Raditya Hamzah tidak pernah memperoleh nilai bagus di pelajaran IPA. Entah mengapa dia tidak suka sama sekali dengan pelajaran tersebut. Apalagi waktu kelas 7 SMP yang lalu guru IPA di sekolahnya sangat galak. Bu Nia selalu memberi tugas yang susah dan sangat pelit memberi nilai. Nilainya seringkali di angka 50, nilai tersebut sangat jauh di bawah standar ketuntasan minimum di sekolahnya.
Kelas 8 SMP ini guru IPA Radit berganti dengan Pak Heri, nama lengkapnya Ramadhan Heriyanto. Orangnya tidak sebawel Bu Nia. Senyumnya selalu tipis dan pembawaannya tenang. Tapi bukan berarti dengan Pak Heri yang tingginya hampir sepapan tulis dan selalu membawa segelas air putih saat mengajar, lantas Radit bisa belajar dengan lebih giat. Rasa malas tetap saja hinggap saat membuka buku IPA yang tebalnya dua kali buku matematika.
Suatu ketika Pak Heri meminta Radit untuk tetap di kelas sementara seluruh temannya keluar untuk istirahat.
“Ada apa ya, Pak?” Radit bertanya dengan gugup. Bagaimana tidak, berhadapan langsung dengan guru yang tidak terlalu banyak bicara seperti Pak Heri membuatnya berpikir macam-macam. Ini pasti soal nilai IPA di Penilaian Harian kemarin yang buruk. Radit mendapat angka 55.
“Pingin ngobrol saja,” jawab Pak Heri. Senyum tipis tersungging dari bibirnya. Dia menyisir rambutnya dengan jemari lalu mencondongkan tubuhnya mendekati Radit. “Aktivitas kamu kalau di rumah setelah pulang sekolah apa, Dit?”
“Tergantung, Pak,” jawab Radit. Dia menatap lurus ke arah Pak Heri.
“Tergantung apa?”
“Ya tergantung saya maunya ngapain. Seminggu tiga kali saya ikut klub Dolphinesia, kalau lagi ada kejuaraan bisa setiap hari.”
“Dolphinesia?”
“Klub renang, Pak. Saya sudah ikut sejak SD. Karena di SMP kita nggak ada eks-kul renang, makanya saya lanjut terus di sana. Dulu SD saya kerja sama dengan Dolphinesia.”
“Ooh,” Pak Heri menegakkan duduknya. “Selain itu?”
“Nggak ada lagi, Pak. Di rumah aja. Kecuali kalau ada teman yang ajak main atau Mama sama Papa ajak ke Mall.”
“Oke, kalau gitu kamu silakan istirahat. Bawa bekal?” Pak Heri berdiri dari duduknya, memberi instruksi pada Radit untuk berdiri juga. Mengakhiri diskusi kecil yang aneh menurut Radit.
“Bawa. Mama selalu menyiapkan saya bekal,” jawab Radit.
“Bagus,” Pak Heri tersenyum lagi. Kemudian menepuk pundak Radit. “Saya selalu apresiasi ibu-ibu yang bisa menyisihkan waktu dan tenaga untuk menyiapkan sarapan anak-anaknya. Kamu berapa bersaudara, Dit?”
“Saya tiga bersaudara, Pak. Mama punya usaha catering, Pak. Jadi sebenarnya nggak sepenuhnya karena anak-anaknya juga.”
“Oh ya?” Pak Heri tertawa renyah. Tidak menyangka Radit akan menjawabnya seperti itu. Kali ini dua tangannya memegang bahu Radit, membuatnya agak rikuh. Dengan suara dalam Pak Heri berkata, “Kamu perlu cari tahu apakah usaha catering ibumu dijalankan bukan untuk anak-anaknya.”
Radit terdiam. Antara tidak mengerti maksud kalimat terakhir yang diucapkan Pak Heri dengan tujuan diskusi singkat yang barusan terjadi. Keningnya berkerut. Baru saja dia hendak bertanya pada Pak Heri, tapi orang tersebut sudah berlalu pergi.
Kalau obrolan tadi bukan tentang nilai IPA, apa nilai 55 di Penilaian Harian tidak buruk? Pikir Radit.
Ah, sudahlah. Radit pun bergegas membawa kotak makannya menuju kantin dan membaur bersama teman-temannya.
***
Sejak ikut Dolphinesia, Radit sebenarnya sering mengikuti kompetisi renang, namun belum satu kali pun dia naik ke atas podium sebagai juara. Skornya di beberapa kompetisi antar klub selalu menempatkan dirinya pada peringkat 5, 6 atau 7. Meski begitu orangtuanya sangat mendukung Radit di klub renang. Segala kebutuhan Radit terkait renang akan selalu diusahakan oleh orangtuanya.
Namun karena ayahnya bekerja di Semarang sebagai kepala bidang marketing untuk wilayah Indonesia Timur di salah satu perusahaan asuransi nasional membuatnya pulang hanya sebulan sekali. Ibunya yang selalu menemani Radit dalam setiap kompetisi renang. Sejak di SMP karena tidak ada ekstra kurikuler renang di sekolahnya, tidak ada guru yang mendampingi saat Radit mengikuti kompetisi renang.
Sampai pada akhirnya ibu Radit meminta pada Pak Heri sebagai asisten wakil kepala sekolah bidang kesiswaan untuk menunjuk salah satu guru agar mendampingi Radit yang akan mengikuti kompetisi renang tingkat nasional di bawah naungan Kemenpora. Apalagi dalam kompetisi ini Radit akan membawa nama sekolah walaupun didaftarkan oleh klub Dolphinesia.
Radit dan ibunya tidak menyangka kalau Kepala Sekolah menunjuk Pak Heri sendiri yang akan mendampingi Radit saat kompetisi nanti.
“Terima kasih, Pak Heri. Saya pikir yang akan mendampingi adalah Pak Farhan karena dia guru olahraga Radit,” ujar ibu Radit saat datang ke sekolah untuk meminta surat keterangan mengikuti kompetisi.
“Kompetisinya kan hari Minggu ya, Bu. Kebetulah Pak Farhan ada acara bersama keluarganya. Jadi saya yang agendanya kosong menggantikan Pak Farhan.”
“Maaf jadi merepotkan.”
“Nggak apa-apa kok, Bu. Saya senang bisa mendampingi Radit.”
Di saat hari kompetisi berlangsung, Radit memperoleh nomor urut yang cukup lama sehingga dia harus menunggu lama di ruang ganti sebelum namanya mendapat giliran. Karena bosan dia menuju area penonton dan mencari ibunya. Rupanya ibunya sedang menemani adik-adiknya makan di area luar kolam renang. Pak Heri yang tampak memperhatikannya dari kejauhan.
“Masih lama?”
“Ini masih grup B, saya dapet grup G.”
“Lumayan ya…”
“Bosan juga nunggu lama.”
“Biasanya kalau lomba begini apa yang kamu lakukan mengisi kekosongan?”
“Main handphone. Tapi sekarang handphone saya baterainya habis. Belum sempat di-charge semalam.”
“Saya bawa buku nih. Bisa kamu baca.”
Radit mengeluarkan ekspresi enggan, “Baca buku, Pak? Saya nggak terlalu suka.”
Pak Heri tersenyum sambil mengeluarkan sebuah buku. Benar saja, Radit sudah hampir menebak buku apa yang dibawa Pak Heri, dan ternyata benar buku IPA yang tebalnya sungguh menggangu.
“Sebentar lagi Penilaian Tengah Semester, saya ambil materinya dari buku ini. Kita jawab sama-sama soal yang ada di buku ini sebagai bahan belajar. Bagaimana?”
Sebenarnya Radit ingin menolak. Namun melihat Pak Heri yang sudah membawa buku setebal itu ditambah buku tulis dan pulpen, rasanya Radit tidak sampai hati membuatnya kecewa.
Akhirnya Radit benar-benar belajar sambil menunggu waktu giliran untuk tampil. Satu persatu soal dijawab Radit. Pak Heri membantu hampir di semua soal. Terutama yang terkait dengan biologi dan kimia, Radit sangat tidak suka menghapal istilah-istilah biologi atau kimia yang menurutnya terlalu sulit untuk diingat. Sesekali mereka mengomentari peserta lain yang tampil. Kategori 50 m putra untuk gaya bebas merupakan kategori yang sangat umum, sehingga pesaingnya sangat banyak. Raditya tampak gugup melihat skor peserta-peserta lain yang sudah tampil. Kegugupannya teralihkan oleh soal-soal IPA yang dikerjakan. Tanpa terasa sudah banyak soal yang dijawab. Sampai akhirnya grup E sudah tampil di kolam renang. Artinya dia harus lekas ke kamar ganti untuk bersiap-siap dan melakukan stretchingsebelum tampil.
“Dit,” Pak Heri memanggilnya saat dia hendak beranjak dari area penonton. “Lakukan yang terbaik.”
Entah mengapa itu memberi semangat tambahan bagi Radit. Apalagi baru kali ini Radit melihat senyum Pak Heri cukup lebar sehingga menampakkan gigi gingsulnya yang berantakan.
Radit pun menghilang ke kamar ganti dan baru muncul saat namanya dipanggil untuk tampil. Tak berapa lama ibu Radit datang bersama kedua adiknya. Mereka duduk bersisian melihat Radit tampil di kolam renang.
Sama seperti kompetisi-kompetisi sebelumnya, Radit belum berhasil masuk di peringkat 3 besar. Dia memperoleh skor waktu yang berbeda tipis dengan juara tiga. Menempatkan dirinya di posisi keempat. Lagi-lagi dia tidak bisa naik ke atas podium. Ekspresi kekecewaan terpancar di wajahnya saat dia berkemas pulang.
“Bagaimana, Dit?” Tanya Pak Heri saat di perjalanan pulang. Mereka pulang dengan mobil ibu Radit sementara motor Pak Heri di tinggal di rumah Radit.
“Bagaimana apanya, Pak? Kan saya kalah,” Radit menjawab setengah ketus.
Ibunya menegur, “Kok jawabnya ketus begitu. Gapapa, Kak. Mama tetap bangga sama Kakak. Dapet juara 4 loh di kompetisi nasional. Kita kan belum pernah ikutan yang selevel ini.”
Pak Heri hanya diam. Obrolan berganti dengan serunya adik-adik Radit ribut meminta beli mainan di luar area kolam renang. Begitu sampai di rumah, Pak Heri segera pamit untuk pulang.
“Raditya,” Pak Heri memanggil dengan suara yang pelan. Radit hanya diam di bibir pintu. “Saya tidak melihat kamu kalah loh tadi. Kamu berhasil mengalahkan puluhan orang untuk sampai di posisi keempat.”
Radit masih diam saat Pak Heri mengusap kepalanya. Tetap saja dia merasa kalah.
“Jangan berhenti sampai di sini,” lanjut Pak Heri. “Kamu tinggal selangkah lagi untuk bisa naik podium. Saya tidak terlalu suka renang, tapi kalau kamu mau, saya akan temani kamu latihan minggu depan di klub Dolphinesia.”
Baru saja Radit akan bertanya mengapa, Pak Heri sudah melambaikan tangan dan mengucap salam. Dia pun melaju dengan sepeda motornya.
Radit ditinggal sendiri di depan pintu.
***
“Pak, ini benar?!” Radit setengah menjerit menyodorkan kertas Penilaian Tengah Semester kepada Pak Heri saat dibagikan sebelum waktu istirahat.
“Kamu tidak yakin dengan nilai kamu sendiri?”
“Nggak, Pak! Saya pikir mungkin saya bakal dapet 60-an.”
Pak Heri tersenyum. Kemudian dia memegang bahu Radit dan berkata, “Nilai 72,5 sebenarnya masih di bawah ketuntasan minimum. Tapi nilai ini sudah menunjukkan kemajuan kamu yang hebat. Satu soal lagi kamu benar, kamu lolos tanpa remedial. Saya senang kamu bisa dapat hasil yang bagus.”
Radit tersenyum riang. Padahal seingat dia, hanya tiga kali belajar IPA. Sehari sebelum ujian dia belajar, kemudian dua kali bersama Pak Heri, saat waktu kosong di acara kompetisi renang dan sehabis selesai latihan renang seminggu setelahnya.
“Terima kasih ya, Pak, sudah bantuin saya belajar,” ujar Radit spontan. Rasanya ingin segera pulang dan bilang ke Mama kalau nilai ujiannya tidak jelek.
“Kalau gara-gara kamu saya jadi suka renang, kamu mau kan jadi suka IPA karena saya selalu bawa buku IPA saat mendampingi kamu?”
“Gara-gara Pak Heri,” Radit tersenyum lebar. Kali ini dia mengikuti langkah lebar Pak Heri keluar kelas. Di depan kelas Pak Heri menghentikan langkahnya. Dia menatap lurus ke arah Radit. Kemudian tangannya mengusap kepala Radit.
“Jangan berhenti sampai di sini,” ujar Pak Heri. “Nantinya kamu akan berjuang sendiri, tanpa saya atau orang lain mendukungmu. Kamu cuma perlu alasan yang tepat untuk terus mengembangkan dirimu.”
Kemudian Pak Heri berlalu pergi meninggalkan Radit yang mengerutkan kening karena tidak bisa mencerna kalimatnya barusan.
Dalam hati Radit bertanya, akankah keberadaan Pak Heri sebagai alasan yang tepat?
- selesai -
ns 15.158.61.43da2