“Pergi dari sini!” bentak Eris, salah satu warga di kotaku. Ia sangat menyeramkan karena ia bekerja sebagai seorang algojo di penjara kerajaan kota ini. Itu sebabnya ia sudah biasa melihat darah dan kepala yang terlepas dari badannya, selain itu ia selalu membawa kapak besar kesayangannya. Ia juga selalu memakai baju yang dipenuhi darah para tahanan yang dipenggal kepalanya. Tubuhnya sangat tinggi dan berotot, ia seperti raksasa yang dapat menelan seorang pria dewasa hidup-hidup.
Reflek aku berlari menjauhinya tapi justru itu yang diinginkan warga desa ini. Aku berlari mengarah ke alun-alun, tapi warga desa telah berkumpul di alun-alun dan menutup semua jalan keluar. Di alun-alun yang berhiaskan air mancur dan jalan berbata ini aku dikelilingi oleh warga yang berhasrat untuk membunuhku. “Aku sudah tamat” kalimat yang terus berdengung di kepalaku. Kilas balik kehidupanku berputar dikepala. Semua kesedihan, penderitaan, pertemuan dan perpisahan menampilkan dirinya dalam bentuk ingatan. Hari demi hari aku mencoba membantu setiap orang di kotaku, hari demi hari pula mereka mengambil pisaunya karena wajahku yang buruk rupa serta warga kota ini percaya bahwa siapapun yang dapat memakan daging dan meminum darahku akan dapat hidup abadi. Tentu itu hanya rumor yang dibuat warga kota ini karena mereka tidak suka dengan seseorang yang berbeda dari diri mereka sendiri.
Semua pisau mengarah lurus ke jantungku. Ketakutan melanda diriku, membuat diriku menutup mata untuk menghilangkan ketakutan ini. “Sona!” Aku mendengar teriakan kecil memanggil namaku diantara kerumunan suara orang-orang. Tiba-tiba aku ditarik oleh sebuah tangan kecil, setelah ku buka mataku aku sudah keluar dari desa dan di depanku hanya ada seorang wanita yang sangat manis. Matanya yang bulat dan wajahnya yang mungil menggodaku untuk bertanya “siapa namamu?” Meski wajahku terlihat menyeramkan, memangnya siapa yang dapat tahan dari godaan akan wanita yang manis. Dengan wajah tertegun ia mengatakan “Aku Serin, kamu lupa?” “apa maksudnya lupa? Kita bahkan belum pernah bertemu” ia benar-benar membuatku bingung. “Kita pernah bermain bersama waktu kita masih kecil” jawabnya. “hahaha tak mungkin orang semanis dirimu mau bermain bersama dengan orang berkepala singa seperti aku ini” Aku sedikit mengejeknya, dengan terisak ia mengatakan “dulu kamu tak seperti ini, dulu kamu sangat baik dan membanggakan keadaanmu karena berbeda dari yang lain, mengapa sekarang kamu begini? Mengapa kamu merendahkan diri kamu?” ia berlari sambil menangis. Aku tak tau tempatku berada saat ini, jadi aku mengejar dan memegang tangannya yang mungil itu. Kemudian aku membujuknya untuk jangan menangis lagi, berusaha untuk mengalihkan topik lalu aku bertanya padanya “ngomong-ngomong dimana kita?” dengan wajahnya yang kebingungan ia menjawab “entahlah akupun tak tau.”
Satu hal yang dapat aku simpulkan yaitu “kita tersesat di tengah hutan, jauh dari keramaian”. Aku dan Serin mencoba berteriak minta tolong tapi tak ada seorangpun yang datang. Matahari sudah tak terlihat, ditemani cahaya bulan diantara pepohonan yang menjulang tinggi kami mendengar suara “srek..srek..” suara seseorang berjalan mendekat. Kian lama suara itu semakin menguat, “Siapa disana?!” teriakku. Seorang nenek tiba-tiba muncul dengan jalannya yang membongkok dari arah datangnya suara. Dengan tersenyum halus nenek itu bertanya “kalian tersesat?” kami bahkan belum sempat berkata apa-apa, “bagaimana engkau tau?” tanpa menjawabnya, nenek itu bertanya “ingin ku tunjukkan jalan keluar?” tanpa berpikir panjang kami menjawab “tentu kami mau”, “tapi hari sudah gelap mengapa kalian tak menginap di rumahku dulu?” nenek itu menawarkan rumahnya, setelah dipikir kami bahkan tak memiliki tempat tinggal. Kamipun menerima tawaran nenek itu.
Selama perjalanan ke rumah nenek itu aku bertanya-tanya, apa yang ia lakukan di hutan itu. Tanpa sadar kami telah sampai di rumahnya, sebenarnya aku mendapat perasaan buruk dengan nenek ini karena sedari awal aku mencium bau darah dari nenek ini, selain itu rumahnya juga terlihat sangat tua dan banyak tanaman menjulur mengelilingi rumah itu. Nenek itu menunjukkan kamar kosong untuk aku dan Serin tidur. Setelah nenek itu menutup pintu tiba-tiba terdengar suara “cklek”, sontak kami mengedor-gedor pintu itu. Kami menerawang tapi tak ada jalan keluar selain dari pintu itu. Beberapa saat setelahnya, nenek itu kembali membuka pintu itu kami langsung berlari untuk kabur tapi telah tersedia panci yang sangat besar yang seperti digunakan penyihir di dalam film-film dan pisau yang besar digenggam oleh nenek itu membuat kita menghentikan langkah kita.
Nenek itu menarik tanganku dan berkata “daging dan darah mutan segar dapat membuatku abadi, dengan tambahan sedikit bumbu aku dapat bertambah cantik hihihi telah lama aku menunggu saat seperti ini.” Tak menunggu lama nenek itu telah mengarahkan pisau besar yang digenggamnya ke leherku. Tapi Serin mendorong nenek itu, pisaunya terlempar kebelakang dan mengenai leher Serin sendiri, seketika ia tewas.
Ku gigit tangan nenek itu, darahnya dan darah Serin bercampur. Banyak darah yang menggenang di lantai, membuatku mulai mual dengan baunya. Tangan nenek itu terlepas dari tubuhnya, nenek itu mengerang kesakitan dan darahnya mengalir deras bagai sungai darah yang alirannya tak akan pernah berhenti. Seketika nenek itu meninggal karena kehabisan darah.
Aku melarikan diri dengan menangis menyesali kematian Serin yang kutinggal di dekat rumah nenek itu, aku tak dapat membawa mayat Serin karena aku masih harus melanjutkan perjalanan tanpa arah ini. Aku menguburkan mayat Serin di dekat rumah nenek itu, karena aku tak dapat pergi jauh dengan membawa mayatnya. Aku berjalan tanpa arah, di depanku, aku melihat sosok sepasang kekasih dalam bayang-bayang yang mengingatkanku pada ayah dan ibuku. Hal yang paling aku ingat dari orang tuaku adalah saat mereka meninggalkanku di sebuah gereja kecil. Seorang pastor merawatku hingga aku dapat tumbuh sebesar ini, namun pastor itu dihukum mati karena telah merawat dan membesarkanku. Karena diriku ini seorang pastor dihukum mati.
Saat sedang memikirkan masa laluku yang kelam itu, sebuah burung merpati menghampiriku dengan membawa sepucuk surat yang bertuliskan “Tahan nafasmu selama 3 detik dan kau akan tiba diperjamuan makan malam kerajaan Bisor”. Apa ini? Memangnya ini kota sihir?, tapi karena telah kelaparan aku mencoba menahan nafasku, tidak ada salahnyakan? Hanya menahan nafas saja. Tapi bukannya aku duduk di meja makan, aku berpindah ke sebuah panci besar. Aku ditipu oleh raja Bisor yang ingin memakanku hidup-hidup. Aku tenggelam di dalam panci yang besarnya seperti salah satu ruangan di kerajaan ini yang dipenuh rempah-rempah. Semua ingatan dan masa laluku berubah menjadi air mata yang bercampur dengan air berempah ini, semuanya menjadi sunyi didalam air ini aku menutup mataku didalam kegelapan ini indra telinga mulai menajam. Sesaat sebelum kematianku aku mendengar sang koki terisak, entah apa yang membuatnya menangis. Tubuhku mulai tak dapat merasakan apapun. Semua yang telah kulalui akan berakhir di perut raja itu.
Tangisan sang koki memberiku sedikit harapan untuk ingin hidup kembali, harapan itu mulai bertambah seiring dengan isakan sang koki dan itu membuat jantungku mulai berdetak kembali setelah berhenti sesaat sebelumnya, tangisannya membuatku penasaran “mengapa ia menangis?”. Aku membuka mata, dan berusaha keluar dari panci ini. Memang sedikit sulit tapi akhirnya aku berhasil. Ku lihat wajah koki itu, wajahnya benar-benar merah karena menangis. Tapi wajahnya benar-benar tak asing, yang membuatku teringat pada seorang pria yang membuangku bersama istrinya. “Anakku, tolong maafkan ayah nak” kalimat yang keluar dari mulut koki itu, membuatku tak perlu bertanya-tanya lagi. Sejenak kemarahan dan dendam membuatku ingin mengamuk, tapi wajahnya yang bersedih benar-benar menhilangkan amarahku. “dimana ibu?” aku tidak menjawab permintaan maafnya karena dendam yang telah lama ku pendam ini. Dengan terisak ia menjawab “Dia menikah dengan lelaki lain yang lebih kaya dari ayah.” Ditengah pebincanganku dengan ayah, salah seorang raja yang sangat gendut memasuki dapur dan berteriak “mana makanannya, aku lapar sekali” membuatku dan ayah terkejut. Bangsawan itu mendapati aku tak mati dan menjadi makanan. Tanpa berpikir panjang aku lari lewat pintu belakang, ditengah pelarianku aku menengok kebelakang, ternyata ayah mengikutiku “tunggu! Ayo pulang ke rumah ayah, nak” teriaknya dari belakang. Membuatku berhenti tiba-tiba, kemudian kami berlari ke rumah ayah karena kami dikejar oleh para pengawal kerajaan.
Ayah tinggal dirumah yang terbuat dari kayu. Ia sangat baik kepadaku, bahkan dimalam hari saat waktunya untuk tidur ia membiarkanku tidur di sampingnya. Aku bangun dipagi yang cerah, membantu ayah mengurus pekerjaan rumah tangga. Ayah telah keluar dari pekerjaannya jadi ia harus mencari pekerjaan yang baru. Seiring ia mencari pekerjaan, aku menjalani hari yang damai bersama ayah. Rumah ayah agak terpencil dari masyarakat. Membuatku beharap hari-hari ini tak pernah berakhir. Tapi apa daya setelah ayah menemukan pekerjaan ia harus pergi pagi dan pulang malam. Hal ini berulang tiap harinya dan tahun-tahun telah berlalu. Ayah semakin menua, ia meninggal karena umurnya yang sudah tua. Waktu kebersamaan aku dengan ayah yang sebentar itu akan selalu ku ingat dalam pikiranku.
Tiba-tiba sebuah kapak melesat dari belakang, saat ku lihat dari arah datangnya kapak itu ternyata yang terlihat adalah seorang yang sangat aku kenal. Ia adalah Eris, algojo itu memang tak ada hentinya. Ia bahkan sampai mengikuti ku ke sini yang seketika membuatku merinding karena selama ini seorang algojo dengan kapak besar mengikutiku dimanapun aku berada. Kurasa karena pekerjaannya, ia menjadi seorang psikopat sekarang. Ia mendatangiku, kakiku sudah tak mampu bergerak saking ngerinya dan bertahun-tahun aku tak merasakan kengerian ini. Selama ini aku hidup damai bersama ayah. Aku menikmati kehidupanku tanpa berkomunikasi dengan orang lain selain ayah.
Eris memegang kepalaku dengan sangat kuat, rasanya seperti ia akan memecahkan kepalaku. Ia mengayunkan kapak besarnya ke leherku, tapi sebuah batu mengenai kapaknya yang membuat ia berhenti dari ayunannya. “Siapa itu? Yang berani menimpuk kapak kesayanganku dengan batu” teriaknya bersamaan dengan ia melepaskan kepalaku. Tiba-tiba seseorang muncul mengambil kapak Eris yang sangat besar itu dan melemparkan kapak itu ke leher Eris sendiri, hal itu terjadi dalam sekejap. Tubuh pria itu tak sebesar Eris bahkan tubuhnya terlihat lebih kecil dariku, Ia memakai jubah yang menutupi seluruh tubuhnya selain itu topeng yang ia pakai sangat menyeramkan seperti topeng yang dipakai organisasi gelap. Ia membalikkan badannya dan menatapku dengan sangat tajam dibalik topengnya itu, rasanya aku diselimuti kekuatan kegelapan. Tatapannya membuat wajahku membiru dan nafasku berhenti seperti ada yang mencekikku. Entah apa yang ia lakukan pada mayatku.
ns 15.158.61.8da2