Kamar itu dindingnya dicat warna biru safir. Ferdi sangat suka dengan warna itu. Katanya bisa membawa kedamaian. Seperti mendengar suara Pak Ridwan, guru olahraganya di masa SMA dulu.
Yara duduk di bibir ranjang. Menemani Ferdi yang lunglai tak bertenaga. Sudah sekian lama dia mengidap kanker dan kini tubuhnya mulai menolak secara perlahan untuk kembali sehat.
"Kamu ingat tidak Yara," ujar Ferdi.
"Ya," Yara menjawab.
"Sekolah kita dulu sangatlah luar biasa."
"Ya, luar biasa. Kau benar. Tapi, sekolah yang mana Fer?"
"Sekolah kita, Yara. Sekolah SMA kita."
"Ah, ya... Sekolah SMA kita. Ada apa dengan sekolah kita dulu?"
Ferdi susah payah tertawa. Dia merasa Yara menggodanya.
"Kau tahu, Pak Rianto sering menggunakan kekuatan telekinetiknya untuk menghajar siswa-siswa nakal di bangku belakang. Apa saja dia lempar tanpa menyentuhnya sama sekali. Selalu saja hampir mengenai wajahku."
"Oh ya?" Yara seolah tak percaya, "Benarkah Pak Rianto memiliki kemampuan telekinetik."
Ferdi tampak merengut. Dia menggeleng lemah, menampik Yara bahwa dia seharusnya percaya.
"Ah, kau sama saja seperti yang lain. Kau menganggapku gila kan. Padahal kau sendiri yang menjerit saat kau melihat penghapus papan tulis melayang-layang di atas tangan Pak Rianto."
Yara berkerenyit. Berusaha mengingat kejadian yang dimaksud Ferdi.
"Ah, tidak, Ferdi. Aku tidak berada di kelasmu."
Ferdi kembali menggeleng. Dia yakin betul akan ingatannya. Seolah semua kejadian di masa SMA-nya adalah tayangan proyektor yang selalu menyala di depan matanya. Dia bersuara lagi, "Kau kan selalu duduk di bangku nomor dua baris ketiga, Yara. Aku ingat. Aku ingat karena hanya kau yang memiliki kemampuan itu."
"Kemampuan?"
"Iya, aku selalu memperhatikanmu. Aku melihat cahaya berpendar di sekujur tubuhmu. Apalagi saat kau sedang marah karena Reno berulah mengambil buku matematikamu untuk disontek. Aku bahkan mengerti bagaimana suasana hatimu lewat cahaya yang kulihat. Dan kau akan dengan mudahnya mempengaruhi orang lain. Lewat kata-kata. Ah, tidak. Lewat tatapan mata. Ah, entahlah. Pokoknya kau selalu berhasil meminta guru-guru menyelesaikan pelajaran lebih awal, atau meminta teman-teman sekelas taat pada jadwal piket."
Yara terkekeh. Diusapnya kening Ferdi yang basah oleh keringat. Laki-laki itu menatapnya seolah berterima kasih.
"Kau istirahatlah, Fer," ujar Yara akhirnya. Dia tersenyum dan hendak bangkit berdiri, namun Ferdi menarik tangannya.
"Terima kasih Yara, sudah menemani hidupku selama ini. Kau istri yang baik."
Yara kembali tersenyum. Dia meninggalkan Ferdi seorang diri di kamar.
***
"Kini giliran aku yang cerita ya, Fer..." Yara membetulkan duduknya. Di tangannya ada semangkuk bubur untuk diberikan pada Ferdi. Dia menyuapkan sesendok bubur dan memulai ceritanya.
"Waktu pelajaran olah raga, kau pernah terkena bola yang melesat dengan kencang. Aku bahkan bisa melihatmu terhuyung-huyung di tengah lapangan. Apakah kamu ingat?"
"Itu kejadian apa? Aku tidak pernah main bola."
Yara tersenyum, "Kamu memang tidak sedang main bola. Itulah yang membuat semua orang memandang ke arahmu saat itu. Kamu tiba-tiba saja ke tengah lapangan dan bola mendarat keras di kepalamu."
"Aku mendengar jeritanmu saat itu."
"Siapa yang tidak menjerit melihat orang yang disayanginya terhuyung-huyung dan jatuh berdebum. Lapangan SMA kita diaspal, bukan rumput. Dan jatuhmu memecahkan kaca mata yang kau gunakan."
"Ah ya, aku ingat sekarang."
"Oh ya?"
"Iya benar, aku ingat."
"Apa yang kau ingat?"
"Aku ingat kalau aku saat itu melihat sesosok bidadari di seberang lapangan."
"Maksudmu Bu Lena?"
Ferdi tampak mengernyitkan kening. Sepertinya dia tidak setuju kalau bidadari yang dia maksud adalah Bu Lena. Dia malah memberi isyarat meminta disuapi bubur. Mulutnya telah kosong. Dia lapar. Yara memberi tahu kalau buburnya hanya tinggal beberapa suap lagi.
"Iya," ujar Ferdi akhirnya, "Bu Lena memang bidadari, bukan? Aku sering melihatnya tiba-tiba muncul begitu saja. Kemudian aroma tubuhnya sungguh bukan kepalang. Tidak ada manusia yang memiliki aroma seperti Bu Lena. Beliau selalu menciptakan damai lewat kehadirannya."
"Dia memang idola. Semua guru laki-laki terpikat padanya."
"Dia memang bidadari. Rumahnya memang di khayangan sana."
"Tapi dia tidak kehilangan selendang. Lantas untuk apa dia turun ke bumi?"
"Hmm..." Ferdi tampak berpikir. Mulutnya masih mengunyah. "Dia mencarimu. Kamu adalah satu-satunya perempuan di sekolah kita yang bisa mengeluarkan cahaya. Dia mencarimu karena mungkin saja kau juga merupakan bidadari."
"Jika aku bidadari, maka kau siapa? Jaka Tarub kah?"
"Siapa Jaka Tarub? Aku Ferdi. Suamimu. Masa kamu lupa. Kita bersekolah di SMA negeri pinggir kali di ujung Jakarta Selatan. Aku tidak tahu siapa Jaka Tarub. Yang aku tahu adalah Pak Ayub, guru seni musik yang mampu mendengar desismu dari kejauhan. Dia juga memiliki kemampuan supranatural."
Yara tertawa mendengar kata-kata Ferdi. Sungguh lucu baginya mengetahui ada orang Indonesia yang tidak mengetahui siapa Jaka Tarub. Dia menatap lama wajah Ferdi. Dia ingat betul setelah berpindah-pindah lebih dari tujuh sekolah, akhirnya Ferdi bersekolah di SMA yang sama dengan Yara. Kepindahan Ferdi di sekolah-sekolah sebelumnya karena berbagai kasus dan kejadian. Dia pernah sakit selama tiga bulan, mengikuti prosedur kemoterapi selama dua bulan, kasus bullying dan pencurian, terakhir adalah kasus pelecehan.
Bukan perkara mudah bagi Ferdi diterima di SMA Tiara Nusantara. Entah bagaimana cepat sekali cerita mengenai masa lalu Ferdi diketahui khalayak ramai siswa-siswi di sana. Membuatnya dikucilkan, diasingkan dari pergaulan, dan bahkan dituding melakukan hal-hal yang tidak masuk akal. Apalagi seperti cerita-cerita Ferdi, SMA Tiara Nusantara bukanlah sekolah biasa. Banyak guru-guru di sana memiliki kemampuan supranatural. Dan banyak anak-anak muridnya merupakan jelmaan makhluk luar angkasa. Setidaknya itu yang selalu didengar Yara.
Sejak tahu Ferdi masuk SMA Tiara Nusantara, Yara adalah satu-satunya teman Ferdi di sana. Dia menceritakan semuanya. Termasuk pengakuannya tentang kasus-kasus yang terjadi di sekolah sebelumnya. Dia mengaku kalau pada semua kasus tersebut, dia adalah korbannya.
Sekali lagi Yara adalah satu-satunya orang yang percaya.
"Okay, Fer. Ini adalah suapan terakhir," ujar Yara seraya memasukkan sendok ke dalam mulut Ferdi.
***
Seringnya Ferdi berpindah-pindah sekolah membuatnya menjadi siswa tertua di SMA Tiara Nusantara. Dia seharusnya sudah lulus tiga tahun sebelum Yara. Namun kenyataannya, dia membutuhkan waktu lama untuk sekadar beradaptasi. Bahkan meskipun nilai pelajaran biologi dan kimianya selalu sempurna.
Guru-guru banyak yang tak suka padanya. Karena memang Ferdi tidak bisa diajak berkomunikasi seperti kebanyakan anak seusianya. Beberapa guru yang masih mengajaknya bicara dengan baik adalah Pak Ridwan dan Bu Lena. Menurut Ferdi, Pak Ridwan adalah guru olahraga yang memiliki suara berat yang khas. Ferdi selalu yakin kalau Pak Ridwan seharusnya tidak menjadi guru di SMA seperti Tiara Nusantara. Dia seharusnya menjadi pendeta atau pastur, ustadz atau kiyai, motivator atau trainer. Karena suaranya terdengar dalam dan utuh. Memberi kedamaian. Sementara Bu Lena, tidak bisa dipungkiri kalau beliau adalah bidadari. Bu Lena lah yang mempertemukan Ferdi dengan Yara saat di hari pertama masuk sekolah. Saat itu Ferdi tidak mengerti apa yang disampaikan Bu Lena pada Yara. Namun dia yakin itu semacam permintaan untuk menjaganya selama di sekolah.
Ferdi berkesimpulan. Bu Lena tahu kalau Yara juga adalah bidadari, maka mereka berbicara dengan bahasa yang bukan untuk manusia. Ferdi melihat keduanya mengeluarkan cahaya hijau saat berdiskusi dan berbincang-bincang. Cahaya yang menurutnya membawa kedamaian.
***
Lulus dari SMA Tiara Nusantara, Yara selalu menemani Ferdi. Semakin lama tubuhnya entah mengapa semakin lemah saja. Sampai suatu ketika, di tengah upacara kelulusan Yara di Universitas Indonesia, Ferdi anfal dan dilarikan ke rumah sakit. Kanker sudah menjalar sampai ke otaknya. Ingatannya tumpang tindih, pikirannya selalu tampak kacau, terlihat lewat reaksinya yang berubah-ubah setiap waktu. Ferdi bisa menangis dan tertawa di saat bersamaan. Dia bisa marah dan senang dalam sekejap. Ferdi akan selalu tidak bisa ditebak.
Sejak Ferdi belajar di sekolah yang sama dengan Yara, sejak saat itu pula Yara menetapkan hatinya untuk selalu menjaga laki-laki yang sangat disayanginya itu. Bukan kepalang besarnya rasa cinta dia pada Ferdi. Dia hampir tidak menikah demi selalu berada di sisi Ferdi. Dan ketika laki-laki itu memanggilnya dengan sebutan istri tersayang, Yara hanya bisa menangis tak sanggup mengatakan apa-apa.
Yara yakin, sebenarnya Ferdi tahu kalau mereka tidak mungkin menikah. Dan panggilan itu sebenarnya hanyalah gurauan dan candaan di tengah kacaunya pikiran Ferdi tentang penyakit dan kehidupan sosialnya.
"Yang aku ingat kamu adalah istriku,"
Yara menggigit bibirnya sampai perih. Air mata rasanya sudah habis tak bisa keluar lagi. Dia hanya selalu bisa bilang pada Ferdi, "Yang aku tahu kamu harus selalu sehat."
***
Pintu kamar terkuak. Seorang pria masuk ke dalam bersama anak perempuan kecil. Di ruangan itu ada beberapa orang duduk dengan sendu mengelilingi ranjang.
"Kamu jadi pulang ke rumah, Sayang?"
Yara masih duduk di sisi ranjang dimana Ferdi terbaring lemah. Dia masih menggenggam tangan Ferdi yang sudah semakin dingin. Rasanya ingin sebentar saja, menemani kakak kandungnya itu lebih lama. Dia masih ingin mendengar cerita-cerita penuh imajinasi yang keluar dari mulut Ferdi. Dia masih ingin mempercayai bahwa apa yang dilihat Ferdi benar adanya, tentang cahaya yang berpendar pada tubuhnya, yang katanya menjadi semakin buram karena kemampuan pandangannya semakin berkurang. Dia ingin kembali ke masa sekolah SMA bersama kakaknya. Menjaganya adalah kebahagiaan tersendiri baginya.
"Kamu sama Rena duluan saja," Yara memutuskan. Dia tak sampai hati melihat kakaknya yang sedang sekarat. Tapi dia juga tak tega memaksa suami dan anaknya berhari-hari turut menemaninya.
Suaminya berkata lirih, "Aku akan tetap di sini, Rena juga akan tetap di sini. Kami akan di sini sampai akhir."
Yara memandang suami dan anaknya dengan mata berkaca-kaca. Bibirnya bergetar menahan tangis. Entah bagaimana dia harus berterimakasih pada mereka.
- selesai -
ns 15.158.61.54da2