“Mah, aku pulang.” kata Kayla sambil membuka pintu rumahnya yang sudah dibuka kuncinya oleh Bu Silmi. “Selamat pulang. Bagaimana Raisa? Sudah ketemu ojeknya?” tanya Bu Silmi.
“Sudah kok. Dia juga sudah pulang tadi.” jawab Kayla.
“Baguslah.”
“Mah, boleh aku bicara sama mamah sebentar tidak?” tanya Kayla yang masih berdiri di depan pintu.
“Boleh. Tapi ayo masuk. Jangan di depan pintu terus.” jawab Kayla.
“Tapi yang ingin kubahas ada di luar.” kata Kayla sambil menundukkan kepalanya. “Yang ingin kau bahas di luar? Apa maksudnya?” tanya Bu Silmi.
“Mamah sini dulu deh.” kata Kayla lalu menggandeng tangan ibunya dan membawanya keluar. “Ada apa ini Kayla?” tanya Bu Silmi sangat penasaran. Kayla berhenti dan menunjuk sebuah kotak sepatu kosong yang di situlah terletak kucing hitam tersebut. Bu Silmi melihat apa yang ditunjuk oleh Kayla dan ia pun terkejut. “Hah? Kucing? Kucing siapa ini?” tanya Bu Silmi.
“Kayaknya sih bukan punya siapa-siapa.” jawab Kayla.
“Kenapa kamu bilang begitu? Mana mungkin kucing sebagus itu bukan milik siapa-siapa.” tanya Bu Silmi.
“Habisnya sudah dua kali aku bertemu dengannya tidak bersama pemiliknya, dan kalau dilihat-lihat, dia tidak memiliki kalung. Kan tidak mungkin kucing sebagus dia dibiarkan keluar tanpa adanya kalung.”
“Iya juga sih. Terus kamu mau ngapain dengan si kucing ini?” tanya Bu Silmi.
“Boleh tidak aku pelihara.”
“Pelihara dia? Kamu yakin nak?” tanya Bu Silmi.
“Iya, aku serius mah. Aku kasian kalau dia dibiarkan begitu saja.”
“Iya sih. Tapi kamu tidak apa-apa? Bukannya dia sangat mirip dengan Lala?”
“Iya, aku tahu kok kalau itu. Itu juga mengapa aku ingin memeliharanya.”
“Kalau kamu tidak apa-apa, mamah pun tidak apa-apa. Asalkan kamu sungguh-sungguh saja memelihara dan-” Belum selesai Bu Silmi berbicara, Kayla sudah memeluknya. “Terima kasih mamah.” katanya. Bu Silmi tersenyum. “Iya, sama-sama,” jawabnya, lalu melepaskan pelukan Kayla. “Sudah sana, kamu masukin dulu kucingnya dan coba kasih makan. Kasian dia kalau kelaparan.” lanjutnya.
“Baik mah.” Setelah itu, Kayla mengambilnya kotak sepatu itu perlahan-lahan dan membawanya masuk ke dalam. Bu Silmi pun juga masuk. Di dalam.
“Mah, mamah punya ikan atau ayam yang bisa aku kasih kucing ini tidak?” tanya Kayla.
“Kayaknya masih ada ikan bekas tadi siang. Coba kasih aja. Mungkin dia suka.” jawab Bu Silmi.
“Oke, aku ambil ya mah.” izin Kayla. Bu Silmi mengangguk.
Sementara Kayla mengambil ikan di dapur dan meninggalkan kucing itu dia ruangan tamu bersama Bu Silmi, Bu Silmi memperhatikan baik-baik kucing itu.
“Kucing ini bagus sekali ya. Kayaknya nggak mau dia bukan milik siapa-siapa. Apa kita kasih pengumuman aja tentang kucing yang hilang?” pikirnya di dalam hati. Bu Silmi mengeluh-elu kepala kucing tersebut. “Dia diam juga. Nggak grasak-grusuk. Padahal kucing lain biasanya sudah kabur atau mengeong-ngeong. Tapi baguslah dia tidak membuat kebisingan malam-malam”
Tidak lama kemudian, Pak Budi datang dan terkejut melihat seekor kucing hitam yang berada di pangkuan Bu Silmi, yang sedang di elus-elus olehnya.
“Mah, itu kucing siapa?” tanyanya sambil menghampiri Bu Silmi.
“Eh, papah. Ini si Kayla, yang membawanya. Katanya sih bukan milik siapa-siapa.” jawab Bu Silmi. Setelah mendengarkan jawaban Bu Silmi, Pak Budi memperhatikan kucing tersebut. “Masa sih bukan ke siapa-siapa. Pesek gitu hidungnya. Bagus pula warna bulunya. Tidak mungkin bukan punya siapa-siapakan?” tanya Pak Budi.
“Iya sih. Itu juga kupikirkan.”
“Tapi tunggu sebentar,” Pak Budi mendekatkan wajahnya ke arah kucing itu. “Matanya merah ya?” tanya Pak Budi.
“Hah? Masa sih?” tanya Bu Silmi tidak yang tidak memperhatikannya.
“Iya, coba kamu liat sendiri.” kata Pak Agus sambil menunjuk mata kucing itu. Gara-gara perkataan Pak Budi, Bu Simi jadi penasaran dan langsung mengangkat kucing itu dan memperhatikan matanya. “Iya, kamu benar. Warnanya merah.” kata Bu Silmi.
“Kenapa ya? Penyakit kah?” tanya Pak Budi.
“Nggak mungkin. Abisnya warna merahnya bagus. Sepertinya emang pupilnya sendiri yang berwarna merah. Menurutku, bukan karena infeksi atau apapun.” jawab Bu Silmi.
“Waduh, baru pertama kali aku melihat mata kucing merah.” kata Pak Budi.
“Aku juga.” kata Bu Silmi.
Tak lama kemudian, Kayla datang dan sudah membawa piring berisi beberapa ikan goreng bekas makan siang mereka hari ini. “Loh, ada papah? Belum tidur pah?” tanyanya kepada Pak Budi yang sedang membungkuk di hadapan kucing yang berada di pangkuan Bu Silma.
“Iya Kayla, belum. Tadi papah awalnya mau ke toilet, tapi mendengar kalian berisik di bawah, papah jadi penasaran dan akhirnya turun untuk melihat apa yang terjadi.” jelas Pak Budi.
“Oh, begitu.” kata Kayla sambil mengangguk-angguk, lalu berjalan menghampiri Bu Silmi.
“Ngomong-ngomong, kamu ketemu di mana ini kucing ini Kayla?” tanya Pak Budi.
“Di dekat kuburan.” jawab Kayla.
“Kuburan? Papah sudah sering lewat, tapi tidak pernah ketemu ini kucing.”
“Papah kan lewat ke situ naik mobil. Mungkin papah saja yang tidak melihatnya.”
“Benar juga sih. Lalu mau kamu apakan ini kucing? Mau dipelihara?” tanya Pak Budi. “Mau sih.” jawab Kayla.
“Lalu kamu yakin dia tidak memiliki pemilik sebelumnya?” tanya Pak Budi.
“Aku sih nggak begitu yakin ya karena kebagusan yang dimilikinya.” jawab Kayla.
“Atau begini saja deh, kita pelihara untuk sementara, selagi papah cari pemiliknya.” usul Pak Budi.
“Bagimana cara papah menemukan pemilik sebelumnya?” tanya Kayla.
“Papah akan buat pengumuman tentang kucing hilang. Kalau ada orang yang mengaku, nanti kita balikin saja.” jawab Ak Budi.
“Tapi, sementara itu, kita apakan dia?” tanya Kayla.
“Pelihara saja sampai pemiliknya datang.” jawab Pak Budi.
“Baik, aku setuju.” ujar Kayla.
“Oke, kalau begitu, papah mau tidur dulu. Kalian jangan tidur malam-malam ya.” kata Pak Budi. Dia lalu mencium kening anaknya dan meninggalkan ruang tamu untuk pergi kembali ke kamar dan tidur. Sementara Kayla dan Bu Silmi, masih berada di ruang tamu untuk memberikan kucing itu makan. Bu Silmi meletakkan kucing itu di lantai dan Kayla memberikan piring tersebut kepada kucingnya. “Ini kucing, dimakan ya.” katanya. Namun, saat dikasih, kucing itu malah tidak memakannya. Dia hanya mencium-cium ya sebentar lalu meninggalkannya. “Aneh, kucing ini kok nggak mau makan ya?” tanya Kayla.
“Mungkin dia nggak suka kali ikan ini. Coba kamu cari lagi makanan yang ada di kulkas. Siapa tahu ada ayam atau ikan lain tersisa.” usul Bu Silmi.
“Oke, aku ambil dulu ya. Mamah temenin kucingnya sebentar lagi ya.” Lalu Kayla meninggalkan ibunya lagi.
138Please respect copyright.PENANA2v2UAXzSw8
Sambil berjalan menuju dapur, Kayla sambil berpikir. “Baru pertama kali aku melihat kucing nggak suka ikan gurame. Biasanya kalau kucing lain langsung abis. Mungkin dia masih terlalu kecil. Atau apa aku kasih makanan Lala aja? Mungkin dia suka.” pikirnya. Dari rencana awalnya yang ingin pergi ke dapur, Kayla mengubahnya menjadi pergi ke lantai atas dan mengambil sisa makanan Lala. Makanan Lala berada di sebelah kamar mandi yang diletakkan di dalam lemari khusus yang di sana terdapat banyak barang-barang kucing dan makanannya. Kayla yang sudah sampai, melihat dari atas sampai sampai bawah rak lemari tersebut untuk mencari makanan. “Okeeeee, di mana ya meletakkan makanan itu?” tanyanya pada dirinya sendiri, sambil sesekali menjinjit dan melompat untuk melihat rak yang paling atas. Setelah beberapa menit, akhirnya ia menemukan makanan kering sisa Lala.
“Nah, ini dia.” kata Kayla sambil mengambil makanannya tersebut yang ternyata berada di laci paling bawah dan tidak lupa mengambil tempat makannya.
“Oke, sekarang sudah siap makanan kucingnya. Tinggal memberikannya ke kucing itu dan coba dia mau makan apa tidak.” kata Kayla di dalam hati.
138Please respect copyright.PENANA0I114NwWQR
Kayla yang telah sampai di ruang tamu, terkejut saat melihat Bu Silmi tergeletak di lantai. Saking terkejutnya, Kayla sampai menjatuhkan tempat makan kucing yang berisi makanan kucing. Alhasil, semua makanan kucing berserakan di mana-mana.
Kayla segera menghampiri Bu Silmi dan mengguncang pelan tubuhnya sambil berkata, “Mah, mah, bangun!” Namun, tidak bisa. Dia mencoba mengecek suhu tubuhnya. Tapi tidak terasa panas sedikit pun. “Mah, bangun mah. Mamah kenapa?” tanyanya. Dia bangkit dan meninggalkan ibunya. Berlari ke kamar orang tuanya yang disitulah Pak Budi berada. Kayla membuka pintunya. “JEBRET!” suara pintu terbuka, membuat Pak Budi yang ada di dalam, sedang berusaha untuk tidur, terkejut.
“Astaga, Kayla ada apa ini?” tanya Pak Budi. Kayla langsung menghampiri ayahnya. “Ma-mamah, mamah, di- di bawah,” katanya dengan tergesa-gesa.
“Mamah kenapa?” tanya Pak Budi.
“Ma-mamah pingsan di bawa. Papah tolong aku.” jawab Kayla.
“Hah? Apa? Kok bisa?” tanya Pak Budi.
“Aku nggak tahu. Aku meninggalkannya sebentar ke atas, dan tiba-tiba saat aku balik sudah begitu.”
“Astaga, baiklah, ayo kita ke sana.” Pak Budi segera membuka selimut yang tadi digunakannya untuk menyelimuti badanya, dan bersama Kayla, ia berlari ke bawah menuju ruang tamu.
“Itu pah, mama kenapa?” tanya Kayla sambil menunjuk ibunya yang masih tergeletak di lantai. Pak Budi segera menghampirinya dan mencoba mengecek seluruh tubuhnya. “Kayla, kamu telepon ambulan cepat! Minta mereka untuk ke sini!” pinta Pak Budi.
“Ba-baik.” jawab Kayla dan langsung menghampiri sebuah meja yang berada di sana. Di meja itu, terdapat sebuah telepon rumah yang bisa digunakan untuk menelepon ambulan. Saat Kayla sedang menunggu dari pihak rumah sakit mengangkat, dia baru ingat sesuatu. “Oh iya, ngomong-ngomong, di mana sih kucing hitam itu ya?” tanyanya dalam hati. “Namun, itu bukanlah hal yang penting sekarang. Aku harus menelpon ambulan dulu untuk mamah.” katanya.
ns 15.158.61.55da2