Semua mata kuliah Kayla telah selesai. Kayla bergegas pulang. Sekarang, dia sedang berada di halaman kampusnya, menunggu ojek yang sudah ia pesan. Tiba-tiba dari arah belakang, Raisa datang dan memanggilnya. “Kayla!” panggilnya sambil berlari menuju Kayla. Kayla yang sedang sibuk memantau ojek online di handphone, menoleh. “Oh, Raisa. Ada apa? Kenapa kamu gak pulang bareng teman-teman yang lain?” tanyanya
“Mereka sudah pulang duluan.” jawab Raisa.
“Lalu kenapa kamu masih di sini?”
“Aku mau pulang bareng kamu.”
“Boleh aja sih, tapi hari ini aku mau naik ojek.”
“Ya, aku tau. Aku juga mau ikut.”
“Tapi aku nggak pulang ke rumah.”
“Iya, aku tahu kok. Kamu mau ke rumah sakit kan menjenguk Tante Silmi?”
“Iya, benar.”
“Kalau gitu, aku ikut ya. Tenang saja kok. aku juga sudah memesan ojek. Tapi kalau ojekmu sudah datang, duluan pergi saja. Nanti akan menyusul.”
“Oh, oke.”
Sambil menunggu, mereka mengobrol. Bahkan sampai tertawa dan membuat keributa. Sampai akhirnya, ojek Kayla datang. “Raisa, aku duluan ya. Nanti aku tungguin kamu di pintu masuk rumah sakit.” kata Kayla sambil berjalan menuju ojeknya.
“Iya, oke.” jawabnya sambil melambaikan tangan kepada Kayla. Kayla berangkat duluan dan setelah beberapa menit kemudian akhirnya ojek Raisa datang dan ia pun berangkat rumah sakit juga.
147Please respect copyright.PENANAkBAUkOggxb
Sampailah Raisa di rumah sakit tersebut. Sesuai janji Kayla, dia menunggu Raisa di depan pintu masuk rumah sakit. “Raisa!” sahut Kayla sambil melambaikan tangannya. Raisa menoleh ke arah sumber suara yang memanggilnya dan segera berlari menghampirinya. “Aduh, maaf lama ya.” kata Raisa.
“Nggak apa-apa. Aku baru datang kok.”
“Ya sudah, kalau begitu, sebaiknya kita segera masuk. Kasian Tante Silmi kalau disuruh nunggu lagi.”
“Iya, kau benar.” Kayla berjalan masuk duluan, tapi saat itu Raisa melihat jika ternyata Kayla membawa bingkisan hitam.
Raisa yang penasaran bertanya. “Apa itu Kayla?” Sambil menunjuk ke bingkisan tersebut.
“Oh, ini adalah buah yang kau beri di dekat rumah sakit tadi.” jawab Kayla.
“Aku lama dong datangnya sampai kamu sempat membeli buah?”
“Ya, kalau mau jujur, emang lama. Tapi ya udahlah. Gara-gara kamu lama juga aku bisa membeli buah ini untuk mamah.” Lalu Kayla melihat jam tangannya.
“Sudah, ayo masuk yuk.” ajaknya lalu berjalan masuk, diikuti Raisa di belakangnya. Mereka masuk ke dalam rumah sakit dan berjalan melalui lorong untuk sampai ke kamar di mana Bu Silmi berada.
“Permisi.” ucap Raisa sambil membuka pintu dan masuk. Di dalam ada Pak Budi seorang suster dan Bu Silmi yang sedang duduk di ranjangnya. Kayla yang berada di belakang segera masuk.
“Eh, mamah sudah bangun?” tanyanya senang.
“Iya, mamah baru aja bangun pagi ini.” jawab Pak Budi.
“Begitu ya, syukurlah kalau mamah sudah bangun. Aku khawatir banget.” kata Kayla sambil berjalan menghampiri Bu Silmi.
“Tenang saja. Mamah sudah baikan kok.”
“Kalau begitu, saya permisi dulu ya bapak, ibu.” kata bu suster, lalu meninggalkan kamar. Setelah suster itu meninggalkan mereka, Kayla segera memeluk ibunya yang sudah dari kemarin tidak bertemu. “Bagaimana mamah, ada yang sakit tidak?” tanyanya.
“Sesuai kata mamah tadi, tidak ada kok. Mamah sudah baik.”
“Oh, baguslah. Oh ya, ini, aku bawakan buah.” kata Kayla sambil memberikan ibunya bingkisan tersebut.
“Wahhh, terima kasih.” Bu Silmi mengambilnya, lalu melihat isinya di dalam.
“Ngomong-ngomong, kemarin kenapa mamah pingsan? Ada apa memangnya?”
“Oh, tentang kemarin ya? Hmm….” Bu Silmi berfikir. Dari belakang, Pak Budi memegang pundak Kayla dan membisikan sesuatu. “Kayla, jangan bertanya seperti itu dulu.”
“Loh, kenapa?”
“Kayla, kita bicarakan di luar saja yuk.” usul Pak Budi. Kayla mengangguk. “Mah, kita beli makanan dulu ya. Mamah belum makan kan?” tanyanya kepada Bu Silmi.
“Oh iya, belum.” jawab Bu Silmi.
“Kalau begitu, papah sama Kayla beli dulu makanan.”
“Oke. Tolong beliin mamah makanan yang berkuah.” pinta Bu Silmi.
“Baik, tunggu sebentar ya.” kata Kayla, lalu bersama Pak Budi keluar dari ruangan. Sebentar Raisa masih berada di situ dan mengobrol bersama Bu Silmi.
147Please respect copyright.PENANARViDhBTS2n
Pak Budi dan Kayla memutuskan untuk berbincang-bincang sambil duduk di kursi berderet di depan kantin rumah sakit. “Jadi kenapa papah tidak membolehkan aku bertanya soal kenapa mamah pingsan kemarin?” tanya Kayla, membuka percakapan.
“Soal itu, papah sudah bertanya tadi pagi setelah mamah bangun. Tapi mamah tidak mengingatnya, dan jika mamah memaksakan untuk ingat, itu hanya akan membuatnya kesakitan. Itu kenapa tadi suster mengecek ke kamar, karena kejadian tadi pagi.”
“Apa yang terjadi pada mamah tadi pagi sebenarnya?”
“Mamah mengeluh kepalanya sakit dan nafasnya tidak teratur.”
“Waduh. Jadi lebih baik jangan nanya ya?”
“Iya, betul. Kasian kalau mamah dipaksa. Tapi kalau memang kejadiannya seperti itu tadi pagi sampai membuat mamah kesakitan, kenapa mamah tidak menolak saja saat aku hendak bertanya?”
“Itu papah tidak tahu. Mungkin mamah lupa.”
“Kok bisa?”
“Papah juga tidak tahu. Tapi bagi papah, yang terpenting adalah mamah sudah sehat. Hanya itu saja sudah sangat cukup bagiku.”
“Benar juga sih.”
Pak Budi bangkit dari kursinya. “Karena sudah selesai, papah mau beli makanan dulu buat mamah. Kasian nanti kalau mamah menunggu lama. Kamu mau dibelin apa?”
“Nggak usah pah. Kalau pun aku mau, aku bisa beli sendiri.” tolak Kayla.
“Oke, papah pergi dulu ya. Cepat balik kamar. Mamah sepertinya kangen ngomong sama kamu.”
“Oke.” jawab Kayla sambil mengcungkan jempol.
Pak Budi meninggalkan Kayla yang masih duduk di sana sambil merenung. “Apa yang sebenarnya terjadi kemarin? Kenapa mamah bisa lupa seperti itu? Aku tidak bisa bertanya dan aku juga tidak punya petunjuk apapun. Mungkin apa benar kucing itu yang mengakibatkan mamah pingsan kemarin?” pikir Kayla di dalam hati. Tapi dia menggeleng-gelengkan kepala. “Tidak, itu tidak mungkin. Dia cuma kucing. Apa yang bisa dia lakukan? Ya sudah, daripada terus-terusan berprasangka buruk,” lanjutnya sambil bangkit dari kursi. “Mending aku jumpai saja mamah. Tidak penting lagi apa alasannya, yang penting mamah sudah sehat.” Setelah itu, Kayla meninggalkan kursi tersebut, dan kembali ke kamar ibunya. Sampailah Kayla di depan pintu kamar Bu Silmi. Sebelum masuk, Kayla berpikir sebentar. “Aku tidak boleh membuat mamah tambah kesakitan.” Barulah dia mengetok pintu dan masuk di dalam. Raisa sedang mengobrol asik dengan Bu Silmi.
“Kayla, sudah balik? Ke mana papah?” tanya Bu Silmi.
“Katanya aku disuruh balik duluan. Abisnya, kantin rame banget.” jawab Kayla.
“Oh, gitu.” Kayla berjalan menuju masur Bu Silmi, lalu duduk di atasnya. Kayla mencoba menghilangkan semua pemikiran buruk yang ia miliki dan tertawa bersama ibunya. “Jadi kapan mamah bisa pulang?” tanyanya.
“Harusnya hari ini sudah boleh. Tapi kata dokternya, untuk jaga-kaga, mereka menyarankan untuk sehari lagi menginap.”
“Sehari lagi ya? Berarti aku di rumah sendirian lagi dong malam ini?” kata Kayla sedih.
“Maaf, tapi mamah janji, besok mamah akan pulang pagi.”
“Benar ya? Aku tunggu pagi-pagi. Akan kubuatkan sarapan kesukaan mamah untuk menyambut kepulang mamah.”
Beberapa saat kemudian, Pak Budi datang sambil membawa nampan berisi soto. Namun, di belakangnya, ada suster dan ikut masuk. “Permisi, kunjungan hari ini sudah berakhir. Dimohon untuk segera keluar.” katanya dengan sopan.
“Yahhh, sudah selesai ya kunjungannya?” tanya Kayla.
“Kenapa kamu yang sedih? Dia kan adalah mamahku.” tanya Kayla.
“Iya juga sih. Tapi bukan berarti aku tidak boleh sedih kan?” tanya balik Raisa.
“Sudahlah kalian berdua. Tidak perlu khawatir, mamah baik-baik saja. Kalian pulanglah dan istirahat untuk besok. Besok kalian masih ada kuliah kan?” kata Bu Silmi.
“Oke, aku dan Raisa pulang dulu ya.” pamit Kayla, lalu menyalin tangan ibunya, dan pamit pergi.
Setelah kunjungan mereka berakhir, Kayla dan Raisa memutuskan untuk tidak pulang dulu dan mampir ke salah satu restoran yang berada di sana. Di depan parkiran rumah sakit “Eh Kayla, kita mampir dulu yuk ke restoran di sekitar sini.” ajak Raisa.
“Apa ada memang tiba-tiba?” tanya Kayla.
“Nggak ada apa-apa sih, tapi aku pengen cobain saja makanan di restorannya. Katanya enak.” jawab Raisa.
“Boleh aja sih. Aku juga belum makan siang.”
“Nah, bagus tuh. Artinya kita sepakat ya.”
“Perlukah kita naik ojek ke sana?” tanya Kayla.
“Nggak usah. Jalan kaki bisa kok,” jawab Raisa sambil melihat peta restoran tersebut di handphonenya. “Ya sudah, ayo, keburu tutup!” ajak Raisa.
147Please respect copyright.PENANAaAJLFO3akS
Di sana, setelah mereka memesan makanan dan sedang menunggu pesanan emereka datang. “Jadi tadi kamu ngapain di luar sama Om Budi?” tanya Raisa.
“Oh itu. Aku sedang membahas mama.” jawab Kayla.
“Oh iya, dari tadi aku mau bertanya. Bagaimana keadaan Tante Silmi? Kenapa dia pingsan?”
“Itulah, kata papah, aku tidak boleh bertanya seperti itu kepada mamah dan papah sendiri juga dia tahu apa alasannya. Jadi sampai sekarang, aku masih belum tahu alasan kenapa mamah pingsan beberapa hari yang lalu.”
“Loh, kenapa Om Budi tidak membolehkan kamu bertanya seperti itu kepada Tante Silmi?” tanya Raisa.
“Katanya, jika aku bertanya, itu akan membuat mamah kesakitan.”
“Mengapa bisa begitu?”
“Aku tidak tahu kenapanya. Tapi saat papah bertanya tentang kenapa mamah pingsan kemarin pagi hari tadi, itu malah membuat mamah pusing kepalanya dan lebih parahnya, sampai membuat nafasnya tidak teratur.”
“Waduh, seram juga ya. Itu berarti kita tidak bisa bertanya dong kenapa alasannya?” “Iya, aku juga tidak tahu harus gimana. Tapi ya sudahlah. Mamah sudah sembuh dan itu sudah cukup membuatku lega.
“Iya, tapi hanya untuk sekarang. Bagaimana hal itu terulang lagi dan korbanya bukan hanya Tante Silmi. Bagaimana kalau itu kamu.”
“Terus aku harus bagaimana? Kita tidak punya petunjuk apapun.”
“Apa yang terakhir Tante Silmi lakukan sebelum pingsan?”
“Tidak ada sih, cuma duduk-duduk santai di ruangan tamu. Sementara aku mengambil makanan kucing dan papah ada di kamarnya.”
“Untuk apa makanan kucing itu? Apa jangan-jangan untuk si kucing hitam itu?”
“Iya, benar. Lalu di mana kucing itu pada malam kejadian?” tanya Raisa.
“Bersama mamah. Dan saat itu mamah sedang mengelus-ngelusnya.”
“Nah, mungkin itu dia. Kucing itulah yang membuat ibumu pingsan.”
“Lagi-lagi begitu. Dia itu cuma kucing.”
“Terserah kamu sih mau ngomong.” Raisa menghela nafas.
“Oh iya, ngomong-ngomong, hari ini aku boleh menginap di rumah kamu kan?”
“Tapi bukannya kamu bilang sendiri bilang, kalau kamu ingin menyambut kepulangan Tante Silmi dan membuat kan dia sarapan?”
“Iya sih, tapi aku nggak berani sendirian lagi di rumah.”
“Lalu janjimu dengan Tante Silmi?”
“Aku akan tetap melakukan. Aku akan pulang sepagi mungkin agar sempat membuatkan mamah sarapan.”
“Kalau kamu memang yakin tentang itu, baiklah, kamu boleh menginap di rumahku. Tapi jangan lupa untuk izin dulu ke Tante Silmi.”
“Baik, baik. Lalu boleh tidak aku membawa kucing hitam itu. Kasian kalau kutinggal di rumah sendiri. Aku janji tidak akan terjadi apa-apa.”
Raisa menghela nafas. “Baiklah, jika kau sepercayan diri itu. Kau boleh membawanya, tapi jangan sampai kucing itu membuat rumahku berantakan.”
“Enggalah.”
“Jangan menjawabnya semudah itu. Itu kan memang hal yang biasa dilakukan kucing jika berada di tempat yang baru, mereka akan mengotorinya.”
“Aku berjanji dia tidak akan melakukan hal seperti itu. Dia hanyalah seekor kucing kecil. Sekotor apa yang bisa buat?”
Kamu ini terlalu merendahkan kucing itu. Tapi boleh saja. Kalau dia sampai mengotori rumah, kamulah yang harus membereskan.”
“Oke.” Raisa akhirnya mengalah.
Tidak lama kemudian makanan mereka satu persatu datang dan mereka mulai menyantapnya.
ns 15.158.61.55da2