak bisa bebas dari ceramah istri. Bukan hanya karena suasana keluarga yang lebih santai, tapi juga karena di sana, aku bisa menikmati waktu tanpa perlu terlalu khawatir perihal “nasehat-nasehat” soal agama yang sudah mulai melekat pada Anindya, istriku. Di rumah mertua, Anindya juga biasanya lebih sibuk membantu ibunya atau ngobrol dengan kakak-adiknya, jadi aku bisa punya waktu buat berbaur, ngobrol, atau sekadar bercanda dengan yang lain—termasuk Sofya dan Syahnaz, kedua iparku yang diam-diam selalu menarik perhatianku.
Sofya, istri Arman, memang istimewa. Tubuhnya montok dengan lekuk yang menggoda. Kulitnya agak sedikit gelap, tapi justru itu yang membuatnya tampak lebih seksi. Ada kesan eksotis di setiap senyumnya yang selalu berhasil mencuri pandanganku. Cara dia bicara, cara dia tertawa—semuanya mengalir begitu alami dan menawan hati. Ditambah lagi, Sofya ini tipe perempuan yang nggak terlalu “ribet” dengan aturan atau nasehat, terutama soal agama. Aku melihat betapa bebasnya Arman, suaminya, pergi nongkrong dan bahkan ditemani Sofya sendiri kalau kebetulan mereka bikin acara pesta miras bareng teman-temannya.
Di sisi lain, ada Syahnaz, istri dari Adrian, adik ipar kami yang paling muda. Berbeda dari Sofya, kulit Syahnaz putih bersih, hampir seperti porselen. Wajahnya selalu tersenyum, manis dan lembut, memberi kesan menenangkan tapi tetap memikat. Bentuk tubuhnya tak kalah montok, dengan pinggul yang juga bahenol, membuat setiap gerakannya seperti tarian halus yang seolah sengaja ditampilkan untuk menarik perhatian. Syahnaz pun tampak santai dengan kehidupan suaminya yang juga suka nongkrong dan bahkan kadang-kadang pulang dalam kondisi mabuk. Sepanjang yang kuketahui, dia nggak pernah mempermasalahkan itu, selama Adrian tetap pulang ke rumah dan nggak melanggar batas dalam rumah tangga mereka.
Meski dalam hati aku mengagumi mereka berdua, aku sadar betul, istriku, Anindya, memang tetap yang paling cantik dibandingkan dengan mereka berdua. Wajahnya punya kecantikan yang klasik, tulus, dengan mata yang dalam dan tatapan yang penuh kehangatan. Tapi mungkin kecantikan itu kini sedikit tertutupi oleh rasa serius yang selalu dia bawa—sejak dia semakin religius, ekspresi wajahnya jadi lebih sering terlihat serius dan terkesan ingin selalu “benar” dalam sudut pandang agama. Di rumah, pandangannya sering kali mengingatkanku untuk bersikap lebih “benar,” seakan-akan segalanya harus diuji dengan standar religi yang dia percayai. Kadang aku rindu wajah Anindya yang ceria dan ringan, yang dulu bisa bercanda tanpa merasa perlu khawatir soal dosa atau pahala.
Aku tahu betul apa yang aku kagumi dari Syahnaz dan Sofya mungkin tak pernah bisa kutemukan lagi dalam sosok Anindya. Tapi bukan berarti aku nggak sayang. Hanya saja, terkadang, aku berharap ada sisi dari Anindya yang bisa lebih “santai” dan tidak selalu merasa harus membawa nasehat dan teguran.
Bersambung
ns 15.158.61.6da2