Kirana dan Jesika pun pulang masing-masing. Jesika dan Kirana beda kost. Jesika kost dekat di kampus, belakang kampus saja. Sedangkan Kirana kost lebih jauh dari kost. Bisa dibilang, kost dia tinggal sebelah timur. Dia harus menggunakan pengangkutan lagi. Sudah malam begini, jarang ada pengangkutan yang lewat.
Kirana sampai lupa waktu, kalau malam seperti ini, pengangkutan sudah tidak menarik sewa lagi. Apalagi jalanan mulai sedikit sepi. Mau tak mau dia memilih jalan kaki. Toko satu per satu juga sudah pada tutup, hanya tersisa beberapa rumah makan yang siap untuk menutup.
Kirana juga merasa bego kenapa pula dia menolak tawaran dari Jesika buat tidur di kostnya. Sok pula, bakal dapat pengangkutan. Dia mengira pengangkutan yang biasa dia naik masih ada. Ternyata pas balik dari makan di warung. Ternyata tak ada lagi pengangkutan yang nangkring di sana. Hanya tertinggal beberapa kendaraan roda dua dan roda empat masih setia parkir di sana.
Sudah lama dia berjalan kaki, dia merasa capek. Entah kenapa dia sedikit lelah. Padahal dia tidak biasanya seperti ini. Dia mendongak, ternyata dia berhenti di minimarket. Dia pun memilih buat masuk. Sekalian buat duduk sebentar. Baru nanti dia lanjutkan kembali menuju kost.
Dia duduk buat beli minuman dingin dan juga camilan ringan, hanya ada bisa dia beli cuma sari roti. Uang ada di kantongnya hanya tinggal beberapa ribu. Beberapa akhir pekan ini, dia belum dapat job dari seseorang. Makanya dia sudah tidak punya pegangan apa pun lagi.
"Lusa Jesika off. Yang lain pada ke mana coba? Grup gak ada yang aktif," gerutunya.
Sekali lagi dia membuka tutup layar hapenya. Nihil, sepi. Tak ada kehidupan. Teman-teman yang Kirana gaul sekarang pada fokus buat akhir kelulusan semester mereka. Malahan Kirana masih santai, tidak terlalu buru-buru soal namanya ujian.
"Belum pulang? Sudah malam masih keluyuran?"
Kirana menoleh sumber suara, seakan ada seseorang berbicara dirinya. Ternyata sosok berbadan tegap, tinggi sudah berada di sebelahnya yang duduk sambil menunggu harapan bersinar dari hapenya.
Sosok berbadan tegap itu sedang menyalakan sebatang rokok di mulutnya. Kemudian dia memasukkan kembali korek api ke kantongnya. Lalu pria itu balas menatapnya setelah dia bersuara tadi. Kirana bukannya membalas, malah kembali ke hapenya. Seakan dia tidak melihat ada manusia di sebelahnya.
Pria itu menarik salah satu kursi mana yang ada, kemudian duduk di sebelahnya. Jarak mereka cukup dekat. Karena posisi pria itu duduk berdampingan. "Kamu sendiri kenapa masih keluyuran? Bukannya anak istri kamu sudah menunggu di rumah?" ucap Kirana, kalimat dia ucap sangat menyinggung sekali.
Pria itu menghembuskan asap rokok dari bibirnya. Lalu dia membuang batang rokok itu sejauh mungkin. "Hanya kebetulan lewat saja. Pas pula saya gak sengaja lihat kamu di sini. Jadi mampir sebentar," katanya, sambil menopang wajahnya dan memandang sisi samping wajah Kirana yang masih serius.
Kirana sadar kalau pria itu sedang memandang dirinya. Tetapi, Kirana tidak akan mudah terkecoh akan hal itu. Apalagi, pria mana pun sama saja. Tujuan alasan seperti ini, ada maksud tertentu.
"Mampir? Apa memang sengaja ada maksud?" Kali ini Kirana tidak segan lagi buat balas tatapan mata pria itu.
Kirana merasa tidak ada yang spesial di mata pria itu. Apalagi sorot matanya juga biasa saja. Wajah dan seluruh pada tubuh pria itu juga biasa saja menurut Kirana. Pria itu malah tidak tersinggung atas pertanyaan dari Kirana. Dia malah menarik seulas senyum. Seakan ada hal lebih menarik dari pada sebelumnya.
Kirana malah bingung dengan senyuman aneh itu. "Gak lucu!"
Kirana beranjak dari duduknya, dia sudah selesai dengan duduk santainya. Waktunya dia melanjutkan perjalanan menuju ke kost. Pria itu malah melirik dan menangkap satu tangan Kirana. "Mau aku antar?"
Kirana menoleh, pria itu menawarkan jasa yang tulus. "Gak, makasih. Kost aku sudah dekat, kok," tolaknya.
"Yakin?"
Pria itu tidak akan tertipu oleh omongan Kirana yang mengatakan bahwa kost dia tinggal sudah dekat. Padahal masih beberapa meter akan tiba di sana. Belum lagi lokasi dia tinggal juga gelap dan sepi. Pastinya pria itu tidak akan rela membiarkan Kirana berjalan kaki sendiri dengan penampilan yang tidak enak di pandang oleh manusia haus akan sesuatu.
"Yakin, lah. Memang apa yang kamu tau tempat tinggal ku?" Kirana pun menepis tangan pria itu. Kirana kembali berjalan kaki.
Padahal dalam hati dia malah senang ada manusia mau menawarkan diri buat antar dia pulang. Tetapi, dia sudah biasa juga pulang dengan seperti ini. Pastinya tidak ada manusia-manusia berkeliaran. Toh, dia juga tidak akan lewat jalan pintas yang sepi.
Sudah pukul sebelas malam, Kirana masih melangkah kakinya ke kost. Ternyata dia sadar, selama perjalanan menggunakan manual. Jauh lebih lama sampai tujuan ketimbang menggunakan pengangkutan. Saat dia berjalan kaki ke arah berlawanan. Dia merasa ada seseorang mengikuti dari belakang. Rasa takut mulai menghantuinya. Dia masih santai, dia mencoba untuk tidak gegabah. Dia mengeratkan tasnya. Jika orang yang mengikutinya tiba-tiba menyerang maka dia akan menyerang juga menggunakan tas yang sangat dia sayangi.
Kirana mencoba melangkah kaki lebih cepat, tapi, dia malah mendapat langkah kaki itu juga semakin cepat. Dia segera lebih cepat agar sampai. Sedikit lagi dia mendapatkan cahaya. Cahaya tiba tempat dia tinggal. Memang apa yang dikatakan oleh Jesika. Dia seharusnya pindah kost.
"Kenapa gak pindah saja sih? Daripada kamu pulang selarut gini? Apa kamu gak takut sama manusia yang berkeliaran? Aku dengar, di sana banyak anak-anak nakal. Jauh lebih nakal daripada kamu kenal?"
Niatan Kirana memang mau pindah. Tapi, dia tidak enak sama orang tuanya. Yang memberikan tempat tinggal itu pula mereka. Biar katanya lebih dekat dengan rumah saudaranya. Ketika Kirana mengangkat satu kaki lewat satu gang kecil. Tiba-tiba sebuah tangan dari mana menariknya dan menutupi penglihatannya di sana.
Kirana mencoba buat teriak, malahan satu tangan membungkam membuat dia semakin shock. Beberapa saat kemudian terdengar suara anak berandalan di gang kecil itu. Salah satu dari berandalan itu keluar dari gang kecil tersebut. Ternyata Kirana mengenal anak berandalan yang pernah mencoba menggombal, dan mencoba untuk menggodanya. Pas pula Kirana malas main-main sama mereka. Karena dia sedang capek seharian kerja melayani para pria buat tidur.
"Mungkin dia sibuk, makanya gak muncul di sini?" ucap salah satu temannya.
"Apa mungkin dia sengaja menghindar?" kata temannya lagi.
"Mana mungkin dia menghindar. Kalau dia kabur, dia bakal dihina sama saudara-saudaranya. Dia mana mungkin berani," kata teman yang sepertinya teman yang satu ini adalah geng ketua yang paling dihormati. Dari cara bicara saja dapat disimpulkan.
Setelah anak berandalan itu sudah pergi menjauh. Kirana pun menepis bungkam dari wajahnya. Dia ingin memaki orang yang tiba-tiba menyerang. Tetapi, dia mengurungkan. Karena orang yang menolong atas kejadian. Kalau bukan orang ini, mungkin Kirana tidak akan bagaimana membayangkan, saat kejadian melayani anak berandalan hubungan seks di gang kecil itu.
"Makasih!"
Kirana mengucapkan Terima kasih kepada pria yang baru saja menolongnya. "Kamu mengatakan sesuatu?"
Kirana ingin sekali meninju wajah pria itu. Kalau bukan dia menyelamatkan dari bahaya. Mungkin dia memilih menarik kembali kalimat dia ucap. "Aku bilang..."
"Besok, aku akan datang menjemputmu, jika kamu tidak keberatan. Sudah malam, gak bagus seperti kamu berkeliaran di tempat seperti ini," potong pria itu berbicara. Dan berjalan lebih dulu sebagai perwakilan melindungi. Kirana yang mendengar itu tidak menanggapi. Dia pun kembali berjalan dan mengikuti pria itu di depannya.
86Please respect copyright.PENANAEWQEEgAZpt
86Please respect copyright.PENANAWLUmyAT0Rt