Seorang dokter muslimah muda berjilbab pergi ke pedalaman tanah Papua demi menjalankan misi pengabdian masyarakat. Tapi, setelah beberapa kali memeriksa kesehatan warga Papua di pinggiran hutan, dokter Atik dikejutkan oleh betapa besarnya batang gosi pria-pria Papua. Mampukah dokter Atik menahan dirinya dikuasai godaan sange setelah melihat kontol hitam besar Papua?
Atik (26 tahun, 155 cm, 48 kg) adalah seorang dokter muslimah berjilbab lulusan sebuah universitas Islam swasta milik organisasi M di kota M. Belum genap setahun dr. Atik menikah dengan suaminya yang merupakan kakak tingkat beberapa tahun di atasnya. Suaminya sama-sama berasal dari kota M, tapi sedang bertugas di Rumah Sakit (RS) sekaligus mengajar di kampus milik organisasi M di sekitar Jayapura, Papua. Kebetulan suami Atik memiliki jiwa sosial yang tinggi. Atik pun mengikuti suaminya tinggal di Papua sekaligus berpraktik di RS yang sama dengannya.
Suatu hari, ada program pengabdian masyarakat pedalaman dari organisasi M, dimana para dokter dan nakes dari luar Papua, khususnya yang menjadi kader dan anggota organisasi M, disebar ke berbagai penjuru Papua untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada warga lokal Papua sekaligus memberikan pelatihan bagi para nakes Orang Asli Papua (OPM) lulusan kampus ormas M. Sebagai pasutri aktivis ormas M dan dokter yang berpraktik di RS milik ormas M, suami Atik pun mengajak Atik untuk mengikuti program pengmas tersebut.
Atik dan suaminya ditugaskan ke puskesmas Kenyam, di Distrik Nduga. Dari sana, Atik dan suaminya menjelajah lagi ke kawasan pemukiman penduduk di area hutan dan pegunungan yang kesulitan akses transportasi menuju pusat kabupaten. Bersama mereka, ditugaskan 8 dokter dan nakes Orang Asli Papua, Tonce Ubruangge (25, dokter muda asli Papua yang baru lulus), Egianus Tabuni (24, mahasiswa kedokteran), Undius Kogoya dan Lewis Kogoya (22, nakes kembar), Goliath Tabuni (35, nakes sekaligus driver), Peni Murib (50, warga lokal dan ahli tanaman obat tradisional Papua), Ando Waker (23, nakes dan driver), dan Willi Kobepa (23, nakes). Mereka membawa stok obat, suplemen nutrisi, serta berbagai bahan dan peralatan medis lainnya dengan dua mobil ke lokasi yang sedikit di luar hutan dan kaki gunung, agar dekat dengan beberapa pemukiman di pedalaman itu. Di sana, mereka mendirikan tenda ruang pengobatan, tenda untuk tidur, dapur, dan toilet portable.
Atik dan suami rencananya akan mendampingi para dokter dan nakes Orang Asli Papua (OPM) itu selama 6 bulan, sambil berpraktik pengobatan dan menularkan ilmu pada mereka. Setiap pekan, secara selang-seling tim akan dibagi menjadi tim jaga yang praktik di klinik portable itu dan tim jemput bola yang masuk ke hutan dan naik ke gunung tempat tinggal warga. Karena beratnya medan, suami Atik yang mendampingi para nakes OPM untuk jemput bola, sementara Atik praktik jaga di klinik tenda. Sebulan atau dua bulan sekali, 3 orang nakes Papua akan pergi ke kota dan mengisi ulang stok bahan dan alat medis. Mereka juga memanfaatkan tanaman obat lokal. Di situlah petualangan sange Atik dimulai.
Di klinik darurat di pedalaman itu, Atik bekerja dengan tulus. Ia mengobati dan melayani semua warga tanpa pandang bulu. Tua-muda, pria-wanita, dari semua desa dan suku. Ada anak-anak yang datang ke klinik untuk tambahan nutrisi dan suplemen karena terkena stunting. Ada yang tak sengaja terkena panah saat sedang beburu. Ada yang jatuh dari pohon. Ada yang kecelakaan saat perjalanan pulang pergi ke pusat kabupaten. Ada yang terluka karena serangan binatang buas. Ada yang terkena ISPA. Ada yang terkena infeksi. Semua dirawat oleh Atik dan timnya dengan baik.
Sementara itu, suami Atik mendampingi separuh dari para nakes itu yang menjemput bola ke pemukiman warga sampai pedalaman hutan dan pegunungan. Para nakes yang masih muda bergantian jadwal antara jaga dan jemput bola. Sementara itu, Peni Murib yang sudah cukup berumur hanya sesekali jemput bola sekalian mengumpulkan tanaman obat. Ia lebih banyak jadwal jaga di klinik tenda. Suatu hari, suami Atik sedang jemput bola bersama Tonce, Undius, Lewis, dan Ando. Goliath bersama Willi sedang ke kota Kenyam untuk mengambil suplai obat. Atik dan Egianus sedang melayani pasien di klinik tenda, dibantu oleh Peni Murib.
Suami Atik dan timnya baru saja berangkat pagi tadi dan biasanya baru akan kembali 2-5 hari kemudian, bergantung jarak yang ditempuh dan habisnya stok obat yang dibawa. Biasanya, sekitar pukul 3 waktu setempat, sudah tidak ada lagi warga yang berobat, karena bepergian menjelang gelap berisiko. Tim jaga pun bersiap untuk merapikan alat-alat medis, bebersih, dan istirahat. Karena tidak jauh dengan sungai kecil, mereka bisa mendapat suplai air untuk toilet portable. Matahari sudah terbenam, namun tim yang mengambil suplai obat ke kota belum kembali juga.
Atik sedang berusaha mengalihkan pikiran dengan mencoba untuk mandi, tapi upaya Atik gagal. Pikiran Atik sedang diliputi rasa sange yang berat. Sebabnya? Sudah hampir satu setengah bulan merawat warga yang berobat di klinik tenda itu, Atik mau tak mau memperhatikan beberapa karakteristik dari warga Papua di pedalaman. Karena hidup lebih dekat dengan alam, tubuh mereka ditempa dengan keras. Meski tidak sedikit yang kekurangan gizi karena hutan yang semakin banyak digunduli oleh ekspansi industri seperti sawit yang membuat sumber makanan mereka semakin sedikit, tubuh mereka tetap bugar, terutama kaum prianya. Jangan salah, banyak pria Papua kota pun tampak jantan, bahkan yang kurang berotot atau agak gemuk sekalipun, entah kenapa terlihat lebih maskulin bagi Atik.
Selain itu, karena tak sedikit di antara mereka yang ngaceng saat diperiksa oleh Atik, mengingat kecantikan dokter itu, Atik pun jadi tahu besarnya ukuran batang kejantanan pria-pria Papua. Terkadang, tangan Atik tak sengaja menyenggol batang mereka yang menyembul dari balik celana atau koteka. Pikiran Atik pun melayang kemana-mana. Entah kenapa semenjak tiba di tanah pedalaman Papua tempat klinik tenda ini didirikan, rasa sange Atik meningkat dari hari ke hari. Dan karena mereka tinggal di tenda yang tidak kedap suara, meski Atik tidur satu tenda dengan suaminya, rasa sange Atik selama satu setengah bulan ini tak pernah dipuaskan, sebab tak ada privasi untuk berhubungan intim.
Atik tahu suaminya tentu kelelahan setelah memeriksa pasien, apalagi suami Atik yang harus menjelajah hutan dan pegunungan demi mengecek kesehatan warga dan baru kembali ke tenda beberapa hari dalam sepekan. Jangankan bersetubuh, setelah makan malam setiap hari suami Atik biasanya langsung mengantuk berat dan tidur. Atik yang sudah merasakan sange sejak sebulan lalu pun tidak bisa apa-apa selain menggesek-gesek memeknya tiap malam sambil berusaha agar tidak bersuara.
Rasa sange Atik sebenarnya sudah tidak terpuaskan sejak setahunan ini, sebab suami Atik memang sibuk di Rumah Sakit, mengajar di kampus, berkegiatan organisasi, dan beraktivitas sosial. Waktu suami Atik sedang di rumah, tak jarang Atik malah dapat jadwal jaga di RS. Atik pun selama di rumah sebelum ekspedisi bakti sosial ke pedalaman ini juga sering masturbasi. Namun, satu setengah bulan di pedalaman Papua ini, rasa sange Atik meningkat secara gradual setiap harinya ke level yang belum pernah ia alami. Jika sebelumnya kocokan jari-jari Atik bisa sedikit memuaskan libidonya, kali ini tidak mempan sama sekali.
“Mungkin karena kamar mandi portable ini sempit, jadi tidak bisa puas,” pikir Atik.
Atik pun segera menyudahi mandinya dan buru-buru masuk tenda. Egianus dan Peni Murib sepertinya sedang mengobrol di tenda perawatan. Setelah masuk tenda tidurnya dan menutup resleting tendanya, Atik segera berbaring, menggigit bantal yang biasa dia pakai tidur dan memeluk satu bantal lagi yang biasa dipakai oleh suaminya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya mengocok-ngocok memeknya sendiri dari balik roknya. Atik memejamkan mata sambil berusaha membayangkan kalau suaminya sedang bersenggama dengannya. Suaminya ganteng dan lembut. Aroma rambut dan tubuhnya dapat Atik cium pada bantal yang sedang dipeluknya. Namun, berulang kali pula pikiran Atik lari dari fantasi soal suaminya dan beralih ke pria-pria Papua berkulit hitam dengan kontol hitam besar itu.
“Eemmmmmppffhhh …” lenguhan Atik tertahan oleh bantal Atik gigit.
Tanpa Atik sadari, para pria Papua itu sudah membuka tenda Atik dari luar dan merekam Atik yang sedang masturbasi. Mereka mengejutkan Atik yang sedang mengocok memeknya saat salah satu dari mereka menyeletuk: "Kalau dokter Atik butuh kepuasan, kenapa tidak bilang ke kami saja, kontol hitam Papua kami bisa lho memuaskan memek Jawa dokter Atik." Atik yang kaget pun kelimpungan, sementara Egianus dan Peni Murib segera menyergap Atik. Kontol hitam dua pria Papua itu sudah tegak mengacung di luar celana mereka.
"Apa yang akan kalian lakukan padaku? Lepaskan aku sekarang!" teriak Atik
Jantung Atik berdegup kencang saat ia mencoba mendorong kedua lelaki Papua itu, tetapi usahanya sia-sia. Egianus dan Peni Murib menyeringai nakal, mata mereka berbinar penuh nafsu saat mereka mencengkeram pergelangan tangannya dan menjepitnya ke lantai tenda. Melihatnya memberontak tampaknya membuat mereka semakin bergairah.
"Kau sudah menatap kami selama berminggu-minggu, Atik," kata Peni, suaranya penuh nafsu.
"Kami tahu kau menginginkannya. Mengapa menyembunyikannya?" Timpal Egianus.
Pipi Atik memerah karena malu, menyadari rahasianya telah terbongkar. Meskipun takut, sentuhan tangan mereka yang kuat di tubuhnya mengirimkan sentakan kenikmatan ke seluruh tubuhnya. Dia belum pernah sedekat ini dengan pria-pria berkulit hitam ini sebelumnya, dan ukuran kontol hitam besar Papua mereka lebih luar biasa daripada yang dibayangkannya.
Kedua lelaki Papua itu tidak membuang waktu. Egianus mulai menciumi leher Atik, lidahnya menjilati kulitnya, sementara Peni sibuk membuka kancing bajunya. Napas Atik terengah-engah, pikirannya terpecah antara batasan imannya dan dorongan primitif yang kini menguasai tubuhnya.
"Ti-tidak," gumamnya lemah, suaranya teredam bantal. Namun tubuhnya melengkung saat disentuh, memperlihatkan rasa sange yang telah membara dalam dirinya. Mulut Egianus bergerak ke telinga Atik, napasnya yang panas mengirimkan getaran ke tulang belakangnya.
"Jangan bohongi dirimu sendiri, Atik. Kita semua punya kebutuhan."
Tangan Egianus menjelajahi payudara Atik, dengan kasar meremasnya melalui kain bra-nya. Peni berhasil membuka seluruh kancing baju Atik, memperlihatkan dadanya yang lembut dan sekal. Ia menyingkap bajunya itu dan mengusap-usap salah satu payudara Atik dengan tangannya, memutar putingnya di antara ibu jari dan telunjuknya. Atik terkesiap, tubuhnya bereaksi dengan cara yang tidak dapat ia kendalikan. Sensasinya aneh dan menggetarkan, sangat kontras dengan sentuhan lembut suaminya.
"Lepasin emppffhhh jangan!!! Aauwhh lepass!! tidaaaaakk jangaannnn!!! " Teriak Atik yang meronta ronta kelojotan akibat foreplay Egianus dan Peni Murib.
Aroma gairah yang memabukkan memenuhi tenda saat Egianus membuka kaitan bra-nya, memperlihatkan seluruh tubuhnya pada udara hangat dan lembap malam Papua. Kedua pria itu bergantian mencium dan mengisap putingnya, mengirimkan semburan kenikmatan langsung ke inti tubuhnya. Tangan Atik, yang tadinya mendorong mereka, kini tersangkut di rambut keriting mereka, menarik mereka lebih dekat. Nafasnya semakin berat saat tangan Egianus merayapi tubuhnya, ujung jarinya menyentuh pinggang roknya. Dengan gerakan cepat, dia membuka resletingnya, memperlihatkan celana dalamnya yang basah. Egianus menyelipkan tangannya ke dalam, membelai licinnya gairahnya. Pinggul Atik bergoyang tanpa sadar, lenguhan keluar dari bibirnya saat dia merasakan jari masuk ke dalam memeknya.
"Ooooookkk tidaaakkk aaaahhhhhh tolooonggggg!!! AAAAAAAAHHHHHHHHH !!!” Desah Atik.
“SPPLURRRTTTT!!!!!! " Atik crot karena rasa horny yang sebelumnya ia tahan dipuaskan oleh jilmek, remasan toketnya dan permainan lainnya dari Egianus dan Peni.
"Kau basah sekali," gumam Egianus, matanya gelap karena nafsu. "Kau menginginkan ini, bukan?"
Kata-kata itu menembus kabut rasa bersalah dan kebingungan Atik. Tubuhnya berkata ya, tetapi pikirannya masih berpegang pada kata tidak. Namun, perasaan enak dari jari Egianus yang masuk dan keluar dari memeknya terlalu kuat untuk ditahan. Dia menggigit bantal untuk meredam desahannya saat Egianus menambahkan jari lainnya, meregangkan memeknya dengan kasar. Peni, tak mau kalah, melepas jilbab Atik, memperlihatkan rambutnya untuk pertama kalinya sejak kedatangan mereka di hutan ini.
Peni membungkuk dan mencium Atik, lidahnya menyerbu mulutnya dalam tarian ganas yang membuat jari-jari kakinya melengkung. Rasa ciuman dari pria tua Papua itu berbeda, liar, dan sangat memabukkan. Atik secara tidak sadar membalas ciumannya, tangannya mencengkeram bahu Peni seolah-olah dia adalah tali penyelamat di lautan hasrat yang bergejolak.
Egianus, yang sekarang sudah sepenuhnya menguasai tubuh bagian bawah Atik, melepaskan baju dan celananya sendiri, menunjukkan perut six pack dan tubuh yang kekar dan hitam legam. Pemandangan tubuh Egianus yang berotot dan penisnya yang besar dan berdenyut-denyut yang berdiri dengan gagah di antara kedua kaki Atik membuatnya gemetar karena takut sekaligus penuh harap.
"Biarkan aku mencicipimu," katanya, suaranya seperti geraman pelan yang seakan bergema jauh di dalam dirinya.
Sebelum Atik sempat bereaksi, kepala Egianus sudah berada di antara pahanya, lidahnya menelusuri garis luar celana dalamnya. Ia mengaitkan jari-jarinya ke kain dan menariknya ke samping, memaparkannya pada udara malam yang dingin. Atik merasakan panas napas Egianus di memeknya yang basah oleh cairan cinta. Dengan senyum nakal, Egianus menurunkan mulutnya ke bagian tengah tubuh wanita itu dan mulai menjilatinya dengan penuh semangat yang membuatnya terengah-engah. Pinggulnya terangkat dari lantai saat dia menggerakkan dan memutar lidahnya di atas klitorisnya, sensasinya begitu kuat sehingga wanita itu tidak dapat menahan desahan.
"Mmpphh... Aahhhhhhh ... AAAAAAAAHHHHHHHHH !!!"
Peni, yang masih berpakaian lengkap, menyaksikan tontonan itu dengan rasa lapar di matanya. Ia mencondongkan tubuhnya dan berbisik di telinganya, "Rasamu manis sekali, Atik. Seperti buah dari tanah kami."
Kata-kata Peni hanya membuat Atik semakin dekat ke tepi jurang kesangean, tubuhnya gemetar dengan setiap gerakan lidah Egianus. Perasaan itu terlalu kuat, terlalu asing. Atik belum pernah bersama siapa pun kecuali suaminya, dan pikiran tentang apa yang dilakukannya itu salah. Namun, kenikmatan itu tak terbantahkan. Dia bisa merasakan ketegangan semakin erat di dalam dirinya, kedutan di memeknya meningkat hingga hampir terasa menyakitkan.
Egianus merasakan klimaks Atik semakin dekat dan menggandakan usahanya, lidahnya menggali lebih dalam ke lipatan memek Atik saat ia mengisap klitorisnya dengan lembut. Kaki Atik mulai bergetar, seluruh tubuhnya menegang saat ia mendekati ambang ekstasi. Dengan dorongan terakhir yang putus asa, ia mencapai puncaknya, tubuhnya mengejang dalam orgasme yang kuat yang membuatnya gemetar dan terengah-engah.
“SLUURPPPP MWLEEEHH AAAHHH CLUURPPP MWAAHHH AAHHH! EMHHH MPHHHH PWAAH SLUURPPP WLEEHHWLEHHH AAHHH! SLUURPPPPPP!!!” Desahan Atik beradu dengan suara Egianus menjilati memeknya.
Saat kejang Atik mereda, Egianus berdiri, matanya berbinar penuh kemenangan. Ia membuka ikat pinggangnya dan membiarkan celananya jatuh ke tanah, memperlihatkan kontol hitamnya yang besar, sepanjang 30 cm. Penis itu tebal dan berurat, ujungnya berkilau karena cairan pra-ejakulasi. Atik tak kuasa menahan diri untuk tidak menatapnya, campuran antara takut dan kagum terlihat di matanya. Ia belum pernah melihat hal seperti itu sebelumnya, dan kenyataan jauh lebih luar biasa daripada khayalan yang mengganggu pikirannya.
Egianus meluangkan waktu sejenak untuk menikmati pemandangan tubuh Atik yang gemetar, dadanya naik turun setiap kali ia menarik napas. Ia tahu Atik belum siap untuknya, tetapi ia sudah terlalu jauh untuk peduli dengan kenyamanannya. Ia memposisikan dirinya di antara kedua kaki Atik, penisnya menyentuh vaginanya yang masih berdenyut. Ia mendorongnya masuk perlahan, membiarkan dindingnya yang rapat menyesuaikan diri dengan lingkarnya. Mata Atik berputar ke belakang kepalanya saat ia merasakan ukuran jumbo kontol hitam Egianus di dalam memeknya, rasa sakit bercampur dengan kenikmatan yang tersisa dari orgasmenya baru-baru ini.
"Tenang saja, dr. Atik, sa akan memberimu kenikmatan tiada tara" gumamnya, suaranya penuh nafsu. "Memek dr. Atik ketat bukan main."
Egianus mendorong lebih dalam ke dalam vagina Atik, memberi waktu bagi tubuhnya untuk meregang menyesuaikan dengan panjang dan tebalnya kontol hitam besar Papua yang luar biasa. Mata Atik berair karena tekanan itu, tetapi dia tidak dapat menyangkal sensasi kenikmatan yang mengalir melalui pembuluh darahnya. Egianus mulai menggerakkan pinggulnya, kontol hitam besarnya meluncur masuk dan keluar dari memek Atik dengan irama yang semakin meningkat setiap saat. Gesekan itu intens, dan Atik merasakan tubuhnya merespons meskipun ada kekacauan di dalam dirinya.
“Aah.. sak.. Kiit.. AAHHHH Uuuuuhh OOOOhhhhh Ahhhhhhhh!”
Kuku-kuku Atik menancap di matras dan lantai tenda saat Egianus menambah kecepatan genjotan, suara daging yang saling beradu bergema melalui dinding kain tenda. Rasa sakitnya bertambah, tetapi begitu pula kenikmatannya, dan segera Atik mendapati dirinya mengangkat pinggulnya untuk menyambut genjotan pria muda Papua itu. Napasnya tercekat di tenggorokannya saat kontol hitam Papua itu menyentuh titik-titik dan area di dalam dirinya yang mengirimkan gelombang sensasi yang berdesir melalui inti tubuhnya.
"Ah, ah, tidak, apa yang kau lakukan padaku? Stop! Aaaaaaaaaahhhhhhhhh!!!"
Suara Atik terdengar seperti erangan putus asa, terbelah antara penderitaan karena invasi brutal dan hasrat membara yang kembali menggebu-gebu dalam genjotan kontol Papua itu. Namun, Egianus tidak menghiraukan permintaannya, erangan dan desahan kenikmatan Atik semakin sering dan keras terdengar. Ia tenggelam dalam momen itu, menikmati merdunya desahan Atik, didorong oleh dorongan primitifnya, menggenjot dan mengentot Atik seperti binatang liar yang menaklukkan pasangannya. Dalam waktu kurang dari tiga menit, Atik merasakan getaran pertama dari orgasme yang lain terbentuk jauh di dalam lubuk hatinya. Getaran itu tumbuh dengan setiap genjotan kuat kontol Papua itu, tubuhnya mengencang.
"Oh, oh, oh," Atik terkesiap, matanya terpejam, pinggulnya bergoyang tanpa sadar saat dia mencoba melepaskan diri dari sensasi yang intens itu. Suara erangannya semakin keras, memenuhi tenda dan bergema ke hutan di sekitarnya.
"Ahh, ahh," dia terengah-engah, kukunya menggaruk matras di bawahnya.
Irama Egianus mengentot dan mengenthu Atik semakin intens, RPM-nya terus meningkat, sementara napas Atik tersengal-sengal saat dia merasakan otot-ototnya menegang di sekeliling selangkangannya, menandakan pelepasan orgasmenyanya yang akan segera terjadi lagi. Egianus menggenjot lebih dalam, lebih keras, lebih kasar, lebih brutal, membuat Atik semakin dekat dengan klimaks yang berikutnya; tetapi Egianus masih jauh dari klimaksnya sendiri. Saat orgasme Atik menguasai tubuhnya hingga bergetar-getar dan kelojotan tak karuan, Atik tidak dapat menahan desahan dan teriakannya. Seluruh tubuhnya kejang-kejang, vaginanya semakin menjepit penis hitam Papua Egi seakan seperti hendak memerahnya seperti memerah susu sapi.
SLEP SLEP SLEP SLEP PLAK PLAK SLEP SLEP PLOK PLOK PLOK SLEP SLEP PLOK!!!
“AH Ah Ah Ah Ah AAAAAAAAAAAHHHHHH” Atik terus mendesah dan menjerit.
Stamina Egianus seolah tak terbatas, seperti tidak kenal lelah. Genjotannya terhadap memek Atik tidak melambat, tidak memberinya kesempatan untuk mengatur napas. Dia tenggelam dalam nafsu yang telah mendidih selama berminggu-minggu untuk menghajar memek wanita muslimah Jawa berhijab itu. Dia telah melihat cara Atik memandang para pria Papua, bagaimana mata Atik terpaku pada penis mereka saat dia pikir tidak ada yang melihat. Egianus tahu kalau Atik berhasrat dengan pria Papua dan menginginkan diperkosa seperti ini, dan dia akan memberikan fantasi Atik padanya dengan cara yang tidak akan pernah dia lupakan.
”Aaaaahhhh……. oohhhh…. aahhkkhhhh… ooohhhhh…..”, desah dr. Atik.
Selama dua jam berikutnya, Egianus mengentot Atik dengan stamina seperti banteng dan gorila. Penisnya seperti piston, terus menerus menusuk vagina Atik, tak pernah memberinya jeda sedikit pun. Tubuh Atik dipenuhi kenikmatan dan seperti tersengat listrik saat ia mencapai klimaks lagi dan lagi, setiap puncak lebih tinggi dari sebelumnya. Atik belum pernah merasakan kenikmatan seperti ini sebelumnya, bahkan dengan suaminya sendiri selama beberapa tahun menikah. Atik pernah mendengar kalau stamina pria Papua kuat, dan kini ia mengalaminya sendiri. Kontol hitam Papua Egianus juga tiga kali lebih panjang dari kontol Jawa suaminya.
"Eeeeeeeeeeeeeehhhhhhhhh oooohhhh ooooohhhhhhhh ooooohhhhhhhh Ohhhhhhhh... aaaaaaaahhhhhhhhhhhh... aaaaaaaahhhhhhhhhhhhh!" desah Atik.
Ciuman Egianus kasar dan liar, giginya sesekali menggigit bibir Atik dan bagian tubuhnya yang lain. Berkali-kali Egianus meludah ke dalam mulut Atik dan memaksa wanita Jawa itu menelannya. Kehangatan asin bercampur dengan ludah Atik sendiri saat ia tersedak dan menelan. Lidah Egianus menggali dalam untuk mengklaim setiap inci mulut dan bibir Atik. Tangannya menjelajahi seluruh tubuh Atik, meremas-remas payudaranya dengan ganas yang membuatnya memar dan sensitif, memilin-milin dan memelintir putingnya hingga yang menambah sensasi kenikmatan yang mengalir hingga memeknya.
“"Uhhhh aaaghhhh aaaahhh uuughh ahhhh!!! "
CROOOOOOOTTTT CROOOOOOOTTTT CROOOOOOOTTTT CROOOOOOOTTTT CROOOOOOOTTTT CROOOOOOOTTTT CROOOOOOOTTTT!!!! 💦💦💦💦” Cairan cinta semakin membanjir keluar dari memek Atik.
Pria muda Papua itu tampaknya tahu setiap titik yang bisa membuat Atik mendesah dan menjerit, setiap tombol yang bisa membuatnya terjerumus ke orgasme demi orgasme berikutnya. Dengan setiap genjotan, penis kontol hitam besar Papua Egianus masuk lebih dalam ke dalam vagina Atik, bahkan menggedor mulut rahimnya, menjebol keperawanan kedua Atik, memberinya rasa sakit yang berubah menjadi kenikmatan aneh yang membuat ketagihan. Atik merasakan seluruh tubuhnya kembali menegang, memek dan rahimnya terus berupaya mengatur ulang dirinya sendiri untuk mengakomodasi ketebalan dan panjang kontol Egianus.
"Hmmmmpffffff... mmphhhfff... uhhhhhhh... mmphhhffhhhhh... mmphhhfff... uhhhhhhh"
Genjotan pria Papua itu brutal luar biasa, membuat Atik mencapai klimaks setiap tiga menit, tubuhnya bergetar tak terkendali saat kontol hitam besar Papua itu menghantamnya dengan irama yang tak henti-hentinya meningkat. Ciuman dan jilatan Egianus ke bibir, mulut, susu, dan sekujur tubuh Atik semakin intens; ludahnya bercampur dengan keringat dan cairan tubuh Atik saat ia menguasai mulutnya. Ia tidak hanya menciumnya, ia menguasainya, lidahnya menggali dalam, air liurnya menetes ke dagu Atik saat ia meludah ke dalam mulutnya berkali-kali, rasa genjotan dan permainan Egianus yang brutal dan erotis membuat Atik semakin gila. Tubuh Atik merespons, pinggulnya terangkat untuk menyambut setiap hantaman Egianus, vaginanya menjepit di sekeliling penisnya seolah berusaha menahannya di tempat. Atik pun orgasme lagi untuk kesekian kalinya yang sudah tidak terhitung lagi.
“PLOKKK PLOKKK PLOKKK PLOKKK PLOKKK PLOKKK PLOKKK PLOKKK PLOKKK PLOKKK PLOKKK PLOKKK PLOKKK PLOKKK PLOKKK PLOKKK PLOKKK PLOKKK PLOKKK PLOKKK PLOKKK PLOKKK PLOKKK PLOKKK!!!”
Egianus beralih ke posisi berdiri, mengangkat tubuh Atik ke udara dengan kekuatan yang gagah perkasa, kedua kaki Atik ia lingkarkan ke pinggangnya. Sensasi penis hitam besar Papua itu kembali meluncur dalam ke dalam tubuh Atik saat ia melayang di udara betul-betul berbeda dari apa pun yang pernah ia alami. Suara "tepukan" tubuh mereka yang saling menumbuk beradu memenuhi tenda, otot-otot di lengan Egianus menggembung dengan kekar saat ia mengangkat tubuh Atik tinggi-tinggi, terus menggenjotnya di udara dengan irama yang liar. Setiap genjotan Egianus mengirimkan gelombang kejut ke inti tubuh Atik, membuatnya menjerit-jerit karena kenikmatan saat orgasmenya semakin intens.
“OOOOOOOOHHHH HEEEEEEGHH AAAAAAAAAAAAHH AUWHHHH HIIIAAAAAAAAAHHHHH UUUUGHHHHHHHH UUUGHHHHH OOHHH AHHHH!!!” Jerit Atik.
Tubuh Atik terasa seperti terkoyak oleh ketebalan kontol hitam Papua Egianus, vaginanya meregang hingga batasnya, tetapi dia tidak bisa memaksa dirinya untuk menyuruh pria Papua itu berhenti. Setiap kali Atik merasa tidak tahan lagi, tubuhnya akan mengkhianatinya, menjepit dan mencengkeram kontol hitam besar Papua itu, menariknya lebih dalam, memohon untuk dientot dan digenjot lebih keras, brutal dan kasar. Egianus memegang kendali penuh, matanya yang gelap menatap tajam ke wajah Atik saat dia menggenjot wanita Jawa itu dengan keganasan yang begitu brutal.
"Aaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhh!" teriak Atik saat ia baru saja orgasme lagi.
Tenda itu seperti kepompong nafsu dan keringat, udaranya penuh dengan aroma binal dari hubungan intim mereka. Atik bisa merasakan ketegangan di lengannya saat Egianus mengangkatnya tinggi-tinggi, otot-otot Egianus menggembung dan menegang saat dia menikamkan kontol hitamnya ke memek Atik. Ciumannya semakin intens, ludahnya bercampur dengan air liur Atik saat dia memaksakan lidahnya masuk ke dalam mulut wanita Jawa itu, menandainya sebagai miliknya. Ludah yang dimasukkan Egi ke dalam mulut Atik dan dilumurkannya ke sekujur tubuh Atik itu adalah simbol dominasinya, sebuah pengingat bahwa Atik sudah menjadi miliknya, budak seksnya untuk digunakan sesuka hatinya.
"Ooooohhhhh aaaaaaaaaaahhhhhhh Aaaaaaaaahhhhhhhh!" Atik tak henti-hentinya melenguh.
Payudara Atik bergoyang-goyang dengan setiap genjotan yang brutal dari Egianus, rasa sakit dan perasaan didominasi dari cengkeraman Egianus pada tangan Atik hanya menambah kenikmatannya. Mata gelap Egianus menatap tajam ke Atik, tak pernah goyah, seolah menantangnya untuk berpaling. Namun Atik tidak bisa. Dia terpaku oleh kekuatan dan gairah dalam tatapannya. Atik memeluk leher dan bahu Egianus dengan erat, kukunya menancap di punggungnya, meninggalkan bentuk bulan sabit di kulitnya, saat Atik mencapai klimaks berulang kali. Kontol hitam besar Papua Egianus terasa seperti menembus ke dalam jiwa Atik, mengisinya dengan cara yang tidak pernah ia alami sebelumnya. Setiap kali penis itu ditarik, Atik merasakan sedikit kehilangan, hanya untuk kemudian digantikan oleh gelombang kenikmatan baru saat penis itu menghantam memeknyanya kembali.
Orgasme Atik bergulung-gulung, bak gelombang yang tak pernah berakhir yang mengancam akan menenggelamkannya dalam sensasi sensual. Tubuh Atik bukan lagi miliknya sendiri; tubuhnya telah menjadi milik lelaki Papua yang menggenjotnya sambil menggendongnya di udara, mengentotnya dengan kekuatan dan intensitas seekor binatang buas. Pikiran Atik terguncang saat menyadari apa yang tengah terjadi. Ini adalah pengkhianatan, dosa. Namun tubuhnya tidak peduli akan hal itu. Tubuh Atik mendambakan pelampiasan rasa sangenya yang selama ini terpendam dan tidak pernah dipuaskan oleh suaminya yang sibuk, memeknya terus banjir dan muncrat disodok-sodok dengan brutal oleh kontol hitam besar Papua, dan diri Atik semakin menikmati didominasi oleh perlakuan kasar pria Papua yang mengentotnya, suatu hasrat untuk didominasi yang begitu primitif dan kuat. Hasrat wanita terhormat berkulit untuk didominasi oleh pria kulit hitam yang tertindas sebagai bentuk retribusi, pembayaran balik atas penindasan Pemerintah Jawa atas rakyat Papua.
“Ssssssshhhhhh uuuugghhhhhhh oooohhhhh Aaaaaahhhhh” Atik terus melenguh dan mendesah.
Erangan, lenguhan, dan desahan Atik semakin keras, ia semakin putus asa untuk menahan diri dari menampakkan bahwa ia menikmati digenjot oleh pria Papua itu, sementara ludah dan keringat Egianus bercampur membasahi kulit putih Atik, menciptakan lapisan lengket yang hanya menambah intensitas momen itu. Atik bisa merasakannya di mana-mana. Egianus beberapa kali meludah dan mengalirkan air liurnya ke dalam mulut Atik, tangannya meremas-remas payudara Atik, memilin dan memelintir puting susunya. Kedua tangan Egianus bergerak dalam tarian yang sistemik, menggarap kedua buah dada Atik dengan ganas. Tubuh mereka saling beradu dalam simfoni gairah. Tenda itu dipenuhi dengan suara-suara percintaan mereka, "tepukan" pinggul mereka, "plok" kontol hitam besar Papua menghantam memek basah wanita Jawa, "slep slep slep" batangnya yang ditarik keluar masuk dengan RPM tinggi.20833Please respect copyright.PENANAwUNOuuX6o0
20833Please respect copyright.PENANAiy8Hc01202
20833Please respect copyright.PENANAY8WVQxI6C8
Bersambung ...
ns 15.158.61.20da2