![](https://static.penana.com/images/chapter/1624528/bA_PESANTREN.jpg.jpeg)
Sinar sore mentari menembus celah-celah pepohonan di Pondok Pesantren Al-Falah, sinar itu juga menyirami lereng hijau pegunungan dengan cahaya keemasan. Kompleks bangunan ponpes Al-Falah terletak di lereng pegunungan yang landai, dikelilingi hutan pinus dan pepohonan rindang. Bangunan-bangunan sederhana dengan arsitektur tradisional Jawa tersusun rapi, mengikuti kontur tanah. Atap-atap genteng merah berderet, sementara dinding kayu dan tembok putih memantulkan cahaya sore yang lembut.
Ponpes Al Falah didirikan oleh Kyai Hanafi pada awal tahun 2000 an, pesantren yang sebelumnya kecil dan hanya memiliki beberapa orang santri kini telah berkembang menjadi kompleks pendidikan agama yang menampung ratusan santri dari berbagai penjuru daerah.
Semua ini terjadi karena popularitas Kyai Hanafi yang meroket sejak beberapa tahun silam. Undangan mengisi ceramah keagamaan dari radio-radio lokal hingga kemudian merambah ke layar kaca nasional membuat image Kyai Hanafi sebagai tokoh agama ternama terangkat naik. Maka tak heran jika banyak orang tua berbondong-bondong menitipkan anak mereka ke Ponpes Al-Falah agar mendapat pendidikan agama yang baik dan terpercaya.
Awalnya Ponpes Al-Falah hanya menerima santri pria sebagai peserta didiknya. Namun sejak beberapa tahun terakhir Ponpes ini mulai menerima juga santri perempuan. Keberadaan Umi Inayah yang tak lain adalah istri dari Kyai Hanafi sedikit membantu proses ini. Di bawah naungan Umi Inayah dan beberapa ustadzah perempuan lain jumlah santri perempuan di Ponpes Al-Falah dari tahun ke tahun makin bertambah.
Kyai Hanafi yang kini sudah berusia hampir 60 tahun menikah dengan Umi Inayah sejak sepuluh tahun silam. Wanita muslimah yang anggun itu merupakan istri keduanya. Istri pertama Kyai Hanafi diketahui telah berpulang puluhan tahun silam dan dari pernikahan pertamannya tersebut Kyai Hanafi dikaruniai seorang putera yang usianya nyaris sama dengan Umi Inayah bernama Salman Al Fahri dan kini menetap di Jakarta dan berprofesi sebagai staff di sebuah lembaga bantuan hukum di Jakarta.
Sepuluh tahun lalu saat usianya masih 20 tahun, Salman memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Keputusan besar itu dipicu oleh rencana pernikahan Kyai Hanafi dengan Umi Inayah. Salman menilai langkah yang diambil oleh Ayahnya untuk menikahi Inayah adalah kesalahan besar. Bukan hanya karena jarak usia mereka berdua yang terpaut begitu jauh hingga menimbulkan desas-desus banyak orang, tapi juga karena tanpa sepengetahuan Kyai Hanafi, Salman dan Inayah sempat memiliki hubungan spesial.
Sepuluh tahun lalu saat hujan mengguyur deras, membasahi halaman Pondok Pesantren Al-Falah, Salman berdiri di bawah atap serambi mushola, wajahnya tampak cemas. Inayah baru saja keluar dari mushola, air wudhu masih menempel di wajahnya yang pucat.
"Inayah," panggil Salman lirih, suaranya hampir tersapu derasnya hujan. Inayah menatap Salman, matanya berkaca-kaca.
"Gus Salman," jawabnya pelan, menahan isakan.
"Kita harus pergi dari sini, sekarang juga!" pinta Salman, suaranya terdengar putus asa.
"Aku tak bisa membiarkanmu menikah dengan Ayahku."
Inayah menggeleng pelan. Badannya gemetar, bukan hanya karena dinginnya hujan, tapi juga karena beban yang ditanggungnya.
"Maaf, tapi Aku tidak bisa." katanya lirih.
"Kenapa? Kamu tahu, aku mencintaimu. Kita sudah hampir setahun bersama. Aku tak akan pernah meninggalkanmu," desak Salman, langkahnya mendekat.
"Aku juga mencintaimu…" isak Inayah, air matanya mulai membasahi pipi.
"Tapi, keadaan yang memaksaku untuk menerima Kyai Hanafi. Pernikahan ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan keluargaku."
Salman terdiam, kata-kata Inayah menusuk hatinya. Dia mengerti, Inayah adalah gadis baik yang berkorban demi keluarganya. Dia merasa sangat frustasi, tak tahu harus berbuat apa. Bahkan Salman pun masih tak punya planing apapun jikalau Inayah mau mengikuti maunya.
"Kamu pasti berpikir jika aku lebih memilih uang dan kekayaan daripada memperjuangkan hubungan kita.” Inayah melanjutkan, suaranya semakin lirih.
"Aku ingin hidup bersamamu, membangun keluarga denganmu. Tapi aku tak punya pilihan lain. Ini tanggung jawabku sebagai anak." Salman meraih tangan Inayah, merasakan dinginnya kulit Inayah. Air mata membasahi pipinya.
"Tapi kamu tak perlu berkorban seperti ini, Inayah. Ada jalan lain." Inayah menarik tangannya, air matanya membasahi tangan Salman.
"Tidak ada, Salman. Tidak ada jalan lain."
Hujan semakin deras, membasahi mereka berdua. Di tengah hujan, cinta mereka berbenturan dengan kerasnya realita kehidupan. Salman dan Inayah terjebak dalam dilema, di antara cinta dan tanggung jawab, di antara mimpi dan kenyataan pahit. Pada akhirnya Salman lah yang harus mengalah dan merelakan cinta sejatinya dinikahi oleh Ayahnya sendiri.
Tapi Salman bukan tanpa perlawanan, tepat di hari ijab qabul dilaksanakan dia memilih untuk pergi dari komplek Ponpes Al-Falah. Rasa sakit hatinya pada Kyai Hanafi yang menafikan kisah asmaranya bersama Inayah memaksa Salman untuk menjauh pergi dan membuka lembaran hidup baru di Jakarta. Hanya dengan bermodalkan sebuah ijazah Aliyah dan sedikit uang tabungan, Salman berjibaku bersama kerasnya kehidupan Ibukota.
Semua jenis pekerjaan pernah dilakukannya untuk sekedar bertahan hidup dan lepas dari bayang-bayang Kyai Hanafi. Mulai dari pekerjaan kasar sebagai kuli bangunan, pelayan kafe, hingga office boy di sebuah gedung perkantoran dijalani oleh Salman. Hingga di suatu hari dia bertemu dengan Ilham Adyaksa, sahabatnya saat masih mengenyam pendidikan di Aliyah dulu.
Pertemuan tak disengaja itu membawa laju kehidupan Salman mulai berubah. Ilham yang terlahir dari keluarga mapan dan berpendidikan tinggi saat itu sudah memiliki tanggung jawab untuk mengelola sebuah lembaga bantuan hukum. Tak mau melihat sahabatnya menjalani pekerjaan kasar, Ilham mengajak Salman untuk bekerja di LBH yang dia pimpin sebagai seorang staff.
Tak perlu pikir panjang, Salman pun menerima pekerjaan baru tersebut. Tak hanya pekerjaan, Ilham juga mengijinkan Salman untuk tinggal di salah satu rumah miliknya yang hanya berjarak sekian meter dari lokasi LBH. Karena hal inilah, Salman merasa berhutang budi pada Ilham, maka apapun perintah atau permintaan Ilham sebisa mungkin akan dituruti oleh Salman.
Kepergian Salman dari lingkungan ponpes saat acara ijab qabul pernikahan membuat Kyai Hanafi murka. Sejak hari itu dia menganggap Salman sebagai seorang anak durhaka yang tak tau berterima kasih. Celakanya, Salman adalah satu-satunya keturunannya. Selama sepuluh tahun menikah dengan Umi Inayah, pasangan suami istri itu tak kunjung mendapatkan keturunan.
Berbagai cara sudah dilakukan oleh Kyai Hanafi untuk mendapatkan keturunan. Mulai dari pengobatan tradisional hingga pengobatan medis sudah ditempuh pemuka agama tersebut namun tak kunjung membuahkan hasil. Dengan ketiadaan seorang anak maka tongkat estafet kepengurusan Ponpes Al-Falah yang makin berkembang ini dipertanyakan. Apalagi lambat laun usia Kyai Hanafi bertambah uzur termakan zaman.
Situasi semacam ini membuat Kyai Hanafi menjadi stress dan berujung pada penghakiman terhadap Umi Inayah. Kyai Hanafi menganggap istrinya yang berusia muda itu sebagai wanita gagal dan tak bisa memberikannya keturunan. Satu tahun terakhir pernikahan pasangan yang berbeda usia cukup jauh tersebut mendadak jadi dingin dan hambar.
Umi Inayah tak bisa berbuat banyak meskipun hasil medis sudah membuktikan jika perihal kenapa tak kunjung diberikan momongan adalah karena kualitas sperma Kyai Hanafi yang buruk, bukan karena sebab lain. Sebagai seorang muslimah yang sejak kecil dididik ilmu agama di lingkungan pesantren, doktrin istri adalah seorang makmum bagi suaminya melekat kuat di kepala Umi Inayah. Maka apapun bentuk kemarahan Kyai Hanafi pada dirinya diterima dengan lapang dada tanpa ada niat sedikitpun untuk memberontak.
1222Please respect copyright.PENANAysiOMguaFz
***
1222Please respect copyright.PENANA0Ud2cj0ZoC
Suasana sore hari di Ponpes Al-Falah yang semula tenang mendadak terasa mencekam. Hadi, pria berusia 22 tahun yang merupakan salah satu ustadz, melangkah dengan cepat dan penuh amarah. Tangannya mencengkeram erat pergelangan tangan Savina, santri perempuan berusia 17 tahun yang selama ini terkenal bandel di antara para santri lain. Inilah kali ketiga gadis bergigi gingsul itu harus berurusan dengan Ustadz Hadi karena kedapatan mengambil barang salah satu santri lain.
Wajah Ustadz Hadi menegang, rahangnya mengeras menahan geram. Savina mencoba memberontak, namun genggaman tangan Hadi terlalu kuat. Sepanjang koridor pesantren, beberapa santri yang melihat mereka hanya bisa terdiam, membiarkan pemandangan itu berlalu dengan rasa was-was.
"Kali ini kamu sudah keterlaluan, Savina," gumam ustadz Hadi dengan suara rendah penuh penekanan.
Langkahnya semakin cepat, mendorong Savina menuju ruang Kyai Hanafi, tempat di mana segala masalah akan diputuskan untuk mendapatkan solusi. Savina sendiri kini terdiam. Tidak ada lagi sikap membangkang atau senyum nakalnya. Kali ini, ia seperti anak anjing yang tertangkap basah melakukan kesalahan.
Ruang itu terletak di ujung kompleks pesantren, di balik pintu kayu jati yang besar. Saat mereka mendekati pintu itu, jantung Savina berdetak kencang. Setelah Ustadz Hadi mengetuk pintu beberapa kali, pria itu kemudian membuka pintu ruang Kyai Hanafi hingga akhirnya terbuka. Kyai Hanafi duduk di kursinya, wajahnya teduh namun terlihat serius. Matanya menyapu pandang ke arah Hadi dan Savina.
"Ada apa, Hadi?" tanya Kyai Hanafi dengan suara yang dalam.
“Masalah yang sama Kyai, Savina kedapatan mengambil barang santri lain.” Savina hanya bisa menunduk tanpa berani menatap wajah Kyai Hanafi.
“Kali ini apa yang diambil Savina?”
“Beberapa santri melapor kehilangan pakaian dalam dan hijab. Kami sudah melakukan penggeledahan dan menemukan barang-barang itu di lemari Savina.” Ujar Ustadz Hadi menjelaskan. Kyai Salman masih duduk di kursinya, gerak tubuh pria tua itu terlihat sangat tenang dan berwibawa.
"Hadi, sekarang tinggalkan kami berdua. Kamu boleh pergi dan melanjutkan aktifitas." Perintah Kyai Hanafi dengan suara rendah.
Ustadz Hadi terlihat terkejut. Ia ingin memprotes, namun melihat raut wajah Kyai Hanafi yang tak bisa dibantah, ia pun hanya mengangguk patuh. Dengan hati sedikit ragu, Hadi melepaskan genggaman tangan Savina dan keluar dari ruangan, meninggalkan Savina sendirian bersama Kyai Hanafi.
Pintu ruang Kyai Hanafi tertutup dengan lembut, meninggalkan Savina sendirian di hadapan sang Kyai. Ruangan itu terasa lebih sunyi tanpa kehadiran Ustadz Hadi, dan Savina bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang berdegup kencang.
Kyai Hanafi bangkit dari tempat duduknya, langkahnya pelan dan penuh perhitungan. Dalam keheningan, Savina berharap mendapatkan bimbingan dengan ketenangan dan kebijaksanaan yang biasa dimiliki Kyai. Namun seiring dengan pendekatannya, perubahan pada raut wajah Kyai Hanafi membuat jantung Savina berdegup kencang. Ini bukan kali pertama untuknya melihat ekspresi janggal seperti itu.
Sekilas, ekspresi kewibawaan yang sempat menghiasi wajah Kyai Hanafi mulai pudar, berganti dengan raut cabul mesum dan mengerikan, seolah meleburkan semua kehormatan yang seharusnya dimiliki seorang pemimpin keagamaan ternama.
“Kamu tahu, Savina,” suara Kyai Hanafi menggema, namun nada yang diusungnya kini memilukan.
“Kadang-kadang, kita perlu lebih dari sekadar hukuman untuk mengubah seseorang. Terkadang, kita juga butuh pemahaman yang lebih dalam.”
Savina ingin mundur, terasa ada ketakutan yang melanda. Dalam detik-detik berikutnya, dia membayangkan semua waktu yang telah dihabiskan di pesantren, semua pelajaran yang dia terima, dan betapa dia ingin menjadi santri yang baik. Namun, tatapan Kyai Hanafi memberikan aura yang benar-benar berbeda, aura yang bukan seharusnya ia terima dari seorang guru. Sambil menggigit bibir, Savina berusaha mencari kata-kata untuk membela dirinya, meskipun hatinya terasa berat dan berkecamuk.
“Maafkan saya Kyai…” katanya dengan suara tercekat. Kyai Hanafi maju lebih dekat, wajahnya kini tenggelam dalam bayangan.
“Kadang, kita bisa menjadikan kesalahan itu sebagai pelajaran berharga, bukan hanya sekadar untuk dihukum,”
“Ini bukan pertama kalinya kan kamu melakukan pelanggaran? Apakah aku harus mengeluarkanmu dari pondok dan menceritakan semuanya pada kedua orang tuamu?” Lanjut Kyai Hanafi yang makin mengintimidasi.
“Jangan Kyai, saya mohon jangan lakukan itu.”
Savina pantas khawatir jika Kyai Hanafi mengadukan segala macam tingkah buruknya selama jadi santri di ponpes Al-Falah. Savina tak akan kuat mendapat amukan ayahnya yang terkenal begitu keras dalam mendidik. Apalagi jika kedua orang tuanya tau jika selama ini kebiasaannya mengambil barang-barang kecil milik orang lain tak kunjung hilang. Savina tak mau itu semua terjadi.
“Kamu tau kan apa yang harus dilakukan Savina?” Kyai Hanafi makin mendekat ke arah Savina, jarak mereka hanya sekian sentimeter bahkan Savina bisa mencium aroma tembakau bakar dari nafas sang Kyai. Gadis itu takluk dan hanya menurut saat Kyai Hanafi menggandeng tangannya menuju ruangan lain
1222Please respect copyright.PENANANVv6peAQbC
BERSAMBUNG
1222Please respect copyright.PENANAO3OCUPFkc0