Sinar mentari di alun-alun stasiun kecil belum panas.
Punggung pun terasa dingin.
Mungkin karena angin yang datang dari utara melewati kawat berduri 625Please respect copyright.PENANADUWpqmhDsj
atau mungkin karena darah dingin yang mengalir
dari lokomotif yang rusak akibat peperangan. 625Please respect copyright.PENANAxax7gyhZW3
625Please respect copyright.PENANAR1YWFQIQDu
Aku menyapu debu karat yang menumpuk tebal
dan mendorong pintu ruang tunggu yang berdecit.
625Please respect copyright.PENANA3ULeaG2OKK
Seketika angin menusuk dada
seakan-akan menanti-nanti selama ini.
Ah, apa boleh buat.
“Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api” karya Moon Changgil telah memberikan pada kita berbagai sisi Korea secara nyata dengan luka-luka sosial, politik, dan sejarahnya.” —Nenden Lilis Aisyah
625Please respect copyright.PENANAlBrX8Dk4Tb
“Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api”, buku karya Moon Changgil yang di terjemahkan oleh Kim Young Soo dan Nenden Lilis A. Buku ini merupakan buku kumpulan puisi dengan puisi berjumlah 58 puisi dan dengan 51 judul puisi. Buku ini terbagi menjadi empat bagian yang masing-masing terdiri dari beberapa puisi.
Tema utama dari buku ini yaitu menggambarkan kisah hidup manusia-manusia biasa yang ada di korea maupun dunia luar yang keadaannya bisa dibilang sama saja. Tema ini menggambarkan emosi eksternal dan juga internal dari kehidupan pekerja hariaan dan kehidupan orang miskin.
Moon Changgil lahir di Gimje, Provinsi Jeolla Utara, Korea Selatan. Penyair yang dapat dikategorikan angkatan ‘80-an di Korea ini mulai berpartisipasi dalam penulisan puisi pada 1984 lewat kumpulan Puisi Dure (Duresi Dongin).
Pada tahun yang sama hingga 1991, Moon bergabung di Komunitas Sastra Buruh Guro dan pada 1984–1990 di Bagian Sastra Persatuan Pemuda Perusahaan Demokratisasi.
Pada 2001, kumpulan puisinya berjudul “Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api” (Cholgili Hwimanghanun Koteun) menerima dana kreasi karya dari Institut Pengembangan Kebudayaan dan Kesenian Korea. Bukunya yang berjudul ”Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api” juga akan diterbitkan oleh Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) tahun 2021. Kumpulan puisinya yang lain, Amanat Kemerdekaan Negara Utara (Bukguk Dokrip Seoshin) menerima dana bantuan dari Yayasan Kebudayaan Kyonggi (2019). Selain dalam kumpulan puisi tunggal, puisi-puisinya pun terbit dalam antologi bersama, antara lain Di Ujung Mata Ikan (Mulkogi Kyotnun Soke Deun).
Selain menulis, Moon memimpin sejumlah media dan aktif di organisasi sastra di Korea. Ia memimpin kelompok Changjak21 dan mengelola majalah sastra Changjak21. Moon juga memimpin penerbit Dlkot. Di samping itu, ia bergabung dalam Konferensi Pengarang Korea, Perhimpunan Penyair Korea, Persatuan Pengarang Bangsa Korea, Lembaga Riset Kesusastraan Bangsa, Perhimpunan Pengarang Goyang, dan Solidaritas Sosial Masyarakat Demokrasi Goyang.
Nenden Lilis Aisyah adalah seorang penulis Indonesia, Lahir di Garut, Jawa Barat, 26 September 1971. Menyelesaikan pendidikan di Jurusan Pendidikan dan Sastra Indonesia FBPS IKIP Bandung dan menyelesaikan S-2 di IKIP Bandung. Pernah menjadi redaktur majalah Kampus, Isola. Aktif menulis esai, resensi, reportasi, cerpen, dan puisi di beberapa surat kabar antara lain : Kompas, Republika, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Pikiran Rakyat, Surabaya Post, Majalah Sastra Horison, dll.
Puisi-puisinya terbit dalam antologi ‘Mimbar penyair abad 21’, ‘Malam Seribu Bulan’, ‘Tangan Besi’, ‘Gelak Esai dan Ombak Sajak Anno 2002’, ‘Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia’, ‘Dari Fansuri ke Handayani’, ‘Wanita Penyair Indonesia’, ‘Nafas Gunung’, ‘Bunga Berserak’, ‘Aku akan Pergi ke Banyak Peristiwa’ telah di terjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Jerman dan Mandarin, bahkan Ari KPIN memusikalisasikan sajak-sajaknya dalam ‘Negeri Sihir’ dan terbit dalam bentuk kaset.
Cerpennya yang telah terbit antara lain dalam antologi ‘Dunia Ibu’, ‘Dunia Perempuan’, ‘Apresiasi Cerita Pendek Indonesia’ dan ‘Bulan Kertas’ yang terpilih dalam Cerpen Pilihan Kompas 2000. Antologi cerpennya ‘Ruang Belakang’ memenangkan lomba penulisan cerpen yang diselenggarakan oleh Pikiran Rakyat Edisi Cirebon dan Bank BTPN Cirebon.
Kerap di undang dalam berbagai kegiatan sastra, antara lain Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Workshop cerpen Majelis Sastra Asia Tenggara, Festival de Winternachten di Den Haag, Belanda (1999), Pembacaan Puisi di KBRI, INALCO, Paris, Perancis (1999), Festival Puisi Internasional di Teater Utan Kayu Jakarta (2000), Kongres Cerpen I di Yogyakarta (2000), Festival Puisi Internasional Indonesia (2002), Diskusi dan Pembacaan Puisi di Yayasan Kesenian Perak Ipoh Malaysia (2004).
Selain itu, ia juga mengisi ceramah dan apresiasi sastra di berbagai sekolah dan Perguruan Tinggi di Indonesia serta aktif dalam pelatihan-pelatihan sastra. Mendirikan Komunitas Sastra Dewi Sartika (KSDS) di Bandung yang mengkhususkan diri pada pengembangan potensi, kreatifitas dan sosialisasi karya perempuan. Kini ia bekerja sebagai pengajar Jurusan Sastra Indonesia UPI, Bandung.
Kim Young Soo lahir di Seoul, Korea Selatan. Ia menyelesaikan Studi S1 di Jurusan Bahasa MalayIndonesia HUFS (Hankuk University of Foreign Studies). Studi S2 ia tamatkan di Program Studi Kesusastraan Modern Indonesia (khususnya menyorot karya Pramoedya Ananta Toer) HUFS. Adapun Program S3 ia tuntaskan di Jurusan Sastra Bandingan HUFS, dengan disertasi berjudul A Study on Chairil Anwar’s Poems with the Postcolonialistic View.
Ia menulis antara lain, The Haecho’s Journey: A Monk of Shilla’s Kingdom Korea to Sriwijaya Kingdom dan Indonesian Language Practice. Ia menerjemahkan sejumlah buku dari bahasa Korea ke bahasa Indonesia dan sebaliknya, antara lain kumpulan puisi Orang Suci, Pohon Kelapa karya Choi Jun, Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer karya Pramoedya Ananta Toer, dan Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api karya Moon Changgil. Ia pernah memegang jabatan Kepala Siaran Bahasa Indonesia, Siaran Internasional, KBS (Korean Broadcasting System) selama 30 tahun, dan kini berpuisi sebagai anggota Changjak21.
Puisi-puisi pada buku ini pun dihiasi jenis puisi suasana (termasuk suasana alam Korea). Tetapi tentu penyajiannya sudah melalui perenungan dan sudut pandang penyair yang memperkaya wawasan kita akan spirit dan nilai-nilai kehidupan bangsa tersebut. Puisi-puisi dengan tema sosial, politik, sejarah, dan sejenisnya tak terlepas dari garis tradisi sastra Korea itu sendiri, dalam hal ini sastra modernnya.
Buku yang terdiri dari 128 halaman ini berisi puisi-puisi yang terbagi menjadi 4 bagian yang masing-masing bagian memiliki tema yang garis besarnya menceritakan keadaan Korea.
Contohnya pada puisi yang terdapat pada "bagian 1 dengan jumlah 12 judul puisi yang secara keseluruhan menceritakan tentang keadaan para rakyat kecil atau orang-orang yang tidak terurus yang harus menjalani kehidupan dengan susah payah. Keadaan ini digambarkan oleh penyair secara naratif melalui puisinya yang menceritakan orang-orang tersebut sebagai tokoh penting dalam puisinya, contoh tokohnya ada, seperti paman Seok, paman Kim dan ibu Yeonhee. Ada juga seorang siswa SMP bernama Sooki pada puisi “Pemandangan Gedung Koperasi Kredit” yang digambarkan harus berjualan koran, dan ia menggendong dua ratus sekian puluh helai koran tersebut dengan badannya yang kurus.
Secara garis besarnya puisi yang terdapat pada bagian 1 ini menggambarkan kehidupan rakyat yang kurang mampu dan segala perjuangan mereka untuk menjalani kehidupanm, serta dapat sedikit dipahami bahwa yang penyair ingin sampaikan melalui rangkaian puisinya pada bagian 1 ini adalah sebuah protes terhadap kondisi sosial dan ekonomi Korea. Mungkin penyair berharap dengan adanya puisi ini akan memberikan kesadaran mengenai buruknya kondisi sosial ekonomi rakyat kecil Korea.
Berlanjut ke bagian 2 dari buku kumpulan puisi ini. Dapat terlihat bahwa sebagian besar puisi pada bagian 2 ini menceritakan tanggapan dan pikiran dari si penyair mengenai kondisi peperangan. Puisi-puisinya menggambarkan bagaimana kerusakan dan dampak buruk lainnya yang ditimbulkan akibat peperangan di Korea, seperti contohnya pada puisi “Di Stasiun Woljeong-Ri” yang menggambarkan stasiun yang rusak akibat adanya perang. Lalu pada pusi “Kembang Unifikasi” digambarkan keinginan atau impian rakyat Korea mengenai penyatuan kembali dua Korea yang terpisah.
Puisi pada bagian 2 ini menceritakan bahwa yang ditiimbulkan dari peperangan dan pemisahan Korea itu hanyalah kesedihan dan kesengsaraan rakyatnya. Selain cerita tentang impian terjadinya unifikasi, puisi pada bagian 2 ini juga menyajikan puisi-puisi yang menggambarkan bagaimana kejamnya militer Amerika yang ada di Korea Selatan. Seperti pada puisi “Di Maehyang-Ri”.
Lalu di bagian berikutnya yaitu bagian 3 yang sebagian besar puisinya menceritakan tentang kondisi pribadi atau kehidupan personal yang dibumbui dengan perjalanan dan isi hati tokoh yang terdapat pada puisinya seperti pada puisi “Menyusuri Jalan Gunung”, “Bunga Mawar Hitam”, dan “Lampu Jalan”. Dapat dilihat bahwa pada bagian 3 dari puisi ini tidak lagi bercerita tentang keadaan sosial, ekonomi maupun politik Korea.
Dan di bagian 3 ini ada hal yang cukup menarik dimana penceritaan puisinya digambarkan seperti sebuah surat, contohnya pada puisi “Di Hagung-Ri Tempat Tinggalku Dulu” yang pertama dan kedua.
Terakhir pada bagian 4 ini puisi-puisinya bercerita mengenai religi dan pedoman hidup dengan sedikit pengalaman tokoh dan cerita cinta di dalamnya. Seperti pada puisi “Hwang, Dewi Pengampunan Buddha” yang menariknya pada bagian 4 ini puisi-puisinya terlihat seperti menyambung dan membahas hal yang sama sehingga seolah tak ada habisnya. Memang pada bagian 4 ini seperti mengedepankan perjalanan kehidupan seseorang.
Seperti itulah, empat bagian yang disebut sebagai “Rangkuman” pada kumpulan puisi “Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api” karya Moon Changgil telah memberikan gambaran pada kita kondisi Korea secara nyata dengan luka-luka sosial, ekonomi, politik, dan sejarahnya.
Lalu membahas dari segi fisik bukunya. Jika dilihat dari sampul buku yang dihiasi dengan warna cokelat dan putih gading, warna-warna tersebut sedikit menjelaskan isi dari buku yang cukup kelam. Perpaduan warna yang cocok dengan gambar rel dan tanah yang tampak nyata. Pengunaan gambar rel kereta sangat sesuai dengan judul dari buku kumpulan puisi “Apa yang Diharapkan dari Rel Kereta Api” tersebut.
Terakhir yang dapat saya sampaikan adalah sangat disayangkan jika kita sebagai pembaca melewatkan kesempatan untuk membaca dan menelaah isi buku ini. Saya dapat berkata demikian karena, yang pertama buku ini memiliki desain yang simpel dan menarik serta penataan tulisannya membantu kita untuk mudah membaca kumpulan puisi dalam buku ini, yang kedua di dalam buku ini penyair menuangkan banyak puisi yang dilihat-lihat menggambarkan “Rangkuman” dari pengalaman, kejadian, alam, kondisi dan situasi dari negara lain lebih tepatnya negara Korea, yang berarti dari buku ini kita bisa mendapatkan beberapa pengetahuan baru tentang negara lain selain Indonesia. (Gabriel Stephen Setiawan)
ns 15.158.61.51da2