Teruntuk kamu, pria dengan sejuta misteri
Setelah lama tinggal mengapa baru kau putuskan pergi
Meninggalkan enigma tanpa jawaban yang pasti
Entah apa yang harus aku lakukan untuk babak baru ini
Merangkul sepi menyesap sunyi
Meninggalkan cinta dan bangun dari mimpi
Melepas genggaman dan mulai mengejar yang pasti
381Please respect copyright.PENANAMavr6tJyeX
“Bucin, lu!”
“Apa-apaan sih, Ndaru?! Nggak usah ngerusak privasi orang! Kebiasaan banget, sih!” ucap Dara dengan berapi-api melihat kebiasaan buruk sahabatnya itu. Kertas yang tadi direbut paksa oleh Andaru telah bertengger manis di tangannya lagi.
“Bucin kok dipelihara, Dar!” Andaru berlalu begitu saja ke tempat duduknya yang ada di sudut kelas, menyumpal telinga dengan earphone, dan jemarinya mulai menari-nari di atas ponsel hitam miliknya.
“Heh, Ndar! Orang yang ngatain orang lain bucin tuh biasanya mau ngebucin tapi nggak ada objeknya. Kasihan banget sih, idup lo.” Dara agak meninggikan volume suaranya untuk memastikan Andaru mendengar kata-kata mutiaranya yang satu itu.
“Bijak banget, Dara,” bukan Ndaru, tapi Wisnu, kakak kelas Dara yang setiap pagi begitu rajin mengunjungi kelas Dara. Memastikan sepupunya yang satu kelas dengan Dara datang ke sekolah atau tidak. Hanya alibi dan hampir semua orang tahu itu. Tampan, cerdas, karismatik, orang kaya pula. Tapi soal hati, siapa yang tahu?
“Eh, Kak Wisnu. Rio belum sampe, Kak,” ucap Dara ramah.
“Iya, nih. Padahal berangkatnya pagi banget,”
Andaru mulai bosan harus mendengar dialog semacam itu minimal lima kali dalam seminggu. Ia segera beranjak dari tempat duduknya.
“Nggak perlu lo cek setiap pagi juga tuh anak bakal sekolah. Meskipun rada nggak beres, tapi nakalnya masih wajar, lah, usia anak sekolah,” Andaru berhenti di samping meja Dara dengan kedua tangan terpajang rapi di saku celana abu-abunya.
“Gue mau ke kantin, ikut nggak?” tawarnya pada Dara.
Merasa tak enak hati pada Wisnu karena ucapan Andaru tadi, Dara memutuskan tetap berada di kelas.
“Nggak, lo aja. Gue udah sarapan. Jangan lupa bayar!” Dara berusaha mencairkan suasana. Andaru terus berjalan tanpa melihat wajah Wisnu.
“Maaf, ya, Kak Wisnu. Ndaru emang gitu orangnya. Tapi kalau Kak Wisnu udah kenal Ndaru, dia orangnya baik, kok. Asik juga,”
“Nggak masalah, Dar. Tapi, kamu tau Andaru banget, ya,” ucap Wisnu terkekeh.
“Dari SMA bareng, Kak,”
“Tau, kok,”
“Kak Wisnu tau?” tanya Dara dengan ekspresi terkejut yang begitu menggemaskan di mata Wisnu. Wisnu refleks mengacak rambut Dara yang tergerai lurus.
“Apa, sih, yang aku nggak tau soal kamu. Eh, iya. Andaru sama Netta apa kabar, Dar?”
“Setau aku sih mereka baik-baik aja, Kak,” Dara mulai merasa tak nyaman dengan perbincangan ini. Gadis manis itu tahu ke arah mana perbincangan itu akan dibawa Wisnu mengalir.
“Mel, liat PR lo, dong! Buruan!” pinta Dara pada Amel yang baru saja sampai di kelas. Dengan begitu, Dara berharap Wisnu mau segera beranjak dari kelasnya.
“Kesambet apa lo, nanya PR ke gue? Inget ada PR aja kagak,” ucap Amel santai.
“Udah mulai rame, nih. Aku balik ke kelas dulu, ya. See you!”
Dara hanya tersenyum mengangguk menyaksikan kepergian Wisnu dari kelasnya.
“Tuh kakel rajin banget ya, Dar. Setiap pagi, lho, ke sini,” ucap Amel setelah Wisnu benar-benar pergi.
“Ngecek Rio, kan,” ucap Dara sambil berkaca di ponselnya merapikan rambut lurusnya yang dibuat berantakkan oleh Wisnu tadi.
“Halah, alesan doang itu mah. Lo udah tau, tapi lo pura-pura nggak peka. Nggak jadi ngerjain PR, Dar?”
“Nggak ada PR. Biar Kak Wisnu pergi aja,”
“Dasar, lo! Kalo nggak suka bilang aja, Dar! Bosen gue liat muka dia mulu setiap pagi,”
381Please respect copyright.PENANASRTDZPb8yk
Berani menikam rindu, berani melepasmu menjadi masa lalu.
381Please respect copyright.PENANAYh6d5v2bh2
Bersamamu dalam kisah nonfiksi terdengar sangat membahagiakan. Tetapi, bersamamu dalam kisah fiksi akan jauh lebih aman. Tak akan ada rasa terluka atau hati yang digariskan patah. Karena fiksi hanyalah sebatas fiksi, bukan?
381Please respect copyright.PENANAt3I6Buzq62
“Ntar jadi ngerjain tugas nggak, Dar?” tanya Rio yang tiba-tiba sudah berada di hadapan Dara.
“Kapan dateng lo? Gue nggak liat lo masuk tadi,” ucap Amel.
“Emang lo pernah liat gue, Mel? Nggak, kan?”
“Apaan sih, Yo!”
“Lo tuh, yang apaan. Orang lo dari tadi sibuk ngajakin Dara gibah mulu,”
“Udah deh lo berdua. Tugasnya udah gue bikin. Besok tinggal presentasi aja. Ntar gue kirim materinya buat persiapan,”
“Rajin banget, Dar. Makasih, ya. Maaf juga nggak bisa bantu,”
“No need. Oh iya, tadi Kak Wisnu ke sini. Seperti biasa, dia nyariin lo,”
“Modus doang itu, Dar. Dia mana peduli sama gue. Kalo lo nggak suka usir aja. Dari muka bumi sekalian, Dar, kalo bisa,”
381Please respect copyright.PENANAIUsM8HJtkO
Berangkat pagi, pulang petang. Otak bekerja keras, tenaga terkuras. Betapa hebatnya siswa kita. Calon pemimpin bangsa yang diberi pendidikan karakter, katanya. Berkompetisi untuk mendapat nilai tertinggi dan posisi teratas, nyatanya. Sibuk memenuhi standar pintar yang diciptakan masyarakat dengan pola pikir yang begitu menyeramkan. Kita sedang berproses menjadi bangsa yang maju, motivasinya.
Hari Sabtu kesempatan emas utnuk mengistirahatkan badan dan pikiran dari semua lelah yang tidak bisa masuk dalam daftar hal-hal paling membosankan membosankan. Merawat hati yang perlahan mati rasa. Mengokohkan kembali rasa yang siap patah untuk kesekian kali.
Andaru :
Dara, gue ke rumah lo. Lo nggak usah pergi-pergi.
Benar-benar satu notifikasi pesan singkat yang tak Dara harapkan. Tak perlu memberi balasan, yang harus Dara lakukan adalah memenuhi instruksi yang tertera jelas dalam pesan itu. Bagaimanapun juga Andaru pasti akan sampai ke rumahnya.
Benar saja, tak lama bel rumah berbunyi. Dara segera beranjak dari zona nyamannya, sofa empuk di depan televisi, untuk menyambut tamu yang tak diharapkannya itu.
Dara tak mengucapkan apa pun, ia hanya membukakan pintu untuk Andaru dan segera kembali ke sofa dengan Andaru yang mengekor di belakangnya.
“Kok diem aja, Dar? Lo sakit?”
“Gue baik-baik aja, Ndar,”
“Lo nggak ada niat buatin atau sekedar nawarin gue minum?”
“Bentar lagi lo juga pasti pergi. Jadi ngapain gue harus capek-capek buatin lo minum? Pura-pura bahagia juga butuh tenaga, Ndar,”
“Lo tuh kenapa, Dar? Gue ngerasa lo mulai benci ke gue. Lo selalu keganggu setiap ada gue. Kalo ada yang salah, ngomong, Dar. Biar kita nggak kayak gini,”
Belum sempat Dara menjawab, handphone Andaru berdering menginterupsi dialog yang sedang terjadi. Andaru menatap Dara dan Dara memalingkan wajahnya ke arah televisi. Berpura-pura fokus dengan acara yang sedang ditayangkan itu.
“Dar …”
“Silahkan, itu kan rutinitas lo. Bagian dari hidup lo. Lo bebas dan berhak nentuin jalan mana yang harus lo pilih buat hidup lo,” bibirnya mengucap dengan suara yang pasti, tapi wajah dan pandangannya hanya fokus pada televisi.
“Gue pengin punya waktu lebih lama sama lo,”
“Lo udah ditunggu, Ndar,”
Tanpa berkata apa pun lagi, Andaru pergi. Tepat setelah Andaru pergi Amel sampai di rumah Dara. Setelah meletakkan donat yang ia bawa untuk Dara, Amel segera mengambil alih remote televisi yang sedari tadi tidak terlepas dari tangan Dara.
“Lo nggak bisa gini terus, Dar. Lo berhak ngedapetin kebahagiaan lo. Lo harus ngelanjutin hidup lo dengan semestinya,”
Tanpa Dara tahu, Amel sudah cukup lama sampai di rumahnya. Karena tahu Andaru ada di dalam, Amel mengurungkan niatnya untuk masuk dan menunggu sampai Andaru keluar. Amel telah mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
“Gimana, Mel?”
“Coba buka hati lo, Dar. Cinta ada karena terbiasa,”
“Terbiasa karena dipaksa?” Dara menjawabnya dengan tawa sinis, menyiratkan bahwa dia juga hanyalah seorang perempuan muda yang dapat terganggu oleh keberadaan cinta.
“Soal perasaan nggak bisa dipaksa, Dar. Perasaan tau kapan harus bertahan, kapan harus melepaskan,”
“Lo bener, Mel. Mungkin selama ini gue terlalu asik sama dunia fiksi gue. Tapi sekarang gue udah ngerasa capek, Mel. Gue pengin balik ke dunia nyata,”
381Please respect copyright.PENANA4F1NG8wxIe
Selamat tinggal untuk kamu yang mulai sekarang akan aku sebut masa lalu.
381Please respect copyright.PENANAfDI3ZWVRsr
you are my favorite fiction
381Please respect copyright.PENANAVpTwRJH8m4
Semakin lama, cinta juga akan tahu diri
Kapan harus bertahan
Kapan harus ikhlas melepaskan
Sekarang, aku telah sampai di titik yang mungkin akan menjadi bagian tersulit
Melepaskan dan mengikhlaskan
381Please respect copyright.PENANADB883X86Ol
“Pagi, Dara!”
“Pagi, Kak Wisnu. Rio belum dateng, Kak,” jawab Dara benar-benar ramah tanpa ada kepura-puraan.
“Oh, Rio. Dia nggak berangkat hari ini, Dar. Suratnya nyusul nanti,”
“Oh, gitu. Kak Wisnu cuma mau ngasih tau itu doang?”
“Kalo nggak itu doang boleh, nggak?”
“Mau ngapain lagi, Kak?”
“Aku mau ngomong sesuatu, Dar. Banyak orang udah tau dan aku yakin kamu juga udah tau. Rio itu cuma alesan buat aku bisa setiap pagi ke sini. Sebenernya aku cuma mau mastiin kamu baik-baik aja. Maaf, mungkin selama ini kamu keganggu dan aku nggak sadar akan hal itu. Aku baru sadar setelah kemaren ngomong sama Rio. Sekali lagi, aku minta maaf, Dar. Mulai sekarang aku akan jadi kakak kelas yang baik aja, Dar,” ucap Wisnu yang diakhiri dengan tawa kecil yang sangat jelas terdengar dipaksakan.
Dara tertegun sebentar. Wisnu menyerah atau hati Dara yang selama ini terlalu beku.
“Itu semua terserah Kak Wisnu. Tapi, kalo aku boleh minta, aku pengin nggak ada yang berubah, Kak,”
Kali ini giliran Wisnu yang tertegun. Apakah ada yang keliru dengan gadis ini atau yang keliru adalah proses berpikir otaknya.
Mereka berdua diam, cukup lama. Sibuk mencerna dialog tadi.
“Dar, apapun yang kamu minta pasti akan aku usahain,”
“Makasih, Kak Wisnu,” ucap Dara lirih. Ia mencoba menahan senyumnya mengembang. Ia menundukkan kepala sembari menyelipkan rambutnya di belakang telinga.
“Dara hari ini pake make up?”
“Hah?” Dara refleks mendongakkan kepalanya dan menatap Wisnu.
“Kebanyakan blush on, Dar. Pipi kamu merah banget,” ucap Wisnu dengan tertawa.
“Ih, Kak Wisnu. Malu tau!” Dara mencoba menutupi wajahnya dengan buku yang tergeletak di atas meja.
Setelah tawanya reda, raut wajah Wisnu berubah serius. Jantung Dara mulai berdetak kencang.
Pelan, Wisnu menurunkan buku yang Dara gunakan untuk menutupi wajahnya. Ia menatap Dara lekat dan Dara juga memberanikan diri untuk menatap Wisnu tepat di manik matanya.
“Nggak perlu malu, Dar. Now, you’re mine,” Wisnu mengucapkannya dengan lancar tanpa tersendat. Membuat Dara merasa ada kupu-kupu yanag beterbangan di perutnya. Pipinya kian panas.
“Eh, tapi aku terkesan egois banget kalo gitu. Gini, deh. Dara Alethea, kamu mau jadi pendamping aku?”
“Pendamping?”
“Aku nggak pernah ada niat buat main-main sama kamu, Dar,”
Wisnu yang begitu hangat, perhatian, dan dewasa. Kenapa baru sekarang Dara menyadarinya.
Kelas mulai ramai. Wisnu menyadarinya dan Dara masih sibuk mendengar perdebatan otak dan hatinya.
“Dar, apapun dan kapanpun keputusan kamu, aku siap. Aku balik ke kelas dulu,”
“Kak Wisnu,” panggilan Dara mengurungkan gerakkan Wisnu yang siap keluar dari kelas Dara. Wisnu membalikkan badannya ke arah Dara.
“Ya?”
“Ehm, aku mau,” ucap Dara pelan.
Senyum manis tersungging di wajah tampan Wisnu.
“Makasih, Dar,”
“Aku yang harusnya makasih, Kak,”
“Pulang sekolah nanti, mau aku anter?”
“Boleh, Kak. Kalo nggak ngerepotin aja,”
“Nggak usah nggak enakkan. Aku tunggu di parkiran. See you!” ucap Wisnu dengan menyentuh pipi Dara. Setelah itu Wisnu melenggang keluar dari kelas Dara dengan kedua sudut bibir yang masih terangkat.
Dara tak menyangka kalau ia punya kebahagiaan sederhana selain menghabiskan waktu dengan keluarganya. Kebahagiaan itu adalah Wisnu.
“Lagi seneng banget, Dar, keliatannya,” ucap Amel yang baru saja datang.
“Iya, dong. Ntar lo gue traktir di kantin,” ucap Dara dengan mencubit pipi Amel gemas.
Andaru yang baru datang merasa Aneh dengan keceriaan Dara. Pikirannya mulai melayang ke mana-mana. Apakah Dara… . Ah, sudahlah. Itu lebih baik daripada harus melihat dara terlalu sering murung.
“Pake motor nggak apa-apa kan, Dar?” tanya Wisnu dengan menyerahkan helm untuk Dara.
“Nggak apa-apa, Kak. Lagian aku juga lebih suka naik motor,”
“Cari makan dulu gimana, Dar?”
“Boleh, Kak. Tapi aku nggak bisa lama-lama. Harus ngerjain PR soalnya,”
Dara langsung naik ke atas motor yang dibawa Wisnu. Wisnu menatapnya dari spion dan Dara menyadarinya.
“Dulu kamu cuma fiksi, Dar. Tapi sekarang kamu bener-bener nyata,”
Dara tersenyum simpul mendengarnya. Setelah keluar dari area sekolah, Dara melingkarkan tangannya memeluk Wisnu dan menopangkan dagunya di pundak kokoh milik Wisnu. Ah, manis sekali.
381Please respect copyright.PENANALdTynkshNs
Terkadang manusia terlalu sibuk mencari-cari kebahagiaan besar hingga mereka tidak sadar banyak kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang sayang jika dilewatkan berada sekitar mereka.
381Please respect copyright.PENANA4pBBFDDFih
381Please respect copyright.PENANAIxbzAg9S3M
Kamu adalah satu-satunya takdir yang berjalan dengan semestinya dalam kehidupanku.
381Please respect copyright.PENANAjsB9wERfmV
381Please respect copyright.PENANAPZoz7ChJyH
Andaru :
Dar, gue mau ke rumah lo.
Dara :
Gue mau keluar, ada janji.
Pertama kalinya Dara membalas pesan Andaru yang satu itu. Ya, sekarang kehidupannya perlahan berjalan normal. Denyut nadi kembali hadir dan sesak perlahan pergi.
Hari Sabtu ini Dara sudah berencana untuk pergi nonton film bersama Wisnu. Masa putih abu-abunnya semakin berwarna karena pria itu.
“Bun, Dara pergi dulu, ya,” pamit Dara dengan mencium pipi bundanya.
“Hati-hati, Nak. Pamit juga sama Ayah sana!”
“Lah, Ayah di rumah, Bun? Tumben lengkap. Biasanya Dara sendirian di rumah,”
“Kamu tuh, ya. Buruan sana. Ntar kalo pulang calon mantu Bunda dibawa ke rumah dulu,”
“Apaam sih, Bunda. Udah ngomongin calon mantu aja. Belum lulus SMA ini. Berangkat, Bun,”
Dara juga menyempatkan untuk berpamitan dengan ayahnya yang sedang bersantai di ruang tamu.
“Selamat pagi Ayahku yang ternyata masih inget pulang ke rumah,” sapa Dara dengan ceria.
“Kamu, nih. Pulang salah, nggak pulang salah,”
“Pulang aja, Yah. Biar Dara nggak sering sendirian. Oh, ya. Dara mau pergi main dulu sama temen,”
“Lah, cuma temen?”
“Ehm. Pergi dulu, Yah,” ucapnya sambil mencium tangan ayahnya.
Sampai di depan gerbang, bukan Wisnu, tapi Andaru yang Dara lihat.
“Andaru, gue kan udah bilang mau pergi,”
“Sama siapa? Ke mana?”
“Hey, sejak kapan itu semua jadi urusan lo?”
Belum sempat Andaru menjawab, sebuah mobil berwarna merah berhenti tepat di depan mereka berdua. Wisnu keluar dari mobil itu dan menghampiri Dara. Andaru menatap Wisnu dengan tatapan tidak suka dan Wisnu menatap Andaru dengan raut wajah yang sangat santai.
“Yuk, berangkat sekarang,”
Dara menatap Andaru sebentar sebelum Andaru mengalihkan pandangannya ke ponsel untuk sebuah panggilan yang Dara dapat pastikan dari Netta.
“Ayo, Kak,”
“Nggak ngomong dulu sama Andaru?”
Dara dan Wisnu sama-sama menatap Andaru yang sedang berbicara lewat ponsel.
“Nggak usah, Kak. Dia juga lagi telfonan,”
Setelah beberapa menit perjalanan itu hening, Wisnu memulai percakapan.
“Tadi Andaru ngapain, Dar, di rumah kamu?” Wisnu tahu Andaru hanya sahabat, tapi Dara adalah miliknya sekarang. Ia hanya khawatir jika gadisnya itu harus terlepas darinya setelah semua yang Wisnu lewati.
“Andaru? Dia emang biasa main, Kak. Bentaran, sih. Soalnya dia sibuk gitu. Ada yang sering banget nelfon, terus dia langsung cabut aja,”
“Oh, gitu,” Kekhawatiran Wisnu belum juga berkurang.
“Kak, mau kuliah di mana?”
“Kok nanyain itu?”
“Aku harus siap-siap dari sekarang. Ntar kalo harus LDR aku udah siap secara mental dan fisik,”
“Kamu lumayan cerewet juga, ya, Dar. Kemungkinan di luar negeri, tempat Papa aku dulu juga kuliah. Aku disuruh jadi kayak Papa,”
“Oh, luar negeri, ya?”
“Ke mana pun aku pergi, hati aku tetep di kamu, Dar,”
“Harus, lah. Kak Wisnu nggak masalah disuruh jadi kayak papanya Kak Wisnu?”
“Enggak, lah. Dari dulu aku emang udah suka sama dunia bisnis,”
Dara harus pandai-pandai menjaga hubungannya dengan Wisnu. Memang saat ini belum banyak yang tahu soal hubungan mereka berdua. Tapi, semakin banyak yang tahu maka akan semakin banyak pula yang mendoakan hubungan mereka cepat berakhir. Wisnu memang tipe laki-laki idaman dan Dara sangat tahu itu.
“Sampe, Dar. Mau langsung nonton?”
“Iya, Kak. Tapi nanti mampir ke toko buku dulu, ya. Ada novel baru, aku mau beli,”
“Siap. Mana tangan kamu?”
Dara bingung, tapi ia tetap mengulurkan tangan kanannya. Wisnu langsung meraih tangan Dara dan berjalan memasuki arena bioskop.
“Bisa aja, Kak Wisnu,”
Selesai nonton, mereka berdua mampir ke toko buku untuk membeli novel yang Dara inginkan.
Saat sedang mencari buku itu dengan Wisnu, Dara dikejutkan seorang wanita yang menyapanya.
“Dara!”
Dara langsung mencari sumber suara itu. Begitu juga Wisnu.
“Dar, tau gitu tadi pergi bareng,” perempuan itu menghampiri Dara lebih dulu.
Tak lama di belakang wanita itu muncul Andaru dengan ekspresi wajah yang sulit diartikan.
“Iya, Net,” Dara menjawab seadanya.
“Ini siapa, Dar?” tanya Netta dengan melihat ke arah Wisnu.
“Ini Kak W isnu. Kak Wisnu, ini Netta,”
Wisnu berjabat tangan dengan Netta sebagai tanda perkenalan.
“Oh, ini Netta. Baru ini gue liat lo secara langsung. Biasanya cuma denger ceritanya aja,”
Netta melirik Andaru yang acuh dengan malu-malu.
“Pacarnya Dara? Kalian berdua emang cocok banget, sih. Aku sampe gemes liatnya,”
Andaru sibuk memainkan ponsel, Dara sibuk membaca sinopsis novel-novel yang ada di sana, Netta dan Wisnu sibuk berbincang.
“Sekolah di mana, Net?”
“Cakrawala. Tapi aku pengin pindah ke sekolah kalian, sih,”
“Nggak!” Wisnu menanggapi perkataan Netta dengan cepat.
Mendengar itu, Dara juga ikut menghentikan aktivitasnya.
Melihat itu, cukup membuat Wisnu bingung. Tapi, karena ia tidak terlalu mau ikut campur urusan orang lain, ia segera mengalihkan topik.
“Udah, Dar?”
“Udah, Kak,”
“Yuk, tinggal cari makan. Laper, nih. Duluan, Ndar, Net,”
Tak berselang lama setelah Dara dan Wisnu pergi, Netta juga mengajak Andaru pergi.
“Andaru, kenapa, sih, aku nggak boleh satu sekolah sama kamu?”
“Lagian ngapain, sih. Sekolah lo sekarang juga udah bagus,” jawab Andaru santai.
381Please respect copyright.PENANAL96PEamUZA
381Please respect copyright.PENANAwclRaGB6QU
Kita ini apa? Sebuah teka-teki atau hanyalah sebuah pertanyaan retoris?
381Please respect copyright.PENANAMgbqvtgazA
“Kak, mau mampir ke rumah dulu?”
“Lain kali aja ya, Dar. Ada acara keluarga soalnya. Titip salam aja buat orang di rumah. See you, Princess!”
“Oke, hati-hati, Kak!”
Setelah Wisnu melajukan mobilnya, Dara langsung masuk ke rumah. Ternyata, ayahnya menyaksikan dirinya dengan Wisnu sedari tadi.
“Ra, kok nggak diajak masuk? Ganteng padahal. Calon mantu Ayah, ya?” ucap Ayah Dara untuk meledek putrinya itu.
“Apaan, sih, Yah. Mau tau aja.”
“Udah gede ternyata putri Ayah, ya?”
“Ayah jarang pulang, sih. Masuk yuk, Yah. Masa di pintu mulu?”
“Kalo kamu nggak mau kasih tau siapa mas-mas yang tadi, nggak apa-apa. Ayah yakin, sebentar lagi dia pasti mau ketemu sama Ayah.”
“Ngapain emang, Yah?”
Ayah Dara hanya mengangkat bahunya dan membalikkan badan menuju ke sofa. Sedangkan Dara menaikkan satu alisnya bingung.
Kak Wisnu :
Udah tidur, Dar?
Dara :
Belum, Kak. Acaranya udah selese?
Kak Wisnu :
Udah, Dar. Masih ngerjain tugas?
Dara :
Nggak, Kak. Cuma lagi baca novel. Kak Wisnu lagi ngapain?
Kak Wisnu :
Rebahan aja. Jangan tidur kemaleman. Good night! Nggak usah dibales.
Dara tersenyum membaca pesan singkat dari Wisnu. Setelah meletakkan kembali ponselnya di atas nakas, Dara kembali melanjutkan aktivitas membaca novelnya yang sempat tertunda.
Andaru :
Good night, Dara!
Pesan singkat itu hanya memunculkan dua centang abu-abu saja di ponsel pengirimnya.
“Gue kangen lo, Dar. Banget,” ucap Andaru dengan menatap foto dirinya dan Dara yang terpajang manis di sebuah figura di meja kamarnya.
Melihat pesan singkat dari Wisnu, Dara terdiam sejenak. Ia menutup novel yang sedang ia baca, dan membuka buku diarynya untuk menggoreskan sesautu di sana sesuatu di sana.
381Please respect copyright.PENANAGAnIXN3Z06
Kita ini apa?
Dua salah arah yang enggan pasrah?
Bukan yang memiliki tapi menolak tersakiti?
Sebenarnya kita ini apa?
Dua manusia dengan dua garis berbeda
Tak akan pernah sama
Sekeras apa pun kita mencoba
Bahagialah dengan apa yang menjadi takdir kita
Meski harus melangkah sendiri-sendiri
381Please respect copyright.PENANANP89eKtS8g
“Makin romantis aja lo berdua,” ucap Amel dengan bibir yang dibuat manyun.
“Amel mau romantis-romantisan? Sama Rio aja, Mel.” ucap Wisnu santai.
“Udah aku bilangin, Kak. Sama Rio aja, malah Amelnya nggak mau,”
“Apaan sih, Dar. Mau bongkar aib gue lo?”
“Kak Wisnu juga udah tau kali, Mel.”
“Tuh, anaknya.” ucap Wisnu sambil menunjuk Rio dengan dagunya.
“Ya terus?”
“Mau gue yang ngomong aja?”
Belum sempat Amel menjawab pertranyaan Wisnu, Wisnu sudah mulai berbicara dengan Rio.
“Yo, Amel mau diromantisin sama lo, katanya.”
Ucapannya itu sukses membuahkan hadiah pukulan gulungan kertas dari Amel.
Wisnu langsung lari keluar kelas sambil terus tertawa. Rio hanya menatap Amel datar, Amel langsung memalingkan wajahnya dan beranjak keluar kelas.
Andaru yang baru masuk langsung menatap aneh dua makhluk di kelasnya itu. Setelah mengumpulkan cukup nyali, ia memberanikan diri menyapa Dara.
“Pagi, Dara!”
“Pagi, Ndaru.”
Yes, respons bagus.
“Kok chat gue nggak dibales?”
“Gue bukanya pagi, mau dibales kan udah basi.” ucap Dara berusaha senormal mungkin.
“Kalo gitu ntar bales, ya,”
Dara hanya tersenyum mengangguk.
Andaru langsung berjalan menghampiri Rio yang meletakkan kepalanya di atas meja. Mengetahui kedatangan Andaru membuat Rio langsung menegakkan kepalanya.
“Udah pulang, lo?” tanya Rio.
Andaru mengangkat sebelah alisnya sebagai tanda bahwa ia tak mengerti maksud perkataan Rio.
“Biar anti mainstream.”
Andaru hanya membulatkan mulut sebagai jawaban.
“Ngajak ngomong tembok ada faedahnya juga, ya? Melatih kesabaran. Ada untungnya juga sebangku sama lo. Eh, iya. Ngapain lo sama Dara ngobrolnya jadi kaku gitu, sih?”
“Seenggaknya dia mau jawab, Yo.” jawab Andaru sembari memainkan ponselnya.
“Kalian ada masalah?”
“Buat gue ada. Tapi, gue pikir buat dia nggak ada.”
“Wisnu?”
Andaru hanya diam.
“Jujur gue nggak tau ini bakal gimana. Tapi, gue nggak bisa dukung salah satu di antara lo sama Wisnu. Kalian sama-sama suka ke Dara. Cinta, mungkin. Gue yakin kalian juga sama-sama bisa bahagiain Dara dengan cara kalian masing-masing.”
“Pengalaman banget, lo. Lumayan loh, buat dapetin banyak cewek. Tapi lo cuma fokus ke cewek yang cueknya minta ampun sama lo. Sabar, bro.” ucap Andaru dramatis dengan menepuk-nepuk bahu Rio.
“Kenapa jadi bahas gue, sih!” ucap Rio kesal.
“Mereka udah jadian?”
“Wisnu sama Dara? Katanya sih, udah.”
“Katanya?”
“Wisnu juga ngomong gitu, kok. Masih banyak cewek, Ndar. Netta misalnya.”
Tanpa basa-basi Andaru memukul kepala Rio dengan telapak tangannya.
“Jomblo aja gue, mah.”
Andaru yang bersungut-sungut dan Rio yang terus terkekeh.
Tanpa Andaru dan Rio tau, beberapa saat mereka terdiam merenungkan kisah cinta mereka. Baru ada satu perempuan dalam hidup mereka masing-masing yang mampu merubah semua yang ada pada diri mereka. Sayangnya, mereka tak pernah jadi pilihan.
381Please respect copyright.PENANAnfEpyA4yye
Pulang sekolah, Rio langsung menghampiri Dara.
“Lo balik bareng Wisnu?”
“Nggak, gue mau ngerjain tugas ke perpustakaan.”
“Oke, Bye!”
Rio langsung berlari meninggalkan Dara dan Amel begitu saja.
“Are you okay, Mel?”
“Iya. Yuk, ke perpus langsung.”
381Please respect copyright.PENANAkDbxgzRCus
Kamu terlalu sempurna
Tak sepantasnya berlaku kepadaku sedemikian rupa
Orang rendah tanpa kasta
Hidup bertahun-tahun tanpa keluarga
Kamu terlalu sempurna
Jika kita tetap bersama, akan terkesan terlalu memaksa
ns 15.158.61.12da2