Kayla akhirnya terbangun kembali. Saat terbangun, ia benar-benar kebingungan. Kayla tidak tahu sudah berapa lama dia tergeletak di lantai, namun saat ia melihat jendela kamar tersebut, ternyata sudah pagi. Kayla bangkit perlahan-lahan dan melihat sekeliling. “Aduh, aku ada di mana ini?” tanya Kayla. Setelah dilihat-lihat, ternyata Kayla berada di sebuah kamar kosong yang di dalamnya hanyalah barang-barang bekas. Kayla tergeletak di lantai. Dia mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi kemarin dan mengapa dia berada di sana, tapi kepalanya langsung merasakan pusing yang begitu kuat saat mencoba mengingatnya.
“A-aduh, kenapa ini?” tanyanya sambil memegang kepalanya yang sakit. “Kenapa aku tidak bisa mengingat alasan aku berada di kamar ini? Terakhir yang kuingat adalah aku pergi ke kamar mandi. Setelah itu, aku tidak mengigat apapun lagi.” Kayla terus mencoba mengingatnya walaupun menyakitinya. Tapi bukannya mengingat alasan dia berada di kamar itu, Kayla malah ingat tentang janjinya kepada Bu Silmi.
“Oh iya! Ngomong-ngomong, ini sudah jam berapa ya? Aku kan sudah berjanji kepada mamah untuk menyambut kepulangannya dan membuatnya sarapan. Sudahlah, sebaiknya aku bergegas pulang,” katanya sambil perlahan-lahan berdiri. “Tapi sebaiknya aku izin dulu ke Raisa dan keluarganya, agar mereka tidak khawatir.” Kayla memutuskan untuk pulang. Dia membuka pintu ruangan tersebut. Saat hendak dibuka, dari celah pintu, dia langsung dapat mencium bau darah yang sangat menyengat. Saking menyengatnya, sampai Kayla harus menutup hidungnya. Saat itu daerah masih belum tahu bau apa itu sebenarnya.
“Aduh, bau apaan nih? Kenapa kuat sekali baunya.” tanyanya. Kayla yang penasaran, memutuskan untuk mencoba mencari sumber baunya. Pertama, Kayla pergi ke dapur. Tapi ternyata tidak ada orang. Lalu ia mengecek seluruh kamar dan ruangan yang bisa ia buka di lantai satu. Tapi ternyata juga tidak. Barulah, Kayla naik lantai dua. Baru menaikki 2 anak tangga, baunya sudah semakin tercium.
“Nah, pasti dari lantai dua ini baunya.” pikirnya di dalam hati. Tanpa berfikir lagi, Kayla segera naik ke lantai dua. “Ternyata benar, baunya makin kuat. Berarti tidak salah, ini bau pasti dari lantai atas.” pikirnya di dalam hati. Kayla pun sampai ke tangga terakhir. Dari situlah, baunya semakin jelas.
“Waduh, kayaknya ini bau darah deh. Tapi darah siapa?” tanyanya di dalam hati. Saat melihat ke kanan, tidak ada orang. Namun, saat melihat ke kiri, di lantai, ada sebuah darah yang mengalir. Kayla kaget. “Gila. Darah siapa ini?” tanyanya dalam hati. Tubuhnya mulai merasa merinding. Kayla merasa takut, namun entah mengapa, ada suatu keinginan untuk naik dan melihat darah siapa ini. Akhirnya, Kayla mengikuti ke kemauannya itu dan mengikuti aliran darah tersebut. Ternyata darah itu mengalir dari kamar mandi. Kayla menelan ludahnya karena mencoba untuk menghilangkan rasa takut. Kayla ingin membuka pintu kamar mandi tersebut, tapi masih terdengar suara kran air menyala. Kayla takut orang di dalam yang masih mandi atau yang lain. Tapi karena keadaannya sudah begini, ia pun memutuskan untuk tidak memikirkan hal lain dan mencoba melihat siapa yang di dalam. Kayla membuka pintu kamar mandi dan terlihat temannya, Raisa, belumuran darah. Seluruh tubuhnya penuh dengan cakaran yang sangat dalam dan mengakibatkan darah keluar dari dalam tubuhnya. Raisa berlumuran darah dalam keadaan tidak memakai baju dan shower kamar mandi masih menyala entah dari kapan. Kayla terbelalak melihatnya. Dia berteriak karena terkejut dan ketakutan. Tapi berteriak sekencang apapun Kayla, tidak ada orang datang. Kayla pun berlari meninggalkan mayat Raisa dan masuk ke dalam kamar yang ternyata itu adalah kamar orang tua Raisa. Kayla merasa agak lega karena dia memasuki kamar yang tepat. Kayla segera membangunkan orang tua Raisa.
“Om, tante, bangun.” sambil mengguncang-nguncangkan tubuh kedua orang itu dengan pelan. Tapi berkali-kali pun, tidak berhasil. Akhirnya, Kayla mengencangkan sedikit suaranya dan berteriak tepat di kuping mereka. Tapi hasilnya juga nihil. Kayla yang ketakutan dan berpikir negatif, mencoba mengecek pernapasan mereka. Untunglah, ternyata mereka masih bernafas, tapi entah mengapa, tidak bisa bangun. Kayla mencoba mengecek apakah ada luka di tubuh mereka atau cakaran seperti Raisa. Kayla mengecek tubuh ibu Raisa dan ternyata ditemukanlah bekas cakaran di lehernya. Memang tidak dalam seperti Raisa yang sampai mengakibatkan darah keluar, tapi bekas cakaran tersebut berwarna hitam, membuat Kayla kebingungan.
“Kenapa ini? Kenapa tubuh tante dan Raisa dua-duanya ada bekas cakaran? Apa jangan-jangan om juga ada.” tanyanya, lalu segera berpindah tempat dan mengecek leher ayah Raisa. Tapi tidak ditemukannya cakaran seperti ibu Raisa. Tapi Kayla belum menyerah. Dia mencoba mencarinya lagi di tangannya dan di kakinya. Kertemulah cakaran tersebut di kaki. Hasil cakarannya sama dengan hasil cakaran ibu Raisa. Kayla berlari keluar dan pergi ke kamar Kak Khodijah. Sama seperti mereka, dia juga tidak sadarkan diri dan tidak bisa dibangunkan. Sama seperti apa yang ia lakukan pada orang tua Raisa, ia pun mencari bekas cakaran. Seperti dugaannya, ternyata bekas cakaran juga ada. Tapi kali ini, bekas itu ada di lenganya.
“Apa yang terjadi pada mereka semua? Kenapa semuanya memiliki cakaran yang sama? Dan pertanyaan lebih tepatnya, siapa yang melakukan ini?” Kayla memutuskan untuk menelepon polisi dan menyerahkan semuanya kepada mereka, itulah yang ia pikirkan. Kayla bergegas berlari kembali ke kamar yang kemarin dia tiduri. Lalu setelah sampai, ia membuka tas dan mengambil handphonenya. Kayla segera menghubungi nomor polisi dan meneleponnya. Namun, berkali-kali dicoba, tidak ada hasilnya.
“Kenapa ini? Kenapa tidak ada yang mengangkatnya?” Kayla mulai pasrah dan akhirnya. Karena tidak ada yang menjawab, dia berlari keluar rumah dan mencoba mencari pertolongan orang di sekitar. Kayla membuka kunci pintu rumah Raisa dan segera keluar dari rumah. Tapi ia lupa kalau masih ada pagar yang menahannya untuk keluar. Pagar rumah telah Raisa tinggi dan besar, sampai-sampai Kayla tidak bisa melihat keluar. Kayla mencoba mencari celah untuk keluar. Saat itu, Kayla lihatlah ada pancuran air yang terlihat cukup kokoh dan bisa ia naiki. Tapi karena itu adalah pancuran air, tentu saja membuatnya licin. Tapi Kayla tidak menyerah. Perlahan-lahan ia menaiki pancuran air itu dan keluar dengan cara melompati tembok rumah Raisa. Dia berhasil keluar, namun di luar, sudah ada sekumpulan polisi lengkap dengan atributnya, mengelilingi rumah Raisa.
“Aduh, ada apa ini?” tanya Kayla di dalam hati, sambil melihat sekelilingnya. Bukan hanya polisi, namun juga warga di sana yang melihat dari belakang. “Apa jangan-jangan panggilanku berhasil? Tapi tadi kan nggak dijawab.” Kayla bingung, namun sambil bertanya-tanya pada dirinya sendiri, dia turun. Baru saja Kayla menginjak tanah, polisi langsung menyergapnya dan menangkapnya.
135Please respect copyright.PENANAGr489ogQqm
“Loh, ada apa ini pak?” tanya Kayla.
“Kami menangkapmu karena mendapat keluhan dari warga, bahwa rumah ini membuat kericuhan dan ada beberapa warga juga yang melihat bahwa ada seseorang yang sedang menikam seorang menggunakan beberapa pisau dari kaca rumah ini melalui kaca rumahnya.” jawab salah satu polisi yang sedang mengamankan Kayla.
“Apa? Kalian pikir saya melakukan pembunuhan? Itu tidak benar pak.” Kayla terus membela dirinya.
“Kalau memang itu tidak benar, kenapa kau keluar dengan berterburu-buru? Bahkan sampai harus memanjat tembok.” tanya salah satu polisi.
“Itu, itu karena di dalam ada orang yang terbunuh.” jawab Kayla.
“Lalu menurutmu kami akan percaya dengan alasan seperti itu?”
“Tapi pak, itu bukan saya. Saya juga sama sekali tidak tahu. Saat saya bangun pagi ini, saya sudah berada di sebuah kamar kosong. Saat saya mencoba mengecek teman saya, ternyata dia sudah meninggal dengan cakaran disuruh tubuhnya. Tapi bukan hanya itu, orang tua teman saya dan bahkan kakaknya, tidak sadar. Di tubuh mereka-” Penjelasan Kayla terpaksa terpotong karena salah satu polisi itu berbicara. “Lalu menurutmu siapa yang melakukannya itu selain orang yang satu-satunya masih sadar?”
Lalu polisi lain berkata, “Dan bagaimana kamu bisa menjelaskan bajumu yang penuh dengan darah itu?” Kayla yang mendengarnya kaget. Ternyata selama ini, dia tidak menyadari kalau seluruh bajunya terkena darah.
“I-ini saya bisa jelaskan. Ini pasti terkena cipratan darah.”
“Cipratan darah siapa? Korban bukan? Itulah artinya kalau kaulah yang membunuh mereka.” kata polisi.
“Sudah cukup. Bawa dia ke dalam mobil polisi. Simpanlah semua alasanmu untuk nanti di kantor polisi. Saat itulah kamu baru boleh sesuka hatimu berbohong.”
“Tunggu, tunggu!” Kayla mencoba untuk meronta-ronta. Tapi akhirnya dia pun berhasil dimasukan ke dalam mobil.
Sementara itu, berapa polisi masuk ke dalam melalui tembok menggunakan tangga
yang mereka pinjam dari salah satu tetangga. Kayla yang berada di dalam mobil, hanya bisa berharap cemas tentang keluarga Raisa. Walaupun Kayla dalam keadaan terburuknya, dia masih memikirkan orang lain.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang membunuh Raisa dan yang membuat tidak sandar keluarganya?” tanyanya di dalam hati.
ns 15.158.61.55da2