"Suatu ketika dalam hidup manusia, norma-norma akan berbalik seperti boomerang, mencederai tatanan hidup manusia itu sendiri. Hal itu disebabkan oleh kesibukan manusia membuktikan jutaan hipotesis demi menjadi sempurna."
***
Xavier Aryeswara menatap lekat pada wajahnya di cermin. Kristal biru yang gelap di kedua kornea matanya seolah palung yang tak berdasar. Dia ingat betul, wanita yang paling dicintainya memiliki mata biru sama gemerlap dengan matanya. Wanita yang dia yakini sebagai ibu yang mengandung, melahirkan, dan merawatnya hingga menutup usia tepat di saat Xavier menginjak usia 18 tahun. Kematian Evelyn Aryeswara dua tahun lalu, mendadak mengundang misteri bagi anaknya sejak muncul sebuah email berisi pertanyaan-pertanyaan,
Apakah sejatinya definisi ibu itu? Diakah yang melahirkan kita, mewariskan sebagian kode gen kepada kita, atau merawat dan mengasuh kita? Atau diakah yang melakukan kesemuanya? Bagaimana jika ternyata kita dilahirkan, dirawat dan dibesarkan, serta diwariskan gen oleh orang yang berbeda-beda? Apakah mereka semua adalah ibu kita?
Dan yang membuat jantung Xavier berhenti berdetak adalah kalimat di akhir badan email, Apakah kamu yakin, Evelyn Aryeswara masuk dalam salah satu definisi ibu yang kamu pahami?
Si Pengirim jelas mengenal Xavier dan ibunya. Pun ada hal lain yang mungkin diketahui dan berharap diungkap. Si Pengirim mencantumkan nama Rembulan Merah, yang entah merujuk pada apa atau siapa. Xavier merasa perlu mencari tahu sendiri tanpa melibatkan ayahnya yang bahkan saat ini sedang tidak berada di dekatnya. Rembulan Merah pasti ingin mengungkap sesuatu terkait dirinya dan ibunya.
***
Pesan email tersebut rupanya berlanjut. Yang muncul kemudian adalah barisan kalimat-kalimat bernuansa metaforis yang sebenarnya tidak dimengerti Xavier kemana arah pembicaraannya. Pada akhirnya, Xavier membalas email tersebut dengan satu pertanyaan berhuruf kapital,
BAGAIMANA KAMU MENGENAL EVELYN ARYESWARA?
Pesan tersebut berbalas,
Aku mengenal Aditya Aryeswara. Manusia yang menjadi Tuhan di dunianya sendiri, yang rupanya telah melupakan identitasnya yang sejati.
Rasanya Xavier ingin sekali menghubungi ayahnya yang tidak sedang di Skotlandia. Sudah setahun terakhir ini ayahnya melakukan penelitian di salah satu laboratorium milik pemerintah Amerika yang berlokasi di Selatan Irlandia. Xavier hanya tahu kalau ayahnya bekerja sebagai peneliti kesehatan untuk pencegahan penyakit dan wabah di Eropa.
***
Rembulan Merah mengajak Xavier bertemu di Coffee & Co di sisi jalan Reform Street, tak jauh dari Abertay University, tempat dimana Xavier belajar computer arts. Awalnya Xavier menolak ajakannya, namun rasa penasaran benar-benar telah mempengaruhi isi kepalanya. Dia tak habis pikir dengan segala kalimat dan pertanyaan retoris metaforis yang dilayangkan Rembulan Merah dalam bahasa Indonesia yang hampir tenggelam dalam memori Xavier. Kemampuannya mencerna kalimat-kalimat puitis yang kritis dalam bahasa Indonesia mulai menurun sejak ayahnya tak lagi tinggal bersamanya setahun yang lalu. Teman-teman Indonesia-nya di Dundee, Skotlandia juga mulai jarang berkomunikasi sejak ia keluar dari sekolah kedutaan London saat jenjang elementary dulu.
Namun ternyata, akhirnya Rembulan Merah membatalkan pertemuannya. Alih-alih dia memberikan sebuah nama dan alamat rumah sakit. Arbroath Infirmary adalah rumah sakit yang letaknya berdampingan dengan North Angus FM Radio dan tak jauh dari pantai West Link. Sepengetahuan Xavier, Arbroath merupakan daerah yang cukup lengang dengan banyak pemandangan padang rumput, ladang gandum dan rumah yang jarang-jarang. Rembulan Merah menuliskan sebuah nama, Vanora Torrian, dan sebuah nomor kamar untuk dikunjungi. Tak ada lagi petunjuk untuk menebak siapa Rembulan Merah. Mau tak mau, Xavier harus ke Arbroath untuk mengetahui lebih lanjut.
***
Sebelum berangkat menuju Arbroath, Xavier menyempatkan diri ke pemakaman tempat ibunya disemayamkan. Dia mengungkapkan banyak sekali pertanyaan kepada ibunya seolah nisannya sanggup mendengar dan menjawab segala keganjilan yang ada. Dia benar-benar berharap bahwa semua ini sebenarnya hanya lelucon dan akan segera berakhir setelah dia menemui wanita bernama Vanora Torrian. Di dalam diskusi bersama makam ibunya, Xavier membayangkan sosok ibunya yang harus menderita kanker hebat dalam kurun waktu lama sebelum akhirnya meninggal. Tak ayal, kesedihan muncul dalam benaknya dan membuatnya berkali-kali menarik napas berat.
"Kuharap, ada hal baik di balik ini semua. Aku melakukan ini untukmu, Ma. Aku tidak rela ada orang asing mengobrak-abrik kehidupanmu yang telah damai."
Selama perjalanan menuju Arbroath, Xavier berusaha membayangkan seperti apa Vanora Torrian dan apa hubungannya dengan ibunya. Namun selalu saja gagal karena memang tidak banyak informasi yang dia punya.
Sampai di rumah sakit Xavier langsung menuju kamar yang diberikan Rembulan Merah. Terkejutlah dia karena hanya menemukan sesosok wanita paruh baya yang tengah terbaring dengan banyak selang tersambung di tubuhnya. Kepalanya berdenyut-denyut, keningnya berkerut-kerut. Tak ada apa-apa selain kebingungan yang menyergap. Dia sama sekali tidak mengenal wanita di atas ranjang rumah sakit. Dia tidak mengerti apa yang harus diperbuatnya lagi.
Sebuah map coklat di meja samping ranjang mengusik Xavier. Dia mengambilnya dan melihat tulisan tangan di bagian depan, Krasnaya Luna.
Duh, sebuah nama asing lagi. Merasa tak ada petunjuk apapun, Xavier membuka map tersebut dan mengambil beberapa lembar kertas di dalamnya.
Matanya terbelalak melihat lembar pertama yang merupakan sebuah catatan perjanjian tertanggal 26 September 21 tahun yang lampau. Dia melihat nama ayahnya di sana, juga nama ibunya, dan nama wanita yang sedang di pembaringan. Tiga orang tersebut telah melakukan sebuah perjanjian kerjasama yang ganjil.
Evelyn dan Aditya Aryeswara telah meminta Vanora Torrian untuk menyewakan rahimnya untuk bayi tabung. Lembar kedua dan ketiga berisi tentang segala macam persyaratan dan ketentuan yang berlaku selama masa perjanjian. Dicantumkan pula bahwa tidak boleh ada kontak sama sekali setelah masa sewa berakhir. Di lembar terakhir ada sebuah nomor telepon dengan nama Krasnaya Luna di bawahnya.
Xavier terduduk dan menelan ludah yang mendadak pahit rasanya. Pikirannya berkecamuk dengan segudang pertanyaan dan dugaan yang entah kepada siapa dia harus menyampaikannya. Tidak ada orang lain di kamar tersebut selain Vanora yang napasnya bahkan hampir tak terdengar. Xavier adalah anak tunggal dari Evelyn dan Aditya, mungkinkah Rembulan Merah berusaha menunjukkan bahwa Vanora adalah orang yang melahirkannya?
Jam besuk berakhir. Tak banyak yang bisa Xavier lakukan. Dia harus menemui ayahnya, dia harus menyampaikan secara langsung padanya pertanyaan-pertanyaan yang mendadak muncul satu-persatu di kepalanya. Namun dia hanya bisa mengirim pesan singkat, "Dad, I need you...I need to talk to you. I really need to meet you."
Hal terakhir yang dilakukan Xavier adalah mengontak nomor yang diyakininya sebagai Krasnaya Luna, namun nomor tersebut hanya meninggalkan nada dering tanpa seorangpun mengangkat. Pesan singkat masuk dari Krasnaya setelah Xavier mencoba menghubungi yang ketiga kalinya.
"Temui aku di German Doner Kebab samping Coffee & Co, Reform Street."
***
Belum habis kejutan yang diberikan oleh Rembulan Merah. Di hadapannya kini duduk seorang wanita dengan pakaian yang menutupi seluruh tubuh dan kepalanya. Xavier hanya bisa melihat sepasang mata lentik denga korena hijau di antara belantara lapis-lapis kain yang saling menutupi sosok wanita tersebut. Itu semacam burqa, namun terdiri dari banyak sekali lapisan kain tipis berwarna baby pink. Sangat modis untuk sebuah burqa. Atau sebenarnya Xavier yang buta tentang fashion wanita muslim di Skotlandia.
"Bagaimana perjalanmu mencariku?" Suara lembut dibalik cadar pink membius Xavier seketika. "Namaku Krasnaya Luna Wiratmadja. Krasnaya Luna adalah bahasa Rusia untuk Bulan Merah. Ayahku adalah teman dekat Aditya Aryeswara."
"That's my dad."
"Setahun yang lalu ayahku wafat dan ibuku mulai sakit-sakitan. Dua bulan terakhir dia dirawat di rumah sakit Arbroath Infirmary, dekat dengan rumah nenekku. Sejak dia masuk rumah sakit, sejak itulah aku dibombardir tentang cerita-cerita yang seolah khayalan. Ibumu menderita penyakit sehingga ovariumnya tidak bisa menghasilkan sel telur. Itulah awal mula perjanjian sewa rahim pada ibuku atas saran ayahku sendiri."
Xavier menahan napas. Tak bisa berkata-kata mendengar penjelasan Krasnaya. Dia menunggu, entah apa akhir dari cerita Krasnaya.
"Jika ovarium ibuku tidak bisa menghasilkan ovum, lantas sel telur siapa yang dibuahi ayahku?" Xavier merasakan hawa dingin menjalar ke ubun-ubunnya.
Krasnaya menghela nafas berat, "Kamu adalah eksperimen pembuahan tanpa sel telur asli. Ayahmu dan ayahku mengembangkan teknologi stem cell (sel punca) untuk membuat ovum organik yang kemudian berlanjut pada proses in vitro fertilization."
Xavier benar-benar tak bisa bernapas. Apakah itu artinya dia adalah anak buatan? Benar-benar ganjil dan sulit dipercaya. Kemudian Krasnaya beranjak bangun sehingga Xavier terkesiap. Pembicaraan ini belum selesai, pikirnya.
"Sejak ibuku sakit-sakitan, ayahmu membantu biaya pengobatannya. Dia menitipkan ini untukmu," Krasnaya menyerahkan sebuah amplop coklat. Lagi-lagi amplop coklat! "Aku adalah orang pertama yang menolak isi amplop ini. Selain karena ideologi agama, aku memang tidak setuju sama sekali karena alasan personal."
Krasnaya melangkah anggun meninggalkan Xavier yang masih bingung dengan segala informasi yang barusan dia terima. Dengan gemetar dia membuka amplop yang diberikan. Dia menemukan hidupnya makin rumit setelah membaca kertas di tangannya. Semua yang terjadi di hidupnya benar-benar mengaburkan definisi kata ibu seperti email Krasnaya Luna, Si Rembulan Merah.
Isi amplop itu adalah surat catatan pernikahan Aditya Aryeswara dengan Vanora Torrian tertanggal tepat setahun yang lalu.
- selesai -