[ Kota Mondstadt; Musim Panas ]
Ada seorang perempuan memakai pakaian putih bercampur biru, memakai topi dan berkacamata bulat. Ia sepertinya sedang terburu-buru menuju ke suatu tempat.
Dok-dok-dok
Ia mengetuk pintu rumah seseorang.
“Uuh… kemana sih dia? Apa masih belum bangun…?”
Lalu gadis berambut hijau itu mengetuk sekali lagi.
Dok-dok-dok
“Hoaaamm….”
Seorang perempuan berambut hitam keunguan panjang bangun dari tidur lelapnya.
“Siapa sih pagi-pagi gini bertamu…?” ucap perempuan yang rambutnya acak-acakan itu.
Tapi dengan terpaksa, ia membangunkan diri dan berjalan menuju ke pintu rumah masih mengenakan piamanya. Kemudian ia membuka pintu.
“Siapa…?” ucapnya dengan wajah tampak berantakan.
“Mona…! Kenapa kamu baru bangun?!”
“Oh, Sucrose… ada apa emangnya…?”
“Hari ini ada perayaan ulang tahun Barbatos, loh! Bukannya kamu yang jadi pembicara pembukaannya??”
“Hah?” Mona melongo sejenak. “EEEHH…!! WADUH AKU LUPA!!!”
Sucrose langsung menghela napas panjang.
“Oke, aku akan segera kembali!! Kamu tunggu di sini dulu, Sucrose!!”
“Kalau sudah nanti langsung ke alun-alun, ya!”
“Ya!!”
Dengan begitu Mona bergegas menuju ke kamarnya dan langsung berganti pakaian kebanggaannya. Tak lupa ia mengenakan topinya yang amat lebar itu.
“Aku sudah siap, Sucrose!”
“Oke, kita langsung bergegas ke alun-alun.”
“Yo!”
Di alun-alun kota, sudah ada banyak sekali penduduk yang tak sabar menantikan acara selanjutnya. Tidak hanya diramaikan oleh penduduk saja. Di sana sudah ada banyak sekali kios-kios yang sudah didirikan dan beberapa ada yang sudah mulai menjualkan dagangannya kepada para penduduk kota. Beberapa tenda, meja dan kursi sudah disediakan juga. Namun dikarenakan Mona terlambat untuk mengisi pidato pembukaan, jadinya beberapa dari penduduk ada yang sudah merasa bosan dan pergi menyingkir ke arah kios untuk jajan.
“Mona ini, di mana sih orangnya?! Padahal sudah jam segini gak datang-datang!” ucap seorang laki-laki yang sudah berdiri di belakang patung Barbatos. Mungkin dia adalah ketua panitia.
“Tunggu saja dulu, mungkin dia sedang bersiap-siap berpakaian,” balas seorang perempuan yang berdiri di sebelahnya.
Lalu beberapa detik kemudian, Mona akhirnya sampai juga dan langsung menemui laki-laki tersebut.
“Maaf… aku terlambat, Ketua.”
“Ke mana saja dirimu, Mona??”
“A—Aku… bangun kesiangan….” Wajahnya kelihatan sedih.
“Hahh… kamu ini…. Ya sudah, langsung naik ke podium saja.”
“Oke, Ketua.”
Mona naik ke atas podium tepat di depan patung Barbatos. Berhadapan langsung dengan para penduduk. Kemudian pidato pembukaan acara dikumandangkan dengan penuh semangat. Untung saja semua penduduk tampak bersukacita, karena yang menyampaikan pembukaan adalah Mona. Tak hanya itu, Mona juga sedikit melakukan atraksi air membentuk rasi-rasi bintang. Hitung-hitung sedikit menghibur orang-orang yang sudah mulai merasa bosan, agar mereka dapat kembali ceria.
Selesai berpidato, acara selanjutnya diserahkan oleh panitia lain untuk mempersiapkan beberapa lomba dan penampilan seni. Mona kembali ke belakang patung.
“Kamu sedikit menghibur para penduduk, ya?” ucap Sucrose dengan wajah cukup senang.
“Iya, dong…. Gimana penampilanku tadi?? Cukup menghibur, kan??”
“Yahh… lumayan…. Soalnya tadi aku juga diberitau kalau beberapa di antara mereka sudah mulai bosan.”
“Iya, aku juga tau itu, Sucrose. Mataku ini sangatlah tajam…. Makanya aku kasih hiburan sedikit.”
“Wahh… ternyata kamu sudah mempersiapkan sebelumnya, ya?”
“Yah, enggak juga, sih…. Di saat itu juga, aku langsung kepikiran buat menghibur aja, hehehe….”
“Ooh… tapi kamu sudah bisa mengontrol keadaan mereka, Mona. A—Aku… kalau disuruh bicara di depan orang banyak, aku masih belum sanggup.”
Mona sedikit menepuk pundak Sucrose.
“Tidak usah berkcil hati, Sucrose. Tak masalah kalau kamu tidak bisa bicara di depan orang banyak. Kan tiap-tiap orang pasti punya kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Jangan paksakan dirimu untuk berbicara di depan banyak orang.”
“Hehe… makasih banyak, Mona.”
“Huum, sama-sama.” “Oh iya, Sucrose… yuk kita ke kios jajanan!”
“Oke!”
Tapi belum setengah berjalan, Mona teringat akan sesuatu.
“Oh iya… Sucrose….”
“Kenapa, Mona?”
“K—Kayaknya… aku harus kembali dulu ke rumah, deh….”
“Ooh… mau mandi?”
“Hei, jangan keras-keras…!”
“Oh, oke-oke… kalau gitu aku tunggu di kios sosis bakar, ya?”
“Di mana itu?”
“Di sana!”
Sucrose menunjuk ke salah satu kios yang ada di sebelah selatan berdekatan dengan tangga. Di sana yang menjaga kiosnya adalah Eula dan Amber.
“Oke, Sucrose. Kamu tunggu di sana aja.” “Aku akan segera kembali!” ucapnya sambil berlari menuruni tangga.
Ketika sudah dekat di rumah tinggalnya, Mona bertemu dengan Lumine di situ.
“Eh, Mona? Kenapa kamu lari-lari begitu?” tanya Lumine dengan heran. Ia sambil membawa dompet kecil pada tangannya.
“Oh, Lumine…? A—Ada barang yang ketinggalan di dalam. Aku harus mengambilnya, ehehe….”
“Oh, begitu?”
“Iya. Ngomong-ngomong… kenapa kamu sendirian, Lumine? Kamu mau ke alun-alun, kan?”
“Iya. Aku datang duluan, kok. Yang lainnya pada menyusul. Lagian beberapa dari teman kita kan sudah ada yang menjaga kios, jadinya mereka sudah ada di sana pagi-pagi.”
“Ooh… oke, aku masuk dulu ya, Lumine.”
“Tadi kamu habis dari sana, bukan?”
“I—Iya, sih….”
“Ooh… oke-oke…. Aku tunggu juga di alun-alun ya, Mona!”
“Siap, Lumine!”
Saat Lumine berjalan dari hadapannya, Mona dengan cepat masuk ke dalam rumah dan menuju ke kamar mandi.
“Huehh… utung aja gak ada yang menyadarinya…,” ucapnya sambil berendam di dalam batuh tub. “Sebenarnya aku mau tidur lagi, sih… tapi aku gak enak sama Sucrose dan yang lain…. Huh, kenapa aku harus jadi pembawa pidatonya, sih? Padahal kan bisa dilakukan sama ketua atau panitia yang lainnya…?”
Mona menguap lagi.
“Ya sudah lah, aku gak boleh berlama-lama di sini!”
Ia bersemangat untuk mandi. Dan sesudah sekian menit, ia kembali memakai pakaian kebanggaannya dan langsung keluar dari kamar mandi. Lalu ia bersegera kembali ke alun-alun kota.
“Hai…! Kak Mona!!”
Sapa Klee yang datang bersamaan dengan Aether, Fischl dan juga Noelle. Mereka semua pun menyapa Mona dengan senang.
“Apa kamu juga mau ke alun-alun, Mona?”
Aether sembari datang menghampirinya di depan rumah.
“Iya, dong… aku sudah berpenampilan rapi begini sayang kalau tidak ke alun-alun….”
“Kalau gitu, ikut kami aja.”
“Hoo… oke baiklah, Aether!”
Mereka semua jalan bersama dan menuju ke kios milik Eula dan Amber untuk menghampiri Sucrose. Rupanya Sucrose sudah ditemani oleh Lumine, Jean dan juga Barbara.
“Halo semuanya…!” sapa Mona dengan ceria.
“Halo juga…. Ternyata kamu datang bersamaan kalian, ya?” tanya Jean kepada Mona.
“Iya betul, Master Jean.”
“Bukannya tadi… kamu sempat pidato di awal ya?” tanya Barbara heran.
“Eh?” Mona langsung kaget. “I—I—Itu… emang iya, sih… tapi aku sempat pulang dulu karena ada barang yang ketinggalan, hehe….”
“Ooh… begitu…,” tanggap Barbara kembali.
Tetapi Sucrose tampak tersenyum sedikit mengejeknya. Mona langsung mengerutkan dahinya kepadanya, dengan arti untuk menyuruh Sucrose diam dan jangan sampai dikasih tahu ke siapapun.
“Oh, aku kira tadi kamu barusan mandi dan langsung mau ke sini,” ucap Aether dengan polosnya.
Jleb!
Mona langsung merasa tertusuk.
“Hehe… sudah kukatakan tadi aku mengambil barang yang ketinggalan.”
“Barang apa memangnya?” tanggap Fischl.
Mona langsung berpikir keliling buana. Ia sempat terdiam sejenak
“A—Anu… barang bawaanku yang biasa aku bawa, kok.”
“Apa itu?” tangkas Fischl kembali.
“Umm… itu… dometku! Ya, dompetku, ehehe…!”
Sepertinya Mona memang tak pandai berbohong. Namun Fischl dan yang lain tak menyadarinya kalau Mona sedang mengarang. Tetapi Lumine dan Aether tampak curiga. Sucrose yang melihatnya pun juga kelihatan gelisah. Ia menghela napas lagi.
Selanjutnya mereka semua memesan sosis bakar yang dimasak oleh Amber dan juga Eula. Amber membakar sosis untuk pesanan teman-temannya, sedangkan Eula bagian membakar untuk pesanan orang lain.
“Ini sosisnya, Mona.” Amber memberikan sosis bakar dengan piring kecil.
“Terima kasih, Amber. Berapa ini?”
“Cukup 800 mora aja.”
“Oke.”
Mona mengambil dompetnya dari kantung ‘ajaib’. Kemudian ia membukanya. Namun begitu dilihatnya, Mona seketika terkejut.
“Dompet memang sudah kubawa sejak dari tadi. Tapi kenapa…”
Wajah Mona kelihatan melas sekali. Soalnya di dalam dompetnya, hanya ada 200 keping mora saja.
“Kenapa, Mona?” Amber sampai bingung dengan mimik muka Mona.
“Kayaknya… aku harus berhutang dulu padamu….” Mona menatap melas Amber.
“Heee….” Amber pun mengernyitkan dahinya.
“M—Maafkan aku, Amber….”
“Y—Ya sudah… biar aku yang mengatasinya. Kamu makan aja sosis ini gapapa.”
“Maafkan aku….” Mona tertunduk lesu.
Tetapi Aether yang melihatnya tidak tega. Lalu dirinya beranjak dari tempat duduknya dan datang menghampiri Mona.
“Ini 800 moranya.”
“Eh? Untuk apa, Aether??” Amber pun terheran.
“Buat sosisnya Mona.”
“Aether… t—tidak usah!” Mona menjawab dengan malu-malu sambil muka tertunduk.
“Kenapa? Apa aku gak boleh membantu orang yang sedang berkesusahan?”
Jleb!
Kata-kata Aether yang terus terang itu membuat Mona tertusuk tajam. Mukanya malah semakin lemas menanggung malu.
“Tapi…”
“Santai saja, Mona. Ini niatanku sendiri, kok. Karena aku juga tau keadaanmu, Mona….”
Senyuman Aether membuat hati Mona berbunga. Ia jadi ikut senang.
“A—Aether… maafkan aku sudah merepotkanmu…. Tapi aku juga berterima kasih, ya….” Mukanya sampai sedikit memerah.
“Sudah kubilang santai aja, kok.”
“Okelah! Uang ini aku terima, jadi sudah kuanggap lunas. Kamu gak perlu membayarnya lagi,” ucap Amber kepada Mona.
“Sekarang nikmati saja sosis pesananmu, Mona,” ucap Aether dengan senyum ramah.
“I—Iya! Selamat makan!”
Mona kembali bersemangat, sampai benar-benar memakan sosis tersebut dengan lahap.
“Dia ini… antara lapar atau saking laparnya??” ucap Aether dalam hati.
“Mona itu… kenapa dia selalu begitu, Amber?” tanya Eula bertanya pelan.
“Bukan begitu, Eula. Aku sih memang belum pernah main ke tempat tinggalnya. Jadi aku kurang begitu tau dengan keadaannya aslinya. Tapi dari yang kudengar lewat Aether dan Lumine, Mona itu memang membutuhkan dukungan secara finansial. Soalnya dia sejak kecil sudah ditinggal oleh kedua orangtuanya.”
“Oh, ya? Baru tau aku.”
“Ya. Kadang… aku cukup bersimpati dengannya, sih….”
“Bukannya dulu kamu seering membantunya, ya?”
“Tak lain dan tak bukan kalau menutupi soal hutangnya. Terutama soal makan. Sebenarnya dari dulu aku ingin sekali membantunya lebih dari hal itu. Hanya saja aku juga sedikit terkendala soal keadaan finansialku. Gaji dari Favonius sendiri… ah, kamu pasti tau, kan? Hasilnya tidaklah seberapa.”
“Tapi ada komisi dari serikat juga, iya kan?”
“Iya memang, sih… hanya saja… semuanya tetap diatur oleh Master Jean sendiri. Hasil pemasukan dan pengeluaran dari serikat pun harus melalui Master Jean, bukan dari ketua serikat ataupun dari ketua tim petualang. Semua sudah ada jatahnya masing-masing. Aku sebagai Ksatria Favonius, tidak bisa mendapatkan hasil sebanyak dari para petualang independen. Mereka mendapatkan hasilnya dari jerih payahnya sendiri, sedangkan kami para Ksatria Favonius, seperti pekerja buruh bulanan.”
“Ooh… ternyata begitu….”
“Kenapa nadamu agak-agak gimana gitu, Eula? Apa kamu mencurigai kami para ksatria?”
“Enggak, bukan gitu maksudnya. Yang penting kalau kamu mau membantu Mona, sebaiknya kamu pikirkan caranya bersama-sama. Jangan hanya dirimu saja. Pasti ada orang lain yang juga berpemikiran sama denganmu.”
“Gimana kalau kamu saja yang ikut membantuku, Eula? Bukankah kamu dari keluarga ternama?”
“Aku?” Eula terkekeh sedikit. “Apa kamu sedang pura-pura tidak tau, Amber? Nama keluargaku ini dibenci oleh semua orang yang ada di kediaman Favonius, bukan? Jadi aku tak bisa membantumu, apalagi dalam hal keuangan.”
“Kenapa harus terhubung dengan nama keluargamu? Bukan itu maksudku, Eula…. Kamu bisa ikut membantuku atas nama pribadimu sendiri. Ketika Mona terbantu oleh dirimu, maka tidak heran kalau yang membantunya adalah dirimu, karena kamu berasal dari keluarga ternama, begitu, Eula.”
“Ooo… jadi kamu mau memanfaatkanku karena aku terlahir dari keluarga terpandang untuk membantu Mona, begitu?”
“Uhh… aku gak pernah bilang dengan kata ‘memanfaatkanmu’, Eula. Kamu jangan sembarangan mengucapkannya.” “Sudahlah, kalau kamu gak bisa membantu ya tidak masalah. Aku akan cari orang lain saja.”
“Lebih baik kita fokus jualan dulu aja sekarang ini, oke? Tuh, sudah banyak orang yang menuju kemari, Amber.”
“Hedeh… kamu sengaja mengalihkan pembicaraan kita.”
Pada malam harinya, beberapa kios sedikit berkurang karena area dipakai untuk perlombaan. Salah satu kios yang tadinya di siang hari tidak ada, saat itu muncul untuk menjual berbagai macam camilan. Salah satu yang menjadi andalannya adalah fried egg pancake. Telor yang digoreng, diberi bumbu, diberi sayur, diberi potongan daging tipis-tipis, lalu dibungkus dengan adonan panekuk. Cara makannya harus hati-hati, kalau tidak semua isinya akan jatuh. Memang agak ribet cara makannya, tetapi rasanya sangat menggoda selera makan. Beli satu mungkin tidak cukup.
“Mona, apa kamu mau satu?” tanya Lumine sembari berjalan menuju kios itu.
“Aah… kayaknya engga usdah, deh….”
“Gapapa… aku yang bayarin, kamu tinggal bilang aja.”
“Yah, enggak usah, Lumine… lagian aku masih agak kenyang, hehehe….”
“Jangan begitu, Mona….”
Lumine memegang tangan Mona dan menariknya mendekat.
“Ayo, mau camilan yang mana? Pilih sesuka hatimu.”
“Beneran gapapa?”
“Mau aku bilang berapa kali, Mona?”
“Eh? U—Umm… oke… aku pilih ini aja.”
Mona memilih fried egg pancake yang terpajang di depan meja kios tersebut. Lumine juga memilih yang sama.
“Berarti dua fried egg pancake, ya?”
“Iya, Noelle.”
“Ditunggu, ya….”
Rupanya yang memasak adalah Noelle. Sepertinya dia jago masak. Namun tentu saja dia tidak sendirian. Dia ditemani oleh seorang perempuan lain yang juga sepertinya cakap sekali dalam memasak. Mona dan Lumine duduk sambil menunggu fried egg pancake mereka datang.
“Mona… ada yang ingin kutanyakan padamu….”
“Oh? Soal apa, Lumine?”
“Kalau soal uang, kenapa kamu masih merasa sungkan dengan kami semua? Bukannya aku dan Kak Aether pernah bilang, jangan sungkan untuk berkata pada kami, karena kami pasti akan membantumu.”
“Justru itu masalahnya, Lumine…. Aku gak mau menaruh masalah pribadiku kepada kalian…. Meskipun kalian merasa tidak apa-apa, tetapi ini tetaplah masalahku yang harus aku atasi sendiri. Bukan berarti aku menolak atau meragukan kalian. Tapi aku harus menghadapinya sendiri.”
“Aku juga tau yang kamu maksudkan. Tetapi kami semua sudah sepakat untuk membantumu dalam hal keuangan, kan? Dan kamu juga sudah menyetujuinya. Kalau kamu sampai gak bisa makan berhari-hari, bukannya kami juga ikut sedih? Kami sudah saling setuju kalau memang kamilah yang akan terus menyediakan keuanganmu, Mona.”
“Tapi…” Mona sedikit menunduk, “ini bukanlah suatu hal yang paling aku inginkan. Jujur saja… aku ingin keluar dari masalah keuangan ini dengan tanganku sendiri. Aku ingin lebih menghasilkan uang dari jerih payahku sendiri. Selama aku masih hidup di dunia ini, aku tidak mau menyerah. Aku masih berjuang untuk mewujudkan penelitianku agar dapat mengetahui kebenaran tentang dunia ini. Hanya saja sekarang aku mengerti… uang memang bukanlah segalanya, tetapi segalanya masih membutuhkan uang.”
“Apa benar begitu? Apa segalanya benar-benar membutuhkan uang?”
Mona menatap heran ke wajah Lumine.
“Kenapa dengan pertanyaanmu itu, Lumine?”
“Ini dua fried egg pancake-nya… Senior Lumine, Senior Mona.”
Noelle datang membawa pesanan mereka berdua.
“Ya, makasih banyak, Noelle,” balas Lumine dengan senyum manis.
“Huum, sama-sama. Aku kembali dulu, ya? Silakan dinikmati.”
“Mona, tadi gimana?” tanya Lumine.
“Ah, lupakan saja.” “Lagipula… aku bakalan gak bisa jawab pertanyaannya.” Mona sengaja berbisik pelan.
“Hm? Apa yang kamu gumamkan?”
“Y—Y—Yah, gada apa-apa, kok. Lupakan aja soal tadi, hehehe….”
“Hmm….”
“Kita nikmati ini dulu, Lumine….”
“Oke, Mona.” Lumine pun tersenyum dengan sengaja.
Sebenarnya Lumine tahu apa yang digumamkan Mona. Namun ia tidak ingin memecah konsentrasi Mona saat sedang enak-enaknya menikmati camilan fried egg pancake.
“Ooh… ternyata Noelle ikut berjualan di sini, ya…?” sapa Amber dengan dua orang mengikutinya dari belakang.
“Iya, Amber…. Oh ya, bukannya tadi siang ada Senior Eula?”
“Oh, dia sedang ada urusan di rumahnya. Katanya, sih… tapi persisnya aku gak tau….”
“Tadi aku sempat lihat dia pergi ke Angel’s Shire, sih,” ucap Barbara yang berada di dekatnya.
“Nah, ya kan…. Padahal sudah kuperingatkan untuk tidak terlalu banyak minum untuk tiga hari ini. Tapi tetap aja.”
“Memang kenapa, Amber?”
“Takutnya besok pagi sampai siang, dia enggak kuat, pusing, terus dia ‘melarikan diri’ dan membiarkanku sendirian berjualan. Diambil dari pengalaman tahun lalu.”
“Asalkan dia gak terlalu banyak minum aja,” respon Sucrose yang juga ikut dengan Amber.
“Makanya aku sampai bilang ke Diona agar dia dapat mengajak ‘paksa’ Eula buat minum di tempatnya. Cat’s Tail kan lebih ringan.”
“Iya juga, sih…,” tanggap Noelle.
Setelah Amber, Barbara, Sucrose pesan, mereka pun kumpul bersama dengan Mona dan Lumine. Mereka saling membahas soal fried egg pancake buatan Noelle yang sangat enak sampai membuat mereka mabuk kepayang—karena saking enak dan lembutnya. Kemudian Noelle menceritakan kenapa dia membuat camilan tersebut dan bisa membuatnya. Itu dikarenakan Noelle memang berniat untuk membuat sesuatu yang baru dalam hal memasak. Ia meminta saran kepada Aether dan Jean yang kemudian beralih kepada Diona agar dapat menolongnya untuk mengajari cara membuat adonan dari bahan-bahan yang ada di samping Sara, sang pemilik kedai Good Hunter, yang memberinya bahan-bahan masak sekaligus melatih Noelle agar dapat membuat pancake dengan baik dan benar. Lalu mereka semua beralih bercerita tentang acara perayaan ulang tahun Barbatos, perlombaannya, dan hal lainnya. Inti topiknya adalah girls talk.
Sementara di Angel’s Share…
“Eula, hentikan minummu itu!! Aku sudah dipesankan Amber agar dirimu enggak minum terus…! Kalau mau minum di tempatku aja, ayo…!”
Diona bersikeras menyeret tangan Eula agar beranjak dari tempat duduknya. Namun karena tubuh Diona kecil, tentu saja dia tidak kuat.
“Diona diamlah sebentar…. Kenapa sih kucing ini susah amat buat diam?” Sepertinya Eula sudah mulai mabuk.
“Kucing kepalamu itu! Ayo Eula, cukup minumnya…!” Diona masih berusaha untuk menggerakkan badan Eula.
“Diona, biarkan saja dia. Kalau emang kamu ingin menyeretnya, pakailah peralatanmu saja,” ujar Diluc dengan santai.
“Peralatan yang mana?” “Oh, benar juga!” Tiba-tiba saja Diona teringat sesuatu.
Kemudian, Diona mengambil shaker yang selalu ia bawa di samping celananya. Ia memberikan sedikit ‘ramuan’ yang diambil dari tas kecilnya. Lalu dikocoknya bersama dengan air putih yang didapat dari Diluc.
Srek-esrek-esrek
“Eula, minumlah ini!” Diona memberikan shaker tersebut padanya.
“Apa ini?”
“Botol pengocok.” “Yang dilihat isinya, kali! Cepetan diminum!”
“Iya, iya.”
Eula akhirnya mau merespon tindakan Diona. Saat ia sudah meminumnya, lima detik kemudian…
“Eh? Kok kenapa… penglihatanku—”
Bruk!
“Oi, Diona, apa ini maskudnya?” ucap Kaeya yang terkejut melihat Eula terjatuh.
“Ehee~” Diona sedikit menyeringai. “Ini adalah ‘ramuan’ andalanku.”
“Ramuan apaan? Apa kamu emang berencana mau ‘membunuh’nya?” sahut Rosaria yang tadinya duduk di sebelah Eula.
“Yap! Membunuh dalam arti dia tertidur lelap.” “Ramuan yang aku buat ini adalah campuran bunga es, daun mint, serbuk sorbitol, dan air. Efeknya adalah memberikan rasa kantuk yang sangat berat sehingga membuatnya tak dapat melek lagi. Rasanya ingin cepat tidur di detik itu juga.”
“Diona emang beda. Bisa mencampurkan segala macam ramuan yang tak masuk akal sekalipun.”
“Ucapanmu itu mengejek atau sedang memujiku, Kaeya?”
“Terserah kamu mau anggap yang mana.” Kaeya sambil menyampingkan kedua tangannya.
“Lalu, tubuhnya ini mau kamu ke mana kan?” tanya Diluc.
“Eeee… sepertinya aku harus butuh bantuan.”
“Hmm….” Gumam Diluc.
Dan pada akhirnya, Rosarialah yang memanggul Eula sampai ke tempat Diona, yaitu Cat’s Tail. Lagipula Diona juga dipesankan oleh Amber agar Eula dapat beristirahat sementara di rumahnya, di rumah Diona.
“Terima kasih bantuanmu, Rosaria. Kapan-kapan akan aku traktir minuman baruku.”
Rosaria membaringkan Eula di atas tempat tidur di dalam sebuah kamar.
“Minuman baru? Ehe, sesukamu saja mau diberi apapun darimu akan aku terima dengan senang hati, Diona.”
“Oke! Aku akan memberimu ramuan baru dari minuman spesialku. Kalau aku sudah berhasil membuatnya, akan aku undang dirimu.”
“Aku nantikan.” Rosaria sambil berjalan membuka pintu. “Oh ya, jangan lupa, ajak Mona kalau bisa.”
“Oh? Mona?”
“Akan aku beritahu kalau sudah tiba harinya.”
Jeglek
Rosaria langsung menutup pintu tanpa ada kata-kata pamit. Namun Diona tak mempermasalahkan.
“Tumben dia menyebut Mona. Apa akhir-akhir ini Mona sering minta tolong padanya? Hm, sudahlah, yang penting saat ini…” Diona memandang dengan seksama tubuh Eula yang tertidur di atas petiduran, “hehh… tidurnya nyenyak sekali. Berarti daya alkohol di dalam darahnya sangatlah banyak. Kalau gitu aku bisa terus-terusan memberinya ramuan ‘Putri Salju’ ini padanya.” Diona sambil mengangkat shaker miliknya tersebut.
“Atau tidak… aku bisa menjadikannya kelinci percobaan, eheheee…!”
Diona kelihatan senang sekali dengan kata-katanya sendiri sambil memandang wajah Eula.
Keesokan paginya, Mona sudah sibuk dengan penelitiannya di dalam kamarnya. Karena dia seorang astrolog, rasi-rasi bintang berpendar melingkupi seluruh ruangan. Ia meneliti satu per satu dengan teliti. Ia mencatatnya kalau mendapatkan sesuatu sembari mengamati bintang-bintang tersebut sekali lagi.
Tok-tok
Suara pintu terdengar dari bawah.
“Kali ini siapa lagi?”
Tok-tok
Pintu luar kembali diketok. Kemudian dengan cepat, Mona menggerakkan tangannya dan rasi-rasi bintang yang tadinya ada seketika lenyap. Lalu ia turun ke lantai satu dan berdiri sebentar di depan pintu.
“Siapa, ya?” tanyanya.
Tapi tidak ada jawaban. Langsung saja Mona membuka pintu perlahan, tapi masih dibukanya setengah.
“Loh, kalian?” Baru ia membuka lebar pintu. “Aether, Lumine… kenapa tadi kalian enggak jawab?”
“Kami memang ingin membuatmu penasaran, Mona,” gagas Aether dengan senyuman.
“Huhh… aku kira siapa…. Ya udah, masuklah.”
Karena rambut Mona masih tergerai, ia meminta Aether dan Lumine untuk menunggu sebentar. Sesudah itu, Mona datang dengan rambutnya yang sudah terikat twintail.
“Maaf ya, aku lagi gak ada camilan yang bisa dimakan. Tehnya juga sudah habis, aku belum sempat beli.”
“Tidak masalah. Jangan terlalu dipikirkan, Mona,” balas Lumine dengan baik.
“Oh, oke, deh.” “Jadi, ada perlu apa ini sampai kalian berdua menghampiriku?”
“Kami ada berita bagus untukmu, Mona,” ucap Aether.
“Berita apa, ya? Apa soal lomba perayaan di alun-alun kota?”
“Bukan, bukan itu…. Kami mau kasih tau kalau kamu bisa mendapatkan uang tanpa harus bersusah payah.”
“Apa? Apa aku gak salah dengar?”
“Iya, ini betul, Mona. Kamu bisa menghasilkan uang hanya dengan apa yang kamu miliki saat ini. Tanpa harus belajar dari awal lagi, tanpa harus berburu monster di luar sana. Modalnya cukup berbicara di depan mereka dengan pede.”
Lumine yang mengatakannya terlihat cukup meyakinkan di mata Mona. Ia jadi lebih tertarik untuk lanjut mendengarkan.
“Pekerjaan apa itu? Apa aku benar-benar bisa melakukannya??”
“Tentu saja,” jawab Aether.
“Jadi, apa dong…?”
“Meramal masa depan,” Aether melanjutkan.
“He? Aku harus meramal masa depan, begitu?”
“Betul, meramal masa depan,” imbuh Lumine.
“K—Kenapa kalian bisa mikir kaya gitu? Apa ada yang mendasari kenapa kalian menyarankan aku untuk meramal masa depan?” Mona sepertinya tampak ragu.
“Mona, ini semua bercermin dari kemampuanmu sendiri. Bukankah kamu ini seorang astrolog yang hebat? Kamu bisa melihat masa lalu, masa sekarang dan masa mendatang, bukan? Dari situ muncullah sebuah ide. Kenapa Mona tidak mencoba meramal cuaca dan nasib orang saja? Dari hasil ramalan itu, kemudian diumumkan dan disebarluaskan ke seluruh penduduk kota, bahkan sampai ke tempat kediaman Diluc dan Desa Springvale. Bukan hanya sampai di situ saja, bahkan sampai ke Pelabuhan Liyue,” jelas Lumine.
“Tapi dari hal kecil dulu saja, seperti kamu bisa meramal cuaca untuk tiga sampai lima hari ke depan, dan kamu bisa mencoba meramal nasib seseorang. Mulai dari kehidupannya sehari ke depan, kehidupan sosialnya, tentang kisah cintanya, tentang karirnya, dan lain sebagainya. Dan mereka yang sudah mendapatkan informasi tersebut, mereka akan memberimu bayaran yang bisa kamu gunakan untuk kehidupan sehari-hari,” Aether menambahkan.
“Meramal cuaca, ya?”
“Kenapa? Apa kamu belum sanggup?” ucap Aether.
“A—Ah, bukan itu… kalau cuma cuaca 5 hari kedepan, sih… itu masih gampang…. Aku sanggup kalau sampai melihat keadaan geografis dunia ini 5 tahun ke depan.”
“Benar, kan? Aku tak ragu kalau kamu memang benar-benar astrolog yang hebat, Mona. Kamu pasti bisa melakukannya lebih dari yang kami bayangkan. Kalau kamu memang ingin berusaha mendapatkan uang sendiri, maka inilah solusi terbaik untuk dirimu,” ujar Aether kembali.
Ketika Aether berkata begitu kepadanya, Mona terlihat cukup berantusias. Matanya melebar, tatapannya membara, pikirannya tercelikkan. Seperti mendapatkan suntikan ‘penyemangat hidup’ ke dalam aliran darahnya.
“Kalau begitu… baiklah… aku akan melakukannya!” ucapnya dengan penuh semangat, sampai dia berdiri dari tempat duduknya.
Aether dan Lumine juga terlihat senang, karena mereka bisa membantu apa yang sebenarnya diimpikan dan diharapkan oleh Mona. Yaitu agar dirinya dapat menghasilkan uang dengan mandiri, dengan caranya sendiri. Sejak percakapan itulah, Mona menjadi lebih bersemangat dalam menjalani hidup.
Namun tentu saja, Aether dan Lumine tak lepas tangan begitu saja. Mereka berdua tetap membimbing Mona agar tetap berada di jalan yang benar. Dimulai dari meramalkan cuaca untuk tiga bulan ke depan. Aether dan Lumine membantu menuliskannya secara terstruktur. Minggu per minggu, bulan per bulan, yang nantinya ketika hendak disebarluaskan kepada seluruh warga Mondstadt, akan disebarkan per mingguan. Untuk cuaca ringan memang gratis, tidak dipungut biaya apapun. Akan tetapi Mona menawarkan dirinya—tentu saja masih dibantu oleh Aether dan Lumine—kepada orang-orang tertentu yang sekiranya ingin lebih tahu soal keadaan iklim di kemudian hari. Apakah akan ada gempa, angin badai, kedatangan musuh, atau keadaan-keadaan supranatural lainnya yang sekiranya menginvasi Mondstadt. Kalau ada, Mona akan mengenakan tarif untuk informasi lengkap semacam itu.
Untuk lebih aktif dalam menghasilkan uang, Mona tentu saja juga menawarkan jasa ramalan kepada setiap orang di kota. Namun untuk tahap awalnya, Aether dan Lumine menyarankan untuk menawarkan kepada para petualang di rumah serikat. Hasilnya… semuanya ingin diramal soal nasib hidup mereka. Paling banyak adalah meramal nasib percintaan mereka—sudah pasti tak pernah lekang oleh waktu. Kisah percintaan orang-orang di dalam serikat, kebanyakan bernasib baik-baik saja. Namun sekalinya ada yang bernasib buruk, buruknya sampai membuat orang tersebut depresi. Tapi untungnya ada Aether dan Lumine dan orang-orang lainnya yang menyemangatinya dan membuatnya bangkit kembali dari murungnya. Yah, memang bukan suatu pekerjaan yang bisa dianggap enteng juga. Selain para petualang di dalam serikat, Mona juga menawarkan jasanya kepada teman-temannya. Mulai dari para Ksatria Favonius, semua pekerja di kantor Favonius, semua pelayan, semua pembantu, bahkan Master Jean pun ingin diramal oleh Mona soal percintaannya. Ya, Jean ingin sekali diramal soal nasib cintanya. Dan hasilnya? Sangat positif. Tapi Jean masih belum puas. Untung saja saat itu ada Lisa yang terus ‘mengejeknya’ agar Jean tidak mencoba mencari-cari jawaban dari ketidakpuasannya itu. Jean pun tidak jadi diramal ulang gara-gara Lisa terus mengatakan kalau Jean selalu mengacuhkan Diluc. Bagaimana dengan Lisa? Tentu saja, Lisa tidak mau diramal karena dia bisa meramal dirinya sendiri—sombong sekali.
Perjalanan demi perjalanan, Mona berhasil mendapatkan uang hasil dari kerja kerasnya sendiri. Ketika melihat banyak tumpukan koin mora dalam dompetnya, wajahnya kelihatan sangat senang, bahkan ia sampai menitihkan air matanya karena saking terharunya.
“Terima kasih, Aether… Lumine…. Kalau tanpa kalian… aku pasti tidak akan melakukan hal semacam ini…. Sekali lagi aku… aku sangat berterima kasih pada kalian berdua….”
“Hehe, kami hanya memberimu saran saja kok, Mona. Selebihnya kamu sendiri yang melakukan ini semua,” ucap Aether.
“Iya, benar…. Apa yang kamu lakukan sekarang… semuanya berdasarkan keinginan hatimu yang paling dalam. Semua orang terlihat senang saat kamu meramal mereka. Itu karena semua berkat ketulusan hatimu. Dan itulah sebabnya aku pernah berkata padamu. Bahwa segalanya belum tentu membutuhkan uang, melainkan segalanya membutuhkan ketulusan hati dari seseorang yang berbuat kebaikan bagi sesamanya.”
Mata Mona tercelikkan. Seketika itu juga ia memeluk Lumine dengan sangat erat.
“Aku benar-benar… sangat berterima kasih padamu, Lumine…!”
“Haha, aku turut senang, Mona.”
“Bagaimana denganku?” tanya Aether.
“Maksudmu?” balas Lumine datar.
“Sepertinya aku juga butuh dipeluk.”
“Di situ ada pohon. Coba Kakak pelukan dengannya.” Lumine sambil menunjuk pohon yang berukuran kecil di sebelah kirinya.
“Wahh… tega sekali dirimu….”
Lumine dan Mona pun tertawa terbahak.
ns 15.158.61.45da2