“Lisa, ada yang aku mau tunjukan padamu.”257Please respect copyright.PENANAZiiwJALDeE
Amber datang menghampiri Lisa yang sedang duduk-duduk santai di balik meja perpustakaan. Lisa meletakkan cangkir teh hangatnya.
“Apa yang ingin kamu tunjukkan, Amber?” tanyanya dengan santai.
“Sebuah benda misterius. Tapi kalau bisa jangan di sini. Gimana kalau di ruang kerja Master Jean saja? Sekalian aku mau tunjukkan padanya.”
“Oke… baiklah….”
Mereka berdua beralih ke kantor Favonius. Jean pada saat itu sedang pergi. Hanya mereka berdualah yang menguasai ruangan. Lisa sengaja duduk di kursi milik Jean, Amber duduk di depan meja.
“Kenapa kamu duduk di situ, Lisa?”
“Tidak apa-apa. Sekali-kali aku mau merasakan duduk di kursi ini.” “Jadi, mana benda itu?”
“Ini.”
Amber membuka kain coklat tersebut dan terlihatlah mutiara yang beberapa hari lalu ditemukan oleh Eula. Mutiara tersebut sampai saat itu masih bersinar putih kebiruan.
“Sebuah mutiara?”
“Iya. Benda ini aku temukan bersama dengan Eula di pinggir Danau Cider yang dimakan oleh ikan. Tetapi dia menyerahkan benda ini padaku. Yang aku bikin penasaran, apakah benda ini merupakan sebuah wadah katalis elemental?”
Lisa berpikir sejenak.
“Hmm… bisa jadi iya.”
“Berarti beneran sebuah wadah katalis??”
“Tapi harus diselidiki dulu dengan benar. Aku gak bisa memastikannya cuma dari melihatnya aja.”
“Kalau begitu, aku tinggalkan saja padamu, ya?”
“Jangan. Sebaiknya kita tunggu Master Jean saja. Biar dia yang memutuskan.”
“Tapi… Master Jean lagi di mana sekarang?”
“Aku juga kruang tau. Terakhir dia ada urusan dengan para Fatui, tapi sepertinya kurang berjalan lancar.”
“Terus, gimana, dong?”
“Hmm… coba kamu temui Mona.”
“Mona? Apa ada hubungannya dengan Master Jean?”
“Tidak. Bukan hubungannya dengan Jean, tapi dengan mutiara ini, Amber.”
“Ohh… sekarang atau nanti?”
“Temui sekarang aja. Mumpung aku bisa duduk di sini.”
“Gehh… ternyata cuma alasanmu aja biar bisa duduk berlama-lama, iya kan?”
Lisa hanya tersenyum saja.
“Oke, aku akan temui Mona sekarang.”
“Cepat, ya….”
“Hehh….”
Selagi Amber pergi untuk menemui Mona, Lisa beranjak dari singgahsana milik Jean. Ia mengamati betul mutiara itu.
“Meskipun aku sudah tau kalau ini berasal dari Dragonspine, tapi aku belum tau pasti benda apa ini. Kalau memang benar sebuah wadah katalis… berarti ini adalah buatan manusia. Hanya saja… apa maskud dari cahaya kelap-kelip ini?”
Jeglek
“Lisa?” Jean masuk ke ruangan, “sedang ngapain kamu?”
“Oh, Jean… ini….”
Lisa menunjukkan mutiara itu kepada Jean.
“Benda apa ini? Terlihat seperti mutiara.”
“Tapi aneh, bukan?”
“Kenapa bisa berkelap-kelip? Apa kamu yang membawanya?”
“Bukan aku, tapi Amber yang ditemukan oleh Eula di pinggir Danau Cider. Amber ingin agar aku untuk menyelidikinya lebih dalam.”
“Apa yang bisa kamu selidiki dari benda ini, Lisa?”
“Maka dari itu, aku menyuruh Amber untuk memanggil Mona ke sini. Mungkin berhubungan dengan ilmu berbintangan. Dan sebaiknya, benda ini disimpan di mana?”
“Hmm… kalau berpotensi berbahaya, jangan disimpan di kantor Favonius. Tapi kalau baik-baik saja, simpan saja di lemari senjata.”
“Makanya, aku dan Mona harus memastikan dulu apakah benda ini layak untuk disimpan di sini atau tidak. Tapi bukan ini tujuanku yang utama.”
“Heh? Apa maksudmu?”
“Sebenarnya, aku dan Mona sudah memindai benda ini dengan kekuatan elemental kami berdua, karena dia memiliki kekuatan elemental di dalamnya. Bahkan benda yang mirip mutiara ini, terbentuk dari kekuatan elemental. Dan kami juga sudah tau kalau kekuatan yang membentuk benda ini berasal dari Dragonspine.”
“Apa? Apa kamu yakin, Lisa?”
“Ya. Jangan remehkan kekuatan kami, Master Jean. Lagipula, Mona kan anggota Hexenzirkel. Sudah pasti kemampuannya tak boleh diremehkan.”
“Kalau memang begitu… sudah pasti jangan disimpan di kantor ini. Lebih baik, berikan saja kepada Albedo.”
“Jangan. Aku tidak mau memberikan kepadanya.”
“Kenapa?”
“Sampai detik ini… aku belum bisa percaya sepenuhnya tentang Albedo. Karena Albedo bukanlah ‘Albedo’ yang kita kenal, Jean.”
Jean sedikit mengernyitkan dahinya. Namun ia tertunduk sedikit. Ia seperti sedang merenungkan perkataan Lisa barusan.
“Begitu… ya?”
Amber berhasil mengajak Mona, akan tetapi saat Mona masuk ke dalam kantor Favonius, Lisa berjalan keluar dan menyarankan mereka berdua untuk beralih ke katedral Favonius. Kata Lisa dia ingin bertemu dengan Rosaria.
Saat tiba di dalam katedral, Lisa dapat berjumpa langsung dengan Rosaria yang sedang berbincang-bincang dengan Barbara di dekat pelataran.
“Oh, Lisa?” kaget Rosaria.
“Rosaria, kebetulan sekali kamu ada di sini. Aku ingin bicara padamu sebentar.”
“Ada apa, Lisa? Sepertinya kamu cukup serius.”
“Ya. Tapi… apa bicaramu dengan Barbara sudah selesai?”
“Sudah.”
Kemudian Rosaria menyuruh Barbara untuk melaksanakan tugasnya. Lalu ia pergi meninggalkan Rosaria.
“Lisa, ada apa sebenarnya?”
“Kami bertiga ingin meminjam ruangan berdoa.”
“Kamu mau pinjam ruangan itu? Apa kalian ingin memohon doa secara khusus?”
“Tidak. Karena ruangan itu cukup luas untuk kami gunakan sebagai ruang meneliti.”
“Meneliti apa maksudmu?” Rosaria tampak tidak yakin.
“Kami mau meneliti ini.” Lisa menunjukkan kantong yang isinya mutiara tersebut.
Ketika Rosaria melihatnya, maka wajahnya langsung tercengang.
“Kamu juga merasakan sesuatu di dalamnya, kan?”
“Ya. Ini seperti…. Hm, baiklah, ikuti aku.”
“Terima kasih, Rosaria.”
Hanya dengan melihat saja, Rosaria mengizinkan Lisa bersama dengan Amber dan Mona untuk dapat masuk ke dalam ruangan berdoa. Sebenarnya ruangan tersebut berada di tempat rahasia. Hanya Rosaria lah yang dapat mengaksesnya.
“Kalian bertiga berhentilah di sini,” ucap Rosaria.
Lisa, Amber dan Mona berhenti di sebuah ruangan yang di tengah-tengahnya terdapat Holy Lyre yang dulu pernah sempat ‘diperbaiki’ oleh Venti. Namun sepertinya yang dipajang di situ adalah yang asli. Mungkin sudah benar-benar diperbaiki dengan serius oleh Venti—karena dulu yang membawa Holy Lyre asli memanglah dia.
“Spinea Corona.” Rosaria berbisik sambil tangan kirinya menempel pada dinding di depannya.
Maka sebuah simbol berwarna biru muda terpancar pada dinding dan pintu rahasia pun terbuka. Lalu Rosaria menyuruh masuk mereka bertiga.
Begitu masuk ke dalam, ruangannya sangatlah gelap. Hanya ada cahaya-cahaya biru yang ada pada lantai. Dan pintu tersebut tertutup dengan sendirinya.
“Gelap sekali. Ruangan apa ini sebenarnya?” tanya Amber sambil dirinya melihat-lihat sekeliling.
“Ini adalah ruang doa. Atau lebih tepatnya ruangan permohonan. Namun kadang ruangan ini dapat menunjukkan ‘kebenaran’ di balik rahasia-rahasia di dunia ini.”
Rosaria mengucapkannya dengan biasa saja. Seolah-olah perkataannya itu sengaja dibuat-buat. Tetapi Lisa tahu kalau Rosaria tidaklah sedang mengarang. Ia tahu persis ruangan tersebut bisa dipakai untuk apa.
“Apa kamu sudah siap, Lisa?”
“Ya.” “Mona, kemarilah.”
Mona berjalan mendekati Lisa.
“Kalau begitu, aku akan berdiri di belakang saja mengawasi.”
“Oke, Rosaria,” jawab Lisa.
Lisa menaruh kantung itu di lantai dan membukanya. Maka mutiara tersebut kelihatan seutuhnya. Kemudian Lisa berjalan mundur beberapa langkah.
“Mona, lakukan.”
“Ya.”
Mona mengangkat tangannya dan mengarahkannya pada benda itu. Kemudian lingkaran-lingkaran sihir tercipta dengan beberapa huruf kaligrafi mengelilinginya. Lisa mengeluarkan sekuntum bunga mawar berwarna ungu, ia terbangkan dan melayang di atas benda itu. Lalu mawar itu berubah menjadi sebuah lentera yang memancarkan listrik. Mona merubah posisi kedua tangannya bersamaan dengan Lisa mengendalikan lenteranya sehingga membuat benda itu terangkat dan melayang di tengah-tengah udara. Lingkaran-lingkaran sihir itu ikut naik dan membentuk seperti bola yang melindungi benda itu, serta dialiri listrik melalui lentara tersebut. Lisa memberikan energi listrik yang lebih kuat lagi. Semakin kekuatannya bertambah, benda yang berbentuk mutiara itu semakin bercahaya terang kebiruan. Dan ketika cahayanya makin terang…
Bumm!
Benda itu pecah sekaligus meledakan cahaya biru melingkupi seluruh ruangan, sehingga membuat mata Lisa dan Mona serta Amber menjadi silau sejenak. Namun setelah efek ledakan singkat tersebut terjadi, seluruh ruangan menjadi penuh dengan cahaya biru. Semua orang di dalam ruangan tersebut terpana dan terpukau melihatnya. Kumpulan cahaya-cahaya tersebut berbentuk seperti sebuah jaringan syaraf neuron pada manusia. Yang paling menjadi perhatian bagi mereka adanya satu titik cahaya yang berkelap-kelip. Rosaria sampai berjalan mendekat untuk melihat lebih jelas lagi.
“A—Apa ini…?” Amber terkesima melihatnya.
“Ini… seperti kumpulan bintang-bintang di angkasa,” jawab Mona dengan wajah takjub.
“Seperti sebuah aliran cahaya….” Lisa mengomentarinya tanpa tahu yang sebenarnya soal kumpulan cahaya itu.
“Ini adalah bintang-bintang galaksi.”
Jawaban Rosaria membuat heran mereka semua.
“Galaksi? Apa itu?” tanggap Mona.
“Galaksi adalah kumpulan dari berbagai macam bintang yang ada di angkasa. Suatu semesta yang tak dapat dijangkau oleh manusia,” jawab Rosaria dengan tenang.
“Bisakah kamu jelaskan dengan lebih rinci?” tanya Lisa penasaran.
“Aku tak bisa menjelaskan lebih banyak lagi. Tapi percaya saja padaku, ini semua adalah kumpulan dari bintang-bintang di angkasa.” “Mona, bisakah kamu perbesar titik kecil yang berkelap-kelip ini?”
“Ya, aku bisa.”
Mona memperbesar bintang tersebut, seperti sedang zoom in agar terlihat lebih jelas. Namun meskipun diperbesar, tampaknya masih belum terlihat dengan jelas. Rosaria memintanya untuk memperbesar lagi sampai benar-benar terlihat dengan jelas apa titik kecil itu sebenarnya.
“Sebenarnya… apa ini?” heran Mona.
“Ini adalah tata surya yang ada di dalam satu galaksi. Cahaya yang paling besar ini adalah matahari. Dan titik yang berkelap-kelip ini berada di sebuah planet yang aku belum tau namanya.”
“Jadi ini penampakan dari matahari yang sebenarnya…?” Amber sampai terkesima.
“Ya, betul.”
“Lalu… apa itu ‘planet’?” tanya Lisa.
“Planet sama saja seperti bintang yang kita lihat di langit saat malam hari. Sebutan ‘planet’ itu sendiri karena adanya penghuni. Entah manusia, monster, ataupun yang lain. Tapi kalau planet itu gak ada penghuninya, kita menyebutnya sebagai bintang saja.”
Semua tampak tercengang saat mendengar penjelasan dari Rosaria. Namun yang paling terlihat penasaran adalah Lisa.
“Rosaria… dari mana kamu mendapatkan penjelasan serinci itu? Sepertinya kamu sudah benar-benar mengetahui semuanya, ya?”
“Oh, ya? Ini masih belum seberapa. Kalau kamu ingin mengetahui semuanya, aku bisa antarkan kamu kepada Albedo.”
“Albedo??”
“Kenapa, Lisa?”
Seketika Lisa langsung tertunduk diam. Mona dan Amber menjadi terheran melihatnya.
“Kenapa… harus dia….”
“Apa maksudmu?” tanya Rosaria sekali lagi.
Namun Lisa tak mau menjawabnya. Dia malah berpaling dari hadapan Rosaria.
“Lisa… ada apa dengan dirimu?”
Mona mencoba untuk perhatian padanya. Tetapi tak ada tanggapan darinya. Begitu pula dengan Amber yang juga tak dihiraukan begitu saja.
“Huhh… apa dia pernah mengkhianatimu, Lisa?”
Sekali lagi, Lisa tak menanggap. Dia hanya diam saja.
“Ya sudah. Mona, aku minta tolong sekali lagi, perbesar bagian ini.”
Rosaria menunjuk pada kelap-kelip titik tersebut. Kemudian Mona memperbesarnya sekali lagi.
“Ini… cukup terasa berat.”
Ketika ia berusaha untuk memperbesarnya, tiba-tiba Mona jatuh terpingsan.
Bruk
“Mona!” Amber terkejut.
Dengan sigap, Amber mengangkat kepalanya sedikit dan mencoba untuk menyadarkannya. Namun Mona tetap tak sadarkan diri. Dan di saat itu juga, Lisa berbalik badan untuk menolongnya. Ia langsung membopong Mona dari lantai.
“Rosaria, buka pintunya.”
Lisa menyuruhnya untuk membuka pintu ruangan tersebut. Rosaria dengan santai membuka pintu itu dengan tangan kirinya. Dan kemudian, Lisa yang diikuti oleh Amber, dengan segera membawa Mona keluar dari situ untuk segera mendapatkan pertolongan pertama.
“Kita bawa saja kepada Barbara.” Saran Amber kepada Lisa.
“Ya.”
Sementara Rosaria masih berada di dalam ruangan itu. Ia kembali berjalan mendekati cahaya tersebut karena ia masih mau melakukan sesuatu.
“Planet apa ini, ya? Kalau diperhatikan lagi, titik cahaya ini seperti sebuah sonar.” “Hmm… apa jangan-jangan… ini tanda keberadaan dari Alice?”
Planet tersebut tidak ada tanda-tanda adanya seperti daratan ataupun lautan. Bahkan Rosaria pun tak bisa membedakannya. Apa yang dilihatnya, planet itu hanya seperti sebuah gumpalan pasir yang dibentuk menjadi bola. Hanya saja untuk memastikan, Rosaria menyentuh titik cahaya itu dengan telunjuknya yang dilapisi bunga es dari kekuatan elemental miliknya. Dan saat telunjuknya bersentuhan dengan titik cahaya itu, tiba-tiba saja planet tersebut bereaksi layaknya pasir yang terhempas oleh angin. Seketika itu juga, sebuah goresan yang berbentuk mirip daratan tersebut, Rosaria langsung teringat oleh sesuatu.
“Bukankah ini…?! Negara Natlan??” Rosaria terkejut melihatnya.
Kemudian ia memperhatikan lagi dengan seksama di mana tepatnya lokasi dari titik tersebut. Lokasinya berada tepat di tengah-tengah Ibukota Natlan.
“Yang benar saja…? Apa ini memang sebuah tanda dari Alice?? Kalau begini… aku harus segera memberitahu Albedo.”
Lalu Rosaria dengan segera berlari meninggalkan ruangan itu tanpa membereskan penampakan dari bintang-bintang tersebut. Begitu ruangan itu tertutup, beberapa saat kemudian, cahaya-cahaya itu memudar dengan sendirinya. Dan ruangan kembali gelap gulita.
“Bagaimana keadaannya, Barbara?”
Di ruang perawatan, Amber bertanya kepada Barbara mengenai keadaan Mona. Amber terlihat sangat mencemaskannya.
“Tenang saja, Amber. Mona hanya kelelahan saja. Apa dia habis menggunakan kekuatan elementalnya berlebih?”
“I—Iya, sih…. Tadi kami habis melakukan penyelidikan. Mona lah yang menggunakan kekuatannya untuk menyelidiki. Tapi kami tidak tau kalau ternyata melebihi kapasitas kekuatannya.”
“Tidak masalah. Kadang aku juga seperti itu, kok. Saat aku terlalu memaksa untuk meningkatkan kemampuanku, aku menjadi pusing bahkan pernah sampai pingsan juga. Untuk Rosaria selalu merawatku dengan baik, hehe.”
“Oh begitu, ya?”
“Tapi aku masih belum tau kenapa dia bisa tau semuanya tentang bintang-bintang itu. Aku curiga, pasti dia juga terlibat dengan benda itu.”
“Lisa, tolong jangan mudah curiga dulu. Pasti dia punya alasannya sendiri kenapa dia bisa tau semuanya soal bintang-bintang dan angkasa yang dia sebutkan tadi. Kalau memang ingin tau kebenarannya… sebaiknya kita tanyakan saja langsung padanya. Tapi tentu saja, dengan cara baik-baik.”
“Hah. Aku tidak mau.”
Amber langsung terbungkam. Tidak biasanya Lisa bersikap sedingin itu terhadap Amber hanya gegara mendengar semua penjelasan dari Rosaria. Setiap harinya, memang Lisa orangnya suka cuek dan bermalas-malasan. Tapi bukan berarti, Lisa orang yang dingin. Berbeda dengan sifat Eula yang bisa saja dingin kepada orang-orang yang belum dikenalnya. Rosaria pun bukanlah orang yang dingin kepada orang lain. Hanya saja semenjak kejadian tadi, hubungan di antara mereka berdua menjadi sedikit runyam.
Barbara sampai menjelaskan tentang sifat Rosaria yang sebenarnya kepada Amber sembari menunggu Mona untuk siuman. Bukannya Barbara membela Rosaria, tetapi karena memang Rosaria adalah seorang wanita yang baik hati dan perhatian terhadap junior-juniornya. Ia memandang semua rata, tidak ada yang lebih tinggi, lebih kuat, maupun lebih rendah dan lemah. Hanya saja memang bagi orang yang belum mengenalnya dekat, tampaknya Rosaria orang yang dingin. Tapi sebetulnya tidak. Bahkan kalau Amber perhatikan saat berada di dalam ruangan tadi, Rosaria itu orangnya sangat teliti dan kritis tentang sesuatu yang berhubungan dengan dunia ini. Mengingatkannya pada Albedo yang juga serius, teliti dan jenius.
“Uhh… di mana ini…?”
Mona mulai siuman. Barbara dan Amber datang menghampirinya. Mereka kelihatan lega sekali.
“Syukurlah kamu sudah siuman, Mona…!” ucap Amber senang.
“Kenapa, bisa ada Barbara?” Mona malah terlihat bingung.
“Kamu habis pingsan, Mona. Aku yang merawatmu di sini.”
“Ooh….” Mona melihat sekeliling. Dilihatnya Lisa masih duduk termenung di situ. “Lisa?”
“Ah, dia… sepertinya juga mengkhawatirkanmu, Mona. Dialah yang membawamu sampai ke tempat ini,” ucap Amber padanya.
“Oh.”
“Kamu memang sudah kelihatan tidak apa-apa, tapi minumlah ini dulu.”
Barbara memberinya secangkir air minum bening kepada Mona. Ia langsung meminumnya sampai habis.
“Terima kasih, Barbara.”
“Iya.”
“Aku juga harus berterima kasih padanya.”
Mona bermaksud untuk mendekati Lisa.
“Tapi sepertinya… dia sedang tak ingin diganggu oleh siapapun, Mona,” ucap Amber.
“Sebaiknya, nanti saja kalau dia sudah lebih baikan,” Barbara menambahkan.
“Oh, huum, aku mengerti.”
Dengan begitu, Mona bangkit dari tempat tidurnya dan mengambil topinya untuk dikenakan kembali. Ia berjalan melewati Lisa yang masih terdiam. Mona dan Amber memutuskan untuk pulang ke rumah. Namun sebelum berpamitan dengan Barbara, Mona berbalik badan dan masuk kembali berdiri di depan pintu.
“Lisa… terima kasih, ya.”
Ucap Mona dengan tulus hati. Tetapi Lisa tetap tak bergeming. Baik Mona, Amber dan Barbara, mereka bertiga tampak prihatin kepada Lisa. Kemudian Mona mengajak Amber untuk kembali pulang dan berpamitan dengan Barbara. Namun di saat Barbara berada di luar ruangan, Lisa beranjak dari tempat duduknya. Dirinya tak lagi diam termenung. Barbara pun kembali ke dalam. Akan tetapi… Lisa sudah tak berada di situ.
Wusshh~
Ia pergi meninggalkan dengan jendela terbuka dan membiarkan angin berhembus masuk ke dalam ruangan. Barbara meletakkan kedua tangannya di dada sembari berdiri memandang ke luar jendela dengan tatapan penuh perasaan cemas.
“Lisa….”
Apa yang sebenarnya Lisa lakukan?
Krak
Lisa menginjak ranting kering di atas permukaan tanah yang tertutupi salju. Salju yang tak pernah mencair, salju yang tak pernah berhenti turun dari atas langit. Salju yang abadi yang selalu menutupi daratan Dragonspine.
Sebentar lagi matahari akan tenggelam. Gelap malam sebentar lagi akan menghiasi cakrawala. Suhu semakin rendah, cuaca semakin tak bersahabat. Lisa mau tidak mau, mengeluarkan lentera listrik untuk melindunginya agar terhindar dari hipotermia. Lenteranya berada di atas kepalanya dan membentuk sebuah perisai superkonduktor yang terjadi akibat listrik bertabrakan dengan udara dingin di sekitarnya. Dan ia terus berjalan menaiki perbukitan.
Setelah beberapa menit kemudian, Lisa akhirnya sampai di tempat yang mungkin sudah menjadi ‘sarang’ bagi seorang petualang di sana. Ia berjalan masuk lebih dalam lagi. Namun tidak ada siapa-siapa di sana. Yang ada di hadapannya hanyalah sebuah kanvas yang sudah terlukis sebagian. Lukisan tersebut seperti sebuah pemandangan dari atas gunung. Ada matahari, danau atau laut, dan beberapa goresan yang terlihat seperti rumah penduduk. Lisa langsung mengerti jika lukisan tersebut milik Albedo. Lalu ia beranjak dari situ untuk melihat-lihat sekeliling.
“Ugh, sepertinya ada yang datang!”
Lisa langsung bersembunyi di balik lemari buku yang ada di pojok di tempat yang agak gelap. Maka datanglah beberapa orang memasuki kemah Albedo.
“Kalian istirahat saja dulu di sini. Aku akan mencari beberapa bahan lagi di luar sana. Kalau kalian lapar, kalian bisa mengambil beberapa bahan yang bisa kalian jadikan sup. Aku juga akan mencari bahan-bahan lagi untuk dijadikan bahan masak.”
“Baiklah, Albedo,” jawab seorang laki-laki.
“Kami akan menunggumu di sini,” jawab seorang perempuan.
“Kalau didengar dari suaranya… sepertinya ada ‘si manis’ku dan juga Eula. Tapi, apa yang mereka lakukan bersama Albedo di sini?”
Aether dan Eula mulai mengambil beberapa bahan masak untuk dijadikan sup. Mereka menyalakan api untuk mendidihkan air di dalam panci. Kemudian Aether mulai memasak masakannya. Semua percakapan mereka didengarkan oleh Lisa dengan seksama.
“Eula, sebenarnya apa yang membuat dirimu ikut denganku ke sini?”
“Bukankah sudah kukatakan padamu sebelumnya?”
“Bukan itu maksudnya. Katakan sejujurnya apa tujuanmu sebenarnya kamu mau menemui Albedo.”
“Apa boleh buat kalau kamu memaksaku.”
“Aku enggak memaksamu, Eula. Hanya mendesakmu saja.”
“Huh, sama aja. Begini Aether, akan aku katakan kalau tujuanku kemari berhubungan dengan benda yang aku temukan kemarin.”
“Benda yang seperti mutiara itu?”
“Ya. Meskipun aku sudah memberikannya kepada Amber, tapi dengan melihatnya saja, aku sudah tau kalau di dalamnya terdapat kekuatan elemental yang berasal dari Dragonspine.”
“Wah, kamu hebat sekali, Eula. Apa karena sama-sama dingin?”
“Hm? Apa maksudmu barusan? Aku hanya menggunakan sedikit kekuatan elemental milikku aja.”
“Sama sekali tanpa menyentuhnya?”
“Iya.”
“Kayaknya kamu punya bakat menerawang, ya?”
“Apa kamu sedang menghiburku, Aether?”
“Sudahlah, supnya sudah jadi, kita makan aja dulu.”
“Jadi, Eula juga bisa memindai kekuatan dari benda itu? Bahkan dia sampai tau kalau berasal dari sini. Hebat juga kemampuan elementalnya.”
Dan beberapa saat kemudian, datanglah seorang wanita menyapa Aether dan Eula yang sedang makan.
“Ohh… ternyata ada kalian berdua.”
“Rosaria?”
Aether dan Eula cukup terkejut. Bahkan Lisa pun juga tak menyangka kalau Rosaria sampai datang ke situ.
“Apa yang mau dia lakukan di sini??” Lisa sambil mengintip di balik tumpukan buku-buku.
“Apa kamu ada keperluan dengan Albedo?” tanya Aether kepada Rosaria.
“Iya. Tapi tidak seperti dugaanku. Ternyata malah ada kalian di sini.”
“Tadi kami sedang menjalankan suatu penyelidikan dengan Albedo. Tapi sekarang dia baru di luar mencari bahan-bahan masakan,” jawab Eula.
“Ooh… begitu….”
“Apa ada sesuatu yang membuatmu tertarik, Rosaria?” tanya Aether penasaran.
“Ya. Ini berhubungan dengan sebuah benda yang mirip dengan mutirara. Benda itu tadinya dibawa sama Lisa. Tetapi benda itu menjadi pecahan cahaya dan sekarang sudah lenyap.”
“Eh? Apa?” Eula cukup kaget.
“Sudah lenyap katamu?” Aether pun terheran.
“Ya. Sudah tak ada wujudnya lagi. Hilang begitu saja saat Lisa dan Mona mencoba untuk menguraikan apa isi dari benda itu. Tapi tenang saja, aku sudah mengingat isinya.”
“Jadi benda itu… begitu rupanya….”
“Ada apa, Eula?” tanya Rosaria heran.
“Amber berkata kalau dia mau mendiskusikannya dengan Lisa. Amber membawa benda itu kepada Lisa dan Mona entah bagaimana ikut campur dengan Lisa. Tapi kenapa kamu bisa tau, Rosaria?” Eula masih tampak kebingungan.
“Soalnya, mereka bereksperimen di tempatku. Makanya aku melihat semuanya. Tapi tak kusangka, ternyata benda itu berasal darimu ya, Eula?”
“Betul. Aku yang menemukan benda itu sewaktu kami semua sedang mengadakan lomba memancing. Benda itu tadinya ada di dalam perut ikan yang aku pancing.”
“Oh, begitu rupanya.”
“Lalu… apa isinya, Rosaria?” tanya Aether.
“Isinya adalah sebuah sonar yang berada di salah satu negara di Teyvat ini.”
“Sonar itu seperti sebuah tanda agar kita dapat menemukannya pada lokasi tertentu, begitu?” tanya Eula.
“Betul, Eula. Dan sonar itu berada di sebuah negara yang kita semua tau.”
“Yang ‘kita’ tau?” Aether cukup penasaran.
“Ya.” “Sonar itu berlokasi di Ibukota Natlan.”
“Natlan?” respon Aether.
“Natlan yang negaranya dipimpin oleh archon api, Murata?” Eula mencoba memastikan.
“Ya. Hanya saja aku masih belum tau siapa yang memberikan tanda tersebut dan kenapa harus berada di Ibukota Natlan. Tapi dugaanku sementara… kemungkinan yang melakukan itu adalah Alice.”
Tak hanya Aether dan Eula saja yang melotot, Lisa pun ikut terkejut mendengarnya.
“Kenapa… dia bisa yakin kalau Alice yang melakukan hal itu?? Ini sedikit tak masuk akal.” Lisa sedikit gelisah.
“Oh ya, aku belum tau, kenapa kalian berdua bisa ada di sini? Apa hubungannya benda itu dengan kalian yang berada di Dragonspine?” Gantian Rosaria yang penasaran.
“Sebenarnya asal kekuatan di dalam benda itu memiliki kekuatan elemental yang berasal dari sini. Aku sangat yakin hanya dengan melihatnya saja. Lagipula kekuatan elementalku kan adalah es.”
“Hmm… benar juga sih, yang kurasakan dengan kekuatan elementalku juga sama. Tetapi bukankah aneh kalau sonar itu menunjuk pada Natlan, tapi kekuatannya berasa dari Dragonspine? Yang benar yang mana, coba?”
“Makanya, aku mau menyelidikinya. Aether di sini aku perbantukan.”
“Kebetulan aja aku dan Albedo bertemu denganmu. Lalu kamu membahas fenomena ini padanya, Eula. Aku hanya secara gak sengaja ikut terlibat.”
“Sepertinya tak ada yang kebetulan di bawah langit ini….” Rosaria merenung sejenak.
“Apa yang sedang kamu gumamkan, Rosaria?” tanya Eula.
“Ah, tidak. Aku pikir, Albedo memang harus tau soal ini.”
Sret
Suara gesekan kaki menyentuh tanah terdengar cukup jelas.
“Albedo tidak harus tau soal ini, Rosaria!”
Tiba-tiba Lisa muncul menampakkan dirinya dan menatap tajam Rosaria.
“L—Lisa?!” kaget Eula.
“Kenapa kamu bisa ada di sini??” heran Aether.
“Sudah kuduga… kamu pasti akan ke sini, Lisa,” ucap Rosaria dengan yakin.
“A—Apa?? Kamu sudah mendugaku?”
“Ya.” “Sebelum aku memutuskan untuk kemari, aku sudah berpikir kalau dirimu pasti penasaran dengan penelitian yang kamu lakukan tadi. Tapi kamu tidak tau harus ngapain lagi selain tidak menanyakan langsung kepada Albedo. Iya, kan?”
“Aku akui kamu sangat lihai mengamati suatu keadaan, Rosaria. Tapi… aku tidak akan membiarkan dirimu menemui Albedo dan menceritakan semuanya padanya.”
“Hmph. Kalau maumu begitu, aku malah semakin ingin bertemu dengannya.” Lalu Rosaria berjalan keluar dari kemah Albedo. “Baiklah, aku langsung cari dia saja,” ucapnya cukup jelas terdengar sampai ke telinga Lisa.
“Rosaria, tunggu!” Lisa langsung mengejarnya.
Akan tetapi begitu Lisa keluar dari kemah, Rosaria tak ada di sekitar.
“Dia menghilang?”
Tiba-tiba ada sebuah tombak raksasa muncul dari atas mengarah pada Lisa.
Duasss!!
Tapi Lisa menyadari dengan cepat dan langsung menangkisnya menggunakan kekuatan listriknya.
“Apa-apaan dia ini?!”
“Ternyata instingmu cukup tajam ya, Lisa Minci?”
“Tidak usah kamu sebut nama keluargaku, Rosaria!”
“Ohh… kamu tidak suka, ya?”
“Tak perlu aku jawab!”
Lisa seketika melompat tinggi dengan kekuatan listriknya untuk berhadapan langsung dengan Rosaria yang berada di atas tebing curam.
“Kita harus melerainya, Eula!”
Aether sedikit tergesa hendak mengejar mereka berdua.
“Tunggu, Aether!”
Tetapi Eula menariknya dan seketika menghentikkan pergerakannya.
“Kenapa??”
“Tidak perlu. Biarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri.”
Saat Eula berkata dengan ekspresi sangat serius, Aether dapat memahaminya dengan apa yang sebenarnya Eula pikirkan terhadap Lisa dan Rosaria. Aether menjadi tenang.
“Oke, kali ini aku menurutimu.”
Di atas tebing itu, mereka berdua sedikit bertarung dengan cukup serius. Rosaria dengan tombak andalannya menyerang bertubi-tubi ke arah Lisa. Namun Lisa dapat menghindari dan menangkis semua serangannya dengan sebuah buku tebal yang diduga adalah senjata andalan miliknya.
“Lisa! Apa masalahmu dengan Albedo?! Kenapa kamu sangat membencinya?!”
“Aku tidak membencinya! Aku hanya tidak suka dengannya saja!”
“Haha, jawaban apa itu?! Menggelikan! Seperti seorang wanita yang ditolak oleh kekasihnya aja!”
“Berengsek! Jangan pura-pura bodoh!”
“Lalu jelaskan padaku kenapa kamu sangat tidak suka dengannya? Bahkan mendengar namanya saja kamu tidak mau! Justru kamulah yang bodoh! Kamu masih kekanak-kanakan, Lisa!”
“Diam kau, Rosaria!!”
Lisa mengeluarkan bola listrik yang keluar dari dalam buku. Lalu bola listrik itu ditembakkan ke arah Rosaria, tetapi ia dapat menghindarinya dengan sangat tepat. Hanya saja Rosaria tidak tahu kalau bola listrik itu adalah serangan pengecoh saja. Yang sebenarnya, Lisa menekan perut Rosaria sambil mengeluarkan aliran listrik hingga dirinya terpental ke bawah tebing.
Bruakk!!
Rosaria terpental cukup jauh sampai terseret ke jembatan kayu yang putus dan hampir jatuh ke dalam jurang. Ia terkejut ketika melihat ke bawah karena kepalanya sudah berada di paling pinggir dari jembatan. Tapi ia segera bangkit berdiri dan berhadapan langsung dengan Lisa.
“Kenapa kamu tega melakukan ini padaku, Lisa? Apa yang sebenarnya sedang kamu pikirkan sekarang ini?!”
Lisa hanya diam saja.
“Jangan egois, Lisa! Katakan saja apa yang kamu ketahui tentang Albedo! Aku pasti akan percaya padamu!”
“Apa kau yakin dengan ucapanmu itu?”
Lisa mengangkat tangan kanannya dan muncul bola listrik yang terkonsentrasi.
“Kenapa….”
“Percuma saja aku katakan padamu. Karena kau sudah lebih dulu percaya padanya!”
Lisa mengarahkan bola itu ke arah Rosaria dan Rosaria pun mengeluarkan sebilah pisau kecil dari kaki kirinya. Lalu secara bersamaan, bola listrik milik Lisa dilepaskan dan pisau kecil milik Rosaria pun dilemparkan mengenai bola itu, namun sebelumnya Rosaria sudah melapisi pisaunya dengan kristal es. Dan begitu bertubrukan…
Duarr!!
Terjadi reaksi ledakan superkonduktor sehingga membuat Lisa dan Rosaria terpental ke bekalang. Namun Rosaria terjatuh ke dalam jurang. Lisa masih aman-aman saja. Ledakan itu hanya membuat topi dan ikat rambutnya terlepas.
“Ah, tidak!”
Rosaria langsung memutar tubuhnya agar menghadap ke tanah. Ia seketika mengeluarkan tombak dari tangan kirinya dan dihempaskan sampai menghancurkan tanah tempat ia akan jatuh.
Bum!
Tanah yang bercampur salju itu hancur, membuat pendaratan Rosaria menjadi tak terlalu keras karena tubuhnya dapat teredam dengan cukup baik. Namun tetap, ia merasakan kesakitan terutama pada bagian lengan kirinya—karena lengan kirinya yang terkena dampak duluan.
Masih terbaring di situ, Lisa sudah turun dari tebing menggunakan buku yang dialiri listrik. Begitu mendarat, Lisa datang menghampiri Rosaria dan langsung mengangkatnya agar ia dapat berdiri. Tudung mahkota yang dikenakan Rosaria telah hilang entah ke mana sewaktu dirinya terjatuh. Maka kelihatanlah rambutnya secara menyeluruh.
“L—Lisa… katakan saja… apa yang kamu ketahui tentang Albedo….”
“Kau bersikeras sekali, Rosaria.” “Baiklah… akan aku katakan kalau sebenarnya… dia bukanlah seorang manusia. Dia adalah homunculus.”
Lisa mengatakannya dengan serius. Tetapi Rosaria tak terkejut olehnya.
“Cih! Kau sudah mengetahuinya sejak awal, benar kan?!”
“Aku memang sudah tau kalau dia bukanlah manusia. Tapi… tidak ada alasan apapun untuk aku mempercayainya. Mau dia manusia, mau bukan, dia tetaplah seorang ahli alkemis yang pantas untuk dipercayai. Memangnya selama ini… dia pernah mencelakakan kita? Apakah selama ini, dia pernah mencelakakan penduduk Mondstadt?”
“Rosaria… kau… kau sudah terpikat oleh kebusukannya!!”
Lisa langsung membuang Rosaria. Membuat dirinya terseret sekali lagi. Rosaria sudah tak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa memegang lengan kirinya dan terbaring tak berdaya.
“Aku sudah meneliti homunculus sejak berada di Akademi Sumeru. Tidak ada satupun dari mereka yang memiliki sifat baik. Sifat baik dari mereka hanyalah kedok semata. Tujuan mereka yang sebenarnya hanyalah untuk kepuasan kejahatan mereka sendiri! Seharusnya… seharusnya kau mempercayaiku sejak awal agar kau tak tersesat seperti sekarang ini, Rosaria!!”
Lisa marah sejadi-jadinya. Rosaria hanya memandangnya dengan tatapan sedih. Namun sebetulnya kemarahan Lisa adalah bukti dari rasa kepeduliannya. Karena Lisa tak ingin Rosaria jatuh ke dalam tangan Albedo dan dipermainkan olehnya. Kalau memang begitu, bukankah Lisa seharusnya juga memperingatkan kepada seluruh anggota Favonius?
Prok-prok-prok
“Tak kusangka, kau sampai menilaiku seperti itu, Lisa.”
Tiba-tiba saja Albedo muncul di dekat mereka. Lisa dan Rosaria pun terkejut.
“Kau…!” Lisa seketika waspada.
Albedo berjalan mendekat. Lisa dengan cepat mengeluarkan lingkaran sihir pada tangannya.
“Jangan sewaspada itu padaku. Aku tidak berniat menyakitimu.”
“Apa ucapanmu itu bisa aku percayai begitu saja?!”
“Hmph. Kau layak untuk mempercayai setiap ucapan dan tindakanku, Lisa Minci.”
“Jangan sebut nama keluargaku!! Terutama dari mulutmu itu!”
“Ke mana dengan dirimu yang santai itu? Yang selalu bermalas-malasan di perpustakaan sambil menikmati secangkir teh hangat. Apa kamu sudah berubah, Lisa?”
“Diamlah, homunculus!”
“Rosaria...” Albedo menoleh padanya.
“Ya?”
“Sepertinya aku harus menyadarkan kembali temanmu ini. Izinkan aku untuk memukulnya sekali.”
“K—Kenapa kau harus minta izin padaku…?”
“Bukankah kalian ini… seorang sahabat?”
Baik Rosaria dan Lisa tercengang mendengarnya. Seakan-akan mereka disadarkan lagi oleh Albedo tentang hubungan bersahabatan mereka. Tetapi tetap saja, Lisa tak dapat menerimanya.
“Apa urusanmu dengan hubungan pertemanan kami?! Sebaiknya, kau terima ini, Albedo!!”
Lisa menembakkan bola listrik lagi ke arah Albedo.
Duarr!!
Tapi Albedo mampu menepisnya hanya dengan sekali tebas dari pedangnya. Akibatnya Lisa menerima dampak ledakannya sendiri dan terpental beberapa meter ke belakang. Ia sampai terguling-guling dan berhenti posisi tengkurap.
“Albedo!”
“Tenang saja, Rosaria. Dia itu lulusan Akademi Sumeru. Dia akan baik-baik saja.”
Lalu Albedo menghampirinya. Lisa hanya bisa berbaring tak berdaya saja, sama seperti Rosaria. Albedo menatap serius kedua mata Lisa.
“Lisa, kalau kau ingin tau kebenaranku… seharusnya dari dulu, kau tanyakan saja pada guruku. Kau tau kan siapa guruku?”
“Lisa!!” Seketika Aether datang menghampiri Lisa. “Albedo, apa yang kamu lakukan??”
“Hmph. Penjelasannya cukup panjang, Aether.”
“Lalu, di mana Rosaria?”
Albedo hanya berbalik badan untuk menunjukkannya kepada Aether.
“Rosaria!” Namun Eula yang datang menghampirinya. “Apa kamu tidak apa-apa??”
“Sepertinya tulang lengan kiriku patah.”
“Ah, kenapa bisa terjadi begini…?”
“Hehe, hanya pertengkaran kecil saja, Eula.”
“Sebaiknya aku harus membawamu kembali ke kota.”
Eula seketika membopong Rosaria dengan hati-hati.
“Kalau kalian mau membawa mereka berdua kembali ke kota, kemungkinan besar mereka akan pingsan.” “Ini sudah malam, sebaiknya bawa saja ke tempatku. Akan aku rawat mereka berdua.”
Kemudian Albedo sengaja berjalan terlebih dahulu.
“Lisa… aku akan membawamu….”
“Cutie….” Lisa mengigau singkat.
“Bertahanlah.”
Lalu Aether dan Eula masing-masing membawa Lisa dan Rosaria kembali ke tempat kemah Albedo. Mereka akan dirawat di sana karena sudah tidak mungkin malam-malam dengan suhu sedingin itu, mau kembali ke Mondstadt.
[ 2 minggu setelahnya; Katedral Favonius ]
“Senior Rosaria, Aether mau bertemu denganmu,” ucap Barbara di balik pintu.
“Ya.”
Maka masuklah Aether ke dalam ruangan dan menemui Rosaria.
“Rosaria, bagaimana keadaan tanganmu?” Aether sambil duduk di hadapannya di depan meja.
Saat itu Rosaria sembari sibuk mengerjakan sesuatu di atas kertas.
“Ini sudah 2 minggu, aku sudah baik-baik saja. Lagipula Ini berkat bantuan Barbara yang ikut merawatku dengan kemampuan penyembuhannya.”
“Ah, dia memang sudah ditugaskan begitu, ya?”
“Tidak ada yang lebih hebat darinya kalau soal penyembuhan cepat. Adik Jean memang selalu bisa diandalkan.” Kemudian Rosaria berdiri menuju ke lemari buku. “Jadi, ada perlu apa kamu kemari?”
“Bukannya kita sudah janjian?”
“Oh ya, mau ngobrol soal mutiara itu, ya?”
“Lebih tepatnya, soal asal kekuatan dari mutiara itu. Kenapa bisa berhubungan dengan Dragonspine.”
“Ooh… itu karena yang membuatnya adalah Albedo sendiri,” ucapnya sembari sibuk berurusan dengan buku-buku.
“Apa? Apa aku gak salah dengar?”
“Iya. Albedo sendiri yang memberitahuku kalau dia sedang mencoba untuk mengumpulkan kekuatannya ke dalam sebuah wadah energi yang kemudian dipadatkan hingga sedemikian rupa. Maka terciptalah sebuah benda berbentuk mutiara yang padat dan indah. Tapi kalau soal cahaya yang berkelap-kelip, itu bukan perbuatan Albedo.”
“Terus… perbuatan siapa, dong?”
“Alice.”
“Eh? Alice, katamu?”
“Ya.” Rosaria mengambil salah satu buku dari lemari dan membawanya ke atas mejanya. “Sewaktu Albedo sedang menguji hasil dari keisengannya, Alice datang untuk membantu eksperimennya. Lebih tepatnya bukan sosok asli dari Alice, melainkan dalam wujud kloning.”
“Aku belum pernah tau apa dan bagaimana kemampuan Alice sendiri Yang kutau, Alice adalah ibunya Klee, seorang petualang hebat sekaligus pimpinan dari organisasi penyihir. Aku pun sampai sekarang belum pernah bertemu langsung dengannya.”
“Begitu pula denganku. Tapi aku percaya kalau Alice bukanlah seorang penyihir biasa. Kemampuannya sangat luar biasa. Dia dapat memanipulasi elemental api dan menciptakan kloningan dari kekuatannya. Wujudnya bisa bermacam-macam, termasuk berwujud seperti dirinya sendiri.”
“Berarti Alice memiliki kemampuan untuk menciptakan suatu kloning yang berwujud seperti dirinya sendiri tanpa harus kehilangan atau mengurangi kekuatan elementalnya?”
“Betul sekali jawabmu, Aether. Tapi itu baru sebagian kecil dari kemampuannya. Mungkin hanya 5% saja.”
“Ooh… bisa jadi sih kalau bercermin dari kekuatan dahsyat milik Klee.”
“Haha… Klee masih kecil. Kekuatannya juga masih belum matang.”
“Tapi, apa tujuan Alice membuat sonar semacam itu ke dalam objek eksperimen yang diciptakan Albedo? Apa mereka cuma sekedar iseng-iseng aja atau… memang ada tujuan tertentu?”
“Alice sengaja mengirimkan sinyalnya kepada kita semua. Dan tidak sengaja ditemukan oleh Eula. Tapi aku yakin, Albedo sudah memperhitungkan semuanya agar benda tersebut sampai ke tangan Eula, lalu diteruskan kepada kita.”
“Jadi, soal sinyal dari sonar itu…”
“Ya, sosok asli Alice memang betul berada di Ibukota Natlan. Mungkin… dia sedang membutuhkan bantuan dari kita.”
“Benarkah?? Kalau begitu, kita harus segera—”
“Jangan terburu-buru dulu, Aether. Perjalanan ke Natlan tidaklah semudah ke Inazuma. Malahan lebih sulit dan lebih berat dari Inazuma.”
“Apa kamu pernah ke Natlan?”
“Belum. Tapi Alice sendirilah yang menceritakannya padaku waktu kloningannya berkunjung kemari untuk menemuiku. Negara Natlan itu tertutupi oleh lautan api. Kalau Inazuma kan badai petir, masih bisa dihindari menggunakan kekuatan elemental. Tetapi untuk Natlan… menggunakan kekuatan elemental saja tidaklah cukup, bahkan dengan kekuatan elemental es sepertiku.” “Tapi setidaknya masih lebih baik daripada Snezhnaya.”
“Heh? Barusan kamu bilang apa?”
“Ah, enggak. Aku hanya mengigau saja.”
Dok!
Rosaria baru saja mengesahkan selembar kertas dengan sebuah cap berlogo Katedral Favonius.
“Ini adalah tugasmu selanjutnya, Aether. Coba kamu baca dulu sebelum aku mengirimkannya kepada Jean.”
“Tugas untukku?”
Aether membacanya sekilas, dan dia sudah tau apa tugasnya selanjutnya.
“Masih dua hari lagi. Tapi kembali lagi ke Alice, bagaimana kalau dia benar-benar dalam kesulitan di sana? Apa akan baik-baik saja?”
“Pikirmu dia itu kurang kuat? Bukankah kamu sendiri yang mengakui kalau Alice adalah seorang petualang dan penyihir terhebat di jagat Teyvat? Jangan khawatirkan dia. Dia pasti sudah mempunyai caranya sendiri untuk keluar dari masalahnya.”
“Kenapa kamu bisa sesantai itu, Rosaria?”
Rosaria berpangku pinggang sambil memandang ke luar jendela.
“Atau mungkin… dia memang sedang ingin menunjukkan lokasinya kepada kita semua. Kemungkinan besar, Alice memang berada di sana. Bukan sebagai kloning, tetapi sebagai diri aslinya. Mungkin saja begitu.”
“Jadi sewaktu-waktu kalau mau menemuinya…”
“Ya, kita bisa langsung menuju ke Natlan. Hanya saja, perjalanannya enggak akan mudah.”
“Ohh….”
“Tapi kalau kamu mau ke sana, mungkin… aku bisa menemanimu, Aether.”
“Ah, yang benar…? Aku gak yakin dengan ucapanmu.”
“Ya, aku emang sedang bercanda.”
“Ya, kan? Baiklah kalau begitu, aku kembali dulu.”
“Mau ke mana?”
“Aku mau menemani Lumine ke Springvale untuk menemui Diona dan Fischl. Kata mereka mau mengadakan sesuatu yang menarik di sana.”
“Semoga tidak terjadi hal-hal aneh kalau sama mereka berdua.”
“Iya.” Kemudian Aether beranjak dari tempat duduknya. “Sampai jumpa kembali, Rosaria. Terima kasih atas semua pnejelasannya.”
“Ya.”
Aether pun keluar dari ruangan.
“Alice… kamu dengar sendiri, kan?”
Bulu yang sebelumnya dipakai menulis oleh Rosaria, tiba-tiba berubah menjadi bulu berapi.
“Ya. Tak dapat kupungkiri kalau dia memang mengkhawatirkanku,” jawab bulu berapi tersebut yang suaranya mirip seperti Alice.
“Kamu ini… kenapa tidak kembali saja ke Mondstadt? Kasihan pahlawanmu itu.”
“Aku masih ada beberapa urusan di Natlan. Kalau sudah selesai… hmm… sepertinya selesainya bakalan lama, deh… aku sendiri gak yakin.”
“Kamu ini, selalu saja.” “Setidaknya, kembalilah untuk menemui Klee. Bukan lewat kloningmu maupun lewat bulu kusut semacam ini.”
“Enak aja kamu bilang bulu kusut! Ini merupakan kamuflase yang paling bagus, Rosaria!” “Kalau buat Klee… setidaknya dia sudah punya banyak teman di sini. Keinginanku memang aku sendirilah yang mau menemuinya. Tapi mau gimana lagi, masih ada banyak urusan yang harus aku urus. Semua untuk mengungkap kebenaran dari dunia ini.”
“Asalkan jangan sampai kamu menua terlalu cepat, Alice.”
“Seharusnya aku yang bicara begitu padamu, Rosaria! Cepat cari jodoh biar kamu punya keturunan yang dapat meneruskanmu!”
“Kenapa bahasnya sampai ke situ? Gak ada urusannya denganmu.”
“Daripada kamu jadi perawan tu—”
Cesss~
Rosaria seketika meremas bulu itu hingga menjadi dingin.
“Hei, apa yang kamu lakukan, Rosaria?! D—Dingin sekali…!!”
Lalu Rosaria melepaskan genggamannya.
“Huhh… jahat sekali kamu….”
“Makanya jangan bahas itu.”
“Ehee~” “Ya sudah, aku pamit dulu, ya? Ada orang datang nih, mau hutang lagi.”
“Jangan kasih ampun.”
“Oke!” “Bye-bye, Rosaria…!”
Wush!
Api pada bulu tersebut langsung padam dan kembali seperti semula dengan normal.
“Aku harap kamu selalu baik-baik saja, Alice.”
ns 15.158.61.8da2